Zuraya masih melakukan perlawanan terhadap Angku Mudo Bakaluang Perak meski dengan hanya mengandalkan satu tangan kirinya saja sebab tangan kanannya tidak lagi bisa ia gerakkan. Tangan itu terkilir saat dipelintir oleh Angku Mudo tadi.
Tapi, tentu saja, pukulan lemah dan tanpa keahlian apa-apa itu tidak berarti banyak bagi Angku Mudo sama sekali.
Luka di bahu dan dada pria muda itu tidak ia pedulikan sama sekali meski darah sudah mengalir dari luka itu sendiri.
Pukulan-pukulan lemah dari tangan Zuraya pun hanya semakin membuat Angku Mudo bernafsu. Dan ya, dua kali gerakan saja, maka pakaian Zuraya robek-robek tidak keruan.
“Iblis…!” teriak Zuraya. “Terkutuk kau, Darna!”
Angku Mudo menyeringai. “Mungkin kau benar, aku adalah seorang iblis. Tapi itu tidak masalah.”
Sementara itu, Buyung Kacinduaan yang duduk memeluk lutut di dalam goa kecil di tebing tersebut mendengar jeritan-jeritan dari ibunya.
Sang bocah sangat mengkhawatirkan keselamatan ibunya. Hanya saja, ia sudah berjanji untuk tidak bersuara alih-alih memperlihatkan dirinya kepada orang-orang itu.
Tidak! Hentikan! Jangan sakiti ibuku!
Hentikan! Para dewa, bantu kami, bantu ibuku! Kumohon…
Semakin lama jeritan sang ibu terdengar semakin kencang di telinga Buyung Kacinduaan. Dan di antara suara jeritan parau itu, ia juga mendengar suara tawa seorang pria yang akan ia ingat untuk seumur hidupnya.
Ak—aku… aku pasti akan membunuhmu laki-laki biadab!
Menjauhlah dari ibuku…!
Setiap kali sang bocah mendengar jeritan sang ibu yang terkadang memaki seseorang dan terkadang pula memohon-mohon, setiap kali itu pula Buyung merasakan tubuhnya menggigil.
Menggigil demi menahan tangisnya sendiri, demi menahan amarah yang tidak terlampiaskan seiring air mata yang semakin menganak sungai di pipinya.
Pada akhirnya, sang bocah sudah tidak tahan lagi dengan suara jeritan sang ibu yang menyayat hati di atas sana itu. Ia menutup kedua kupingnya, menekan kuping itu kuat-kuat.
“Hentikan,” gumam Buyung yang bahkan nyaris tanpa suara yang terdengar. “Hentikan! Hentikan!”
Beberapa menit berselang dengan kondisi yang semakin mencekam bagi bocah laki-laki tujuh tahun itu sebelum akhirnya ia tidak lagi mendengar suara jeritan ibunya.
Dan baru saja ia melepas tangannya dari membekap telinganya sendiri, Buyung dikejutkan dengan satu sosok yang melayang jatuh.
Sang bocah membelalak lebar sembari menjulurkan tangannya. Meski kondisi gelap, namun ia dapat memastikan jika sosok yang jatuh tadi itu adalah ibunya.
Ibu!
Zuraya jatuh dengan kepala mengarah ke bawah, ia menjulurkan tangannya seolah-olah ia ingin menggapai ke arah goa kecil di mana anak sulungnya berada.
“Tetaplah hidup, Nak…” gumam Zuraya dengan air mata berlinang, berhamburan seiring kecepatan jatuh tubuhnya itu.
Tetaplah hidup!
Buyung nyaris saja berteriak kencang, untung saja ia masih mengingat janjinya kepada sang ibu, dan dengan cepat pula ia menutup mulutnya sendiri dengan dua tangan.
Ibu…!
Duhai para dewa-dewi, selamatkan ibuku…!
Buyung menjatuhkan kepalanya ke tanah, seolah bersujud kepada sang ibu yang sudah jauh berada di bawah sana.
Zuraya terhempas kencang di satu gundukan tanah yang tinggi di sisi tebing ngarai, lalu terpelanting dan membentur pohon sebelum akhirnya terhempas ke lantai ngarai.
Wanita malang itu terkapar di antara bebatuan besar tepian sungai. Tanda-tanda kehidupan semakin menghilang dari tubuhnya. Kelopak mata terbuka lebar, dari lubang hidung dan bibir yang pecah mengalir darah. Satu tangannya patah, darah juga mengalir deras dari selangkangannya, dan kedua kakinya itu juga patah.
Kondisi Zuraya benar-benar di ujung hayatnya. Pakaian di tubuhnya itu tak lagi sempurna.
Di atas tebing itu, Daro baru saja kembali dan dia tidak melihat Zuraya di sana lagi.
“Kau ke manakan wanita hamil itu?”
Angku Mudo Bakaluang Perak yang sedang memakai kembali celananya menyeringai, lalu memandang Daro dari ujung bahunya.
“Kau menemukan anak laki-laki itu?”
“Jawab dulu pertanyaanku!” sahut Daro dengan bola mata membesar.
“Hei,” Rumada menyentuh bahu wanita tersebut. “Jangan khawatir. Angku Mudo tidak membunuh istri Sialang Babega. Tapi, justru wanita itu sendiri yang melompat dari tebing.”
“Jadi?” Ya, memang itu yang dicemaskan oleh Daro. “Dia bunuh diri?”
“Begitulah,” Angku Mudo terkekeh, “dia melompat setelah bersenang-senang denganku.”
Luka di bahu dan di dada pria muda itu tidak lagi mengucurkan darah. Sebelumnya, ketika dia akan memperkosa Zuraya, Angku Mudo masih menyempatkan diri untuk menotok beberapa titik darah di sekitar lukanya itu.
“Tidak ada orang yang bersenang-senang dan kemudian melompat bunuh diri.”
“Itu hanya perumpamaan,” Angku Mudo menyambar bajunya dan mengenakan baju itu kembali. “Kau tidak bisa diajak bercanda sama sekali. Menyedihkan!”
“Peduliah sedikit, Angku Mudo,” ujar Daro pula seraya melipat kedua tangannya ke dada. “Aku mengkhawatirkan dirimu. Siapa yang bisa menjamin bahwa kau pada akhirnya tidak akan membunuh seorang wanita, hemm?”
“Tenang saja,” kata Angku Mudo. “Itu tidak akan terjadi.”
“Terkutuk kau, Angku Mudo.”
Pria muda terkekeh. “Ya, aku memang sudah terkutuk dengan tidak bisa membunuh wanita. Ini menyedihkan.”
“Dan aku bersyukur untuk itu,” sahut Daro. “Karena kau, pasti bermaksud akan membunuhku juga, cepat atau lambat. Apa aku salah?”
Tawa Angku Mudo semakin menjadi-jadi. “Kau adalah guruku, Daro. Kenapa kau berpikir seperti itu terhadapku?”
“Karena aku tidak suka dengan sifatmu yang selalu melecehkan perempuan!”
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada