Api berkobar dari sebuah rumah, membakar habis bangunan yang hanya terdiri dari papan dan atap dari susunan daun rumbia. Besarnya kobaran api bisa terlihat dari kejauhan.
Areal di depan rumah itu, tergeletak beberapa jasad, bergelimpangan dengan kondisi tubuh yang mengenaskan, bersimbah darah.
Ada tiga orang lainnya di sana yang berdiri tegak seolah mengabaikan rasa panas dari api yang berkobar-kobar.
Seorang dengan menggenggam dua golok berkilat. Dua bilah golok itu sisi tajamnya masing-masing berlumuran darah. Darah-darah itu masih menetes di ujung golok yang mengarah ke tanah. Sosok yang satu ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, namun wajahnya tidak terlihat dengan jelas sebab tertutup tudung kepala yang menyatu dengan jubah pendeknya. Tudung dan jubah itu terbuat dari kulit dan bulu beruang coklat.
Seorang lainnya bertubuh lebih kecil dari pria di sampingnya. Ia seorang wanita. Dan sebagaimana dengan pria di sampingnya, kepala dan sebagian tubuh wanita itu tertutup tudung dan jubah dari kulit dan bulu beruang berwarna hitam.
Wanita itu tidak memegang senjata apa pun di tangannya. Akan tetapi, sepuluh kuku jari tangannya itu panjang dan berlumuran darah. Darah-darah menetes dari ujung-ujung kukunya ke tanah.
Dan seorang pria lainnya dengan pakaian yang jelas lebih baik dari dua orang di belakangnya itu, dia juga terlihat lebih muda dari dua yang lain.
Saat itu, pria muda sedang mencengkeram leher seorang pria sepantaran 40 tahun.
“Sialang Babega,” ujar si pria muda. Ia memaksa pria dalam cengkeramannya berjinjit. “Keperkasaanmu hanya tinggal nama saja, kemampuanmu belum seberapa dibanding dua orang di belakangku itu. Kau menyedihkan. Cuih!”
Ludah si pria muda tepat mengenai sebelah mata Sialang Babega—dalam bahasa Indonesia berarti: Elang Perkasa.
Kondisi pria itu sangat menyedihkan. Selain wajah yang lebam dan sebelah matanya itu tertutup ludah si pria muda, hidungnya juga patah, darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah, juga kedua tangannya yang terkulai pun berlumuran darah. Cukup jelas bahwa kedua tangannya itu remuk dengan beberapa luka menganga.
Begitu juga dengan kakinya. Salah satu kakinya bahkan terlihat berputar ke arah sebaliknya karena patah seperti dipelintir.
Jadi, ia terpaksa menahan beban tubuhnya dengan berjinjit satu kaki saja.
“K—kau…” ujar Sialang Babega di tengah kesulitannya untuk bernapas sebab cengkeraman tangan pria muda itu begitu kuat di lehernya. “Kau tidak akan bisa lari. Orang-orang Kerajaan Minanga pasti akan membalas perbuatanmu.”
Pria muda terkekeh, ia melirik ke belakang, pada dua orang yang berdiri layaknya dua buah patung batu itu.
“Bukankah sudah kukatakan padamu,” kata si pria muda, “semenjak tiga purnama yang lalu?” pria muda menyeringai. “Kukatakan sekali lagi padamu, Sialang Babega. Kau hanya seorang Wali Jorong[1], sedangkan aku Hulubalang Nagari[2]. Kau bisa apa, hah? Aku hanya meminta satu hal saja darimu, kenapa kau begitu keras kepala?”
“Aku tidak peduli kau siapa,” sahut Sialang Babega yang sedikit pun tidak takut akan kematiannya sendiri. “Cepat atau lambat, kau akan menerima karma perbuatanmu.”
“Begitu, ya?” pria muda menyeringai seraya menepuk-nepuk pipi Sialang Babega dengan tangannya yang lain. “Kuakui,” ujarnya, lagi. “Kau memang memiliki jiwa yang kuat. Kau bahkan tidak gentar dengan kematianmu sendiri.”
“Apa takutnya dengan kematian? Semua yang bernyawa pasti mati, kecuali kau adalah seorang dewa. Tapi sayang sekali, Angku Mudo Bakaluang Perak, kau sepertinya tidak memiliki kriteria semacam itu.”
“Kau bilang apa?” si pria muda mendekatkan telinganya ke mulut Sialang Babega. “Hemm?!”
Sementara ia mendekatkan sebelah telinganya ke mulut Sialang Babega, Angku Mudo Bakaluang Perak yang bernama asli Darna Dalun, menekuk tangannya yang tadi ia gunakan menepuk-nepuk pipi Sialang Babega. Empat jari tangannya rapat dan lurus, ibu jari menekuk.
“Aku bilang,” ujar Sialang Babega yang semakin kesulitan untuk berbicara, “kau tidak akan mencapai tahap itu—”
Jlept!
Bola mata Sialang Babega membesar, perutnya ditembus jari tangan Darna Dalun hingga sebatas pergelangan tangan. Ia tersedak, dan semakin banyak darah yang meleleh dari dalam mulutnya.
Tidak puas menyiksa Sialang Babega sampai di situ, Darna Dalun menggenggam organ-organ di dalam tubuh Sialang Babega, lalu…
Cras…!
Sialang Babega akhirnya tewas dengan organ dalam tubuhnya terputus-putus dan kini berada di dalam genggaman tangan kanan Darna Dalun.
Pria muda itu menyeringai memandangi organ tubuh dalam genggamannya itu, lalu dibuang begitu saja.
Sialang Babega yang sudah tidak lagi bernyawa ia jatuhkan begitu saja ke tanah.
“Kenapa kau malah membunuh dia?” tanya pria yang memegang dua golok berlumuran darah itu.
Pria muda hanya terkekeh saja. Ia berjongkok di hadapan jasad Sialang Babega, lalu menggunakan punggung pakaian jasad tersebut untuk mengelap tangannya yang berlumuran darah.
“Kau belum mendapatkan tanda khusus itu, Angku Mudo.”
“Hei,” sang wanita melirik pada pria tinggi besar di sampingnya itu. “Biarkan saja.”
Meski kesal sebab tujuan utama mereka belum tercapai, namun si pria sepertinya lebih memilih untuk kembali diam saja.
“Jangan kau khawatir, Rumada,” ujar si pria muda, dan kembali berdiri.
Ia melangkah mendekati pria besar yang ia panggil Rumada itu. Lalu menepuk-nepuk bahu pria tersebut.
“Jangan khawatir,” ujarnya, lagi. “Tanda khusus itu pasti dibawa lari istrinya. Mari,” pria muda pun melangkah meninggalkan kawasan yang panas karena api yang masih membara. “Kita hanya perlu menemukan di mana istri dan anaknya bersembunyi.”
CATATAN ...
[1] Pejabat negeri setingkat Kepala Dusun.
[2] Pejabat negeri setingkat Bupati.
“Dia tidak akan berlari jauh,” ujar sang wanita kepada Darna Dalun. “Tidak dengan kakinya yang terluka.”“Kau memang tidak punya hati,” sahut Darna seraya menyeringai.Wanita itu mendengus. “Lihat siapa yang bicara! Kau percaya itu, Rumada?”“Dia hanya menginginkan tanda khusus itu, Daro.”“Kau dengar itu?” Darna terkekeh.“Yang benar saja!” Daro mendengus lebih kecang. “Kau benar-benar terlalu lurus, Rumada, atau kau memang bodoh untuk menyadari?!”“Jaga ucapanmu, Daro!” Rumada menggeram. Dua bilah goloknya itu kembali ia sarungkan ke belakang punggungnya.“Kau bahkan mengancamku,” sahut Daro. “Apa kau tidak paham juga?”“Apa yang harus aku pahami?”“Angku Mudo hanya ingin bersenang-senang dengan istri Sialang Babega itu. Kau tidak bisa melihat ini, hemm?&rdq
“Bu, kumohon… jangan mengusirku!”Sekali lagi Zuraya memeluk sang anak, mengecup lagi keningnya dengan sangat dalam. Dan kemudian, ia mengikatkan satu ujung tali dari robekan kain sarung itu ke pinggang sang anak.Bocah laki-laki tujuh tahun itu tidak mengenakan baju, hanya celana komprang[1] berwarna hitam itu saja yang ia pakai.Meski Buyung Kacinduaan menangis dan menolak, namun sang ibu tetap mengikatkan tali tersebut ke pinggang sang anak.Setelah itu, dengan hati yang begitu masygul, Zuraya menurunkan sang anak dengan memegang kuat-kuat tali tersebut.“Turunlah, Sayang,” ujar Zuraya. “Ibu akan memegangi tali ini. Turun dengan hati-hati.”Meski menangis, sang bocah pada akhirnya mengikuti arahan sang ibu. Ia turun perlahan-lahan sembari berpegangan dengan tali dari kain sarung itu.Zuraya tahu pasti, panjang tali dari empat robekan kain sarungnya itu tidak akan mencapai dasar
“Percuma saja kau melarikan diri, Zuraya,” ujar Darna Dalun, dan kemudian ia berhenti sekitar lima langkah dari Zuraya. “Kalau hanya akan tertangkap juga pada akhirnya.”Zuraya tidak membalas ucapan pria muda itu yang bahkan lebih muda dari dirinya sendiri, namun sangat jelas di mata Zuraya bahwa Darna mungkin akan melakukan sesuatu yang kurang ajar kepadanya.Itu terlihat jelas dari raut wajah, tatapan dan seringai Angku Mudo tersebut. Meski kondisi sekitar sudah mulai gelap, namun Zuraya tidak buta untuk tidak menyadari hal tersebut.Sebenarnya, ini juga disebabkan Zuraya yang memiliki paras jelita yang membuat setiap laki-laki yang memandangnya langsung jatuh hati meskipun ia sedang hamil sekalipun.Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan kesenangan semudah itu, Darna.Utang darah dibayar darah, utang nyawa dibayar nyawa!Perlahan-lahan, Zuraya mengeluarkan sebuah benda berkilat dari balik pinggangnya. Sebuah senja
Zuraya masih melakukan perlawanan terhadap Angku Mudo Bakaluang Perak meski dengan hanya mengandalkan satu tangan kirinya saja sebab tangan kanannya tidak lagi bisa ia gerakkan. Tangan itu terkilir saat dipelintir oleh Angku Mudo tadi.Tapi, tentu saja, pukulan lemah dan tanpa keahlian apa-apa itu tidak berarti banyak bagi Angku Mudo sama sekali.Luka di bahu dan dada pria muda itu tidak ia pedulikan sama sekali meski darah sudah mengalir dari luka itu sendiri.Pukulan-pukulan lemah dari tangan Zuraya pun hanya semakin membuat Angku Mudo bernafsu. Dan ya, dua kali gerakan saja, maka pakaian Zuraya robek-robek tidak keruan.“Iblis…!” teriak Zuraya. “Terkutuk kau, Darna!”Angku Mudo menyeringai. “Mungkin kau benar, aku adalah seorang iblis. Tapi itu tidak masalah.”Sementara itu, Buyung Kacinduaan yang duduk memeluk lutut di dalam goa kecil di tebing tersebut mendengar jeritan-jeritan dari ibunya.
“Daro,” lagi-lagi Rumada menyentuh bahu wanita tersebut demi menenangkannya. “Sudahlah, jangan terlalu keras kepadanya.”“Kau juga sama, Rumada!” karena semakin merasa kesal, Daro pun memutar langkah dan berlalu dari tepi tebing tersebut, masuk kembali ke dalam hutan.Rumada mendesah panjang menatap kepergian Daro sembari bertolak pinggang, dan kemudian kepalanya tertunduk.“Sudahlah,” ujar Angku Mudo dan berhenti sejenak di samping Rumada. “Perempuan memang susah untuk dipahami. Lebih baik, sekarang kita tinggalkan saja tempat ini atau istrimu itu akan semakin mengamuk.”Rumada menyeringai. Dan seperti sebelumnya, sekali mereka begerak, tubuh keduanya langsung menghilang di dalam kelebatan hutan.Kembali kepada Buyung Kacinduaan yang meringkuk di dalam cekungan di dinding ngarai.Meski bocah tujuh tahun itu tidak lagi mendengar suara seseorang dari atas tebing sana, namun tidak sed
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.“Ibu…!”Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.“Ibu, tunggu aku, Bu…”Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lemb
“Dewa…!” Buyung menjerit ke langit tinggi. “Ibu…” dan lantas tertunduk dengan air mata berderai jatuh ke bumi. “Ma—maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menemukanmu. Maafkan aku, Bu…!”Bagaimanapun, ia tahu ia tidak akan lagi bertemu dengan ibunya. Ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dan tangis menggelegar itu adalah bentuk pelampiasan dari itu semua. Raungan panjang yang merobek keheningan malam buta di dasar lembah Ngarai Sianok.Setelah tangis itu mereda, sang bocah perlahan-lahan kembali bangkit dan melanjutkan langkahnya menuju selatan.Jauh melangkah di antara bebatuan yang ada di tepian sungai, terkadang tidak sengaja ia menginjak sisi tajam dari batu-batu yang pecah dan terpaksa ia berguling lagi demi menahan rasa sakit di telapak kakinya.Sampai pada satu titik, titik di dasar lembah yang begitu rimbun dengan begitu banyaknya bayangan hitam dari lebatnya pepohonan, Buyung Kacinduaan meliha
Sang harimau menggeser posisi sang bocah yang tertelungkup di telapak kakinya. Sedikit salah perhitungan saja, maka, kuku-kuku harimau yang melengkung tajam itu pasti sudah menembus dada dan perut Buyung Kacinduaan. Setelah memposisikan tubuh sang bocah sedemikian rupa, sang harimau besar kembali melanjutkan menyantap kijang yang telah ia tangkap sebelumnya itu. Sesekali, harimau itu melirik ke arah sang bocah yang pingsan di sampingnya. Merasa kenyang, sang harimau bangkit, lalu meninggalkan kijang yang telah tinggal setengah itu, meninggalkan sang bocah begitu saja. Sang harimau menuju tepian sungai dangkal. Di tepian itu, binatang buas tersebut minum dengan sorot matanya yang liar pertanda ia sedang siaga kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saja membahayakannya yang sedang bersembunyi di satu tempat di tengah kegelapan. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa di sekitar sana. Sang harimau mengibas-ngibaskan kepala dan lehernya sedemikian rupa. Seolah-olah