Asih Sukesih tidak lagi bertanya, dia hanya tersenyum sembari mengerdipkan sebelah matanya kepada sahabat sependeritaannya, Narti, dan Narti sudah bisa membaca maksud kode dari Asih.
"Jadi, rencana kita beneran berhasil, Sih?" tanya Narti, walaupun dari kejauhan dia sudah bisa melihat, namun, dia ingin lebih memastikan.
"Berhasil, Nar. Si Karta sekarang sudah tergila-gila denganku, layaknya a*jing penjaga kepada tuannya, dan aku sekarang yang jadi tuannya." Asih tertawa cekikikan, begitupun dengan Narti. Rencana mereka berdua untuk menuntut balas kepada Sumi akhirnya bisa terlaksanakan.
"Sekarang, waktunya kita melihat penderitaan si jalang Sumi. Aku sudah berjanji, akan tertawa paling bahagia di depan biji matanya si Sumi nanti. Biar dia bisa merasakan, bagaimana sakitnya ditertawakan karena dianggap rendah dan hina," geram Asih, kembali mengutarakan sumpahnya di depan Narti, yang memang dahulu sudah Asih ucapkan ke sahabatnya itu, saat pertamakali Asih berhasil mendapatkan amalan dan rapalan mantra pelet darah kotor. Setelah beberapa kali melewati tahapan ritual yang sangat menguji hati dan keberaniannya.
Rasa dendam dan kebencian yang selama ini hanya dia pendam, membuat Asih menjadi berani mengikuti tahapan ritual yang harus dia jalani berhari-hari.
"Jika kamu, akan melakukan apa, Nar? Di depan si jalang Sumi nanti?"
Narti terlihat senyum menyeringai, dia sedang mengingat-ngingat hinaan dan semua perlakuan Sumi yang pernah dilakukan terhadapnya dulu, yang membuat dendamnya terhadap istri dari orang paling kaya di desanya ini sama besarnya dengan dendamnya Asih.
Nyala obor hanya terlihat dari Asih dan Narti di antara gelap gulitanya sisi hutan dan rumput-rumput ilalang setinggi dada orang dewasa. Suara-suara aneh sesekali terdengar dari dalam hutan, tetapi mereka berdua sudah terbiasa, terutama Asih yang memang tinggal tidak jauh dari situ. Narti sepertinya sudah bisa mengingat peristiwa yang paling menyakitkan baginya karena perbuatan Sumi.
"Kamu ingat tidak, Sih, saat kita kecil dulu, kejadian dekat jembatan bambu?" Asih mencoba untuk mengingat-ingat, dan dengan mudah dia bisa menemukannya.
"Ya, aku ingat, Nar. Saat itu hari sudah mau memasuki waktu maghrib?"
"Dan kamu masih ingat apa yang saat itu dilakukan si jalang Sumi terhadapku, Sih?"
"Aku sangat ingat, Nar. Maafkan aku jika tidak melakukan apa pun terhadap Sumi?"
"Kita berdua dulu tidak ada yang berani terhadap Sumi, begitupun sekarang. Jika dulu kita takut sama almarhum bapaknya yang jawara, sekarang kita takut dengan suaminya si lintah darat. Makanya, si jalang itu sekarang semakin semena-mena.
"Saat si Sumi jalang itu mendorongku ke bawah sungai, dengkulku sampai berdarah karena terantuk batu, tulangnya pun bergeser, dan itu yang membuat jalanku sekarang menjadi pincang," geram Narti.
"Dan si jalang itu juga yang memanggiku dengan sebutan si pincang, sehingga diikuti oleh warga yang lain. Ingin rasanya kucabik-cabik wajahnya." Wajah Narti menggambarkan kebencian dan kemarahan kepada orang yang sudah membuatnya menjadi cacat.
"Dan sekarang, si jalang itu sebentar lagi akan mendapatkan balasannya." Kali ini Asih yang bicara.
"Dan aku, si pincang ini, akan menari-nari di hadapannya, saat si jalang itu sedang menderita."
"Kamu benar, Nar, kita harus membuat si jalang Sumi mati dalam keadaan menderita, baru kita berdua merasakan puas."
Dan kedua wanita yang sama-sama memendam dendam itu kembali tertawa keras. Bersama, mereka mulai jalan beriringan menuju rumah Juragan Karta dengan masing-masing membawa obor menembus kegelapan malam.
Keduanya sudah berjanji, akan menepati sumpah mereka masing-masing di hadapan Sumiarsih nanti, bekas kembang Desa Cimangi mantan penari jaipong tersohor di wilayah sekitaran sini.
÷÷÷
Juragan Karta bergegas menuju rumahnya setelah baru saja selesai menemui Asih. Sebuah syarat diajukan oleh Asih untuknya, syarat jika Karta memang sangat menginginkannya. Membuang Sumi sang istri tanpa membawa apapun. Sebuah syarat yang mudah bagi sang juragan.
Perawan setengah tua yang tinggal sendiri di sisi dekat hutan itu sudah sangat memikat hatinya. Karta sudah tidak ingat lagi sama sekali, saat-saat dia sering menghina dan merendahkan Asih dahulu. Dia juga tidak melihat lagi kemiskinan dan kumalnya baju-baju kebaya yang selalu perawan setengah tua itu pakai. Yang terlihat di mata Karta sekarang, adalah sesosok Asih yang cantik tanpa cela. Setiap kali sang juragan melihatnya, nafsu birahinya selalu bergejolak.
Dua hari terakhir ini, setelah Karta melihat Asih. Pikiran dan hatinya tidak bisa lepas dari memikirkan si perawan tua. Wajah Asih selalu terbayang-bayang di matanya. Dia tidak bisa memikirkan apapun lagi selain perawan yang dulunya selalu dia hina sebagai si miskin yang kumal dan menjijikkan.
Karta sudah sampai di rumahnya yang terang karena cahaya lampu, tidak seperti rumah-rumah lain di desa ini. Dua orang centeng yang menjaga pintu tembok pagar halaman rumah sang juragan, dengan golok di pinggang langsung berdiri melihat kedatangan majikan mereka. Yang akhir-akhir ini mereka nilai seperti orang yang sedang linglung. Dari mulutnya selalu saja bercerita tentang kecantikan dan kemolekan Asih, dan di antara mereka tidak ada yang berani membantah.
Kedua centeng berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala itu jelas bingung. Mereka berdua pun tahu dan mengenal seperti apa sosok Asih, yang mereka sendiri pun segan untuk menggodanya, karena tidak ada yang luar biasa dari sosok perawan tua tersebut, kebaya yang dipakai saja terlihat kumal-kumal.
Karta langsung saja masuk ke dalam rumah dengan mendorong pintunya secara kasar dan keras, tidak dia hiraukan kedua centeng yang mengangguk melihat kedatangannya. Saat ini urusannya hanya satu, mengusir Sumi dari rumahnya.
"Sumi! Sumii ...! Juragan Karta berteriak-teriak di dalam rumahnya, sembari mencari sang istri kesana kemari. Rumahnya yang luas dan banyak memiliki kamar membuat dia harus membukanya satu persatu, bahkan dengan cara menendang pintunya, tetapi Sumiarsih sang istri belum juga dia temukan.
"Sialan! Kemana si jalang itu!" umpat Karta dengan rasa kesal, karena Sumi belum juga dia ketemukan. Padahal, Karta sudah mencari di setiap sudut rumahnya. Pintu-pintu kamar yang sudah dia buka dibiarkan begitu saja.
Karta kembali ke depan rumahnya, lantas memanggil kedua centeng yang sedang menjaga rumahnya. Berdiri bertolak pinggang di depan teras rumah. "Sarkim! Kuroo!" Tanpa menunggu lama, kedua centengnya datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri, datang menghadap dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. "Tabee, Juragan?" tanya Kuro, centeng Karta yang bertubuh kurus tinggi. "Nyai Sumi kemana!" tanya Karta dengan membentak. "Ti-tidak tau, Juragan.""Dasarr gob*ookk! Kerja kalian apa di sini! Makan gaji buta, haa!" bentak Karta dengan sangat gusar. "Ma-maaf, Juragan. Nyai Sumi tidak ada keluar rumah dari saat kami berjaga di sini, Gan." Sarkim kali ini yang menjawab. "Tapi nyai tidak ada!" Kedua centeng itu saling melihat satu sama lain, seperti saling memberikan kode, dan Karta membacanya sebagai sesuatu yang seperti dirahasiakan. "Kalian berdua pasti tahu sesuatu?" selidik Karta kepada keduanya. "Bicara! Atau aing suruh si Rustam buat memenggal kepala kalian?" ancam Karta kepada kedua cente
"Ti-tidak tau tepatnya kapan, Tuan? Saya dan Sarkim baru tau hampir sebulan belakang ini," jelas Kuro kepada sang juragan. "Berarti sudah cukup lama si jal*ng Sumi bermain api di belakangku. Mungkin ini yang dimaksud oleh Neng cantik Asih agar aku mengusir si jal*ng itu dari rumahku," gumam Karta, berbicara ke dirinya sendiri. Semakin tergila-gila saja sang juragan kepada perawan tua tersebut. Karta lantas memberikan perintah kepada Sarkim dan Kuro. "Nanti, saat kita masuk, jangan dikasih kesempatan bagi mereka untuk mengelak. Tangkap dan langsung seret, jika perlu maneh berdua aing persilahkan untuk memakai kekerasan.""Tabeee ... Juragann.""Di mana si babu Syarief tinggal?" "I-itu, Juragan. Di pojok yang paling kiri," jawab Kuro lagi. Karta tidak menjawab, langsung menuju ke arah gubuk yang ditunjuk oleh centengnya barusan. Satu meter lagi mendekati gubuk tempat Syarif tinggali, hati Karta malah sudah semakin panas membara. Suara Sumi yang berkali-kali mendesah, bahkan menjeri
"Apaa? Khilaf katamu? Khilaf itu sekali, bukan berkali-kali! Dasar perempuan jal*ng!" bentak Juragan Karta lagi, masih terbakar emosinya. Lantas dia ambil kain dan kebaya milik sang istri, dan langsung menyobek-nyobeknya hingga tidak lagi berbentuk. Sobekan kain dia buang sekenanya tangan melempar. "Jangan, Kang, ampunn." Berkali-kali Sumi berusaha mencegah perbuatan suaminya, tapi Karta terus saja melakukannya. Kuro dan Sarkim, yang sedari tadi diperintahkan untuk menyeret Syarif, namun keduanya hanya berdiri terdiam. Sepertinya, mereka sedang menikmati tubuh sang nyai secara gratis. Karena, siapa pun pria di Desa Kemangi ini pasti bermimpi untuk bisa tidur dengan istri dari sang juragan, tidak terkecuali dengan para centeng suaminya. "Setan alass! Dasar manusia tidak ada guna! Cepat seret mereka keluar!" bentak Karta gusar, melihat Sarkim dan Kuro hanya diam saja memperhatikan Sumi. "Maaf, maaf, Juragan," jawab keduanya sampai terbungkuk-bungkuk tubuhnya untuk meminta maaf, kar
Mak Encum tubuhnya langsung terasa lemas, menggelosor begitu saja di atas rerumputan bagai badannya tak lagi bertulang. Dia sudah menduga jika suatu hari nanti hubungan gelap putranya dengan sang nyai pasti akan terbongkar juga. Tangisannya sudah tidak lagi berarti, tidak bisa untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi. Yang paling si emak sesali, mengapa putranya tidak mau mendengar dan mengikuti nasehatnya, agar jangan lagi melanjutkan hubungan gelapnya dengan Nyai Sumi. Mak Encum sangat tahu, putranya itu hanya dimanfaatkan oleh sang majikan perempuan untuk melayani hasrat birahi sang nyai yang tidak terkendali. Sejak dari pertama sang nyai masuk ke rumah Juragan Karta, bahkan hingga saat ini, Mak Encum adalah saksi dari aksi petualangan hasrat sang nyai dalam mencari mangsa untuk melampiaskan hasrat kelainan se*sualnya. Dan ternyata apesnya Nyai Sumi saat sedang bersama putranya si emak. Sekali lagi, pemandangan yang sangat menyakitkan hatinya terpampang jelas di depan ma
PELET DARAH KOTORPart 8Seperti tidak lagi punya rasa kasihan terhadap Sumi, Karta langsung menjambak rambut istrinya tersebut, memaksa menyeretnya ke halaman depan rumah yang sudah berkumpul banyak warga desa. Tubuh Sumi langsung tertarik dengan badan membungkuk. Sumi berteriak kesakitan. Berkali-kali meminta pengampunan dan minta dilepaskan, tetapi Karta seperti tidak menghiraukan. Sumi benar-benar diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh suaminya sendiri. Teriakan meminta tolong Sumi pun dianggap percuma. Karena, tidak ada satu orang warga pun yang berani berurusan dengan Juragan Karta. Sama saja dengan mencari perkara. Suara riuh semakin ramai terdengar, setelah semua warga yang datang berkumpul juga melihat Nyai Sumi datang dengan rambut panjangnya yang dijambak oleh suaminya sendiri, juga tanpa busana. Sebagian besar warga yang kaum lelaki tidak menyia-nyiakan hal ini. Perempuan primadona istri sang juragan, yang selalu menjadi bahan hayalan dipertontonkan dengan keadaan ya
PELET DARAH KOTORPart 9Baru saja Juragan Karta hendak kembali memberikan pelajaran kepada mulut kurang ajar Sumi, seorang lelaki tua mendekatinya, sembari membawa dua lembar kain jarik yang dilipat rapih. Bapak tua itu adalah kepala dusun di Desa Ini, Ki Sukron. Juragan Karta yang melihat Ki Sukron mendatanginya dengan membawa kain, langsung membentak keras laki-laki tua itu."Buat apa kau bawa kain itu, Ki! Bukannya sudah aku larang untuk memberikan penutup apapun kepada dua orang manusia sialan ini!"Sebelum Ki Sukron menjawab, terlihat oleh semua warga yang berkumpul, jika Sumi kembali terjatuh setelah tadi bersusah payah untuk bangun. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pun masih terasa pusing akibat terkena hantaman balok suaminya sendiri, badannya pun mengigil kedinginan. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan sekeji ini. Udara Desa Kemangi sepertinya memang sedang tidak bersahabat malam ini, teramat dingin sekali. Ditambah lagi badannya Sumi yang basah terkena air k
Part 10"Kamu mau tidak kain ini, Sum?"Halaman rumah Juragan Karta yang sudah dipenuhi banyak warga mendadak hening dan sunyi, tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan suara jangkrik pun tak lagi terdengar.Mereka semua seperti sedang menyaksikan pertunjukan peran antara dua tokoh utama, Asih Sukesih dan Sumiarsih. Dua orang perempuan yang dulunya dianggap beda kasta. Antara seorang ratu dan budak. Penghina dan yang selalu dihina. Kelakuan Sumi sang istri juragan, memang bagi sebagian warga sering dianggap sangat keterlaluan. Mulutnya jahat dan pedas, juga sering kali menghina orang. Sebenarnya, sudah cukup banyak masyarakat yang merasakan sakit hati terhadap ucapan Nyai Sumi, atau perlakuannya yang sering meremehkan dan merendahkan. Namun, keberadaan suaminya Karta membuat warga yang sakit hati atas ucapan Sumi berpikir ribuan kali jika harus berurusan dengan mereka. "Kamu beneran mau kain ini atau tidak, Sum?" Asih kembali mengulang tawarannya, karena Sumi hanya menatap ke arahn
Bagian 11"Juragan tidak ingin menari bersama saya?" Ajakan menari dari Asih Sukesih tidak perlu diulang dua kali. Juragan Karta langsung menyambutnya dengan suka cita. Turun ke tengah arena, langsung nandak bersama Asih dengan penuh semangat. Keanehan yang tidak mungkin terjadi ternyata bisa terjadi. Juragan Karta yang sebagian orang tahu sangat membenci dan sering menghina Asih, kini terlihat berbeda 180 derajat. Dari sikap dan gerakannya saat menari jaipong, Juragan Karta terus saja memepet Asih, seolah olah tidak ingin perawan setengah tua itu jauh darinya. Dan tidak ada yang tahu mengapa Juragan Karta bisa dikenakan seperti itu, selain hanya Asih dan Narti. Satu per satu warga yang tadinya ikut berjaipong, mulai mundur meninggalkan arena. Menyisakan hanya Juragan Karta dan Asih Sukesih saja. Saking asyiknya mereka berdua seperti tidak sadar, sedang menjadi tontonan hampir seluruh warga Desa Kemangi. Dalam gigil, Sumi masih bisa melihat semuanya. Menyaksikan bagaimana suaminy