Bagus Ifan Riyadi, lelaki berumur 30 tahun yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Dia adalah seorang pegawai di kantor pertanian dengan status ASN. Ifan memang bukan lelaki yang pintar, tetapi dia sangat rajin bekerja dan cukup teliti dalam pekerjaan. Keberuntungan yang begitu bagus bisa mencapai di titik sekarang ini.
Untuk kehidupannya yang di kampung, gaji yang ia peroleh sudah tergolong cukup besar dan sangat mampu menghidupi istrinya. Apa lagi mereka ini belum memiliki momongan. Hanya saja gaji Ifan sudah terpotong cicilan di bank dan cicilan mobilnya setiap bulan. Jadilah dia hanya menerima sedikit saja.
Namun, karna dia masih ingat dengan tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki, Ifan selalu memberikan sisa gaji itu ke Wuri, seluruhnya. Tapi dia tetap minta ke Wuri soal mengisi bensin dan beli kuota hape. Urusan bayar listrik, makan sehari-hari, tentu Wuri yang menanggungnya.
Awalnya memang semua baik-baik saja. Ifan sangat menyayangi Wuri, mencintai istrinya yang memang sangat baik ini. Namun, semua berubah ketika Wina pulang dari merantau. Rumah yang mereka berdua tinggali adalah rumah peninggalan kedua orang tua Wuri, jadi Wina tetap kembali ke rumah ini.
Mawar Winaristianti, sosok yang wajahnya mirip dengan Wuri, tetapi kulit Wina lebih putih. Tubuhnya lebih pendek dari Wuri, tetapi berbody semok dan cukup berisi. Gadis berusia 21 tahun yang baru mekar-mekarnya dan memang masih masuk di masa puber. Baju-bajunya cukup sexi dan sering membuat Ifan meneguk ludah.
Selama ada Wina, Ifan sudah sering menghindar. Dia memilih tidak pulang dulu sebelum ada Wuri di rumah, tetapi lama kelamaan dia nggak kuat iman. Hingga bisikan setan telah berhasil mendorongnya masuk ke dalam kamar Wina.
**
Melihat Wuri menutup pintu kamar, Ifan menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi. Tangannya bergerak menyugar rambut, menjambaknya untuk melampiaskan rasa sesal yang sangat menyesakkan. Dia melirik Wina yang sesenggukan duduk di atas karpet depan teve sana. Dengan cara duduk yang seperti itu, Ifan bisa melihat dengan jelas mulusnya paha putih Wina serta dalaman tipis berwarna merah yang sudah beberapa kali Ifan tarik.
Memang rasa cintanya ke Wuri sudah tak sebesar dulu, karna ternyata rasa itu sudah terbagi untuk Wina juga. Tetapi … bukankah perasaan itu nggak pernah salah? Ifan nggak minta perasaan ini hadir, tetapi rasanya ke Wina hadir tanpa diminta.
“Mas,”
Panggilan yang membuat Ifan kembali menatap Wina di depan teve sana.
“Aku nggak mau hubunganku dan kak Wuri jadi hancur begini ….” Gadis cantik itu kembali terisak.
Ifan menoleh, menatap pintu kamarnya dan Wuri yang masih tertutup rapat. Dia beranjak dari duduk, melangkah mendekati Wina dan mengambil duduk tepat di samping gadis itu. Tangannya melingkar, mengusap lembut kulit lengan Wina yang terpampang karna Wina hanya pakai dress yang lengannya pendek banget. Ifan menunduk, menatap Wina yang menjatuhkan kepala di bahunya. Cckk, tapi sial karna belahan dada yang beberapa menit lalu ia sesap itu terpampang sangat jelas.
Ifan jadi mendesah, mengalihkan pandangan biar nggak khilaf lagi. Ini dia belum pakai baju ya, Cuma pakai celana pendek doang. takut juga kalau hasratnya bagun lagi dengan tiba-tiba.
“Uumm … aku akan pindah dari rumah ini, Win,” kata Ifan setelah mereka cukup lama saling diam.
Wina mengangkat kepala, membuat dia bisa menatap wajah kakak iparnya dengan begitu jelas. Kedua mata yang basah itu terlihat tak mau jika ditinggalkan. “Kamu mau ninggalin aku, mas?” tanyanya, memelas.
Melihat wajah cantik, imut dan memang manja. Wajah yang sudah beberapa kali memberinya kenikmatan, tentu saja Ifan jadi nggak tega. Padahal dia sudah memutuskan untuk memilih Wuri dan meninggalkan Wina, tapi ….
“Hubungan kita memang salah, mas.” Wina berucap, tangannya mengusap kedua mata yang kembali mengembun. “Memang nggak seharusnya aku tergoda denganmu.” Wina menjeda, menarik nafasnya dalam. “Pergi aja. Pergi aja sama kak Wuri. Aku nggak apa-apa kamu tinggalkan. Memang di mana-mana kalau khilaf itu, pasti ceweknya yang selalu disalahkan.”
“Win,” panggil Ifan dengan sedikit berteriak saat Wina berdiri. Ifan mencekal pergelangan tangan Wina, membuat Wina kembali duduk di tempat semula. “Aku pergi dari sini bukan berarti meninggalkan kamu. Ini demi kebaikan bersama juga, Win.” Ifan mengecup pelipis Wina, tepat di samping mata cantik itu. “Jangan marah dulu, sayang. Aku diam, karna dari tadi mikirin solusi terbaiknya. Aku juga nggak mau hubunganku dan Wuri jadi berantakan, begitu juga dengan kalian yang akan musuhan karna memperebutkan aku.”
Wina mulai bisa tenang. “Apa solusimu, mas?”
“Aku akan cari kontrakan. Aku akan ajak Wuri tinggal di kontrakan itu agar Wuri nggak marah sama kamu, dan dia juga nggak marah sama aku.”
Kening Wina berlipat mendengar kalimat panjang yang Ifan ucapkan. “Kamu yakin, kalau kak Wuri mau?”
Ifan mengusap rambut Wina dengan senyum manis yang begitu percaya diri. “Kakakmu itu cinta banget sama aku. Pasti dia mau.”
Senyum manis Ifan menular di bibir Wina. Gadis cantik ini sedikit mengangkat tubuh untuk bisa mengecup bibir Ifan. “Aku nyaman sama kamu, mas. Kalau ada jalan lain, aku memilih untuk nggak kamu tinggalkan.”
“Aku bakalan sering-sering tengokin kamu ke sini, sayang. Jangan khawatir.” Ifan berbisik tepat di samping telinga Wina. “Aku mau bicara dulu sama kakakmu ya,” ijinnya.
Wina mengangguk. “Semoga berhasil bujuk kak Wuri ya, mas.”
“Kita jaga jarak dulu untuk sementara ya, sayang.” Pintanya, mengusap wajah mulus Wina.
Ifan mengecup bibir ranum adik iparnya sebentar, lalu berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
“Wuri, biarkan aku masuk. Kita bicara berdua.” Ifan berucap setelah tangannya mengetuk pintu. “Wur, masalah nggak akan selesai kalau nggak diselesaikan.”
Hampir dua menit berlalu, pintu kamar bercat cokelat itu terbuka, memperlihatkan sosok Wuri yang wajahnya sangat lelah dan terluka. Ifan melangkah masuk, mengikuti Wuri yang lebih dulu melangkah masuk. pintu tertutup rapat tanpa memedulikan Wina yang memerhatikan sejak tadi.
Duduk di tepi tempat tidur berdua, bersebelahan tetapi berjarak cukup jauh. Wuri hanya diam, menatap lurus ke depan tanpa mau menatap suaminya. Sementara Ifan diam memerhatikan wajah manis istrinya yang penuh kekecewaan.
“Silakan bicara sebelum aku mandi, mas.” Suruh Wuri, sedikit menoleh sampai dia bisa menatap wajah ganteng suami.
“Aku juga belum mandi. Uumm, kita mandi bersama ya. Sudah lama banget kita tidak mandi bareng.” Dengan begitu tak tau diri Ifan berucap.
Kedua mata Wuri melebar, menyorotkan kemarahan yang tidak pernah ia tunjukkan ke Ifan. “Kenapa kamu tidak mandi bareng sama Wina sekalian? Setelah kamu asik menidurinya, lalu kamu mau mengajakku mandi bareng?” Wuri mencibir dengan gelengan. “Tak tau diri sekali!” umpatnya, meluapkan emosi.
“Wur, aku khilaf. Maafkan aku, aku mohon.” Ifan merosot, menjatuhkan kedua lututnya ke lantai dan menggenggam tangan Wuri yang ada di pangkuan. “Kamu kenal aku udah lama, Wur. Dan selama tahunan itu aku tak pernah mengkhianatimu. Semua terjadi karna kita tinggal dalam satu atap. Andai kita tak seatap dengan adikmu, aku tak akan khilaf seperti sekarang ini. Pliiss, sayang, maafkan aku. Aku janji aku akan berubah. Aku mencintai kamu, Wur.”
Wuri menunduk, menatap wajah oval berkulit putih yang memang sangat tampan. Lelaki pertama yang berhasil mencuri cinta Wuri. Orang yang benar-benar telah Wuri prioritaskan setelah Wina mulai bisa mandiri.
“Kita cari kontrakan, kita ngontrak berdua di samping kantorku. Aku berjanji aku akan setia, aku tidak akan mengulangi kesalahan seperti ini lagi dan kuharap kesalah-kesalahan yang lainnya pun, aku tak akan mengulanginya.” Rayu Ifan, menatap penuh kasih dan cinta.
“Kamu … serius, mas?” tanya Wuri ragu.
Ifan langsung menganggukkan kepala dengan begitu meyakinkan. “Aku cinta sama kamu, Wur. Aku nggak cinta sama Wina. Biarkan Wina di rumah ini, kita yang mengalah pergi dari sini demi keutuhan rumah tangga kita dan hubungan persaudaraanmu dengan Wina. Mau ya, sayang,” bujuk Ifan dengan begitu manis.
Anggrek Wuriastuti, wanita berusia 23 tahun lebih beberapa bulan. Dia menikah diusia 21 tahun kurang beberapa bulan. Memilih lelaki bernama Ifan sebagai pendamping hidup, sandaran dan tumpuan hidupnya. Harapan seseorang saat menikah adalah bisa bersama selamanya, sampai menua, sampai hembusan nafas yang terakhir. Menapaki langkah menuju mimpi bersama dan bahagia bersama. Tidak pernah ada dalam bayangan Wuri tentang kesedihan, apa lagi pengkhianatan. Kedua orang tuanya adalah gambaran pasangan romantis dan bahagia. Jadi di dalam bayangan Wuri, sakit hati di dalam pernikahan itu sama sekali nggak ada. Melihat suami memegang tangan wanita lain, atau melihat nota belanjaan suami yang membelikan hadiah mantan pacarnya. Cckk, itu sakitnya belum seberapa. Wuri bahkan mendengar obrolan mesum suami dengan adik kandungnya. Adik kandung yang menjadi satu-satunya keluarga di dunia ini. Bukan hanya obrolan saja, tetapi menyimak pergulatan mereka berdua di rumahnya. Wuri bukan wanita polos, dia ju
“Kost’annya ternyata udah penuh, Wur. Dua kamar itu udah di De-Pe sama orang. Mereka mulai nempati tiga hri lagi.” Dara menjelaskan hal yang sama seperti chat yang tadi pagi ia kirim ke nomor Wuri, Cuma emang belum dibaca sama yang punya nomor. Bibir Wuri melengkung ke bawah, patah harapan pastinya. Padahal udah sangat berharap kalau malam nanti dia bisa tidur di kost biar nggak liat muka suami dan adiknya. “Kenapa mau kost? Rumahmu jaraknya nggak begitu jauh.” Hani, teman yang ada dalam satu line ikut menimbrung. Siti yang juga nggak tau masalahnya, memilih diam. Dari teriakan suami Wuri pas dia menghampiri tadi, sudah cukup menunjukkan jika rumah tangga Wuri enggak baik-baik saja. “Uumm, nggak apa-apa sih. Lagi capek motoran aja. Pen yang praktis gitu, jalan kaki aja ke pabriknya.” Wuri nyengir, menunjukkan ke teman-temannya jika dia baik-baik saja. Semua mulai sibuk membersihkan mesin jahit dengan obrolan-obrolan ringan. Wuri sedikit mendekatkan tubuh ke Dara yang duduk tepat d
Wuri menghela nafas begitu motornya berhenti di halaman rumah. Tatapannya langsung tertuju ke arah garasi yang sudah pasti ada mobil dan motor milik dua orang keluarga yang menghuni rumah ini. Belum melihat wajah kedua orang di dalam sana, tapi keadaan dalam dada sana sudah seperti teremas. Sungguh, sakitnya seperti tak bisa hilang. “Wur, dari siang aku chat kamu, tapi nggak kamu baca.” Di ambang pintu sana Ifan muncul dan menyambut Wuri dengan sebuah curhatan. Wuri tak mengatakan apa pun. Dia melangkah masuk setelah Ifan memberinya jalan. Sempat saling beradu pandang dengan Wina, tapi hanya sebentar karna Wuri segera mengalihkan tatapan. Bayangan kejadian kemarin itu benar-benar nggak bisa hilang dari kepala Wuri. Bisa saja kan, mereka berdua tadi juga melakukan itu saat Wuri belum pulang. Aah, sudah lah, memang pilihan terbaik adalah mengalah saja. Toh, lelaki nggak Cuma Ifan saja. Ifan mengulurkan amplop cokelat ke Wuri. “Uang bulanannya.” “Enam ratus ribu, kan, mas?” tebak Wuri
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suami, Wuri mengepalkan tangan. Dia sampai membuka sedikit mulut untuk meredamkan rasa sesak di dada yang seperti akan membunuhnya.Andai saja Ifan berselingkuh bukan dengan keluarganya, bukan dengan satu-satunya orang yang dia pedulikan sejak dulu, Wuri akan membuat perhitungan. Mungkin dia sudah memukul, menjambak, memaki dan menyebarkan aib ini agar semua orang tau jika dia sedang terluka, dia dikhianati. Namun, dia memikirkan Wina, keluarganya, adik kandungnya. Aib Wina, sama saja juga aibnya.Wuri meneguk ludah lebih dulu, lalu menatap Ifan dan Wina yang menunggu kata darinya. “Memiliki dua istri itu enggak mudah. Jika menurutmu kamu sudah adil, tetapi tidak bagi kedua istrimu. Tetap saja akan melukai hati keduanya. Lalu kamu semakin berdosa karna tidak adil dalam hal apa pun.”“Aku yakin, Wur, pasti aku bisa adil untuk kamu dan Wina. Aku janji.” Ifan berucap dengan lantang, sangat meyakinkan.Wuri sampai beringsut untuk bisa melihat wajah
Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.“Aku kerja di pabrik garmen.”“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebi
isinya cuma ada Ifan sama Wina yah.**“Gimana, Mas, diangkat nggak sama mbak Kak Wuri?” tanya Wina yang punggungnya menyadar di sandaran ranjang.Ifan menghela nafas, lalu menggelengkan kepala sembari menarik ponsel dari kuping. Jarinya menekan lagi tanda telpon di pojok bagian atas, lalu kembali pula dia menempelkannya ke kuping.“Assh!” Ifan mendesah kesal ketika nomor Wuri tak lagi bisa dihubungi.“Sudah lah, Mas. Aku yakin kak Wuri baik-baik saja.” suara Wina terdengar begitu tenang, lebih tepatnya sih nggak peduli. “Mas, perutku nggak enak banget lho rasanya,” rengek Wina untuk yang kesekian kali.“Mas, iihh, malah diem aja!” Wina memukul punggung Ifan.Ifan jadi mendesah, menoleh menatap wanita berstatus adik iparnya. “Kenapa sih, Win. Aku lagi pusing mikirin Wuri. Dia pergi dari rumah lho, sekarang dia ada di mana coba? Kamu nggak ada simpati-simpatinya sama kakak sendiri? Padahal dia sudah menghidupi kamu sejak ornag tua kalian nggak ada lho. Aneh kamu ini.”Kedua mata Wina j
Wuri keluar dari kamar kost sudah rapi dengan seragam baju pabrik yang trlapisi jaket. Sengaja banget berangkat agak awal karna mau nyari sarapan di pinggir jalan.“Lailahailallah!” seru Wuri saat hampir menabrak Taka yang baru keluar dari kamar sebelahnya. Dia melirik Taka yang terlihat santai banget dengan tangan mengusap dada.Taka mengedipkan satu mata dengan tangan yang mengcak rambut. Cipratan air dari rambutnya yang sedikit panjang membuat kesan berbeda. Kulit putih, wajahnya pun nggak jelek, malah bisa dibilang cukup tampan untuk menjadi gandengan. Cckk, kalau di Wuri yang selingkuhan. Kan si Wuri statusnya istri orang.Wuri mencibir, tak mempedulikan itu, dia menuju ke arah tangga dengan satu tangan yang menenteng helm.“Mbak, ntar nggak usah lembur ya,” pinta taka, tangannya menyampirkan handuk basah ke jemuran yang ada di batas balkon.Wuri tak membalas, hanya berdecak dan memilih melanjutkan menuruni anak tangga.“Ntar malam kencan sama gue, mbak.” Bisik Taka, mengejar lan
“Wuri, Wur, Wuri,” panggil Ifan, tangannya memutar handle pintu yang sudah tertutup. “Wur, buka pintunya. Pembicaraan kita belum selesai. Wuri!”Ceklek!Di kamar sebelah, tepatnye di kamar milik Taka. Pintunya terbuka dari dalam, dibuka cukup lebar. Cowok berambut pirang itu mendudukkan pantat di ambang pintu dengan satu kaki yang ada di luar. Satu tangannya menghidupkan korek dan membakar rokok yang terselip di bibir. Sempat melirik Ifan sebentar dan setelahnya memilih menatap ponsel dan mulai main game.Ifan mendengus melihat Taka di tempat yang mungkin hanya berjarak satu meter dengannya. Mau teriak manggil istrinya atau mau ngomongin masalah mereka, Ifan jadi nggak enak.“Wuri, besok pagi aku ke sini lagi,” putus Ifan, lalu melangkah melewati Taka yang terlihat tak terganggu.“Yeah! Kalah kan lo!”Ifan menoleh saat mendengar ledekan itu, hanya bisa menahan rasa kesalnya karna Taka terlihat fokus memainkan game. Ya, mungkin lagi ngeledekin lawan main gamenya, kan?Ifan melanjutkan