Anggrek Wuriastuti, wanita berusia 23 tahun lebih beberapa bulan. Dia menikah diusia 21 tahun kurang beberapa bulan. Memilih lelaki bernama Ifan sebagai pendamping hidup, sandaran dan tumpuan hidupnya. Harapan seseorang saat menikah adalah bisa bersama selamanya, sampai menua, sampai hembusan nafas yang terakhir. Menapaki langkah menuju mimpi bersama dan bahagia bersama. Tidak pernah ada dalam bayangan Wuri tentang kesedihan, apa lagi pengkhianatan. Kedua orang tuanya adalah gambaran pasangan romantis dan bahagia. Jadi di dalam bayangan Wuri, sakit hati di dalam pernikahan itu sama sekali nggak ada.
Melihat suami memegang tangan wanita lain, atau melihat nota belanjaan suami yang membelikan hadiah mantan pacarnya. Cckk, itu sakitnya belum seberapa.
Wuri bahkan mendengar obrolan mesum suami dengan adik kandungnya. Adik kandung yang menjadi satu-satunya keluarga di dunia ini. Bukan hanya obrolan saja, tetapi menyimak pergulatan mereka berdua di rumahnya. Wuri bukan wanita polos, dia juga sudah pernah melakukan hubungan badan dengan suaminya, beberapa kali. Jadi dia sudah hafal desahan seperti itu adalah desahan yang menunjukkan rasa seperti apa.
Sakitnya tuh bukan lagi kek jatuh lalu ketimpa tangga. Melainkan terjungkal dan langsung masuk ke kandang beruang. Ya, langsung mati kalo Wuri nggak bisa bangkit dan menyelamatkan diri.
“Aku salah, sayang.” Aku Ifan, kedua matanya memerah dan berkaca. Menunjukkan jika dia telah menyesali perbuatannya. “Aku mohon maafkan aku. Aku janji aku akan berubah demi keutuhan pernikahan kita.” Ifan mengangkat tangan Wuri, mendaratkan kecupan di punggung tangan itu.
Wuri menarik tangan dari genggaman tangan Ifan, lalu mengambil tissu dan mengusap ingus serta kedua mata yang basah. “Memaafkan itu mudah, mas, tapi hatiku benar-benar sakit banget.” Suara Wuri menghilang karna tangis. “Mungkin jika kamu mengkhianatiku dengan wanita yang bukan saudara atau sahabatku, rasa sakitnya tak akan sesakit ini.”
Melihat tangis sakit dan kecewa istrinya, ada sudut hati yang teremas. Bulir penyesalan menetes begitu saja membasahi pipi putih Ifan. Dia bimbang, dia tak tega menyakiti Wuri sampai seperti ini. Ternyata dia juga sakit melihat Wuri sakit.
“Sayang, maafkan aku … aku akan melakukan apa pun agar kamu mau memaafkan aku dan memberi kesempatan untukku. Aku mencintaimu, Wur, sungguh ….” Mohon Ifan, memeluk kaki Wuri, menjatuhkan kepalanya di pangkuan Wuri.
Tangis Wuri makin tak terbendung. Dia benci, dia terluka, tetapi cinta itu ada. Sekarang semua rasa tertumpuk di dalam dada, menjadikannya sesak yang akhirnya keluar dengan isakan serta tangis yang menjadi. Tak ada kata yang terucap dari bibir Wuri, dia meluapkan semuanya dengan tangis.
**
Pukul 3.30am
Wuri mulai terjaga, kedua mata menyipit menatap jam bulat yang ada di atas nakas. Mendesah pelan saat tau di luar sana masih petang. Wuri menoleh ke samping, ada Ifan yang masih terlelap, meringkuk memeluk guling. Semalam memang Ifan memaksa ingin tidur satu ranjang dan berjanji tak akan mengganggu Wuri istirahat.
Wuri sendiri entah terlelap jam berapa. Yang pasti dia tidur karna lelah menangis. Tak sengaja tatapan Wuri menemukan ponsel yang berkedip di samping bantal Ifan. Pelan Wuri mengambil benda tipis itu, menatap layar yang memberi peringatan; alarm.
Untuk apa Ifan membuat alarm di jam-jam segini?
Wuri menggeser tombol, mematikan alarm itu. Tak berselang lama ada notifikasi chat yang masuk.
[biasanya udah setengah jam kamu ada di sini. Sepinya udah mulai terasa.]
Wuri meneguk ludah membaca chat yang masuk dari kontak yang dinamai ‘Surya’. Dia melirik suami yang tak berpindah posisi, menandakan jika suaminya ini masih tidur lelap. Jarinya menekan beberapa angka yang menjadi kunci di ponsel suami. Lalu layar itu terbuka ketika tanggal pernikahan mereka Wuri tulis di layar. Ya, Ifan memang susah ditebak.
Wuri membuka chat milik Surya itu. Tak ada chat lama, sepertinya Ifan sudah menghapus chat yang terdahulu. Kembali jari Wuri meng-klik profil surya. Dia mendesah panjang dengan air mata yang kembali menetes di kedua pipi.
Memang tak hanya sekali dia mendapati ranjang samping yang kosong saat dini hari begini. Semenjak Wina ada di rumah, Ifan juga jarang meminta haknya seperti sebelum-sebelumnya. Ternyata dia terlalu percaya, sampai tiga bulan pengkhianatan itu, ditunjukkan oleh Tuhan dengan cara yang nyata tanpa perlu dipertanyakan.
Wuri mengembalikan ponsel Ifan di tempat semula. Sakit di hatinya makin terasa perih saat mengamati wajah tampan suaminya. Ternyata benar kata orang bijak.
‘cari suami jangan yang tampan, banyak yang ngelirik. Tiap hari bikin kepikiran karna takut diembat pelakor.’
Kini semua jadi nyata. Dan ternyata pelakor itu adalah keluarganya sendiri.
‘Aku sudah memaafkanmu, mas. Aku juga sudah memaafkan adikku, tetapi untuk memberi kesempatan lagi, aku tidak sanggup. Cukup sekali aku sakit dikhianati, aku tak mau lagi jatuh dalam kandang yang sama.’ Batin Wuri berucap.
Dia beranjak setelah mengusap wajah yang basah. Mengambil handuk dan membawanya masuk ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamarnya. Semalam karna capek banget dan sedang ambyar, Wuri sampai nggak mandi. Jadilah pagi ini dia mandi walau masih petang.
Pukul 5.15am
Wuri sudah sibuk di dapur, membuat sarapan pagi seperti hari-hari biasanya. Dia berharap ini adalah hari terakhir dia berada di rumah ini, karna dia sudah akan mulai menempati kost-kost’an yang tak jauh dari pabrik tempatnya bekerja.
Tepat pukul enam pagi, Wuri sudah melingkarkan tas yang biasa dia bawa kerja. keluar kamar, mengambil tempat makan dan menyiapkan bekal yang akan menjadi makan siangnya nanti.
Kedua mata Wina melebar melihat Ifan yang baru keluar dari kamar dengan rambut basah, sama seperti Wuri yang juga rambutnya masih terlihat sedikit basah. Untuk pertama kalinya Wuri melihat gelagat marah dari wajah Wina.
Wuri tersenyum kecut. “Tenang, Win. Semalam aku dan mas Ifan nggak ngapa-ngapain. Kita tidak melakukan sunah Rasul walau semalam adalah malam jum’at. Mas Ifan sudah mendapatkan itu darimu. Jadi, kamu tenang saja.” Wuri melirik Ifan yang wajahnya terlihat canggung, malu dan … nggak suka sama apa yang keluar dari bibir Wuri. “Mulai malam itu, mas Ifan nggak akan menyentuhku. Aku kasih dia sepenuhnya sama kamu. Seperti katamu dulu, kakak harus ngalah sama adiknya.”
“Kak,” pekik Wina, tak suka dengan kata-kata Wuri yang seakan menjelekkannya.
“Aku udah masak nasi, kalau kamu mau sarapan, ada telur di kulkas. Oh iya, Mas, aku masih marah. Jadi … maaf, untuk pertama kalinya aku tidak menyiapkan sarapan dan bekal untukmu. Dan kuharap, ini juga terakhir kalinya.”
“Wuri!”
Tin! Tin!
“Wur, ayok!” teriakan Siti di depan gerbang rumah sana menginterupsi.
Wuri menghela nafas penuh kelegaan. “Aku nggak mau berdebat. Bisa minta tolong Wina untuk buatkan sarapan jika kamu nggak bisa, mas. Bukannya kamu juga sering minta jatah sama Wina, kan? Kurasa—”
“Aku nggak suka kamu bicara seperti itu, Wur!” Untuk pertama kalinya Ifan berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Tatapannya tajam dan … marah.
Wuri tak menunjukkan ketakutan sedikit pun. “Dan aku nggak suka dengan apa yang kalian berdua lakukan.”
“Wuri! Wuri!” teriak Ifan, berusaha menghentikan Wuri yang melangkah keluar dari rumah.
“Kost’annya ternyata udah penuh, Wur. Dua kamar itu udah di De-Pe sama orang. Mereka mulai nempati tiga hri lagi.” Dara menjelaskan hal yang sama seperti chat yang tadi pagi ia kirim ke nomor Wuri, Cuma emang belum dibaca sama yang punya nomor. Bibir Wuri melengkung ke bawah, patah harapan pastinya. Padahal udah sangat berharap kalau malam nanti dia bisa tidur di kost biar nggak liat muka suami dan adiknya. “Kenapa mau kost? Rumahmu jaraknya nggak begitu jauh.” Hani, teman yang ada dalam satu line ikut menimbrung. Siti yang juga nggak tau masalahnya, memilih diam. Dari teriakan suami Wuri pas dia menghampiri tadi, sudah cukup menunjukkan jika rumah tangga Wuri enggak baik-baik saja. “Uumm, nggak apa-apa sih. Lagi capek motoran aja. Pen yang praktis gitu, jalan kaki aja ke pabriknya.” Wuri nyengir, menunjukkan ke teman-temannya jika dia baik-baik saja. Semua mulai sibuk membersihkan mesin jahit dengan obrolan-obrolan ringan. Wuri sedikit mendekatkan tubuh ke Dara yang duduk tepat d
Wuri menghela nafas begitu motornya berhenti di halaman rumah. Tatapannya langsung tertuju ke arah garasi yang sudah pasti ada mobil dan motor milik dua orang keluarga yang menghuni rumah ini. Belum melihat wajah kedua orang di dalam sana, tapi keadaan dalam dada sana sudah seperti teremas. Sungguh, sakitnya seperti tak bisa hilang. “Wur, dari siang aku chat kamu, tapi nggak kamu baca.” Di ambang pintu sana Ifan muncul dan menyambut Wuri dengan sebuah curhatan. Wuri tak mengatakan apa pun. Dia melangkah masuk setelah Ifan memberinya jalan. Sempat saling beradu pandang dengan Wina, tapi hanya sebentar karna Wuri segera mengalihkan tatapan. Bayangan kejadian kemarin itu benar-benar nggak bisa hilang dari kepala Wuri. Bisa saja kan, mereka berdua tadi juga melakukan itu saat Wuri belum pulang. Aah, sudah lah, memang pilihan terbaik adalah mengalah saja. Toh, lelaki nggak Cuma Ifan saja. Ifan mengulurkan amplop cokelat ke Wuri. “Uang bulanannya.” “Enam ratus ribu, kan, mas?” tebak Wuri
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut suami, Wuri mengepalkan tangan. Dia sampai membuka sedikit mulut untuk meredamkan rasa sesak di dada yang seperti akan membunuhnya.Andai saja Ifan berselingkuh bukan dengan keluarganya, bukan dengan satu-satunya orang yang dia pedulikan sejak dulu, Wuri akan membuat perhitungan. Mungkin dia sudah memukul, menjambak, memaki dan menyebarkan aib ini agar semua orang tau jika dia sedang terluka, dia dikhianati. Namun, dia memikirkan Wina, keluarganya, adik kandungnya. Aib Wina, sama saja juga aibnya.Wuri meneguk ludah lebih dulu, lalu menatap Ifan dan Wina yang menunggu kata darinya. “Memiliki dua istri itu enggak mudah. Jika menurutmu kamu sudah adil, tetapi tidak bagi kedua istrimu. Tetap saja akan melukai hati keduanya. Lalu kamu semakin berdosa karna tidak adil dalam hal apa pun.”“Aku yakin, Wur, pasti aku bisa adil untuk kamu dan Wina. Aku janji.” Ifan berucap dengan lantang, sangat meyakinkan.Wuri sampai beringsut untuk bisa melihat wajah
Wuri menghentikan motor di garasi tempat kostnya. Turun menjinjing tas besar tanpa melepaskan helm. Sempat mengulas senyum saat melewati kamar seorang wanita yang sedang duduk di ambang pintu, lagi ngobrol sama kamar sebelahnya yang jemur baju.“Pake kamar pojok, mbak?” tanya si embak yang berambut sebahu.Wuri mengangguk. “Iya, mbak. Nomor 15.”“Wahh, penuh juga akhirnya kost sini. Semoga betah, mbak. Bu Mah baik kok.” Embak yang lagi jemur baju menyahuti.“Aamiin, semoga.” Wuri mengulurkan tangan. “Aku Wuri, mbak.”“Rika.” Yang lagi jemur baju menjabat tangan Wuri.“Aku Erna. Kamu … uumm, kuliah atau kerja?” tanya wanita berambut sebahu ini yang ternyata bernama Erna.“Aku kerja di pabrik garmen.”“Pabrik garmen yang di sesudah lampu merah itu?” tanya Rika, memastikan.Wuri mengangguk saja, masih dengan bibir yang setia tersenyum.“Ambil kostnya kok jauh?” kembali Rika yang terlihat antusias.“Yang dekat udah penuh sih, mbak. Ada yang kosong, tapi nggak cocok lah sama harganya. Lebi
isinya cuma ada Ifan sama Wina yah.**“Gimana, Mas, diangkat nggak sama mbak Kak Wuri?” tanya Wina yang punggungnya menyadar di sandaran ranjang.Ifan menghela nafas, lalu menggelengkan kepala sembari menarik ponsel dari kuping. Jarinya menekan lagi tanda telpon di pojok bagian atas, lalu kembali pula dia menempelkannya ke kuping.“Assh!” Ifan mendesah kesal ketika nomor Wuri tak lagi bisa dihubungi.“Sudah lah, Mas. Aku yakin kak Wuri baik-baik saja.” suara Wina terdengar begitu tenang, lebih tepatnya sih nggak peduli. “Mas, perutku nggak enak banget lho rasanya,” rengek Wina untuk yang kesekian kali.“Mas, iihh, malah diem aja!” Wina memukul punggung Ifan.Ifan jadi mendesah, menoleh menatap wanita berstatus adik iparnya. “Kenapa sih, Win. Aku lagi pusing mikirin Wuri. Dia pergi dari rumah lho, sekarang dia ada di mana coba? Kamu nggak ada simpati-simpatinya sama kakak sendiri? Padahal dia sudah menghidupi kamu sejak ornag tua kalian nggak ada lho. Aneh kamu ini.”Kedua mata Wina j
Wuri keluar dari kamar kost sudah rapi dengan seragam baju pabrik yang trlapisi jaket. Sengaja banget berangkat agak awal karna mau nyari sarapan di pinggir jalan.“Lailahailallah!” seru Wuri saat hampir menabrak Taka yang baru keluar dari kamar sebelahnya. Dia melirik Taka yang terlihat santai banget dengan tangan mengusap dada.Taka mengedipkan satu mata dengan tangan yang mengcak rambut. Cipratan air dari rambutnya yang sedikit panjang membuat kesan berbeda. Kulit putih, wajahnya pun nggak jelek, malah bisa dibilang cukup tampan untuk menjadi gandengan. Cckk, kalau di Wuri yang selingkuhan. Kan si Wuri statusnya istri orang.Wuri mencibir, tak mempedulikan itu, dia menuju ke arah tangga dengan satu tangan yang menenteng helm.“Mbak, ntar nggak usah lembur ya,” pinta taka, tangannya menyampirkan handuk basah ke jemuran yang ada di batas balkon.Wuri tak membalas, hanya berdecak dan memilih melanjutkan menuruni anak tangga.“Ntar malam kencan sama gue, mbak.” Bisik Taka, mengejar lan
“Wuri, Wur, Wuri,” panggil Ifan, tangannya memutar handle pintu yang sudah tertutup. “Wur, buka pintunya. Pembicaraan kita belum selesai. Wuri!”Ceklek!Di kamar sebelah, tepatnye di kamar milik Taka. Pintunya terbuka dari dalam, dibuka cukup lebar. Cowok berambut pirang itu mendudukkan pantat di ambang pintu dengan satu kaki yang ada di luar. Satu tangannya menghidupkan korek dan membakar rokok yang terselip di bibir. Sempat melirik Ifan sebentar dan setelahnya memilih menatap ponsel dan mulai main game.Ifan mendengus melihat Taka di tempat yang mungkin hanya berjarak satu meter dengannya. Mau teriak manggil istrinya atau mau ngomongin masalah mereka, Ifan jadi nggak enak.“Wuri, besok pagi aku ke sini lagi,” putus Ifan, lalu melangkah melewati Taka yang terlihat tak terganggu.“Yeah! Kalah kan lo!”Ifan menoleh saat mendengar ledekan itu, hanya bisa menahan rasa kesalnya karna Taka terlihat fokus memainkan game. Ya, mungkin lagi ngeledekin lawan main gamenya, kan?Ifan melanjutkan
Pukul 6.10am Wuri menatap pantulannya di kaca persegi panjang yang memang menempel di tembok samping pintu. Lalu tangannya sibuk mengikar rambutnya di belakang dengan rapi. Mengambil parfum yang harganya murah, belinya pun milih pas ada diskon. Wuri keluar kamar setelah parfum itu dia semprotkan ke baju seragamnya. “Mbak, pinjem hape bentar. Mau bales chat temen, penting banget, tapi kuotak gue habis. Gue juga nggak ada pulsa.” Baru aja satu kaki melangkah keluar kamar, Wuri sudah disambut dengan curhatan Taka. Dengan berat hati dia membuka tas dan menyerahkan barang tipis itu. Membiarkan saja Taka mengusap-usap layar ponselnya, dia memilih menutup pintu dan menguncinya. “Ntar pulang jam berapa, mbak?” tanya Taka, mengembalikan ponsel Wuri. Wuri menerima ponselnya, menggelengkan kepala karna dia juga nggak tau akan pulang jam berapa. Tanpa kata dia beranjak, ngeloyor menuju tangga dan menuruni anak tangga. Ddrrt …. Wuri menatap ponsel di dalam genggaman, ada chat yang masuk. Jar