“Dia tidak akan berlari jauh,” ujar sang wanita kepada Darna Dalun. “Tidak dengan kakinya yang terluka.”
“Kau memang tidak punya hati,” sahut Darna seraya menyeringai.
Wanita itu mendengus. “Lihat siapa yang bicara! Kau percaya itu, Rumada?”
“Dia hanya menginginkan tanda khusus itu, Daro.”
“Kau dengar itu?” Darna terkekeh.
“Yang benar saja!” Daro mendengus lebih kecang. “Kau benar-benar terlalu lurus, Rumada, atau kau memang bodoh untuk menyadari?!”
“Jaga ucapanmu, Daro!” Rumada menggeram. Dua bilah goloknya itu kembali ia sarungkan ke belakang punggungnya.
“Kau bahkan mengancamku,” sahut Daro. “Apa kau tidak paham juga?”
“Apa yang harus aku pahami?”
“Angku Mudo hanya ingin bersenang-senang dengan istri Sialang Babega itu. Kau tidak bisa melihat ini, hemm?”
Rumada melirik kepada Darna Dalun yang melangkah di hadapan mereka berdua.
Pria muda itu hanya tertawa-tawa halus saja menanggapi tuduhan dari wanita di belakangnya.
***
Deru napas terengah-engah milik seorang wanita terdengar di dalam hutan di sisi barat. Walau dalam keadaan hamil besar—sekitar delapan bulan—wanita itu terus berlari kencang sembari menuntun tangan seorang bocah laki-laki sepantaran tujuh tahun.
“Ibu, aku lelah…” gerutu sang bocah dengan bulir-bulir keringat menuruni sisi wajahnya. Ia merasa kakinya tak lagi kuat untuk meneruskan langkahnya, dan napasnya begitu sesak.
Mendengar ucapan putranya, wanita tersebut segera menoleh. “Teruslah berlari, Buyung! Jangan berhenti!”
“Sampai kapan kita harus berlari, Bu?” tanya sang bocah.
Wanita itu terdiam, tidak menjawab pertanyaan sang anak. Namun ia menjerit di dalam hatinya, ‘Sampai kapan kiranya, Suamiku?’ Air mata menuruni wajahnya. ‘Sialang, aku mohon… tetaplah hidup.’
Ya, wanita itu tak lain adalah Zuraya—27 tahun, istri dari Sialang Babega. Dan bocah itu, Buyung Kacinduaan[1].
Kelebatan semak belukar tidak menghalangi langkah Zuraya untuk terus berlari di antara kerapatan pohon-pohon di dalam hutan. Meski napas tersengal-sengal, meski jantung dan paru-paru terasa dingin seolah akan membeku lalu pecah berderai, wanita itu terus saja berlari menuntun tangan sang anak.
Tiba-tiba, langkah Zuraya berhenti. “Ah…”
Di hadapan pasangan ibu-anak itu terhampar lembah dalam dan sangat lebar. Senja yang semakin tenggelam di langit barat serta keheningan yang menyelimuti tempat itu jelas menyimpan ancaman mematikan.
Ekspresi Zuraya berubah masam. “Ngarai Sianok…” desisnya, sadar bahwa alih-alih membawa dirinya ke jalan keluar, kaki telah mengantarnya ke jalan buntu.
Zuraya menoleh ke belakang. Kelebatan hutan serta langit yang sudah mulai gelap mengurangi daya pandang wanita hamil tersebut. Sementara bocah laki-laki itu tersengal-sengal dengan wajah yang pucat.
“Ke—kenapa ayah tidak menyusul kita, Bu?”
Zuraya meringis, ia merasakan kakinya yang terluka parah itu sudah tidak mampu lagi untuk sekadar melangkah. Ia jatuh berlutut di hadapan sang anak.
“Buyung,” ujar Zuraya seraya menangkup pipi sang anak. “Dengarkan Ibu, Nak,” lalu, Zuraya mengeluarkan sebuah pecahan tembikar seukuran setengah jengkal tangan dari balik pakaiannya.
“Bu…” Buyung Kacinduaan mulai menangis, ia semakin ketakutan.
“Buyung, Sayang,” Zuraya memeluk sang anak, mengecup keningnya dengan begitu dalam sementara air mata masih meleleh dari pelupuknya. “Pegang ini, Nak. Simpan benda ini selalu bersamamu, ke mana pun kau pergi.”
“Tapi aku tidak ingin pergi, Bu,” sang anak memeluk sang ibu. “Aku tidak ingin meninggalkan Ibu. A—ayah pasti datang. Ayah pasti datang, Bu. Ki—kita tunggu saja ayah, Bu. Kumohon…”
Zuraya tidak dapat menahan suara tangisnya sendiri, ia memeluk sang anak dengan sangat erat. Meskipun, pada saat itu, ia juga merasakan perutnya melilit sebab memaksakan diri untuk berlari dalam waktu yang lama sementara dia sedang hamil besar.
Dengan sangat berat hati, Zuraya memaksakan pecahan tembikar itu ke tangan sang anak. Seakan ia menyadari bahwa mereka tidak punya waktu yang banyak, Zuraya pun melepas kain sarung yang melilit pinggangnya.
Wanita hamil itu merobek di bagian jahitan sarung tersebut, lalu membagi lagi kain sarung itu menjadi empat bagian. Kemudian, setiap ujung-ujung kain diikatkan satu sama lain, hingga kini menjadi seperti seutas tali yang panjang.
Buyung masih saja menangis, meski tangisan bocah itu tanpa suara. Hanya air matanya saja yang meleleh menganak sungai.
“Dengar, Buyung,” ujar Zuraya sembari menyentuh kedua bahu sang anak. “Di bawah dinding ngarai ini ada banyak celah, Ibu akan menurunkanmu dengan tali ini.”
“Aku tidak mau pergi, Bu,” rengek sang bocah. “Kumohon, kita tunggu saja ayah datang. Ayah pasti datang, Bu.”
Zuraya harus menekan perasaan sesak di dalam dadanya sendiri, kembali ia menarik sang anak ke dalam pelukannya. Ia menciumi sang anak berkali-kali, mengusap-usap kepala dan punggungnya.
“Simpan benda itu, Nak,” ujar Zuraya kemudian. “Jika nanti kau bertemu dengan orang-orang dari Kerajaan Minanga, berikan benda itu kepada mereka dan sebutkan nama ayahmu. Mereka pasti akan melindungimu.”
Lalu, Zuraya membawa sang anak semakin mendekati tebing ngarai. Angin awal malam yang dingin berembus menerpa tubuh mereka. Deru angin itu semakin membuat Buyung Kacinduaan menjadi ketakutan.
Gelap, tidak ada yang bisa mereka lihat di bawah sana kecuali kepak sayap kelelawar atau burung malam yang sesekali terdengar.
CATATAN ...
[1] Secara harfiah bermakna; anak laki-laki yang menyenangkan.
“Bu, kumohon… jangan mengusirku!”Sekali lagi Zuraya memeluk sang anak, mengecup lagi keningnya dengan sangat dalam. Dan kemudian, ia mengikatkan satu ujung tali dari robekan kain sarung itu ke pinggang sang anak.Bocah laki-laki tujuh tahun itu tidak mengenakan baju, hanya celana komprang[1] berwarna hitam itu saja yang ia pakai.Meski Buyung Kacinduaan menangis dan menolak, namun sang ibu tetap mengikatkan tali tersebut ke pinggang sang anak.Setelah itu, dengan hati yang begitu masygul, Zuraya menurunkan sang anak dengan memegang kuat-kuat tali tersebut.“Turunlah, Sayang,” ujar Zuraya. “Ibu akan memegangi tali ini. Turun dengan hati-hati.”Meski menangis, sang bocah pada akhirnya mengikuti arahan sang ibu. Ia turun perlahan-lahan sembari berpegangan dengan tali dari kain sarung itu.Zuraya tahu pasti, panjang tali dari empat robekan kain sarungnya itu tidak akan mencapai dasar
“Percuma saja kau melarikan diri, Zuraya,” ujar Darna Dalun, dan kemudian ia berhenti sekitar lima langkah dari Zuraya. “Kalau hanya akan tertangkap juga pada akhirnya.”Zuraya tidak membalas ucapan pria muda itu yang bahkan lebih muda dari dirinya sendiri, namun sangat jelas di mata Zuraya bahwa Darna mungkin akan melakukan sesuatu yang kurang ajar kepadanya.Itu terlihat jelas dari raut wajah, tatapan dan seringai Angku Mudo tersebut. Meski kondisi sekitar sudah mulai gelap, namun Zuraya tidak buta untuk tidak menyadari hal tersebut.Sebenarnya, ini juga disebabkan Zuraya yang memiliki paras jelita yang membuat setiap laki-laki yang memandangnya langsung jatuh hati meskipun ia sedang hamil sekalipun.Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan kesenangan semudah itu, Darna.Utang darah dibayar darah, utang nyawa dibayar nyawa!Perlahan-lahan, Zuraya mengeluarkan sebuah benda berkilat dari balik pinggangnya. Sebuah senja
Zuraya masih melakukan perlawanan terhadap Angku Mudo Bakaluang Perak meski dengan hanya mengandalkan satu tangan kirinya saja sebab tangan kanannya tidak lagi bisa ia gerakkan. Tangan itu terkilir saat dipelintir oleh Angku Mudo tadi.Tapi, tentu saja, pukulan lemah dan tanpa keahlian apa-apa itu tidak berarti banyak bagi Angku Mudo sama sekali.Luka di bahu dan dada pria muda itu tidak ia pedulikan sama sekali meski darah sudah mengalir dari luka itu sendiri.Pukulan-pukulan lemah dari tangan Zuraya pun hanya semakin membuat Angku Mudo bernafsu. Dan ya, dua kali gerakan saja, maka pakaian Zuraya robek-robek tidak keruan.“Iblis…!” teriak Zuraya. “Terkutuk kau, Darna!”Angku Mudo menyeringai. “Mungkin kau benar, aku adalah seorang iblis. Tapi itu tidak masalah.”Sementara itu, Buyung Kacinduaan yang duduk memeluk lutut di dalam goa kecil di tebing tersebut mendengar jeritan-jeritan dari ibunya.
“Daro,” lagi-lagi Rumada menyentuh bahu wanita tersebut demi menenangkannya. “Sudahlah, jangan terlalu keras kepadanya.”“Kau juga sama, Rumada!” karena semakin merasa kesal, Daro pun memutar langkah dan berlalu dari tepi tebing tersebut, masuk kembali ke dalam hutan.Rumada mendesah panjang menatap kepergian Daro sembari bertolak pinggang, dan kemudian kepalanya tertunduk.“Sudahlah,” ujar Angku Mudo dan berhenti sejenak di samping Rumada. “Perempuan memang susah untuk dipahami. Lebih baik, sekarang kita tinggalkan saja tempat ini atau istrimu itu akan semakin mengamuk.”Rumada menyeringai. Dan seperti sebelumnya, sekali mereka begerak, tubuh keduanya langsung menghilang di dalam kelebatan hutan.Kembali kepada Buyung Kacinduaan yang meringkuk di dalam cekungan di dinding ngarai.Meski bocah tujuh tahun itu tidak lagi mendengar suara seseorang dari atas tebing sana, namun tidak sed
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.“Ibu…!”Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.“Ibu, tunggu aku, Bu…”Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lemb
“Dewa…!” Buyung menjerit ke langit tinggi. “Ibu…” dan lantas tertunduk dengan air mata berderai jatuh ke bumi. “Ma—maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menemukanmu. Maafkan aku, Bu…!”Bagaimanapun, ia tahu ia tidak akan lagi bertemu dengan ibunya. Ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dan tangis menggelegar itu adalah bentuk pelampiasan dari itu semua. Raungan panjang yang merobek keheningan malam buta di dasar lembah Ngarai Sianok.Setelah tangis itu mereda, sang bocah perlahan-lahan kembali bangkit dan melanjutkan langkahnya menuju selatan.Jauh melangkah di antara bebatuan yang ada di tepian sungai, terkadang tidak sengaja ia menginjak sisi tajam dari batu-batu yang pecah dan terpaksa ia berguling lagi demi menahan rasa sakit di telapak kakinya.Sampai pada satu titik, titik di dasar lembah yang begitu rimbun dengan begitu banyaknya bayangan hitam dari lebatnya pepohonan, Buyung Kacinduaan meliha
Sang harimau menggeser posisi sang bocah yang tertelungkup di telapak kakinya. Sedikit salah perhitungan saja, maka, kuku-kuku harimau yang melengkung tajam itu pasti sudah menembus dada dan perut Buyung Kacinduaan. Setelah memposisikan tubuh sang bocah sedemikian rupa, sang harimau besar kembali melanjutkan menyantap kijang yang telah ia tangkap sebelumnya itu. Sesekali, harimau itu melirik ke arah sang bocah yang pingsan di sampingnya. Merasa kenyang, sang harimau bangkit, lalu meninggalkan kijang yang telah tinggal setengah itu, meninggalkan sang bocah begitu saja. Sang harimau menuju tepian sungai dangkal. Di tepian itu, binatang buas tersebut minum dengan sorot matanya yang liar pertanda ia sedang siaga kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saja membahayakannya yang sedang bersembunyi di satu tempat di tengah kegelapan. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa di sekitar sana. Sang harimau mengibas-ngibaskan kepala dan lehernya sedemikian rupa. Seolah-olah
Plekh! Gerakan tangan Sutan Kobeh kali ini justru sengaja ditahan oleh Darna Dalun. Pemuda itu dengan cepat telah berhasil menangkap pergelangan tangan sang ayah sebelum tangan itu untuk kedua kalinya mendarat ke pipinya, pipi yang masih terasa perih dan dengan telinga yang berdenging. “Kau berani melawanku, Darna!” hardik Sutan Kobeh yang semakin larut dalam kemarahannya terhadap sang anak. “Ayah, tolong,” ujar Darna Dalun sembari melepaskan pegangannya pada tangan sang ayah. “Dengarkan aku untuk sekali ini saja.” Sutan Kobeh membanting tangannya itu, memukul udara kosong, sekencang mungkin, demi melampiaskan kemarahannya. Darna Dalun menghela napas lega. Paling tidak, ia merasa sang ayah sudah lebih bisa diajak bicara. Atau pula, sang ayah telah menyadari bahwa sesungguhnya, tenaga dalam yang dimiliki Darna Dalun justru telah menyamai tingkat tenaga dalam sang ayah sendiri. Sang pemuda menyembunyikan seringainya. “Tiga purnam