Share

Sembunyilah Sembunyi

“Bu, kumohon… jangan mengusirku!”

Sekali lagi Zuraya memeluk sang anak, mengecup lagi keningnya dengan sangat dalam. Dan kemudian, ia mengikatkan satu ujung tali dari robekan kain sarung itu ke pinggang sang anak.

Bocah laki-laki tujuh tahun itu tidak mengenakan baju, hanya celana komprang[1] berwarna hitam itu saja yang ia pakai.

Meski Buyung Kacinduaan menangis dan menolak, namun sang ibu tetap mengikatkan tali tersebut ke pinggang sang anak.

Setelah itu, dengan hati yang begitu masygul, Zuraya menurunkan sang anak dengan memegang kuat-kuat tali tersebut.

“Turunlah, Sayang,” ujar Zuraya. “Ibu akan memegangi tali ini. Turun dengan hati-hati.”

Meski menangis, sang bocah pada akhirnya mengikuti arahan sang ibu. Ia turun perlahan-lahan sembari berpegangan dengan tali dari kain sarung itu.

Zuraya tahu pasti, panjang tali dari empat robekan kain sarungnya itu tidak akan mencapai dasar lembah. Setengah ketinggian tebing itu saja tidak. Tapi ia cukup tahu, bagian tebing tersebut memiliki banyak rekahan di sisi dindingnya yang bisa dijadikan tempat bersembunyi, terutama untuk ukuran anak kecil seperti anaknya itu sendiri.

Dengan kecemasan yang luar biasa, Zuraya terus menurunkan sang anak, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada seorang pun yang melihat apa yang sedang mereka lakukan.

Dan sampailah Zuraya pada ujung tali itu. Sejenak, ia memandangi sang anak dengan tatapan yang begitu sayu. Ia tersenyum.

“Ingatlah, Buyung,” ujarnya. “Apa pun yang terjadi, berjanjilah kau akan tetap diam, jangan bersuara sedikit pun. Kau dengar Ibu, Nak?”

Buyung Kacinduaan masih menangis tanpa suara, ia mengangguk, lalu menyeka air matanya.

Lalu, bocah itu menemukan celah-celah rapat pada dinding ngarai di hadapannya. Ia mencoba menjangkau.

Sekali, dua kali… ia terus mencoba dan akhirnya behasil menjangkau sebuah urat pohon yang menyembul di dinding tebing tersebut. Hanya saja, saat ia berhasil menjangkau urat itu, pecahan tembikar yang sebelumnya diserahkan sang ibu kepadanya justru terjatuh dari dalam saku celananya itu.

Buyung Kacinduaan terkesiap, ia menengadah. Tapi ia terlalu takut untuk mengatakan hal tersebut kepada ibunya.

Ma—maafkan aku, Bu, aku menjatuhkan benda itu.

Nanti, setelah pagi menjelang, a—aku akan mencari lagi benda itu. Aku berjanji, Bu.

Kondisi yang semakin gelap itu membuat Zuraya tidak menyadari bahwa pecahan tembikar itu sudah tidak ada lagi pada sang anak.

Buyung Kacinduaan melanjutkan usahanya sendiri untuk bisa menyelip di antara celah-celah sempit yang ada.

Beruntung, ia menemukan sebuah cekungan yang cukup dalam meski tidak terlalu besar. Tapi itu sudah cukup untuk ia jadikan tempat bersembunyi. Setelah berada di sana, sang bocah menyentak-nyentak tali kain tersebut.

Di atas tebing, Zuraya yang setengah berbaring di tanah demi menahan tubuh sang anak pun paham. Buyung Kacinduaan pasti sudah menemukan tempat persembunyiaannya.

Maafkan Ibu, Nak… kau harus selamat dan menjalankan hidupmu seorang diri.

Maafkan Ibu, ayahmu mungkin tidak selamat dan… dan Ibu akan menemani ayahmu, Sayang. Teruslah hidup, Buyung!

Zuraya mengusap air mata yang membasahi pipinya sementara itu Buyung duduk berlipat kaki serta sembari memeluk kaki yang bertekuk di dalam goa kecil.

Zuraya pun melepas tali kain itu, di bawah sana, kira-kira berjarak 12 hasta[2] dari posisi di mana Zuraya berada, sang bocah laki-laki pun menggulung tali itu, lalu memeluknya erat-erat ke dadanya.

Sementara itu, tiga orang yang telah membantai penghuni rumah Sialang Babega dan membakar rumah tersebut berhenti di satu titik jalan setapak.

Meskipun kondisi sudah mulai gelap, namun sepertinya itu tidak menghalangi ketiga orang tersebut untuk bisa mengawasi keadaan sekitar.

Daro menunjuk ke arah satu rerumputan, Darna Dalun dan Rumada sama memandang ke arah yang ditunjukkan oleh Daro.

Keduanya menyeringai dan mendekati rerumputan tersebut.

Jelas terlihat noda darah di sana, bahkan tidak pada satu titik saja. Lalu, dengan sekali bergerak saja, ketiga orang itu sudah melesat jauh memasuki hutan belantara dengan mengikuti jejak darah yang merupakan darah dari luka di kaki Zuraya.

Kemampuan meringankan tubuh Angku Mudo Bakaluang Perak memang belum mencapai tahap maksimal, itu sebabnya Rumada dan Daro mengurangi kecepatan mereka sendiri agar tidak menyinggung ego pria muda tersebut.

Meski begitu, tetap saja gerakan berlari mereka telihat cepat seolah-olah mereka tidak berpijak ke tanah sama sekali.

Dan sebentar saja, ketiganya telah sampai di bibir hutan.

Saat ketiganya sampai di kawasan itu, mereka melihat Zuraya yang sepertinya sedang kebingungan.

“Di mana anak laki-lakinya?” gumam Darna kepada kedua pendampingnya itu.

“Apakah mereka terpisah di tengah hutan itu tadi?”

“Tidak,” Daro menanggapi tebakan dari Rumada. “Kurasa tidak sesederhana itu.”

“Sudahlah,” Darna pun melangkah mendekati Zuraya.

Zuraya semakin dilanda kecemasan ketika ia melihat tiga sosok menjejakkan kaki mereka di bibir hutan.

Dan ya, wanita yang sedang hamil besar itu sudah dapat menduga. Dengan kehadiran ketiga orang yang telah membantai anggota keluarganya sebelumnya, Zuraya pun dapat memastikan jika suaminya, Sialang Babega, pastilah sudah tewas di tangan ketiga orang di hadapannya kini itu.

Hal ini membuat Zuraya menggerung dan menjerit kencang di dalam hatinya. Dan sekarang, mungkin adalah gilirannya pula.

CATATAN ...

[1] Jenis celana yang sering digunakan pesilat, celana pangsi.

[2] 1 hasta = 45,7cm. Satuan panjang/tinggi yang digunakan masyarakat zaman dahulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status