Share

Sembunyilah Sembunyi

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2021-11-26 15:16:18

“Bu, kumohon… jangan mengusirku!”

Sekali lagi Zuraya memeluk sang anak, mengecup lagi keningnya dengan sangat dalam. Dan kemudian, ia mengikatkan satu ujung tali dari robekan kain sarung itu ke pinggang sang anak.

Bocah laki-laki tujuh tahun itu tidak mengenakan baju, hanya celana komprang[1] berwarna hitam itu saja yang ia pakai.

Meski Buyung Kacinduaan menangis dan menolak, namun sang ibu tetap mengikatkan tali tersebut ke pinggang sang anak.

Setelah itu, dengan hati yang begitu masygul, Zuraya menurunkan sang anak dengan memegang kuat-kuat tali tersebut.

“Turunlah, Sayang,” ujar Zuraya. “Ibu akan memegangi tali ini. Turun dengan hati-hati.”

Meski menangis, sang bocah pada akhirnya mengikuti arahan sang ibu. Ia turun perlahan-lahan sembari berpegangan dengan tali dari kain sarung itu.

Zuraya tahu pasti, panjang tali dari empat robekan kain sarungnya itu tidak akan mencapai dasar lembah. Setengah ketinggian tebing itu saja tidak. Tapi ia cukup tahu, bagian tebing tersebut memiliki banyak rekahan di sisi dindingnya yang bisa dijadikan tempat bersembunyi, terutama untuk ukuran anak kecil seperti anaknya itu sendiri.

Dengan kecemasan yang luar biasa, Zuraya terus menurunkan sang anak, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada seorang pun yang melihat apa yang sedang mereka lakukan.

Dan sampailah Zuraya pada ujung tali itu. Sejenak, ia memandangi sang anak dengan tatapan yang begitu sayu. Ia tersenyum.

“Ingatlah, Buyung,” ujarnya. “Apa pun yang terjadi, berjanjilah kau akan tetap diam, jangan bersuara sedikit pun. Kau dengar Ibu, Nak?”

Buyung Kacinduaan masih menangis tanpa suara, ia mengangguk, lalu menyeka air matanya.

Lalu, bocah itu menemukan celah-celah rapat pada dinding ngarai di hadapannya. Ia mencoba menjangkau.

Sekali, dua kali… ia terus mencoba dan akhirnya behasil menjangkau sebuah urat pohon yang menyembul di dinding tebing tersebut. Hanya saja, saat ia berhasil menjangkau urat itu, pecahan tembikar yang sebelumnya diserahkan sang ibu kepadanya justru terjatuh dari dalam saku celananya itu.

Buyung Kacinduaan terkesiap, ia menengadah. Tapi ia terlalu takut untuk mengatakan hal tersebut kepada ibunya.

Ma—maafkan aku, Bu, aku menjatuhkan benda itu.

Nanti, setelah pagi menjelang, a—aku akan mencari lagi benda itu. Aku berjanji, Bu.

Kondisi yang semakin gelap itu membuat Zuraya tidak menyadari bahwa pecahan tembikar itu sudah tidak ada lagi pada sang anak.

Buyung Kacinduaan melanjutkan usahanya sendiri untuk bisa menyelip di antara celah-celah sempit yang ada.

Beruntung, ia menemukan sebuah cekungan yang cukup dalam meski tidak terlalu besar. Tapi itu sudah cukup untuk ia jadikan tempat bersembunyi. Setelah berada di sana, sang bocah menyentak-nyentak tali kain tersebut.

Di atas tebing, Zuraya yang setengah berbaring di tanah demi menahan tubuh sang anak pun paham. Buyung Kacinduaan pasti sudah menemukan tempat persembunyiaannya.

Maafkan Ibu, Nak… kau harus selamat dan menjalankan hidupmu seorang diri.

Maafkan Ibu, ayahmu mungkin tidak selamat dan… dan Ibu akan menemani ayahmu, Sayang. Teruslah hidup, Buyung!

Zuraya mengusap air mata yang membasahi pipinya sementara itu Buyung duduk berlipat kaki serta sembari memeluk kaki yang bertekuk di dalam goa kecil.

Zuraya pun melepas tali kain itu, di bawah sana, kira-kira berjarak 12 hasta[2] dari posisi di mana Zuraya berada, sang bocah laki-laki pun menggulung tali itu, lalu memeluknya erat-erat ke dadanya.

Sementara itu, tiga orang yang telah membantai penghuni rumah Sialang Babega dan membakar rumah tersebut berhenti di satu titik jalan setapak.

Meskipun kondisi sudah mulai gelap, namun sepertinya itu tidak menghalangi ketiga orang tersebut untuk bisa mengawasi keadaan sekitar.

Daro menunjuk ke arah satu rerumputan, Darna Dalun dan Rumada sama memandang ke arah yang ditunjukkan oleh Daro.

Keduanya menyeringai dan mendekati rerumputan tersebut.

Jelas terlihat noda darah di sana, bahkan tidak pada satu titik saja. Lalu, dengan sekali bergerak saja, ketiga orang itu sudah melesat jauh memasuki hutan belantara dengan mengikuti jejak darah yang merupakan darah dari luka di kaki Zuraya.

Kemampuan meringankan tubuh Angku Mudo Bakaluang Perak memang belum mencapai tahap maksimal, itu sebabnya Rumada dan Daro mengurangi kecepatan mereka sendiri agar tidak menyinggung ego pria muda tersebut.

Meski begitu, tetap saja gerakan berlari mereka telihat cepat seolah-olah mereka tidak berpijak ke tanah sama sekali.

Dan sebentar saja, ketiganya telah sampai di bibir hutan.

Saat ketiganya sampai di kawasan itu, mereka melihat Zuraya yang sepertinya sedang kebingungan.

“Di mana anak laki-lakinya?” gumam Darna kepada kedua pendampingnya itu.

“Apakah mereka terpisah di tengah hutan itu tadi?”

“Tidak,” Daro menanggapi tebakan dari Rumada. “Kurasa tidak sesederhana itu.”

“Sudahlah,” Darna pun melangkah mendekati Zuraya.

Zuraya semakin dilanda kecemasan ketika ia melihat tiga sosok menjejakkan kaki mereka di bibir hutan.

Dan ya, wanita yang sedang hamil besar itu sudah dapat menduga. Dengan kehadiran ketiga orang yang telah membantai anggota keluarganya sebelumnya, Zuraya pun dapat memastikan jika suaminya, Sialang Babega, pastilah sudah tewas di tangan ketiga orang di hadapannya kini itu.

Hal ini membuat Zuraya menggerung dan menjerit kencang di dalam hatinya. Dan sekarang, mungkin adalah gilirannya pula.

CATATAN ...

[1] Jenis celana yang sering digunakan pesilat, celana pangsi.

[2] 1 hasta = 45,7cm. Satuan panjang/tinggi yang digunakan masyarakat zaman dahulu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status