Share

Part 3 Sumpah yang Harus Dipenuhi

Asih Sukesih tidak lagi bertanya, dia hanya tersenyum sembari mengerdipkan sebelah matanya kepada sahabat sependeritaannya, Narti, dan Narti sudah bisa membaca maksud kode dari Asih. 

"Jadi, rencana kita beneran berhasil, Sih?" tanya Narti, walaupun dari kejauhan dia sudah bisa melihat, namun, dia ingin lebih memastikan. 

"Berhasil, Nar. Si Karta sekarang sudah tergila-gila denganku, layaknya a*jing penjaga kepada tuannya, dan aku sekarang yang jadi tuannya." Asih tertawa cekikikan, begitupun dengan Narti. Rencana mereka berdua untuk menuntut balas kepada Sumi akhirnya bisa terlaksanakan. 

"Sekarang, waktunya kita melihat penderitaan si jalang Sumi. Aku sudah berjanji, akan tertawa paling bahagia di depan biji matanya si Sumi nanti. Biar dia bisa merasakan, bagaimana sakitnya ditertawakan karena dianggap rendah dan hina," geram Asih, kembali mengutarakan sumpahnya di depan Narti, yang memang dahulu sudah Asih ucapkan ke sahabatnya itu, saat pertamakali Asih berhasil mendapatkan amalan dan rapalan mantra pelet darah kotor. Setelah beberapa kali melewati tahapan ritual yang sangat menguji hati dan keberaniannya. 

Rasa dendam dan kebencian yang selama ini hanya dia pendam, membuat Asih menjadi berani mengikuti tahapan ritual yang harus dia jalani berhari-hari. 

"Jika kamu, akan melakukan apa, Nar? Di depan si jalang Sumi nanti?"

Narti terlihat senyum menyeringai, dia sedang mengingat-ngingat hinaan dan semua perlakuan Sumi yang pernah dilakukan terhadapnya dulu, yang membuat dendamnya terhadap istri dari orang paling kaya di desanya ini sama besarnya dengan dendamnya Asih. 

Nyala obor hanya terlihat dari Asih dan Narti di antara gelap gulitanya sisi hutan dan rumput-rumput ilalang setinggi dada orang dewasa. Suara-suara aneh sesekali terdengar dari dalam hutan, tetapi mereka berdua sudah terbiasa, terutama Asih yang memang tinggal tidak jauh dari situ. Narti sepertinya sudah bisa mengingat peristiwa yang paling menyakitkan baginya karena perbuatan Sumi. 

"Kamu ingat tidak, Sih, saat kita kecil dulu, kejadian dekat jembatan bambu?" Asih mencoba untuk mengingat-ingat, dan dengan mudah dia bisa menemukannya. 

"Ya, aku ingat, Nar. Saat itu hari sudah mau memasuki waktu maghrib?"

"Dan kamu masih ingat apa yang saat itu dilakukan si jalang Sumi terhadapku, Sih?"

"Aku sangat ingat, Nar. Maafkan aku jika tidak melakukan apa pun terhadap Sumi?"

"Kita berdua dulu tidak ada yang berani terhadap Sumi, begitupun sekarang. Jika dulu kita takut sama almarhum bapaknya yang jawara, sekarang kita takut dengan suaminya si lintah darat. Makanya, si jalang itu sekarang semakin semena-mena.

"Saat si Sumi jalang itu mendorongku ke bawah sungai, dengkulku sampai berdarah karena terantuk batu, tulangnya pun bergeser, dan itu yang membuat jalanku sekarang menjadi pincang," geram Narti. 

"Dan si jalang itu juga yang memanggiku dengan sebutan si pincang, sehingga diikuti oleh warga yang lain. Ingin rasanya kucabik-cabik wajahnya." Wajah Narti menggambarkan kebencian dan kemarahan kepada orang yang sudah membuatnya menjadi cacat. 

"Dan sekarang, si jalang itu sebentar lagi akan mendapatkan balasannya." Kali ini Asih yang bicara. 

"Dan aku, si pincang ini, akan menari-nari di hadapannya, saat si jalang itu sedang menderita." 

"Kamu benar, Nar, kita harus membuat si jalang Sumi mati dalam keadaan menderita, baru kita berdua merasakan puas." 

Dan kedua wanita yang sama-sama memendam dendam itu kembali tertawa keras. Bersama, mereka mulai jalan beriringan menuju rumah Juragan Karta dengan masing-masing membawa obor menembus kegelapan malam. 

Keduanya sudah berjanji, akan menepati sumpah mereka masing-masing di hadapan Sumiarsih nanti, bekas kembang Desa Cimangi mantan penari jaipong tersohor di wilayah sekitaran sini.

÷÷÷

Juragan Karta bergegas menuju rumahnya setelah baru saja selesai menemui Asih. Sebuah syarat diajukan oleh Asih untuknya, syarat jika Karta memang sangat menginginkannya. Membuang Sumi sang istri tanpa membawa apapun. Sebuah syarat yang mudah bagi sang juragan. 

Perawan setengah tua yang tinggal sendiri di sisi dekat hutan itu sudah sangat memikat hatinya. Karta sudah tidak ingat lagi sama sekali, saat-saat dia sering menghina dan merendahkan Asih dahulu. Dia juga tidak melihat lagi kemiskinan dan kumalnya baju-baju kebaya yang selalu perawan setengah tua itu pakai. Yang terlihat di mata Karta sekarang, adalah sesosok Asih yang cantik tanpa cela. Setiap kali sang juragan melihatnya, nafsu birahinya selalu bergejolak. 

Dua hari terakhir ini, setelah Karta melihat Asih. Pikiran dan hatinya tidak bisa lepas dari memikirkan si perawan tua. Wajah Asih selalu terbayang-bayang di matanya. Dia tidak bisa memikirkan apapun lagi selain perawan yang dulunya selalu dia hina sebagai si miskin yang kumal dan menjijikkan. 

Karta sudah sampai di rumahnya yang terang karena cahaya lampu, tidak seperti rumah-rumah lain di desa ini. Dua orang centeng yang menjaga pintu tembok pagar halaman rumah sang juragan, dengan golok di pinggang langsung berdiri melihat kedatangan majikan mereka. Yang akhir-akhir ini mereka nilai seperti orang yang sedang linglung. Dari mulutnya selalu saja bercerita tentang kecantikan dan kemolekan Asih, dan di antara mereka tidak ada yang berani membantah. 

Kedua centeng berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala itu jelas bingung. Mereka berdua pun tahu dan mengenal seperti apa sosok Asih, yang mereka sendiri pun segan untuk menggodanya, karena tidak ada yang luar biasa dari sosok perawan tua tersebut, kebaya yang dipakai saja terlihat kumal-kumal. 

Karta langsung saja masuk ke dalam rumah dengan mendorong pintunya secara kasar dan keras, tidak dia hiraukan kedua centeng yang mengangguk melihat kedatangannya. Saat ini urusannya hanya satu, mengusir Sumi dari rumahnya. 

"Sumi! Sumii ...! Juragan Karta berteriak-teriak di dalam rumahnya, sembari mencari sang istri kesana kemari. Rumahnya yang luas dan banyak memiliki kamar membuat dia harus membukanya satu persatu, bahkan dengan cara menendang pintunya, tetapi Sumiarsih sang istri belum juga dia temukan. 

"Sialan! Kemana si jalang itu!" umpat Karta dengan rasa kesal, karena Sumi belum juga dia ketemukan. Padahal, Karta sudah mencari di setiap sudut rumahnya. Pintu-pintu kamar yang sudah dia buka dibiarkan begitu saja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status