Share

Eps 4

Anggrek Wuriastuti, wanita berusia 23 tahun lebih beberapa bulan. Dia menikah diusia 21 tahun kurang beberapa bulan. Memilih lelaki bernama Ifan sebagai pendamping hidup, sandaran dan tumpuan hidupnya. Harapan seseorang saat menikah adalah bisa bersama selamanya, sampai menua, sampai hembusan nafas yang terakhir. Menapaki langkah menuju mimpi bersama dan bahagia bersama. Tidak pernah ada dalam bayangan Wuri tentang kesedihan, apa lagi pengkhianatan. Kedua orang tuanya adalah gambaran pasangan romantis dan bahagia. Jadi di dalam bayangan Wuri, sakit hati di dalam pernikahan itu sama sekali nggak ada.

Melihat suami memegang tangan wanita lain, atau melihat nota belanjaan suami yang membelikan hadiah mantan pacarnya. Cckk, itu sakitnya belum seberapa.

Wuri bahkan mendengar obrolan mesum suami dengan adik kandungnya. Adik kandung yang menjadi satu-satunya keluarga di dunia ini. Bukan hanya obrolan saja, tetapi menyimak pergulatan mereka berdua di rumahnya. Wuri bukan wanita polos, dia juga sudah pernah melakukan hubungan badan dengan suaminya, beberapa kali. Jadi dia sudah hafal desahan seperti itu adalah desahan yang menunjukkan rasa seperti apa.

Sakitnya tuh bukan lagi kek jatuh lalu ketimpa tangga. Melainkan terjungkal dan langsung masuk ke kandang beruang. Ya, langsung mati kalo Wuri nggak bisa bangkit dan menyelamatkan diri.

“Aku salah, sayang.” Aku Ifan, kedua matanya memerah dan berkaca. Menunjukkan jika dia telah menyesali perbuatannya. “Aku mohon maafkan aku. Aku janji aku akan berubah demi keutuhan pernikahan kita.” Ifan mengangkat tangan Wuri, mendaratkan kecupan di punggung tangan itu.

Wuri menarik tangan dari genggaman tangan Ifan, lalu mengambil tissu dan mengusap ingus serta kedua mata yang basah. “Memaafkan itu mudah, mas, tapi hatiku benar-benar sakit banget.” Suara Wuri menghilang karna tangis. “Mungkin jika kamu mengkhianatiku dengan wanita yang bukan saudara atau sahabatku, rasa sakitnya tak akan sesakit ini.”

Melihat tangis sakit dan kecewa istrinya, ada sudut hati yang teremas. Bulir penyesalan menetes begitu saja membasahi pipi putih Ifan. Dia bimbang, dia tak tega menyakiti Wuri sampai seperti ini. Ternyata dia juga sakit melihat Wuri sakit.

“Sayang, maafkan aku … aku akan melakukan apa pun agar kamu mau memaafkan aku dan memberi kesempatan untukku. Aku mencintaimu, Wur, sungguh ….” Mohon Ifan, memeluk kaki Wuri, menjatuhkan kepalanya di pangkuan Wuri.

Tangis Wuri makin tak terbendung. Dia benci, dia terluka, tetapi cinta itu ada. Sekarang semua rasa tertumpuk di dalam dada, menjadikannya sesak yang akhirnya keluar dengan isakan serta tangis yang menjadi. Tak ada kata yang terucap dari bibir Wuri, dia meluapkan semuanya dengan tangis.

**

Pukul 3.30am

Wuri mulai terjaga, kedua mata menyipit menatap jam bulat yang ada di atas nakas. Mendesah pelan saat tau di luar sana masih petang. Wuri menoleh ke samping, ada Ifan yang masih terlelap, meringkuk memeluk guling. Semalam memang Ifan memaksa ingin tidur satu ranjang dan berjanji tak akan mengganggu Wuri istirahat.

Wuri sendiri entah terlelap jam berapa. Yang pasti dia tidur karna lelah menangis. Tak sengaja tatapan Wuri menemukan ponsel yang berkedip di samping bantal Ifan. Pelan Wuri mengambil benda tipis itu, menatap layar yang memberi peringatan; alarm.

Untuk apa Ifan membuat alarm di jam-jam segini?

Wuri menggeser tombol, mematikan alarm itu. Tak berselang lama ada notifikasi chat yang masuk.

[biasanya udah setengah jam kamu ada di sini. Sepinya udah mulai terasa.]

Wuri meneguk ludah membaca chat yang masuk dari kontak yang dinamai ‘Surya’. Dia melirik suami yang tak berpindah posisi, menandakan jika suaminya ini masih tidur lelap. Jarinya menekan beberapa angka yang menjadi kunci di ponsel suami. Lalu layar itu terbuka ketika tanggal pernikahan mereka Wuri tulis di layar. Ya, Ifan memang susah ditebak.

Wuri membuka chat milik Surya itu. Tak ada chat lama, sepertinya Ifan sudah menghapus chat yang terdahulu. Kembali jari Wuri meng-klik profil surya. Dia mendesah panjang dengan air mata yang kembali menetes di kedua pipi.

Memang tak hanya sekali dia mendapati ranjang samping yang kosong saat dini hari begini. Semenjak Wina ada di rumah, Ifan juga jarang meminta haknya seperti sebelum-sebelumnya. Ternyata dia terlalu percaya, sampai tiga bulan pengkhianatan itu, ditunjukkan oleh Tuhan dengan cara yang nyata tanpa perlu dipertanyakan.

Wuri mengembalikan ponsel Ifan di tempat semula. Sakit di hatinya makin terasa perih saat mengamati wajah tampan suaminya. Ternyata benar kata orang bijak.

‘cari suami jangan yang tampan, banyak yang ngelirik. Tiap hari bikin kepikiran karna takut diembat pelakor.’

Kini semua jadi nyata. Dan ternyata pelakor itu adalah keluarganya sendiri.

‘Aku sudah memaafkanmu, mas. Aku juga sudah memaafkan adikku, tetapi untuk memberi kesempatan lagi, aku tidak sanggup. Cukup sekali aku sakit dikhianati, aku tak mau lagi jatuh dalam kandang yang sama.’ Batin Wuri berucap.

Dia beranjak setelah mengusap wajah yang basah. Mengambil handuk dan membawanya masuk ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamarnya. Semalam karna capek banget dan sedang ambyar, Wuri sampai nggak mandi. Jadilah pagi ini dia mandi walau masih petang.

Pukul 5.15am

Wuri sudah sibuk di dapur, membuat sarapan pagi seperti hari-hari biasanya. Dia berharap ini adalah hari terakhir dia berada di rumah ini, karna dia sudah akan mulai menempati kost-kost’an yang tak jauh dari pabrik tempatnya bekerja.

Tepat pukul enam pagi, Wuri sudah melingkarkan tas yang biasa dia bawa kerja. keluar kamar, mengambil tempat makan dan menyiapkan bekal yang akan menjadi makan siangnya nanti.

Kedua mata Wina melebar melihat Ifan yang baru keluar dari kamar dengan rambut basah, sama seperti Wuri yang juga rambutnya masih terlihat sedikit basah. Untuk pertama kalinya Wuri melihat gelagat marah dari wajah Wina.

Wuri tersenyum kecut. “Tenang, Win. Semalam aku dan mas Ifan nggak ngapa-ngapain. Kita tidak melakukan sunah Rasul walau semalam adalah malam jum’at. Mas Ifan sudah mendapatkan itu darimu. Jadi, kamu tenang saja.” Wuri melirik Ifan yang wajahnya terlihat canggung, malu dan … nggak suka sama apa yang keluar dari bibir Wuri. “Mulai malam itu, mas Ifan nggak akan menyentuhku. Aku kasih dia sepenuhnya sama kamu. Seperti katamu dulu, kakak harus ngalah sama adiknya.”

“Kak,” pekik Wina, tak suka dengan kata-kata Wuri yang seakan menjelekkannya.

“Aku udah masak nasi, kalau kamu mau sarapan, ada telur di kulkas. Oh iya, Mas, aku masih marah. Jadi … maaf, untuk pertama kalinya aku tidak menyiapkan sarapan dan bekal untukmu. Dan kuharap, ini juga terakhir kalinya.”

“Wuri!”

Tin! Tin!

“Wur, ayok!” teriakan Siti di depan gerbang rumah sana menginterupsi.

Wuri menghela nafas penuh kelegaan. “Aku nggak mau berdebat. Bisa minta tolong Wina untuk buatkan sarapan jika kamu nggak bisa, mas. Bukannya kamu juga sering minta jatah sama Wina, kan? Kurasa—”

“Aku nggak suka kamu bicara seperti itu, Wur!” Untuk pertama kalinya Ifan berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Tatapannya tajam dan … marah.

Wuri tak menunjukkan ketakutan sedikit pun. “Dan aku nggak suka dengan apa yang kalian berdua lakukan.”

“Wuri! Wuri!” teriak Ifan, berusaha menghentikan Wuri yang melangkah keluar dari rumah.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Ayang Ello 😉
dihh pen nampol dehh .........
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
jangan goyah lagi Wuri. tinggalkan mereka
goodnovel comment avatar
pipit Ayana
owalah wur nasibmu kog Yo Podo Karo tonggoku seng jenenge wur ... mak ane jenenge Wina , Bojone wur diembat Karo Wina mbok e wur ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status