“Percuma saja kau melarikan diri, Zuraya,” ujar Darna Dalun, dan kemudian ia berhenti sekitar lima langkah dari Zuraya. “Kalau hanya akan tertangkap juga pada akhirnya.”
Zuraya tidak membalas ucapan pria muda itu yang bahkan lebih muda dari dirinya sendiri, namun sangat jelas di mata Zuraya bahwa Darna mungkin akan melakukan sesuatu yang kurang ajar kepadanya.
Itu terlihat jelas dari raut wajah, tatapan dan seringai Angku Mudo tersebut. Meski kondisi sekitar sudah mulai gelap, namun Zuraya tidak buta untuk tidak menyadari hal tersebut.
Sebenarnya, ini juga disebabkan Zuraya yang memiliki paras jelita yang membuat setiap laki-laki yang memandangnya langsung jatuh hati meskipun ia sedang hamil sekalipun.
Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan kesenangan semudah itu, Darna.
Utang darah dibayar darah, utang nyawa dibayar nyawa!
Perlahan-lahan, Zuraya mengeluarkan sebuah benda berkilat dari balik pinggangnya. Sebuah senjata tajam, dengan pegangan dan bentuk bilah yang hanya sejengkal tangan itu melengkung, karambit.
Zuraya memang tidak pernah belajar silat sebagaimana dengan suaminya, Sialang Babega. Hanya saja, ia tidak hendak menyerah begitu saja pada takdirnya. Apa pun yang terjadi, Zuraya bertekad untuk memberikan perlawanan.
Mati berkalang tanah atau hidup berputih mata! Begitu tekad Zuraya dalam hati.
“Kau berlari jauh apakah tidak kasihan pada bayi dalam kandunganmu itu?”
“Manis sekali mulutmu berkata,” dengus Zuraya dan sampai sejauh itu, ia tidak memperlihatkan senjata tajamnya itu. “Setelah kau membantai keluargaku, sekarang kau bisa berucap semanis itu. Bagus sekali, Darna.”
“Hei,” Angku Mudo terkekeh dan mengangguk-angguk. “Aku tidak ingin memaksamu, tapi, bisakah kau berikan padaku tanda khusus berupa pecahan tembikar itu kepadaku?”
“Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan.”
Kau tidak akan pernah mendapatkan benda itu, Darna. Tidak akan!
Angku Mudo menyeringai, ia menoleh ke belakang, kepada Rumada dan Daro.
“Kau ingin kami yang menyelesaikan ini?” tanya Daro pula.
“Tidak,” sahut Angku Mudo. “Itu tidak perlu.”
Kembali pria muda mendekat ke arah Zuraya, dan wanita hamil itu sudah bersiap-siap dengan mengenggam erat karambit di belakang pinggangnya. Dua langkah, dan Angku Mudo berhenti.
“Dengar, Zuraya,” ujar Angku Mudo pula sembari melipat tangannya ke dada. “Aku tidak suka menyakiti wanita apalagi wanita secantik kamu. Jadi, tolong, berikan saja pecahan tembikar itu kepadaku.”
“Harus berapa kali aku katakan padamu?” sahut Zuraya. “Aku tidak tahu apa yang kau pinta itu.”
Angku Mudo tertawa-tawa halus. “Kau sangat buruk dalam berbohong, Zuraya. Jangan paksa aku menjatuhkan tangan kasar kepadamu!”
“Angku Mudo…!” sahut Rumada di belakang sana.
Angku Mudo Bakaluang Perak mengangkat tangannya. Ya, ia tahu itu. Rumada hanya bermaksud mengingatkan padanya bahwa ia memiliki pantangan untuk tidak boleh membunuh wanita.
“Jangan takut, Rumada,” sahut Angku Mudo tanpa berpaling, bola matanya berkilat tertuju kepada Zuraya yang hanya terpaut tiga langkah saja lagi darinya. “Aku tidak akan membunuh wanita ini. Terlalu sayang.”
“Kau dengar?” gumam Daro kepada Rumada. “Inilah yang aku benci dari sifat Angku Mudo.”
“Sudahlah,” ujar Rumada kepada wanita di sampingnya itu. “Kalau dia ingin bersenang-senang, biarkan saja. Bagiku, yang terpenting dia tidak melanggar pantangannya, tidak membunuh seorang wanita. Itu sudah cukup bagiku.”
“Kalian laki-laki sama saja!” Daro mendengus kencang, dan sekali ia melompat, tubuhnya menghilang ke dalam hutan.
Namun, Rumada masih bisa mendengar bisikan dari Daro meski orangnya sendiri sudah tidak lagi terlihat.
“Aku akan mencari anak laki-laki wanita itu.”
Rumada menyeringai, padahal tadi wanita itu menyangkal pendapatnya. Kau hanya tidak ingin melihat Angku Mudo bersenang-senang, Daro. Jangan mengelabuiku! pikir pria tinggi besar itu.
Angku Mudo Bakaluang Perak menyadari bahwa Daro tidak ingin menyaksikan apa yang akan ia perbuat pada Zuraya, tapi ia tidak peduli dengan hal itu.
“Apa kau tahu?” ujar Angku Mudo sembari menyeringai lebar, lalu melepaskan bajunya hingga bertelanjang dada. “Konon katanya, wanita yang sedang hamil akan semakin membuat laki-laki bergairah?”
“Jangan berani kau mendekat kepadaku!” teriak Zuraya. Dan ia masih menyembunyikan karambit itu di belakang pinggangnya.
Ya, paling tidak, Zuraya tahu pasti bahwa ia tidak akan selamat. Jadi, ia akan memberikan sedikit kenang-kenangan kepada pria di hadapannya itu.
“Tapi aku tidak peduli dengan kabar yang bodoh itu,” ujar pria muda yang tidak mengindahkan ucapan Zuraya, ia menjatuhkan bajunya begitu saja ke tanah. “Bagiku, kau hamil atau tidak, kau tetap menggoda hasratku, Zuraya.”
Angku Mudo terus mendekat, Zuraya mencoba menyisi ke kanan, namun dengan cepat tangan kanan pria muda itu mencekal tangan kiri Zuraya. Sekali tarikan saja, wanita yang tidak memiliki bekal ilmu bela diri apa pun itu sudah berada di dalam pelukan Angku Mudo.
Dan pada saat itulah Zuraya merasakan saat yang tepat. Ia pun mengeluarkan karambit yang ia genggam di tangan kanannya.
“Mati kau, Darna…!”
Crass!
Pegangan di tangannya terlepas, namun belum sempat Zuraya melarikan diri, pria muda itu telah kembali berhasil mencekal bagian belakang bajunya.
Angku Mudo menggeram memandangi bahu dan dada kirinya terluka dalam oleh senjata tajam di tangan Zuraya. Ia menyeringai semakin mengerikan seolah tidak merasakan sakit pada luka yang mulai mengucurkan darah itu.
“Kau ingin main kasar, hah?!”
Sekali tarikan lagi, Zuraya terjengkang ke tanah dengan bagian belakang bajunya robek lebar.
Dan ketika ia mencoba untuk bangkit, Angku Mudo telah pun berada di atas tubuhnya, menahan kedua pahanya.
Zuraya tidak tinggal diam, ia kembali menyabetkan karambit di tangannya itu. Sayangnya, untuk kali ini, dengan sangat mudah serangannya itu dipatahkan.
Sekali Angku Mudo memelintir tangan Zuraya yang memegang karambit itu, Zuraya pun menjerit, karambit terlepas, dan dibuang oleh Angku Mudo ke arah belakang.
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada