PELET DARAH KOTOR
"Aku ingin menikahimu, Kesih, apa syarat yang kau minta?" tanya Karta sang juragan penggilingan padi. Pemilik puluhan hektare lahan pertanian di Desa Kemangi terus menatap Sukesih. Dalam pandangan matanya tidak ada perempuan yang cantiknya melebihi Sukesih saat ini, tidak juga Sumiarsih istrinya. Seorang mantan penari jaipong yang dahulunya menjadi primadona pria-pria sekecamatan. Pagi-pagi sekali, Karta yang juga seorang lintah darat sudah berkunjung ke rumah Sukesih. Mengetuk-ngetuk pintu rumahnya untuk bisa bertemu dengan perawan setengah tua bernama Asih Sukesih. Sukesih sengaja membiarkan saja Karta yang terus mengetuk pintu dan berteriak-teriak memanggil namanya, tidak langsung pintu rumah dibukanya. Dia hanya mengintip dari dalam rumah, melihat prilaku Karta yang seperti kelimpungan karena ingin menemuinya. Selarik senyum sedikit terangkat dari satu sudut bibirnya. Sebuah senyuman sinis, senyuman kemenangan. Satu per satu dendamnya akan dia balaskan, dan yang pertama adalah membuat Sumiarsih menderita. Mantan penari jaipong itu sudah terlalu sering menghinanya, merendahkannya, dan Sumiarsih harus menerima balasannya. "Perawan miskin sepertimu mana ada yang mau, Kesih. Bahkan, belum tentu juga kau masih perawan," ejeknya sembari tertawa lepas, dan itu sangat menyakiti hati Sukesih. "Sudah kau jual berapa kegadisanmu saat menjadi babu di kota? Apa digratisin buat majikan?" Kembali dia memfitnah, mulutnya memang tajam dan jahat sekali. Warga desa yang sedang makan di warung soto milik temannya, Narti, malah ikut-ikutan menertawai. Sumiarsih sudah seperti suaminya, lintah darat Karta. Dihormati warga desa karena kekayaan dan kekuasaannya, bukan karena kebaikan ataupun kemurahan hatinya. "Sabar, Sih, jangan diladenin. Nanti juga dia mendapatkan karmanya karena sudah menghinamu," ucap Narti, menyabarkan hati Sukesih. Yah, sedari mereka kecil, Sumiarsih memang sangat sering membully Sukesih dan Narti, karena usia mereka bertiga yang hampir seumuran. Namun, hinaan yang diterima Sukesih tidak sesering Narti. Mereka berdua adalah korban kedzalimannya Sumiarsih sedari dulu. Dan lewat Narti, akhirnya Sukesih bisa memperdaya Juragan Karta. Soto yang untuk dihidangkan buat Karta, diberikan dulu kepada Sukesih kemudian diberikan darah kotor Sukesih yang sedang datang bulan. Rencana Sukesih didukung sepenuhnya oleh Narti. Mantan penari jaipong itu memang harus dibuat menderita. "Kang Karta ingin tahu syaratnya, jika ingin menikah dengan Asih?" Karta mengangguk cepat, dia sudah sangat bernafsu melihat Sukesih. "Apa pun akan Akang lakukan agar bisa menikahimu, Sih?" Mata Sukesih menatap Karta tajam, senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Berucap pelan namun tegas. "Usir Sumiarsih dari rumah Akang. Tidak boleh membawa apa pun selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Kang Karta berani tidak?"Syarat dari Sukesih kepada lintah darat yang sedang tergila-gila kepadanya itu, jika memang benar-benar Karta menginginkan dirinya. Syarat yang sudah disepakati sebelumnya berdua oleh Narti, sebagai balasan dari perbuatan dzalim Sumi terhadap mereka selama ini.
Karta tersenyum lebar hingga nampak seluruh giginya. Matanya terus menatap Asih dengan penuh bernafsu. Tidak ada lagi hinaan yang dia lontarkan seperti biasanya setiap kali bertemu dengan perawan tua itu, bahkan pernah sampai membuang ludah karena melihat Asih berpakaian kumal. Yang dilihat oleh matanya sekarang adalah Asih Sukesih sebagai sesosok wanita paling cantik dan paling menggairahkan birahinya.Layaknya seperti seorang bidadari yang turun dari langit tanpa busana.
"Berani atau tidak? Hahaha ... hahaha ....!" Juragan Sukarta tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan Asih, entah apa yang lucu atas syarat yang diajukan oleh perawan tua tersebut.
"Hanya itu saja syarat yang kamu minta, Neng geulis?" Asih hanya tersenyum sinis. Seumur-umur Juragan Karta tidak pernah memanggilnya cantik, apalagi sampai memujinya. Tirakat ritual untuk menundukkan lelaki yang dia inginkan ternyata berhasil.
Dan Karta adalah target pertamanya untuk dapat membalas dendam kepada Sumi, selain juga harta kekayaannya.
Karta mendekatkan tubuhnya ke arah Asih, dia mulai bertingkah genit. Jemari tangannya yang penuh dengan cincin batu mulia berwarna-warni mulai menjawil genit dagu Asih, dan perawan tua itu membiarkan saja.
Juragan Karta sudah kehilangan kesadaran, yang ada di otaknya adalah kecantikan dan kemolekan Neng Asih Sukesih. Pelet darah kotor yang sudah ia ritualkan, kemudian bercampur dengan kuah soto yang disantap Karta, untuk mengerjai si lintah darat tersebut ternyata berhasil sempurna. Karta sudah seperti anj*ng penjaga yang setia, merajuk memutari kaki si pemilik karena menginginkan tulang berlemak.
"Itu saja dulu syaratnya Juragan, belum tentu juga Juragan berani melakukannya," sindir Asih, menantang keberanian Karta untuk mengusir istrinya Sumi.
Part 30"Nartii ...! Bikinin soto nya tiga!"Narti dan Asih saling berpandangan, seperti tidak percaya jika secepat itu sudah ada pelanggan yang datang ke warung soto miliknya. "Nartii! Ini dagang nggak, sih?" Terdengar teriakan dari ruangan warung bagian depan. "Iya, Kang! Sebentarr!" jawab Narti cepat. Wajahnya terlihat cerah. "Ayuk, Sih ada pelanggan," ajak Narti meminta Asih membantunya melayani pelanggan. "Urang di dapur saja, Sih. Nanti jika Juragan Karta melihat urang, malah tidak jadi makan di sini," jelas Asih kepada Narti. "Terus, ini kuah sotonya bawa ke depan tidak?""Tidak usah, Nar. Biar di sini saja. Masa urang nanti ngangkang di depan banyak orang?"Narti tertawa kecil mendengar ucapan Asih, dan memang benar. Rahasia dagangnya ini jangan sampai diketahui oleh orang lain selain hanya dia dan Asih. "Nartii ...! Maneh pingsan di dalam!" Si pelanggan yang Narti tahu itu suara dari Kang Kosim memanggilnya kembali. Dan Kosim ini boleh dibilang mungkin jarang sekali mak
Part 29Pagi-pagi sekali, dengan ditemani oleh Asih, Narti berangkat ke pasar dadakan yang berada di Desa Sekarwangi. Untuk ke desa itu, mereka harus melewati Desa Cipandayan terlebih dahulu, baru setelah itu desa tujuan mereka untuk berbelanja kebutuhan berdagang warung soto milik Narti. Asih memang sengaja memilih menginap di rumah Narti semalam, selain karena Narti minta ditemani untuk pergi ke pasar, hari ini juga untuk yang pertama kali mereka mencoba penglaris dagang yang diberikan oleh Nyi Warsih. Selain untuk membuat agar dagangan Narti menjadi laris, penglaris dan pengharum aroma masakan ini juga bertujuan agar Juragan Karta mau mampir dan makan di warung soto santan milik Narti. Keduanya sangat bersemangat sekali. Ingin secepatnya membuktikan keampuhan penglaris dari Nyi Warsinah. Apakah benar bisa membuat dagangan Narti menjadi laris dan diserbu pembeli. Karena memang sebenarnya, warung soto milik Narti ini tidak bisa dibilang rame-rame amat, bahkan cenderung sepi pemina
Part 28Tubuh Asih sampai bergetar dan menggigil saat ada sesuatu seperti hembus angin yang tidak terlihat oleh kasat mata memasuki kemaluannya. Badannya terasa dingin, namun perlahan-lahan mulai hilang dengan sendirinya, dan sekarang justru area sekitar kehormatannya terasa hangat. Tidak ada sedikit pun rasa sakit pada area itu.Sepertinya, malam mulai memasuki waktu subuh, ketika Nyi Warsih dan Narti kembali datang untuk menjemput Asih Sukesih di lobang pohon tempat ritual berlangsung. Tidak banyak percakapan atau pun pertanyaan dari dukun tua tersebut, karena mereka langsung kembali lagi ke goa tempat di mana dukun perempuan tua itu tinggal."Gimana Sih, serem nggak ditinggal sendiri?" bisik Narti saat mereka berjalan bersisian dan sudah hampir sampai goa, sementara Nyi Warsih dengan langkah terseok-seok melangkah lebih dulu."Urang nteu berani buka mata, Nar. Merem wae ngikutin perintah dari Nyai Warsih," jawab Asih juga dengan sedikit berbisik."Tidak terjadi apa-apa gitu, Sih?"
Part 27Setelah Asih melepaskan celana dalamnya seperti yang diminta oleh Nyi Warsih, mereka bertiga segera keluar goa mengikuti langkah sang dukun pemuja penghuni alam kegelapan. Berjalan perlahan menyusuri kegelapan malam Hutan Cipelang dengan hanya membawa dua buah obor. Menerobos rumput ilalang lebih masuk lagi ke dalam hutan, dan berhenti tepat di sebuah pohon yang sangat tinggi dan besar. Suara-suara hewan hutan sesekali terdengar, diselingi suara gemerisik ranting-ranting pohon yang terkena hembusan angin malam. Bagi Narti dan Asih suasana terasa sangat mencekam. Isi dalam hutan ini masih sangat asing bagi mereka, tapi tidak buat Nyi Warsih. Nyi Warsih lantas memutari pohon besar tersebut, diikuti oleh Narti dan Asih, yang langsung terkejut setelah melihat batang pohon itu berlobang besar pada bagian bawah, mirip seperti pintu bulat yang terbuka lebar. Sesaat Nyi Warsih mengucapkan mantra-mantra dengan matanya yang terpejam, yang tidak dimengerti oleh Asih dan Narti. Seseka
Part 26"Gimana, Neng Asih. Maneh jadi nteu, ngejalankeun ritual Iyeu?" Nyi Warsih langsung bertanya kepada Asih apakah sudah siap untuk menjalankan ritual ini, yang dinilai oleh si dukun perempuan itu terlihat ragu-ragu, saat dia meminta untuk menjalani ritual pelet darah kotor. "Jika ragu-ragu lebih baik tidak usah, karena nanti kemungkinan akan gagal di tengah jalan. Buang-buang waktu. Lagipula, malam ini malam yang paling bagus waktunya untuk menjalankan ritual ini karena bertepatan dengan malam bulan purnama. Coba maneh lihat sendiri," ucap Nyi Warsinah sambil menunjuk ke dalam lorong goa sisi sebelah kiri. Narti dan Asih sesaat saling bertatapan, keduanya turun dari altar batu, lalu mulai mengikuti perintah sang nyai memasuki lorong gua sebelah kiri, dan benar saja, ternyata terdapat lobang pada langit-langit goa sehingga bisa langsung melihat angkasa raya. Dan ucapan Nyi Warsinah ternyata benar adanya. Malam ini terlihat jelas di atas langit nan luas, jika penampakan bulan te
Part 25"Siapa lagi pelakunya, Nyi Warsih, selain bapaknya si jalang Sumi?" tanya Asih dengan tatapan mata yang penuh dendam dan kemarahan."Sepertinya Juragan Karta, Sih. Karena 'kan bapaknya si Sumi setelah menghianati bapakmu, dia kerjasama dengan Karta," ucap Narti, mencoba menebak menurut pemikirannya. "Benar itu Nyi, Karta si orang lain itu selain Darto bapaknya si Sumi?""Yang urang lihat bukan si Karta, tetapi si Ruslan, tangan kanannya. Urang nteu ngerti, apa Karta tau atau tidak peristiwa itu," jelas Nyi Warsinah. "Jadi si Ruslan dan Darto pelakunya. Kasihan almarhum bapak, menjadi korban fitnah mereka, bahkan dibunuh juga oleh mereka," ucap Asih dengan nada geram. "Juragan Karta sepertinya tau, Sih. Karena Ruslan itu orang kepercayaannya. Siapa tau dia hanya diperintahkan oleh Karta untuk menghabisi nyawa ibumu itu," ujar Narti lagi. "Siapa yang ingin kalian buat mati, Neng Asih. Sumi anak si Darto atau si Karta. "Sumi pastinya, biar matinya tragis seperti si Dadang da
Part 24"Pertolongan naon, Narti. Harta? Pesugihan?""Menghabisi nyawa seseorang, Nyi. Seperti saat Nyi Warsih menghukum suami saya, Dadang."Nyi Warsinah menatap tajam, selesai Narti berucap seperti itu. "Ikut aing," ucapnya, berbalik badan lantas berjalan menembus kegelapan. Nyi Warsinah tidak membawa obor, tetapi seperti tidak menemui kesulitan menapaki jalan yang gelap. Narti dan Asih dengan masing-masing membawa obor mengikuti di belakangnya. Menembus di antara dua pohon yang sangat besar, menyibak rerumputan dan akar-akar pohon yang menjuntai, akhirnya mereka sampai di goa tempat Nyi Warsinah tinggal. Goa yang gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun. Goa itu mulai terlihat sedikit terang setelah Asih dan Narti, dengan masing-masing membawa obor mulai masuk ke dalam goa. Pintu masuk goa yang tertutup ilalang dan akar-akar pohon, sekilas tidak ada yang mengira ada lobang gua di tempat itu. Goa berlobang di luar kecil sebagai pintu masuk, ternyata besar di bagian dalam.
Bagian 23Mata Asih membulat sempurna mendengar pengakuan dari sahabatnya, Asih. Dia seperti tidak percaya jika kematian Dadang akibat santet yang dilakukan oleh Nyi Warsinah. "Maneh benaran, Nar?" Narti mengangguk, matanya menyiratkan kemarahan dan kebencian. "Nyi Warsinah menawarkan kepada urang, ingin dibuat seperti apa Dadang, urang bilang ingin dia mati. Urang sakit hati, Sih. Urang hampir setiap hari dihajar dan disiksa fisik serta batin urang. Urang hanya dijadikan sebagai sapi perahan. Mematikan suami urang adalah cara yang tepat agar urang terlepas dari penderitaan.Urang tidak menyesal, Sih. "Berarti maneh tau, Nar, saat-saat Dadang meregang nyawa?" Narti mengangguk cepat, kemarahan di sorot matanya masih terlihat jelas. “Nyi Warsinah lantas menyuruh urang pulang, setelah selesai menjalani ritual, hampir dua hari urang di hutan bersama Nyi Warsih. Waktu urang bilang takut kalau pulang akan disiksa suami urang lagi, Nyi Warsih bilang Dadang hanya tinggal menunggu mati. "
Sumi kembali tertawa terbahak-bahak. Bahagia sekali dia nampaknya sudah membuat Asih menderita. Sumi pun pergi berlalu dengan diikuti oleh dua centeng suaminya. Kembali berkeliling menagih warga yang sudah berhutang riba kepadanya. Sumi sudah tidak lagi terlihat, dengan langkah terpincang-pincang Narti mulai menghampiri Asih yang terduduk di galangan. Dia sibuk membersihkan wajah dan tubuhnya dengan genangan air. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tubuhnya memang merasakan sakit akibat perbuatan Asih, tapi luka yang menggores dalam dan berdarah justru ada di dalam hatinya. Sudah terlalu sangat menyakitkan perbuatan maupun perkataan Sumi terhadapnya. "Sih, Asih! Maneh tidak kenapa-napa 'kan? ucap Narti dengan nada panik, saat sudah ada di dekat sahabatnya itu. Entah kenapa, hari ini Asih merasakan jika dirinya sedang cengeng sekali. Biasanya, dia tidak pernah menangis saat dizholimi Sumi, tetapi tidak hari ini, hatinya merasa nelangsa sekali."Sabar, ya, Sih. Si Dazzal itu pasti akan me