Sang rembulan di horizon timur terlihat cukup indah, meski dengan kehadiran setengahnya saja dari wujud keindahan itu, tapi itu sudah cukup untuk memberi ketenangan bagi makhluk yang mendambakan kedamaian.
Burung-burung hantu itu contohnya. Mereka bersahut-sahutan dari satu sudut rimba ke sudut rimba lainnya. Seolah ketenangan malam di bawah siraman cahaya lembut sang rembulan adalah sebuah pertanda bagi mereka untuk beranak pinak.
Buyung Kacinduaan masih duduk memeluk lutut di atas salah satu batu besar di tepian sungai sisi timur. Duduk melamun seraya menatap kelembutan rona sang rembulan.
Di belakang sang bocah, pada batu yang lebih besar dan lebih tinggi, Inyiak Tuo Bamato Biru berbaring di atas batu tersebut. Tatapannya juga tertuju kepada sang ratu malam di ujung ketinggian sana, namun lebih seringnya, tatapannya itu tertuju ke punggung sang bocah di hadapannya.
Gemericik aliran air sungai lebar namun dangkal itu menambah denting da
“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Buyung Kacinduaan terkesiap, ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu ke belakang dan terhenti pada sosok harimau putih itu yang masih melenguh pendek dan halus.‘Tidak,’ gumam sang bocah dalam hati. ‘Jelas bukan Inyiak Balang yang berucap barusan itu!’Kembali tatapan Buyung tertuju ke arah sang rembulan separo.“Kau tahu apa yang indah dari sang rembulan?”Tiba-tiba wajah sang bocah tenggelam dalam kesedihan. Benar, bisik hati kecilnya. Itu suara ayahnya. Suara Sialang Babega yang seperti terputar ulang di dalam bilik ingatan sang bocah.“Aku tidak tahu, Ayah. Yang aku tahu, bulan sangat indah, apalagi dengan bentuk bulat sempurna seperti sekarang itu.”Sialang Babega tertawa pelan seraya mengusap kepala Buyung Kacinduaan.“Keindahan rembulan ada pada ketenangannya, Buyung.”“Ketenangan?&rd
Darna Dalun beserta Rumada dan Daro telah jauh meninggalkan lapau sebelumnya itu, seperti janji mereka sebelumnya, Darna memberikan koin lebih kepada si pemilik lapau. Meskipun pemilik lapau itu tidak tahu menahu siapa ketiga orang tersebut, tapi itu tidak penting baginya, yang terpenting ia mendapatkan ganti rugi atas makanan yang ditinggalkan dan tidak dibayar oleh para bandit hutan sebelumnya itu.Dan kini rombongan Darna tengah menyusuri sisi selatan Danau Maninjau menuju ke arah barat. Darna dengan menunggang kuda coklat milik mendiang Rimau Buluah, Rumada dan Daro pula dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh mereka. Tujuan mereka masih sama, mencari keberadaan Datuak Sani dan mendapatkan kepingan ketiga Teratai Abadi.Permukaan Danau Maninjau di malam hari seperti kali ini terlihat mengagumkan. Riak-riak kecil yang disebabkan embusan angin malam atau pula sesuatu di bawah permukaannya yang berlarian, berkilauan memantulkan cahaya lembut
Kokok ayam hutan yang melengking panjang menembus kelebatan hutan itu sendiri membangunkan Darna Dalun, kicau burung di pagi hari itu sama sekali tidak dipandang indah oleh Darna. Tidak pula udara pagi yang sangat segar di kawasan itu mampu mengubah raut sinis di wajah pemuda itu kini.Ia turun dari batu besar itu, Rumada dan Daro pun baru saja terbangun. Darna mencuci wajah dan kepalanya di tepian danau.“Apakah kau akan berkata lagi untuk kita harus mengisi perut terlebih dahulu sebelum menemui orang tua itu?”Rumada dan Daro yang akan mendekati tepian danau saling pandang sebelum akhirnya tatapan mereka tertuju kepada Darna.“Tidak,” sahut Rumada. “Itu tidak perlu. Kecuali kau memang mau mengisi perutmu.”“Bagus,” sahut Darna datar saja. Ia lantas mendekati kuda yang terpaut tidak jauh dari batu besar tersebut. “Lebih cepat, lebih baik.”“Apa yang terjadi p
“Kau yakin,” ujar Darna Dalun dari atas punggung kuda kepada Rumada, “orang tua yang satu ini yang bernama Datuak Sani?”“Tentu saja,” sahut Rumada. “Tidak ada orang tua berusia 70 tahun yang masih menggunakan minyak akar bahar[1] agar rambutnya menjadi rapi. Dia satu-satunya.”Si orang tua yang memang adalah Datuak Sani terkekeh mengangguk-angguk. “Matamu jeli juga ternyata.”“Jadi kau mengakui bahwa kau adalah Datuak Sani?” tanya Daro, sekali lagi.“Apa kalian melupakan etika?” sahut Datuak Sani. “Datang tampak wajah pulang tampak punggung, hemm? Atau, memang seperti inilah orang-orang muda zaman sekarang?”“Aku hanya berkata sekali saja,” ujar Darna dari atas kudanya. “Berikan pada kami kepingan ketiga Teratai Abadi, dan kami akan langsung pergi dari sini.”Datuak Sani tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepa
Dalam posisi Darna Dalun dan Datuak Sani yang seperti itu, Rumada dan Daro tidak tinggal diam, keduanya langsung menyerang.Daro dari arah samping kiri dengan cakar Kuku Api mengincar rusuk Datuak Sani, manakala Rumada pula dari samping kanan dengan tebasan satu goloknya ke arah pinggang lawan.Hanya saja, untuk seorang pendekar tua sekelas Datuak Sani, semua pergerakan tersebut telah masuk dalam perhitungannya. Ia menyalurkan tenaga dalamnya ke kaki kanan lalu menghantamkan kaki kanannya itu dengan cepat ke arah datangnya tebasan golok.Tebasan Rumada terhenti, bahkan goloknya yang tajam itu seolah menyentuh sesuatu yang lembut namun juga kuat, telapak kaki si pria tua memerah menahan golok Rumada.Dan bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, Datuak Sani mengentakkan tangan kirinya menyongsong sepuluh cakar dari Daro dalam bentuk cakaran juga.Lima cakar bahkan mampu menahan sepuluh cakar wanita tersebut. Bahkan, itu dilakukan Datuak Sani tan
Dari dalam rumah, di balik jendela berdaun ganda yang sedikit renggang, Arum menyaksikan semua pertarungan di depan rumah mereka tersebut. Tiga orang mengeroyok ayahnya, namun tak satu jua dari mereka yang mampu melukai sang ayah.Gadis manis itu terlihat sedikit bengis ketika mengernyitkan keningnya.‘Dasar orang-orang tidak tahu diri!’ umpatnya di dalam hati. ‘Apakah kalian tidak mengukur terlebih dahulu dalamnya lautan? Tingginya langit? Ayahku sayang pasti akan membunuh kalian semua!’Tapi kenyataannya, Datuak Sani hanya berdiri saja di dekat lio-nya itu, Rantai Narako yang melilit tangannya kembali terurai, berputar-putar dan menjela ke tanah dengan mengeluarkan suara berdesis seperti tersiram air.Dan sepertinya, keinginan Arum tidak akan terjadi.Sementara itu, Rumada pun membantu memapah Darna Dalun bersama Daro.“Ke—kenapa?” ujar Darna dengan wajah merah dan keringat sebesar butir-butir jagu
Pagi yang sama di mana Buyung Kacinduaan terbangun dengan tubuh mengejang di dalam gua itu. Memang, tubuh bocah tujuh tahun itu tidak mengelinjang-gelinjang seperti yang sudah-sudah, namun tentu, bila dibiarkan begitu saja hanya akan menjadikan bocah itu semakin tersiksa.Sang harimau putih mengawasi tubuh yang mengejang di lantai gua, tatapannya terfokus pada dada sang bocah.Makhluk buas yang didewakan oleh masyarakat itu seolah mampu melihat hingga ke lapisan dalam tubuh tersebut.Satu-satunya penjelasan mengapa tubuh itu kembali mengejang adalah kenyataan bahwa di dalam tubuhnya itu telah bersarang racun dari serangga legendaris Sipasan Api, juga racun dari cacing-cacing bercahaya.Namun sesungguhnya, alasan terbesar sang harimau putih meminta Buyung Kacinduaan menelan cacing-cacing bercahaya itu hanyalah demi mengobati luka-luka dalam bocah tersebut yang tidak disadari oleh bocah itu sendiri.Dan kini, siapa yang bisa menduga
Upik Andam terlihat lebih bersemangat di pagi ini. Ia memang sedang membawa semangkuk singkong rebus dengan beberapa butir cabai hijau, dan sebuah kendi kecil di kedua tangannya. Namun, langkah kaki gadis 18 tahun itu jelas sedang menggambarkan perasaannya yang riang gembira.Begitu ia sampai di gubuk kecil itu, ia tidak menemukan apa yang ia cari. Tapi, sang gadis tersenyum dengan sangat manis. Paling tidak, ia tahu harus mencari ke mana sesuatu yang ingin ia jumpai tersebut.Gadis itu pun kembali melangkah, meninggalkan gubuk kecil untuk terus menuju ke arah hutan belantara di belakang sana.Senandung tanpa lirik yang mengalun lembut dari mulut sang gadis terdengar begitu indah. Seolah-olah ia sedang memuji suasana pagi ini yang begitu hangat lagi menyenangkan. Rumput-rumput liar bergoyang bersinggungan dengan tubuh sang gadis, seakan-akan ikut menari bersama keceriaan yang ada.Di bibir hutan itu, ada sebuah aliran anak sungai dengan d