Share

02. Rampasan

Ternyata, lebih gaduh suara diluar daripada suara peralatan dapur yang Kasami buat sehingga ayahnya memilih diam, sebelumnya berteriak kepada Kasami sekedar memberitahu jika dia ingin sebentar duduk-duduk di beranda rumah sambil memikirkan ucapan yang pantas untuk menginterogasi Isae agar remaja anak laki-laki itu tidak sakit hati kepadanya. Kebetulan juga Isae mulai keluar dari rumahnya memenuhi panggilan dari Ichida untuk mengobrol di beranda rumahnya sambil melihat kesibukan para pria, tapi dua remaja ini malah iseng melihat Yosihara yang tidak seperti biasanya bersemangat begini. Selain Yosihara, mereka mendengar para pria lain yang bersumpah serapah menjelek-jelekkan Makigara sebab telah menjadi pengecut—menyiksa satu orang dengan cara beramai-ramai, dan malam ini Kuromori akan membalasnya. Lain pria dewasa, lain juga peran remaja seusia mereka berdua yang hanya ditugasi ayahnya untuk mengasah pisau dan pedang, serta menyiapkan rompi dari besi untuk berjaga jikalau musuh menyerang di bagian perut atau dada tapi mereka berada di posisi lengah. 

“Ayahmu tidak ikut berperang?” tanya Isae kemudian setelah onigiri dimulutnya habis tertelan. 

“Tidak. Punggung ayahku encok sehabis membersihkan kandang kuda,” jawab Ichida. 

Hening. Lalu Ichida mencoba mencari topik lain, “Isae, kapan kita akan ikut berperang seperti mereka?” 

“Kata Tuan Ikada, kita bisa ikut saat berusia enam belas tahun.” 

"Berarti empat tahun lagi? Hah ... lamanya. Padahal bayang-bayang hasil rampasan bagus sudah menghantui." 

“Barang rampasan bagus? Barang rampasan jenis apa? Baju? Senjata? Atau sebuah peralatan?” 

“Semacam itu. Tapi kamu tahu tidak, ketika Kuromori berhasil menaklukkan Makigara, pasti seminggu kemudian ada upacara pernikahan antar pria Kuromori dan wanita Makigara.” 

Isae terdiam. Rupanya dia kurang memperhatikan keadaan disekitarnya. Dia hanya memikirkan kehidupannya sendiri tanpa peduli dia hidup di mana dan bagaimana keadaan tempat itu, atau Isae sendiri sudah bosan mengeksplorasi masyarakat sini yang menurutnya tidak ada kemajuan. Dia jadi teringat perkataan Yosihara, “Kau tahu kenapa masyarakat disini hidup secara monoton? Karena kurangnya interaksi dengan masyarakat luas, belum lagi kita hidup di sebuah desa terpencil yang masih menjunjung adat. Dan salah satu adat kita berasal dari peristiwa yang masih diragukan kebenarannya.” 

Isae menghela napas. “Kau tahu kenapa bisa begitu?” 

“Adat istiadat mungkin,” jawab Ichida. 

“Apakah adat istiadat bisa diubah?” 

“Mana aku tahu. Tanya saja ke Tuan Ikada atau Kak Yosihara.” 

“Menurutku adat istiadat bisa diubah jika itu suatu hal yang keliru.” 

“Nah, itu kau tahu! Kenapa harus bertanya kepadaku? Daripada berbicara dengan topik berat, lebih baik kita membicarakan bajumu yang hanyut. Kau sudah mencarinya ke mana saja? Ada hasilnya,.tidak?” 

“Tidak ada hasil.” 

Terdiam kembali. Memperhatikan lagi para pria dewasa yang bersiap-siap berperang. Genderang, satu pedati untuk merampas barang, obor sebagai penerang jalan, dan senjata tajam yang sudah diasah tertempel di badan mereka. Tinggal menunggu aba-aba dari Yosihara untuk pergi.Sebelum aba-aba menggema dari suara berat Yosihara, Isae memilih untuk berpamitan kepada Ichida. Kembali ke rumah karena bosan juga jika kehabisan bahan obrolan. Tujuan langkahnya setelah masuk kedalam rumah adalah kamar kosong yang sekarang hanya dihuni benda. Dulunya kamar kosong ini adalah ruang pribadi bagi orang tua Isae. Tentunya Isae harus mengetuk pintu terlebih dahulu jika ingin masuk kedalam kamar ini, sekarang kamar ini menjadi hampa. Awal-awal, dia membuka lemari dan di sambut deretan baju mendiang orang tuanya, Isae mencoba mengambil baju mendiang ayahnya secara acak. Nihil, tidak ada satupun baju yang pas dengan tubuhnya—baju itu terlalu besar bagi Isae. Kemudian perhatiannya ditarik lagi oleh dua pedang katana yang di pajang secara menyilang di tembok, salah satu dari katana itu selalu Isae gunakan untuk berlatih. Melihat semua benda yang memiliki memori membuat Isae berat hati untuk menjualnya ke kota termasuk baju mendiang ayah yang suatu saat akan terpakai jika sudah besar nanti, atau baju mendiang ibunya yang mungkin terpakai oleh istrinya kelak. 

“Isae! Isae!” Segera Isae membenahi kembali baju mendiang sang ayah ketika seseorang memanggilnya dengan ketukan pintu sebagai nada. Berlari dia menuju pintu rumah agar tamu mendadaknya ini tidak kesal menunggu kehadiran si tuan rumah. Ternyata Pak Haede setelah Isae membuka pintu dan Isae tahu betul urusan apa sampai Pak Haede repot-repot kemari. 

“Isae, apa benar bajumu hanyut?” tanya Pak Haede. 

“Iya.” 

“Dan kau mencarinya dengan Kasami?” 

“Iya. Kami mencarinya karena penasaran, maaf jika saya membawa Kasami pergi sampai menjelang malam,” ucap Isae sembari membungkuk. 

“Ternyata Kasami tidak berbohong. Aku menyesal telah berpikir yang tidak-tidak denganmu dan Kasami. Kalau begitu, besok biar aku belikan baju—” 

“Tidak usah Pak Haede!” 

“Kenapa?” 

“Maksud saya, terima kasih. Tapi saya tidak mau merepotkan anda. Saya masih ada baju yang lain. Maaf.” 

“Baiklah, tapi jika kau butuh, datanglah kepadaku. Kalau begitu selamat malam.” 

“Selamat malam, Pak Haede.” Isae menutup pintu kembali dan memutuskan menyeduh teh hijau sembari bersenandung. Siapa tahu setelah meminum teh hijau yang katanya bisa menenangkan pikiran, dia bisa tahu cara mendapatkan uang untuk membeli baju baru tanpa mengorbankan barang peninggalan kedua orang tuanya. 

“Hanyut baju satu

Masuk ke hutan Makigara

Andai Kasami tidak mencuci bajuku

Aku tidak pusing seperti ini.”

Isae terus melantunkan lagu hasil ciptaannya sendiri tanpa mengetahui sudah berapa kali dia menyanyikannya. Yang jelas dia menyanyikan lagu itu dari awal menyeduh teh hijau sampai menghidangkannya diatas meja bersama onigiri pemberian ibunya Ichida. Hingga dia sadar dengan bait 'masuk ke hutan Makigara', Isae mengucap kalimat itu berulang kali dan sebuah ide muncul tiba-tiba. Kasami telah memberitahu dirinya letak hutan Makigara saat menemui wanita yang bernama Mirae, kenapa dia tidak coba menyelinap ke sana tanpa sepengetahuan orang lain. Sungguh, dia merutuki jalan pikirnya yang macet tadi. Buru-buru dia ke kamar orang tuanya—mencampakkan teh dan onigiri yang telah terhidang. Isae mengambil senjata tajam yang disimpan di dalam peti. Katana tidak diambil sebab akan menarik perhatian orang, lagi pula dia ke Makigara bukan untuk berperang, hanya untuk mengincar baju yang bisa dirampas. Pakaian tak diganti, cukup yang menempel di badan agar jikalau berpapasan dengan orang-orang Makigara, mereka tidak akan tahu dirinya berasal dari Kuromori. 

Keberuntungan ternyata berada di pihak Isae malam ini, pasukan Kuromori yang dipimpin oleh Yosihara telah pergi. Itu berarti dia hanya memperhatikan keadaan sekitar yang ternyata sepi tidak seperti biasanya. Begitu pun dengan rumah Tuan Ikada, sepasang suami istri renta itu lebih memilih menunggu kepulangan putranya di dalam rumah ketimbang di beranda rumah. Dengan lentera, dia berjalan di gelapnya hutan sambil mengingat-ingat jalan yang dia jejaki di waktu sore hari. Perlahan namun pasti, Isae sudah berada di hutan Makigara sesuai yang Kasami datangi. Tinggal mencari pemukiman. 

“Hei! Siapa kau?!” Isae terhenyak mendengar seruan dari arah belakang. 

“Sepertinya dia dari Kuromori, bunuh saja dia!” seru yang lain hingga Isae menoleh dan melihat dua pria dengan perawakan besar sudah berdiri tegap di hadapannya. 

“Aku berasal dari Makigara!” Isae berusaha mengelabuhi dua pria berperawakan besar. Dia gemetar ketika salah satu pria mulai mengeluarkan katana dari sarungnya. “Aku tersesat sebab orang-orang Kuromori hampir mengejarku. Tolong, antar aku pulang.” 

“Benarkah?” tanya pria yang memegang katana. 

Isae mengangguk. “Tolong saya.” 

Pria itu memasukan kembali katana. “Lebih baik kau berada di sini. Kuromori sedang menyerang Makigara.” 

“Tidak! Adikku ada di dalam rumah!” 

“Benarkah? Gawat jika begitu. Siapa nama adikmu? Biar kami yang cari.” 

“Kuki,” jawab Isae asal. Semoga dua pria Makigara ini tidak hapal nama-nama penduduknya. 

“Kuki?” Dua pria itu mulai mencurigai Isae. 

“Ayolah, adikku sedang dalam bahaya! Jika kalian tidak mau bantu, aku sendiri yang kesana! Kalian hanya memberitahuku jalan pulang!” 

“Baik Nak, kami berdua akan kesana. Kau diam disini.” 

Berhasil. Rupanya dua pria itu bisa dibohongi. Selanjutnya, Isae menunggu mereka pergi dengan jarak yang tidak terlalu jauh agar bisa dia buntuti secara diam-diam di balik pepohonan. 

*** 

Desing pedang yang saling beradu, tubuh tak bernyawa teegeletak begitu saja sampai terinjak oleh langkah kaki yang lalai menapaki jalan yang mesti di injak, genangan darah di tanah mulai menguarkan aroma amis namun tak dihiraukan oleh mereka, rumah terbakar secara acak, dan teriak histeris para anak-anak serta wanita Makigara yang harus melihat sang penopang hidup gugur satu demi satu. Ada pula para gadis yang bernasib naas kala kabur mengendap-endap dari situasi bahaya harus tertangkap dan diseret paksa oleh pria Kuromori untuk melampiaskan nafsu birahi, sebagian diseret masuk ke dalam pedati untuk dijadikan rampasan bagi pria yang masih melajang. 

Pelecehan, penculikan, dan perampasan, begitu lumrah bagi Yosihara yang sedari tadi melihat anak buahnya sambil menahan serangan dua musuh sekaligus. Mata tajamnya tidak sengaja melihat sosok yang begitu dia kenali—Mirae, masih berusaha bersembunyi agar tidak ketahuan oleh musuh—menghiraukan teriakan para gadis yang diperkosa dan gelak tawa dari si pemerkosa walau rasa ingin menolong menjalar di benaknya. 

Perjuangan Mirae untuk keluar dari huru-hara ini gagal total ulah pisau tak bertuan melesat ke arah lengan atasnya—menggores kulit hingga terluka, menyebabkan Mirae mengaduh sampai terdengar oleh pria Kuromori yang belum kebagian jatah, seringai senyum licik para pria Kuromori cukup membuat Mirae ketakutan. Berusaha dia berlari dengan terseok-seok. Apa lacur, pria Kuromori bertambah kuat bila senjata panahan sudah digenggam. Melancarkan hujaman anak panah yang diluncurkan untuk melemahkan Mirae. 

"TOLONG! TOLONG! Akh!" Mirae terjatuh saat satu anak panah berhasil menghunus punggungnya. Para pria Kuromori segera menghampiri Mirae dengan langkah cepat sebelum gadis itu kabur kembali. 

"MIRAE LARI! MIRAE LARI!" 

Bagaikan setitik air bagi pengembara yang kehausan di gurun gersang. Teriakan dari sang teman mampu membuat Mirae bangkit. “Aku tidak boleh mati mengenaskan. Aku harus kuat seperti ayahku.” Mirae membatin sambil berusaha berdiri. Pandangannya berubah tajam ke para pria Kuromori yang pindah haluan—lebih memilih teman Mirae yang masih mulus kulitnya tanpa luka dibanding Mirae yang penampilannya sudah tak karuan oleh darah, keringat, dan kotoran tanah menghiasi wajah putihnya. 

Mata Mirae membulat melihat teman baiknya sudah terkepung oleh tiga pria sekaligus. "MIA!" 

"Lari Mirae!" perintah temannya yang dituruti oleh Mirae. Kali ini dia tidak lagi berlari, tenaganya sudah terkuras oleh rasa sakitakibat luka di badannya maupun luka melihat kaumnya dilecehkan seakan wanita hanya makhluk lemah dan pria tak tahu diri dengan pongah mempermainkan wanita seperti boneka. Kala langkahnya mulai melemah dan kesadarannya mulai menipis, samar dia melihat seorang pria meregangkan tangan seolah ingin mendekap dirinya—menawarkan perlindungan. 

"Aku tidak menyangka, kau wanita kuat." Yosihara, si pemberi dekapan untuk Mirae— mencabut anak panah yang tertancap di punggung sang gadis tanpa adanya lontaran rasa sakit dari si empu tubuh sebab sudah tak sadarkan diri. "Sepertinya aku harus menyembuhkan lukamu sebelum menikahimu, cantik." Yosihara membopong Mirae menuju tempat teraman, sesekali dia menatap wajah sang pujaan hati sampai menimbulkan angan—menghabiskan masa tua diselimuti kebahagian bercampur damai bersama Mirae. 

*** 

Isae berlari ketakutan. Dia pikir perang itu hanya melemahkan musuh dengan satu hunus pedang di dada sampai terkapar dan setelahnya memaksa rakyat memberikan upeti kepada musuh secara sukarela. Namun sebaliknya lebih parah dari yang dibayangkan Isae. Pemerkosaan, pembantaian, dan adegan Yosihara memenggal kepala dua pria besar yang telah memberi petunjuk jalan bagi Isae. Belum lagi dengan lemparan pisau amatiran darinya, alih-alih melesat dan tertancap di salah satu pelaku pemerkosaan, sayangnya pisau meleset ke arah seorang wanita yang dia dan Kasami temui tadi sore. 

Menuruni jalan landai, menaiki jalan menanjak sampai terjatuh akibat langkah tak awas, terkadang menyusuri tepi sungai sehingga harus berhati-hati jika tidak mau terjerembab ke dalam sana. Itu adalah perjuangan Isae untuk kembali pulang. Napasnya diatur sedemikian rupa setelah sampai agar tidak ada yang curiga. Samar dirinya melihat rumah Tuan Ikada yang masih temaram tanda pemiliknya setia menunggu anak semata wayang datang dengan selamat, hal sama juga dilakukan oleh para wanita yang menanti suami pulang. Tapi apakah wanita itu akan menanti kembali jika mengetahui para suaminya melakukan kekerasan dan pelecehan kepada gadis Makigara? 

“Isae! Kenapa kau berdiri di situ! Cepat kemari!” Isae terkejut mendengar titah Nyonya Ikada yang sekarang berdiri di beranda rumah sambil membawa nampan berisi makanan. Malu-malu, Isae menghampiri Nyonya Ikada dan memeluknya erat. 

“Isae, kau kenapa? Bertengkar dengan Kasami?” Kejelian Nyonya Ikada melihat semrawut wajah yang terlukis pada Isae, membuat pemilik wajah semrawut ini memilih untuk diam barang sebentar sambil menghilangkan penat. Telapak tangan keriput Nyonya Ikada mengelus lembut rambut Isae sambil memeluk layaknya anak sendiri—memberikan rasa tenang kepada Isae. 

“Nyonya Ikada, apakah dahulu mendiang ayahku adalah pria baik?” tanya Isae setelah pelukannya lepas. 

“Tentu saja dia pria yang baik.” 

“Saat perang melawan Makigara, ayahku .....” Isae terdiam, hampir saja dia membuka rahasianya jika semalaman ini keluyuran menyaksikan pertarungan sengit sekaligus perbuatan keji dan amoral. 

“Kau kenapa Isae? Tidak seperti biasanya kau begini. Ah, sudah, makan kue mochi buatanku dulu. Isae sayang, ternyata kau masih mengingat kejadian itu.” 

Isae mengangguk ketakutan. 

“Itulah sebabnya kau berpeluh banyak? Kau mimpi buruk lagi?” 

Isae hampir lupa dengan keadaannya sendiri. Segera dia menyeka peluh yang mengucur di dahinya. “Iya, aku mimpi buruk. Tentang kematian ayah dan ibu.” Isae berkilah. 

“Sudahlah, makan mochi dan minum teh hijau ini agar kau tenang.” 

Diambilnya satu mochi yang berada di nampan dan memakannya dengan lahap, tidak lupa meminum teh hijau hangat sebagai penawar serak di kerongkongan. Atensi Isae menikmati mochi dan teh hijau terpecah kala suara teriak girang dan genderang lambat laun semakin dekat. Rupanya pasukan Kuromori sudah datang dengan membawa beberapa hasil rampasan. Sang wanita lega hati kala suaminya selamat dengan memeluknya, dan para bujang kegirangan sebab gadis Makigara berhasil diseret ke Kuromori. 

“Mereka sudah pulang?” Tuan Ikada ke luar dari dalam rumah. 

“Iya, mereka sudah pulang,” jawab Nyonya Ikada. 

“Lihat! Kak Yosihara!” seru anak laki-laki yang melihat Yosihara dengan wajah tak tenang, langkahnya dipercepat setelah sampai rumah ke rumah orang tuanya. Semakin mendekat, kepanikan Isae beserta Tuan dan Nyonya Ikada semakin menjadi tatkala Yosihara membopong seorang gadis yang terluka parah. 

“Ibu, tolong gadis ini! Sembuhkan lukanya!” cemas Yosihara. 

“Siapa wanita ini?” tanya Tuan dan Nyonya Ikada bebarengan. 

“Wanita Makigara, alasan aku membawanya nanti saja dijelaskan. Yang terpenting selamatkan wanita ini.” 

“Baik Nak, tenangkan dirimu. Ayo suamiku bantu aku meracik obat.” 

Syahdan mereka masuk ke dalam—lebih peduli dengan gadis yang dibawa Yosihara, Isae kembali sendiri dengan makanan yang setengah utuh di nampan—lupa dibawa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Laquisha Bay
Authornya hebat. Rapi sekali. Aku selalu suka membaca karya yang teratur seperti ini. Semangat terus! ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status