Share

Eps 2

Kedua mata Ifan melebar mendengar kata cerai yang keluar dari bibir Wuri. Ya, Wuri dan Wina memang kakak beradik, tetapi Wina memiliki body yang lebih bagus dan menantang dari pada Wuri. Wina juga sangat pintar merawat diri dari pada Wuri yang hampir tak pernah ada waktu untuk sekedar bersolek di depan cermin.

Ifan mencekal lengan Wuri. “Jangan pernah katakan cerai, Wur. Aku nggak akan menceraikanmu.”

Wuri tertawa disela tangis, sampai air mata terasa semakin deras mendengar penolakan Ifan. “Jangan egois, mas. Aku paling benci dengan pengkhianatan. Dan sekarang aku telah merasakan itu.”

Wajah Ifan melemah, terlihat paling bersalah. “Maafkan aku, Wur. Sungguh, aku khilaf. Aku tak mencintai Wina, aku mencintaimu.” Ngakunya lirih.

Wuri menutup wajah dengan kedua telapak tangan, mengusap air mata yang membuat wajah menjadi basah. Bayangan setiap kali dia pulang kerja dalam keadaan lelah. Lalu selalu menemukan suaminya yang baru saja selesai mandi. Begitu juga dengan adiknya yang rambutnya masih digulung dengan handuk. Selama tiga bulan ini, hampir selalu seperti itu. Semua normal, tak pernah ada yang mencurigakan sedikit pun. bahkan Ifan selalu menjaga jarak dengan Wina jika berada di depannya. Ifan tak mau menyimpan nomor Wina demi menjaga perasaan Wuri, katanya begitu. Tapi ternyata … astagfirullahal’adzim.

Ifan merengkuk Wuri, memeluk istrinya dari samping. “Kumohon maafkan aku, sayang. Aku janji aku nggak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”

Suara lembut dan lirih itu masuk dalam pendengaran Wuri. Usapan lembut tangan Ifan di lengan Wuri membuat Wuri ingat akan kata-kata Wina jika Ifan sudah mencoel-coelnya, hampir setiap hari. Ya Allah ….

Dengan cepat Wuri membuka wajah, beranjak dari duduk menghindari sentuhan Ifan.

Ceklek!

Pintu kamar yang ada di depan mereka terbuka, memperlihatkan sosok wanita yang memang cantik, berkulit putih dan berbody menarik. Pakaian Wina selalu sama, dress pendek yang tepat ada di atas lutut dengan bahan adem dan sudah pasti berharga mahal. Rambut panjang yang lurus berwarna cokelat karna cat itu digulung dengan handuk. Dan memang setiap Wuri pulang kerja sudah pasti mendapati Wina seperti ini.

“Kak,” panggil gadis berusia 21 itu. Dia melangkah mendekat, jongkok di depan Wuri yang berdiri dengan kedua tangan memegang kaki Wuri yang tertutup celana jeans warna hitam. “Maafkan aku … aku salah. Maafkan aku ….”

Wuri membuang muka dengan derai air mata yang tak mau berhenti. Semua ini terlalu tiba-tiba, terkejutnya sangat luar biasa. Andai saja Wuri memiliki riwayat sakit jantung, sudah pasti dia akan mati malam ini. Wuri menunduk saat merasa kakinya dipeluk, dan di bawahnya sana, Wina bersimpuh.

Rasa sayang, rasa kagum dengan semua yang ada di Wina, hambar sekejap. Bersisa jijik dan sakit yang sekarang telah meremas hatinya. Wuri membungkuk, menarik Wina sampai gadis cantik itu berdiri. Keduanya saling bertatapan untuk beberapa saat.

Wina menggigit bibir menatap derai air mata yang begitu lancar keluar dari kedua mata kakak semata wayangnya ini. Dia tau, pasti kakaknya sangat kecewa, sangat terluka dengan semua yang sudah ia lakukan.

“Kak,” seru Wina dengan bibir yang bergetar. Kedua matanya mulai memanas, ada embun yang terpupuk di sana.

Wuri melepaskan cekalan tangannya di lengan Wina. Dia menghapus kasar kedua mata yang benar-benar tak bisa berhenti menangis. “Kamu menyukai suami kakak, Win?” tanyanya, menatap wajah adiknya dengan kedua mata yang kembali berkaca.

Wina tak menjawab, dia menangis menyesali apa yang sudah ia lakukan.

Wuri beralih, menatap Ifan yang berdiri memerhatikan dia dan Wina. “Ambil dia.”

“Wur,” pekik Ifan, terkejut dengan apa yang Wuri katakan.

“Aku memang selalu berbagi apa pun denganmu, Win. Tetapi bukan berarti aku juga harus berbagi suami denganmu. Kemarin, hari yang lalu, minggu yang lalu dan bulan-bulan yang lalu mungkin aku masih mau berbagi denganmu. Tetapi setelah aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan, aku memilih mengalah.”

“Enggak, Wur!” tolak Ifan, mencekal lengan Wuri.

Wuri melepaskan cekalan itu. “Mulai detik ini aku nggak peduli dengan apa pun yang akan kalian berdua lakukan. Anggaplah, aku kalah!”

“Wur,” panggil Ifan saat Wuri berbalik dan melangkah menuju ke kamarnya.

“Kakak!” teriak Wina, mengejar langkah kaki Wuri. “Kak, enggak. Aku … aku khilaf. Aku mohon maafkan aku. Aku akan pergi dari rumah ini, Kak.”

Wuri tersenyum getir. “Kamu mau pergi kemana?” wuri menepuk keningnya. “Ah, lupa. Kamu kan punya tabungan banyak. Beda sama aku yang bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan rumah dan menafkahi suami dan menjatah uang jajan untukmu.” Wuri menghela nafas panjang. “Aku malam ini sengaja nggak ambil lemburan karna terlalu lelah. Dan sekarang aku benar-benar merasa sangat lelah. Jadi, biarkan aku istirahat.”

“Kakak,” panggil Wina lagi, mencekal pergelangan tangan Wuri.

Kasar Wuri mengibaskan tangannya, sampai cekalan itu terlepas. “Jangan ganggu aku. Aku ingin sendiri.” Cepat Wuri masuk ke dalam kamarnya, lalu mengunci pintu dari dalam.

Sesampainya di dalam, tubuhnya merosot dengan punggung yang menyandar di pintu. Kedua tangan memegangi kepala dengan isakan yang tak lagi bisa ia tahan. Wuri memeluk kedua lutut, menyembunyikan wajah dan menumpahkan tangisnya di sana.

Kedua orang tuanya sudah meninggal dalam kecelakaan beruntun. Dia hidup berdua dengan Wina sejak Wina berumur 14 tahun. Lulus SMP Wuri sudah dipaksa harus mandiri dan dewasa karna bertanggung jawab menamatkan Wina dari sekolah. Semua ia tanggung sendiri, bahkan dia memilih untuk sekolah di sekolahan swasta yang sangat murah dan tak tentu ada guru yang mengajarnya. Di sekolahan itu, Wuri bisa mendapatkan ijazah yang sekarang ia pakai untuk mendapatkan pekerjaan.

Berpacaran dengan Ifan saat lelaki itu masih bekerja menjadi staf biasa. Sampai mereka menikah dan hidup serba apa adanya. Semua bergantung pada gaji Wuri karna gaji honor yang Ifan peroleh tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka berdua. Sementara Wina, dia pergi merantau usai lulus SMA. Mencari uang untuk diri sendiri dan kesenangannya.

Dua tahun menikah, Wuri benar-benar telah menjadi tulang punggung untuk keluarga kecil mereka. Namun, Ifan adalah suami yang pengertian. Dia rajin mengantar jemput Wuri karna memang motor milik Wuri dia pakai untuk kerja ke kantor. Sampai akhirnya Ifan diangkat menjadi seorang ASN di sebuah kantor pertanian. Hidup mereka hampir sempurna dengan kabar kehamilan. Namun sayang, usia kehamilan yang masih sangat muda itu tidak bisa bertahan karna Wuri terlalu lelah.

Wuri sempat berhenti bekerja atas permintaan Ifan. Mengingat gaji Ifan yang sudah bisa menopang kehidupan mereka berdua. Tetapi itu tak berlangsung lama karna Ifan menginginkan sebuah mobil, jadi gajinya habis untuk membayar cicilan mobil yang dia ambil dari uang De-Pe yang meminjam di bank. Wuri pikir dia akan selamanya hidup bersama Ifan, jadi dia menyetujui saat Ifan menyuruhnya untuk menggadaikan sertifikat rumah yang sekarang mereka tempati ini.

Ah, bodoh. Sungguh ini terlalu bodoh.

Berkali Wuri memukuli dada dan kepala. Menyalahkan diri sendiri yang terlalu percaya, terlalu menyayangi dan terlalu cinta. Dadanya sangat sesak, rasa ingin berteriak, ingin memaki, ingin memukul apa saja.

Klunting!

Suara notifikasi dari ponsel yang ada di atas meja membuat tangisnya sedikit teralihkan. Dia mengusap kasar kedua mata lebih dulu, lalu berdiri. Tangannya mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja.

[Waah, memang mantap sih, brow. Sampe tumpah, tembem banget. Keliatannya juga jepitannya lebih ngena. Gue tebak, lo pasti on terus kalo liat dia. Yang tua mah kagak ada apa-apanya]

Notifikasi yang muncul dari layar utama ponsel milik suami membuat Wuri kembali meremas baju di bagian dada. Wuri meremas ponsel warna hitam berharga mahal ini. Ada uangnya di ponsel ini, karna ketika membeli ini, uang Ifan kurang banyak dan Wuri yang menutupi kekurangannya.

Wuri menjatuhkan bokong di tepi tempat tidur. Sekarang dia nggak tau harus bagaimana. Yang pasti, rasa sakit hati itu membuatnya sangat terpuruk.

Menit berlalu Wuri membuka tas, mengambil ponselnya dan mulai mengusap layar tipis itu.

[Dara, ada kamar kosong nggak di kost-kost’an kamu?] send Dara.

Chat yang dia kirim ke teman satu kerjaannya itu langsung centang dua biru.

[masih ada dua, Wur. Siapa yang mau kost?]

cepat Wuri mengetik chat balasan. [pilihin deh, Dar, buat aku.] send Dara.

Udah sakit hati begini, enggak mungkin Wuri akan tetap tinggal di sini. Dia tidak mau jiwanya ikut sakit jika terus-terusan melihat wajah adik dan suaminya.

Tok! Tok! Tok!

“Wur, biarkan aku masuk. kita bicara berdua.”

Wuri menatap ke arah pintu sana, di mana suara Ifan terdengar.

**

Bisa follow akun i*-ku yah. @aqsayuwen

Komen (18)
goodnovel comment avatar
Ayang Ello 😉
kalo aku nih yaa.. ku jual hp nya xixixixixi
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
jangan terlalu cinta makanya jadi cewek tuh
goodnovel comment avatar
Hanidacatering Hanida
br beranjak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status