Selepas matahari mulai menyembul dari balik jendela rumah sakit, Pak Yono duduk di ruang tunggu dengan telepon genggam di tangan.
Ia menelusuri beberapa kontak lama yang dulu pernah bekerja sama dengannya. Orang-orang terlatih, beberapa mantan anggota pasukan khusus, sebagian lagi mantan pengawal eksekutif untuk kalangan VIP.
Tuan Besarnya tidak ingin sembarang orang menjaga cucunya. Harus orang yang bukan hanya kuat, tapi juga cerdas, peka, dan mampu menyatu dalam situasi rumit tanpa menarik perhatian.
“Halo, Riki? Ini Yono. Aku butuh bantuan. Ada tugas penting. Rahasia dan harus segera….” ucap Pak Yono, saat teleponnya diangkat.
“Aku siap!” suara di ujung sana menjawab singkat.
“Bukan kamu. Aku butuh seseorang yang bisa menyamar, tapi tetap siaga 24 jam. Perempuan. Punya insting tajam, dan bisa dekat dengan target tanpa membuatnya merasa dikekang.”
Hening sebentar. Sepertinya orang yang dipanggil Riki itu tengah berpikir.
“Aku tahu siapa orang yang kamu butuhkan. Aku bisa mengatur pertemuan dan kamu bisa berbicara dengannya langsung.”
“Bagus. Kalau bisa hari ini juga aku ingin bertemu dengan orang itu.”
“Akan aku kabari setelah aku berhasil menghubunginya.”
“Oke. Aku tunggu.”
Pak Yono mematikan teleponnya. Lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Tak lama kemudian, Pak Yono menerima sebuah nama dan berkas singkat dalam pesan terenkripsi. Kirana Atmaja. Seorang mantan anggota intelijen swasta yang keluar dari dunia bayangan setelah insiden terakhirnya di Papua.
Kini, Kirana membuka usaha kecil sebagai pelatih bela diri, hidup tenang jauh dari keramaian kota.
Namun rekam jejaknya tidak bisa dianggap remeh. Cepat, tenang, taktis, dan satu hal yang membuat Pak Yono tertarik, Kirana adalah seseorang yang bisa berpikir selangkah di depan.
“Aku rasa, dia pilihan yang paling tepat untuk menjaga Non Aluna,” ucap Pak Yono sendiri.
Pak Yono berdiri, menatap Tuan Besarnya dari celah pintu yang tak tertutup rapat. Wajah laki-laki berusia 66 tahun itu terlihat cerah saat suapan demi suapan masuk ke mulutnya.
Pak Yono yakin, bukan rasa buburnya yang membuat Tuan Besarnya terlihat begitu bahagia, melainkan kehadiran cucu semata wayangnya yang dengan sabar menyuapinya.
Setelah memastikan Tuan Besarnya baik-baik saja, Pak Yono berjalan menuju lift. Ada satu tempat yang harus ia datangi sekarang juga.
****
Tok... Tok... Tok...
Seseorang mengetuk pintu kaca dojo. Kirana, mengenakan setelan latihan putih, menoleh dari dalam. Sosok perempuan berambut pendek dan tatapan tajam itu membuka pintu sambil menghapus keringat di pelipisnya.
“Pak Yono?”
Pak Yono tersenyum kecil.
“Masih ingat aku?”Kirana menatap tajam, lalu mengangguk.
“Kalau orang sekelas Bapak sampai datang sendiri ke sini… berarti ini bukan tawaran biasa.”“Benar. Ini tentang menjaga seseorang yang sangat berharga untuk keluarga besar tempatku bekerja. Perempuan muda. Pintar. Tapi... dia tak tahu dunia bisa sekejam ini.”
“Seorang Nona Muda ya? Berapa lama?”
“Sampai kami tahu dia benar-benar aman. Dan butuh pendekatan yang lembut. Dia bukan tipe yang suka dikawal.”
Kirana menarik napas. “Agak pemberontak rupanya,” gumamnya sendiri. “Kalau saya ambil ini… saya butuh akses penuh. Dan saya mau tahu semua hal yang bisa membahayakan dia.”
“Tentu. Aku sudah membawa filenya, kamu bisa membacanya nanti. Mulai besok, kamu akan diperkenalkan sebagai asisten pribadi, dan itu akan jadi identitas utamamu di mata publik. Tapi tugas utamamu… lindungi Nona Aluna. Apa pun risikonya.”
Kirana menerima map cokelat yang diberikan Pak Yono, lalu ia memandang ke luar jendela. Di matanya, dunia memang telah lama berubah. Tapi ketegasannya tak pernah pudar. Perlahan, ia mengangguk.
“Baik. Saya akan mulai besok. Dan... satu hal lagi.”
“Apa itu?”
“Pastikan dia tahu siapa yang harus dia percaya... dan siapa yang tidak.”
“Kalaupun dia salah mempercayai orang, aku yakin kamu tidak akan membiarkannya kan?”
“Tentu saja!”
“Bagus! Temui aku setelah kamu sampai di sana besok. Aku harus pergi sekarang.”
“Baik.”
Hening menyelimuti dojo setelah kepergian Pak Yono. Suara langkah kakinya yang menjauh perlahan lenyap, digantikan oleh desiran angin sore yang menerobos lewat celah pintu kayu.
Kirana masih berdiri mematung di tengah ruangan, memegang map cokelat yang tadi diterimanya.
Setelah menarik napas dalam, Kirana melangkah menuju meja rendah di pojok dojo. Ia duduk bersila, meletakkan map di hadapannya. Dengan ragu, ia membuka map itu. Di dalamnya, tertata rapi beberapa lembar dokumen, foto, dan catatan tangan. Nama "Aluna Nada Bestari" tercetak jelas di bagian atas halaman pertama.
Kirana menelusuri halaman demi halaman, matanya bergerak cepat membaca setiap informasi dan latar belakang Aluna. Setiap detail tentang Aluna bukan sekadar data, tapi petunjuk penting untuk menjalankan tugasnya.
Kirana bergumam sendiri. “Aluna Nada Bestari. 26 tahun. Anak tunggal dari pasangan Rama Wijaya Bestari dan Marissa Ayu Wiratama… Sudah lama tinggal di luar negeri.”
Ia membalikkan lembar berikutnya.
Lulusan S1 Manajemen Bisnis salah satu Universitas Internasional di Eropa Timur. Lulus dengan predikat cumlaude. Aktif di organisasi mahasiswa dan klub musik. Bekerja sebagai analis junior di perusahaan logistik multinasional di Eropa Timur. Dipromosikan menjadi koordinator proyek internasional dalam 2 tahun. Dan sekarang memilih pulang ke Indonesia karena kondisi kesehatan sang Kakek.
“Nona Muda yang cerdas ternyata,” gumamnya lagi. Ia meneruskan bacaannya.
Status saat ini sebagai calon pewaris tunggal Grup Wiratama, perusahaan konglomerasi yang menguasai sektor retail, logistik, properti, dan distribusi makanan. Saat ini anak perusahaannya mulai merambah bisnis pertambangan.
Belum secara resmi diumumkan sebagai suksesor, namun posisinya tidak tergantikan.
Memiliki Hobi bermain drum dan sempat bergabung dalam band kampus. Suka mengendarai motor besar, sering menjelajah Eropa dengan motor touring. Memiliki SIM internasional dan kemampuan navigasi yang baik. Ahli bahasa Inggris, Jerman, dan sedikit Rusia.
Kirana memandang berkas di tangannya lekat-lekat. Sekilas, hidup Aluna tampak nyaris sempurna. Cerdas, berbakat, modern, dan sangat mandiri. Namun Kirana tahu, justru orang seperti itu yang sering tidak sadar sedang berada dalam bahaya. Apalagi ketika berada di tengah pusaran kekuasaan dan harta warisan sebesar Grup Wiratama.
“Punya bakat alami untuk memimpin… tapi juga jadi target yang empuk. Orang secerdas ini kadang terlalu percaya diri,” gumamnya lagi.
“Dan aku akan bertemu dengannya besok. Kita akan lihat, seperti apa sosok aslinya. Apa dia benar-benar bekualitas tinggi seperti profilnya, atau hanya sempurna di atas kertas.”
Ia menutup lembaran berkas itu dan memasukkannya ke dalam map, setelah mencatat hal-hal penting di memory ponselnya.
Dengan tangannya sendiri, Kirana menyalakan api dari korek kecil yang ada di sudut dojo, lalu membakar map itu hingga habis tak bersisa. Memastikan semua informasi tentang Aluna, tak jatuh ke tangan yang salah.
****
Sementara itu, di sebuah gedung berlantai tiga yang tampak sederhana dari luar, terletak kantor pusat RKS Security, perusahaan jasa keamanan milik Pak Riki, mantan perwira yang kini dikenal luas di dunia pengamanan profesional.
Pak Yono menaiki anak tangga tanpa tergesa, langkahnya mantap. Meski usianya tak lagi muda, sorot matanya tetap tajam, dan tubuhnya masih tegap seperti saat masih aktif di lapangan.
Setibanya di lantai dua, seorang staf menyambutnya dan langsung membawanya ke ruang kerja Pak Riki. Tak lama, pintu terbuka.
“Wah, ini kejutan. Sudah lama tidak melihatmu datang ke tempat ini, Yono.”
Pak Riki berdiri dari balik mejanya dan menyambut dengan jabatan tangan hangat.
“Riki. Aku datang bukan untuk reuni.” Nada suara Pak Yono datar namun serius.
Pak Riki tersenyum kecil.
“Kalau kau sampai ke sini sendiri, pasti ada urusan penting. Duduklah.”Pak Yono duduk, lalu menyilangkan kakinya.
“Aku butuh orangmu. Seorang pengawal laki-laki. Profesional, loyal, dan bisa diandalkan.”
Pak Riki mengangkat alis. “Apa kau tak menemui Kirana?”
“Aku sudah menemuinya. Dia akan mulai bekerja besok. Aku butuh satu orang lagi.”
“Sebenarnya, targetnya siapa? Sampai-sampai memerlukan 2 orang pengawal sekaligus.”
“Seorang wanita muda. Tepatnya calon pewaris tunggal Grup Wiratama. Dia akan jadi pusat perhatian dalam beberapa waktu ke depan. Tak perlu penyamaran. Justru aku ingin keberadaannya sebagai pengawal terlihat jelas.”
“Menarik. Biasanya kau menyukai yang serba diam-diam.”
“Kali ini berbeda. Aku ingin musuh tahu bahwa wanita muda itu dijaga. Biarkan mereka berpikir dua kali sebelum bertindak ceroboh.”
Pak Riki mengangguk pelan.
“Baik. Aku punya beberapa kandidat. Tapi ada satu yang langsung terpikir. Namanya Reyhan. Salah satu pengawal khusus elit di perusahaanku, sudah kubina sendiri sejak baru bergabung dengan kami. Disiplin dan tidak banyak bicara.”“Kalau dia bisa menjaga Aluna tanpa mengganggu geraknya, maka dia yang kuinginkan.”
“Berarti kita sepakat. Aku akan hubungi Reyhan malam ini. Kau ingin dia mulai kapan?”
“Besok. Minta dia datang ke rumah sakit untuk menemuiku dan Tuan Besar."
“Oke. Aku akan menghubunginya sekarang.” Pak Riki mengangguk sambil membuka ponselnya, mulai mencari nomor kontak Reyhan.
Tak butuh waktu lama hingga nada sambung disambut suara berat di seberang sana.
“Pak Riki. Sudah lama tidak mendengar suara Bapak. Ada yang bisa saya bantu Pak?”
“Ada tugas untukmu, Rey. Satu klien penting. Ini bukan tugas biasa, tapi aku yakin kamu bisa tangani.”
“Seberapa penting Pak?”
“Perempuan muda, berpotensi besar jadi sasaran. Ada musuh yang mungkin sedang mengincarnya. Dia akan dijaga oleh satu orang pengawal perempuan yang menyamar sebagai asistennya, dan juga dia butuh pengawal pria yang tidak menyamar, harus terlihat jelas.”
“Tujuan psikologis. Peringatan visual.”
“Tepat. Tugasmu, pastikan tidak ada satu pun ancaman yang bisa menyentuhnya. Besok kamu ke rumah sakit tempat Kakeknya dirawat. Di sana kamu akan bertemu Pak Yono.”
“Pak Yono? Jadi ini tugas personal?”
“Iya. Langsung dari beliau. Aku minta kamu hormati setiap arahannya. Dia orang yang kita percaya.”
“Baik. Besok pagi saya akan langsung ke rumah sakit. Kirimkan alamat dan detailnya.”
“Aku akan minta Pak Yono kirimkan langsung file-nya padamu.”
“Siap, Pak.”
“Reyhan.”
“Ya, Pak?”
“Jaga gadis itu. Reputasimu dan reputasi perusahaanku, tergantung pada tugasmu ini.”
“Saya mengerti Pak.”
Beberapa menit setelah telepon ditutup, Reyhan menerima sebuah pesan di chat pribadinya. Pengirimnya Pak Yono.
"Baca semuanya. Pahami. Jangan abaikan detail sekecil apa pun."
Ada sebuah lampiran dengan format p*f di sana.
Reyhan membuka file itu, membacanya dalam diam. Sorot matanya berubah tajam seiring setiap paragraf yang terbuka di layar.
“Aluna Nada Bestari? Ini bukan Alunaku kan?” tanyanya dengan dada berdebar keras.
Aluna memandangi jendela dengan tatapan kosong, sementara Reyhan fokus memegang kemudi, matanya sesekali berpindah dari spion ke jalan.Namun tiba-tiba, di antara keheningan dan suara lalu lintas di kejauhan, Aluna bersuara pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Reyhan sedikit menoleh sebelum kembali menatap jalan."Kenapa… kamu mengganti namamu jadi Reyhan?" tanya Aluna tiba-tiba. Ia menatap Reyhan dari kaca spion dasboard dengan tatapan penuh tanya."Maksudku, kenapa Axel harus jadi Reyhan?" jelasnya lagi.Reyhan menarik napas dalam, menggenggam kemudi lebih erat sebelum menjawab. Ia tahu ini pembicaraan pribadi. Reyhan memutuskan untuk tak menggunakan bahasa formal."Aku tidak pernah mengganti nama..." ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan. “Nama lengkapku dari dulu Reyhan Axel Pratama. Aku cuma… memilih untuk ninggalin nama panggilanku dulu."Alis Aluna bertaut penuh rasa ingin tahu, “Kenapa harus ninggalin? Semua orang dulu kenalnya kamu itu Axel…""Karena Axel itu nama yang
Tepat jam setengah 4 sore. Bunyi klik yang halus dari pintu besar ruang rapat membuat Reyhan dan Kirana serempak menoleh. Udara di koridor seakan ikut menegang saat daun pintu terbuka perlahan.Satu per satu para pemegang saham keluar dari ruangan dengan raut wajah serius, sebagian mengangguk kecil pada staf yang berdiri di luar, sisanya langsung melangkah cepat ke lift eksekutif tanpa berkata-kata.Mereka tampak elegan dalam setelan jas dan gaun formal, membawa aura kekuasaan dan keputusan besar yang baru saja diambil.Reyhan berdiri dari duduknya. Kirana refleks merapikan blouse-nya. Keduanya menatap ke arah pintu yang masih terbuka, berharap sosok yang mereka tunggu segera muncul.Dan akhirnya, dari balik pintu, Aluna muncul.Wajahnya sedikit pucat, tapi senyum merekah dengan tulus di bibirnya. Tangannya mendorong kursi roda sang Kakek, yang duduk tenang dengan sorot mata penuh bangga.Di belakang mereka, Pak Yono berjalan sambil membawa map rapat, dan dua petugas medis ikut menyer
Pintu lift di depan Aluna terbuka pelan, langsung menghadap lorong berkarpet tebal dengan lampu-lampu gantung bergaya klasik.Di ujung lorong, sebuah pintu besar dari kayu jati terbuka sebagian. Dari sana, suara diskusi ringan terdengar, para pemegang saham tengah menunggu.Langkah Aluna tanpa keraguan. Setelan biru muda dan biru tua yang dikenakannya membuatnya terlihat anggun dan profesional, meski wajahnya masih menyimpan jejak ketegangan.Seorang staf berdiri di dekat pintu masuk, tangannya membawa sebuah tablet dengan layar yang menampilkan profil Aluna. Begitu melihat sosok yang ada di layar tabletnya, ia segera membuka pintu besar itu."Selamat siang, Nona. Silakan masuk. Semua sudah berkumpul."Aluna menganggukkan kepalanya pelan. “Selamat siang.”Beberapa pasang mata menoleh saat Aluna masuk. Para pria dan wanita paruh baya berpakaian rapi itu berhenti bicara, beberapa di antara mereka mengangguk ramah, sementara lainnya hanya menatap tanpa ekspresi.Saat melihat di ujung mej
Pagi datang dengan sunyi yang lembut. Udara masih dingin, dan langit di luar jendela menggantungkan awan-awan kelabu. Tak ada sinar matahari yang menyapa pagi ini, hanya cahaya samar yang menyusup dari sela tirai kamar Aluna.Perlahan, Aluna membuka matanya. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk benar-benar tersadar dari tidurnya yang sempat gelisah.Ia bangkit perlahan dari ranjang, menarik selimut dari tubuhnya, dan berjalan ke arah jendela. Dengan gerakan tenang, dia membuka gorden dan kemudian membuka jendela lebar-lebar.Angin pagi langsung menyapa wajahnya. Dingin. Menyegarkan. Tapi tak cukup untuk mengusir keheningan di hatinya.Langit mendung seperti mencerminkan pikirannya yang berat. Ia menatap langit itu lama… seakan mencari jawab atas segala yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pikirannya kembali pada malam sebelumnya.Percakapan di restoran. Tatapan mata Reyhan. Penjelasan yang selama ini ia tunggu, dan akhirnya datang juga.Tentang kesalahpahaman, tentang permainan y
Mobil berhenti perlahan di depan rumah utama. Gerimis mulai turun, menimbulkan aroma tanah basah yang samar menyusup ke udara sore.Begitu mesin dimatikan, Aluna langsung membuka pintu dan melangkah cepat menuju rumah. Langkahnya tegap namun jelas terburu-buru.“Kayaknya Nona mau langsung kerja lagi,” ucap Kirana sambil membuka pintu mobil.Reyhan hanya mengangguk singkat. Ia menunggu Kirana berjalan ke kamarnya yang berada di halaman belakang, sebelum mulai memundurkan mobil perlahan ke dalam garasi.Suasana di halaman belakang sepi. Cahaya dari rumah utama dan kamar-kamar yang terpisah membuat kesan temaram yang menenangkan. Setelah menutup pintu garasi, Reyhan berjalan pelan menuju bangunan kecil tempat ia tinggal. Saat membuka pintu kamarnya, udara lembab langsung menyambut.Ia meletakkan jasnya di gantungan, kemudian membuka jendela besar di sisi kiri. Dari sana, terlihat jelas ruang kerja Aluna yang berada di lantai dua rumah utama. Tirai jendela ruangan itu tidak ditutup sepenu
Ketiga gelas es teh di atas meja tinggal separuh. Obrolan ringan telah cukup membuat suasana mencair, meskipun sesekali Reyhan hanya menanggapi dengan anggukan kecil atau senyum yang dipaksakan.Aluna menatap jam di pergelangan tangannya, lalu menoleh ke arah Ibu Reyhan dengan senyum sopan.“Bu, saya pamit dulu, ya. Masih ada acara yang harus saya hadiri siang ini di kota,” ucapnya sambil bangkit perlahan.Kirana mengikutinya berdiri.“Iya, Bu. Kami juga sekalian pulang. Terima kasih banyak untuk es teh dan jamuannya.”Ibu Reyhan ikut berdiri, menepuk tangan Aluna pelan dengan hangat.“Aduh, padahal Ibu masih pengen ngobrol lebih lama. Tapi nggak apa-apa. Lain waktu mampir lagi, ya. Anggap saja ini rumah sendiri.”“Terima kasih, Bu. Ibu baik sekali,” ucap Aluna sambil tersenyum ramah.Reyhan berdiri di belakang mereka, belum berkata apa-apa. Sorot matanya terus mengamati Aluna, mencoba membaca sesuatu dari ekspresi wajah yang kini begitu tenang.Namun sebelum mereka benar-benar melang