Harimau putih besar bermata sebiru laut di siang hari itu masih berdiri di sana. Kepalanya merunduk memandangi bocah tujuh tahun yang perlahan-lahan merayap di dinding tebing yang sedikit lebih landai. Sembari mengawasi, ekornya yang panjang bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri dengan sangat perlahan, seakan-akan ia sedang bersiaga dengan apa yang akan terjadi di bawah sana.
Kembali ia melenguh pendek seolah memberi kata semangat pada Buyung Kacinduaan.
Sang bocah merayap sejengkal demi sejengkal. Dua tangan dan kakinya telah terlihat sangat kotor oleh tanah kuning, begitu pula dengan celana komprang hitamnya.
Meski sebelumnya ia sempat terpeleset lalu berguling jatuh dan terhempas hingga menyebabkan satu tulang rusuk di bagian kanannya patah, namun ia tetap bersikeras untuk bisa mencapai ketinggian tebing tersebut.
Tubuh kecil itu semakin basah oleh keringat yang memercik dari setiap pori-pori yang ada di tubuhnya. Dan Buyung Kacinduaan c
“Jika ada hal yang aku sesali dari semua kejadian kemarin itu,” ujar Darna Dalun kepada kedua orang gurunya itu. “Itu di saat aku tidak bisa mencegah Zuraya bunuh diri.” Saat ini, Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak sedang berada di belakang sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu sendiri berada belasan langkah di belakang bangunan utama rumah Sutan Kobeh. Rumada dan Daro sama-sama sedang berendam di satu aliran sungai kecil yang berair sangat jernih. Di bagian seberangnya, adalah hutan rimba yang cukup lebat. Sementara Darna sendiri sedang duduk di atas pagar bambu, hanya mengenakan celana komprang putihnya itu saja tanpa pakaian bagian atas. “Kau berkata seolah-olah kau peduli dengan wanita yang tengah hamil itu,” sahut Daro. “Apa maksudmu?” tatapan Darna berkilat tertuju kepada wanita yang satu itu. Tanpa tudung kepala dari bulu beruang hitam itu, Daro terlihat seperti seorang gadis sepantaran 25 tahun, meskipun us
Sutan Kobeh tertawa terbahak-bahak sembari menepuk-nepuk punggung Masuga.“Kau bahkan jauh lebih baik, Masuga,” ujar sang empu rumah. “Mari-mari, kawan, masuklah ke gubukku ini.”Masuga tersenyum. “Jangan terlalu merendah,” ujarnya. “Nanti Datuk bisa dipijak orang lain.”Kembali Sutan Kobeh tertawa-tawa, sembari merangkul bahu sang Hulubalang Kerajaan tersebut, Sutan Kobeh membawa tamunya itu memasuki ruangan depan yang luas itu.“Lihat siapa yang bicara?”Masuga hanya tersenyum saja, tak hendak berbalas ucapan lagi sebab ia tahu akan ke mana ucapan itu berujung.“Seorang Hulubalang Kerajaan,” ujar Sutan Kobeh. “Gagah, tampan, dan masih saja melajang yang selalu saja menolak gadis-gadis cantik yang mencoba mendekat.”Apa kubilang? Masuga tertawa dalam hatinya.“Kau akan terus menertawaiku?”Bukannya berhenti, Sutan Kobeh tetap
“Mari makan, Masuga,” tawar Sutan Kobeh. “Tolong, jangan sungkan. Ini pertama kalinya kau mendatangi rumahku ini. Jadi, biarkan aku memberikan layanan terbaik sebagai tuan rumah.”“Anda hanya terlalu merendah saja, Datuk.”Meski begitu, demi menghormati sang tuan rumah, Masuga meraih sepotong singkong rebus.“Aku terkesan dengan anak sulungmu itu, Datuk.”Seketika wajah Sutan Kobeh seperti ditarik paksa untuk menatap pria di samping kanannya itu. Untung saja Masuga sedang dalam keadaan menundukkan kepala sebab menyuap potongan kecil singkong rebus ke dalam mulutnya sendiri.‘Apakah dia benar-benar sudah tahu?’ Tanya Sutan Kobeh di dalam hati. ‘Apa yang harus aku lakukan?’Sementara itu, tangan kanan Sutan Kobeh sudah gemetar. Gemetar dalam pengaliran tenaga dalamnya tanpa ia sendiri menyadari. Semua, hanya karena insting untuk melindungi keluarganya.“Maksud
Dan ketika telapak tangan pemuda itu sudah mulai kurang ajar dengan menangkup buah dadanya, Lamina tidak punya pilihan lain selain mendorong dada pemuda itu dengan kasar sehingga Darna jadi menjauhinya. “Hentikan, Darna!” dengan wajah merah yang bercampur malu tak terhingga. “Dasar wanita munafik!” Darna menyeringai. “Jaga mulutmu!” Darna Dalun mengangkat satu tangannya. Sorot mata sang ibu tiri seperti hendak mencekik lehernya. “Kau hendak menamparku, hah?” ucap Lamina dengan mata berkaca-kaca namun ia masih menekan suaranya agar tidak didengar oleh orang lain alih-alih Sutan Kobeh sendiri. Lamina benar-benar merasa dipermalukan oleh anak tirinya itu. Tidak di hadapan orang lain melainkan di mata para Dewa dan Dewi di Swarga sana. “Lakukan saja, Darna!” ujar Lamina dengan air mata yang bergulir menuruni lereng wajahnya. “Lakukan, agar orang gagah Hulubalang Kerajaan itu mendengarkan suara jeritanku!” “Apa kau bilang?”
“Maafkan pengetahuan diri yang masih sejengkal pinggalan[1] ini…,” ujar Darna Dalun pada Masuga. Darna melirik pada sang ayah, bagaimanapun, ia menemukan kecemasan yang besar dari diri sang ayah yang berarti tamu mereka tersebut tidak bisa dianggap enteng. Meskipun Sutan Kobeh menutupi itu dengan suara tawanya tersebut, namun Darna cukup mengetahui sifat dan karakter ayahnya. Dan ya, itulah yang ia rasakan pula. “…Datuk Hulubalang yang mana satukah Datuk ini?” tanya Darna dan kemudian merendahkan kepalanya. “Maaf.” Masuga tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Darna. “Kau tidak perlu bersopan seperti itu. Namaku, Masuga.” “Maaf,” kembali Darna Dalun menundukkan kepalanya. “Benar kata orang-orang tua, kaki ini belum jauh melangkah, itu sebab tak mengenal rimba tak tahu rantau.” “Sudah, sudah,” ujar Masuga menggeleng-gelengkan kepala. “Kau bijak, sama seperti Datuk Kobeh ketika muda. Mengenalku pun bukanlah sebuah keharusa
“Apakah Datuk Hulubalang hendak menuju ke sana,” tanya Darna Dalun. “Biarlah saya yang mengantarkan Datuk.” “Tidak,” kata Masuga. “Sudah tidak berguna lagi.” “Maksud kau, Masuga?” Sutan Kobeh melirik pada Darna yang juga melirik kepadanya. “Itulah yang sangat aku sayangkan,” Masuga menghela napas dalam-dalam, wajahnya membayangkan kesedihan dan kemarahan sekaligus. “Rumah Sialang Babega sudah rata dengan tanah, dibakar seseorang.” “Hah…?!” Sutan Kobeh dan Darna Dalun benar-benar pandai memainkan peranan mereka. Berpura-pura terkejut dan tidak mempercayai ucapan Masuga. “Kau bergurau kan, Masuga?” ujar Sutan Kobeh dengan tangan gemetar menunjuk-nunjuk Masuga. “Tidak, aku tidak sedang bergurau.” “Tidak mungkin, Masuga!” ujar Sutan Kobeh, bahkan ia sampai terlonjak dari duduknya. “Sialang Babega itu punya kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng.” “Ayah!” Darna Dalun pun ikut berdiri. “Lebih baik kita ke sana seka
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Sutan Kobeh menyandarkan punggungnya, ia terlihat seperti benar-benar menyesali atas kematian Sialang Babega. “Aku telah kehilangan Wali Jorong terbaik yang aku punya. Kehilangan kawan baik.”“Ayah, sabarlah,” ujar Darna Dalun. “Aku yakin, cepat atau lambat, pasti akan terkuak jua.”“Katakan padaku, Masuga,” ujar Sutan Kobeh sembari memijat keningnya. “Adakah sesuatu yang sudah kau dapatkan sebagai petunjuk atas apa yang terjadi pada Sialang Babega?”Masuga menggeleng. “Aku hanya penasaran.”“Tentang?”“Para tetangga yang menguburkan jasad-jasad itu pagi tadi tidak menemukan jasad Zuraya dan anak sulung Sialang Babega di antara mayat-mayat yang ada.”“Apa ada yang tahu ke mana keduanya pergi?”“Entahlah,” kata Masuga. “Aku rasa, siapa pun pelaku yang telah memb
Darna Dalun menyeringai menanggapi ucapan Sutan Kobeh yang berlalu kembali masuk ke dalam rumah. Pemuda itu pun bergegas berlari ke arah belakang dengan memutar ke sisi kiri rumah dan berharap kedua orang gurunya itu menunggu di dangau-dangau belakang.Tapi, tidak.Darna tidak menemukan Rumada dan Daro di sana.‘Guru, apa yang sedang kalian rencanakan?’ wajah pemuda itu langsung pucat pasi.Bagaimanapun, Darna juga mengetahui seperti apa sepak terjang si utusan Kerajaan Minanga yang bergelar Kuciang Ameh tadi itu.Cemas akan sesuatu, Darna Dalun kembali berlari menuju rumah utama dan langsung ke sisi kanan.Bergegas ia melepaskan ikatan seekor kuda berwarna coklat dari dua ekor yang ada di sisi itu. Dan dalam waktu yang sekejap pula, ia menggebrak kudanya.Sementara itu, Masuga ternyata kembali ke lokasi rumah Sialang Babega. Ia turun dari atas kudanya dan kembali memeriksa kondisi di sekitar.Halaman rumah yang ter