Share

Awal Malam di Tebing Ngarai

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-26 15:00:42

“Dia tidak akan berlari jauh,” ujar sang wanita kepada Darna Dalun. “Tidak dengan kakinya yang terluka.”

“Kau memang tidak punya hati,” sahut Darna seraya menyeringai.

Wanita itu mendengus. “Lihat siapa yang bicara! Kau percaya itu, Rumada?”

“Dia hanya menginginkan tanda khusus itu, Daro.”

“Kau dengar itu?” Darna terkekeh.

“Yang benar saja!” Daro mendengus lebih kecang. “Kau benar-benar terlalu lurus, Rumada, atau kau memang bodoh untuk menyadari?!”

“Jaga ucapanmu, Daro!” Rumada menggeram. Dua bilah goloknya itu kembali ia sarungkan ke belakang punggungnya.

“Kau bahkan mengancamku,” sahut Daro. “Apa kau tidak paham juga?”

“Apa yang harus aku pahami?”

“Angku Mudo hanya ingin bersenang-senang dengan istri Sialang Babega itu. Kau tidak bisa melihat ini, hemm?”

Rumada melirik kepada Darna Dalun yang melangkah di hadapan mereka berdua.

Pria muda itu hanya tertawa-tawa halus saja menanggapi tuduhan dari wanita di belakangnya.

***

Deru napas terengah-engah milik seorang wanita terdengar di dalam hutan di sisi barat. Walau dalam keadaan hamil besar—sekitar delapan bulan—wanita itu terus berlari kencang sembari menuntun tangan seorang bocah laki-laki sepantaran tujuh tahun.

“Ibu, aku lelah…” gerutu sang bocah dengan bulir-bulir keringat menuruni sisi wajahnya. Ia merasa kakinya tak lagi kuat untuk meneruskan langkahnya, dan napasnya begitu sesak.

Mendengar ucapan putranya, wanita tersebut segera menoleh. “Teruslah berlari, Buyung! Jangan berhenti!”

“Sampai kapan kita harus berlari, Bu?” tanya sang bocah.

Wanita itu terdiam, tidak menjawab pertanyaan sang anak. Namun ia menjerit di dalam hatinya, ‘Sampai kapan kiranya, Suamiku?’ Air mata menuruni wajahnya. ‘Sialang, aku mohon… tetaplah hidup.’

Ya, wanita itu tak lain adalah Zuraya—27 tahun, istri dari Sialang Babega. Dan bocah itu, Buyung Kacinduaan[1].

Kelebatan semak belukar tidak menghalangi langkah Zuraya untuk terus berlari di antara kerapatan pohon-pohon di dalam hutan. Meski napas tersengal-sengal, meski jantung dan paru-paru terasa dingin seolah akan membeku lalu pecah berderai, wanita itu terus saja berlari menuntun tangan sang anak.

Tiba-tiba, langkah Zuraya berhenti. “Ah…”

Di hadapan pasangan ibu-anak itu terhampar lembah dalam dan sangat lebar. Senja yang semakin tenggelam di langit barat serta keheningan yang menyelimuti tempat itu jelas menyimpan ancaman mematikan.

Ekspresi Zuraya berubah masam. “Ngarai Sianok…” desisnya, sadar bahwa alih-alih membawa dirinya ke jalan keluar, kaki telah mengantarnya ke jalan buntu.

Zuraya menoleh ke belakang. Kelebatan hutan serta langit yang sudah mulai gelap mengurangi daya pandang wanita hamil tersebut. Sementara bocah laki-laki itu tersengal-sengal dengan wajah yang pucat.

“Ke—kenapa ayah tidak menyusul kita, Bu?”

Zuraya meringis, ia merasakan kakinya yang terluka parah itu sudah tidak mampu lagi untuk sekadar melangkah. Ia jatuh berlutut di hadapan sang anak.

“Buyung,” ujar Zuraya seraya menangkup pipi sang anak. “Dengarkan Ibu, Nak,” lalu, Zuraya mengeluarkan sebuah pecahan tembikar seukuran setengah jengkal tangan dari balik pakaiannya.

“Bu…” Buyung Kacinduaan mulai menangis, ia semakin ketakutan.

“Buyung, Sayang,” Zuraya memeluk sang anak, mengecup keningnya dengan begitu dalam sementara air mata masih meleleh dari pelupuknya. “Pegang ini, Nak. Simpan benda ini selalu bersamamu, ke mana pun kau pergi.”

“Tapi aku tidak ingin pergi, Bu,” sang anak memeluk sang ibu. “Aku tidak ingin meninggalkan Ibu. A—ayah pasti datang. Ayah pasti datang, Bu. Ki—kita tunggu saja ayah, Bu. Kumohon…”

Zuraya tidak dapat menahan suara tangisnya sendiri, ia memeluk sang anak dengan sangat erat. Meskipun, pada saat itu, ia juga merasakan perutnya melilit sebab memaksakan diri untuk berlari dalam waktu yang lama sementara dia sedang hamil besar.

Dengan sangat berat hati, Zuraya memaksakan pecahan tembikar itu ke tangan sang anak. Seakan ia menyadari bahwa mereka tidak punya waktu yang banyak, Zuraya pun melepas kain sarung yang melilit pinggangnya.

Wanita hamil itu merobek di bagian jahitan sarung tersebut, lalu membagi lagi kain sarung itu menjadi empat bagian. Kemudian, setiap ujung-ujung kain diikatkan satu sama lain, hingga kini menjadi seperti seutas tali yang panjang.

Buyung masih saja menangis, meski tangisan bocah itu tanpa suara. Hanya air matanya saja yang meleleh menganak sungai.

“Dengar, Buyung,” ujar Zuraya sembari menyentuh kedua bahu sang anak. “Di bawah dinding ngarai ini ada banyak celah, Ibu akan menurunkanmu dengan tali ini.”

“Aku tidak mau pergi, Bu,” rengek sang bocah. “Kumohon, kita tunggu saja ayah datang. Ayah pasti datang, Bu.”

Zuraya harus menekan perasaan sesak di dalam dadanya sendiri, kembali ia menarik sang anak ke dalam pelukannya. Ia menciumi sang anak berkali-kali, mengusap-usap kepala dan punggungnya.

“Simpan benda itu, Nak,” ujar Zuraya kemudian. “Jika nanti kau bertemu dengan orang-orang dari Kerajaan Minanga, berikan benda itu kepada mereka dan sebutkan nama ayahmu. Mereka pasti akan melindungimu.”

Lalu, Zuraya membawa sang anak semakin mendekati tebing ngarai. Angin awal malam yang dingin berembus menerpa tubuh mereka. Deru angin itu semakin membuat Buyung Kacinduaan menjadi ketakutan.

Gelap, tidak ada yang bisa mereka lihat di bawah sana kecuali kepak sayap kelelawar atau burung malam yang sesekali terdengar.

CATATAN ...

[1] Secara harfiah bermakna; anak laki-laki yang menyenangkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Minang KW
Terima kasih ^^
goodnovel comment avatar
irwin rogate
mantap kehidupan itu
goodnovel comment avatar
Minang KW
terima kasih ^^
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status