Share

04. Pernikahan

Debu yang menghiasi benda harus segera dibersihkan agar kotornya tidak mencemari, terlebih saat debu menjelma sebagai sarang berbagai penyakit, hal ini sama dengan pemurnian kembali gudang tua tempat perkara yang telah di rombak oleh dua penjaga dan para remaja yang lalai bertugas saat malam kejadian dan sekarang ini di doakan oleh pemimpin kuil agar tidak terjadi tulah. Gudang ini nantinya dipakai untuk menyimpan kayu bakar. Masyarakat juga mulai melupakan kejadian kemarin dengan cepat, tapi tidak bagi tiga wanita Makigara yang masih terguncang lantas memohon kepada Tuan Ikada untuk pulang saja ke Makigara. Tuan Ikada tidak bisa memaksa mereka tetap tinggal. Jika dipaksa, mereka tidak bisa memulihkan tekanan jiwa. Atas perintah Tuan Ikada, Pak Zukida—ayah Ichida, ditugaskan mengantar tiga wanita ini ke tempat asalnya dengan harapan tiga wanita ini tidak menimbulkan sabotase dari pihak Makigara ke Kuromori. Tapi Yosihara yakin akan terjadi sabotase karena masalah ini bisa menyulitkan amarah besar dari pihak Makigara walau si pelaku telah di hukum mati. maka mereka memutuskan untuk berunding dengan beberapa orang yang begitu penting dalam menjaga keselamatan desa. 

Sementara para remaja tidak begitu peduli dengan kekhawatiran orang dewasa di rumah Tuan Ikada. Mereka lebih peduli dengan isi perut dan bersenang-senang layaknya anak remaja seumuran mereka. Para remaja mulai menajamkan senjata seperti pisau atau anak panah. Ada juga yang membuat banyak anak panah dan busur baru untuk berburu. Para orang dewasa lainnya lebih mementingkan mencari kayu bakar sebagai nyala tungku. 

“Hei Isae, kau tahu Minra?” Ichida mencoba mencairkan suasana agar tak bosan membuat anak panah. 

“Tahu, kenapa lagi dia?” Isae bertanya balik. 

“Kau tahu eksekusi kemarin lusa?” 

“Iya. Sayangnya aku tidak melihat. Banyak orang yang penasaran dan memaksaku menceritakan kejadian itu.” 

“Sayang sekali. Ngomong-ngomong, soal Minra—” Ichida tidak meneruskan ucapannya karena terganggu dengan teman sebaya yang tiba-tiba mendekatinya—ingin tahu apa yang Minra lakukan. 

“Ada apa dengan Minra?” tanya salah satu remaja. 

“Apa yang dia lakukan?” tanya remaja yang botak. 

“Dia tersenyum saat berlangsungnya eksekusi,” bisik Ichida membuat mereka terkesiap. 

“Benarkah?” tanya Isae. 

Remaja botak segera menyikut lengan atas Ichida agar berhenti dulu membicarakan Minra. Lirikan remaja botak itu mengarah kepada Pak Orochi—ayah Minra, yang baru saja datang dengan tumpukan baju cucian di keranjang anyaman untuk dijemur. Tidak lupa para remaja membalas senyum Pak Orochi setelah beliau selesai menjemur dan kembali ke rumah. 

“Lalu apa yang dilakukan Minra usai tersenyum?” Pertanyaan remaja botak menandakan agar Ichida melanjutkan ceritanya yang terpotong. 

“Aku tidak tahu,” bisik Ichida, “Sepertinya dia memikirkan sesuatu jahat dibalik senyumannya.” 

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanya Isae. 

“Karena—” 

“Hei, cepat kalian siapkan senjata untuk berburu! Dua hari lagi pernikahan Yosihara dan kita harus mengumpulkan kayu bakar dan bahan makanan di hutan,” tegur Pak Haede sambil menghampir empat orang remaja. 

“Benarkah?” tanya Ichida seakan tidak percaya jika hari bisa berlangsung cepat. 

"Iya! Tadi diberitahu Tuan Ikada. Lihat itu anak-anak, warga desa mulai bergerak setelah kabar diberitahu." 

Empat remaja ini melihat tiga orang remaja lain yang secara berantai memberitahu kabar pernikahan dari Tuan Ikada dengan cara menghampiri orang-orang dewasa yang ada di luar atau mengetuk pintu rumah. Lantas para pria dewasa siap-siap berburu dan mencari kayu bakar banyak-banyak. 

“Lalu kayu bakar dan hasil buruan di simpan di mana?” tanya salah satu remaja. 

“Di gudang itu,” tunjuk Pak Haede ke arah gudang tempat penyekapan tiga wanita Makigara yang sekarang bisa digunakan kembali. “Tenang, gudang itu sudah di doakan oleh tetua kuil.” Pak Haede melanjutkan ucapannya karena melihat ekspresi takut dari empat remaja. 

Hutan. Sumber kehidupan orang-orang, apa yang mereka butuhkan selalu tersedia disana. Makanan tinggal berburu hewan, kayu bakar tinggal menebang pohon dengan kapak, dan aliran air deras sehingga sumur para warga desa sini tidak habis, jika musim kemarau pun masih bisa menyisakan sedikit air. 

Lain sudut pandang orang dewasa menganggap hutan ini sumber kehidupan, para bocah di usia kurang tujuh tahun menganggap hutan ini arena bermain yang luas, para orangtua tidak perlu khawatir anak-anak mereka tersesat karena sejak dini sudah dikenalkan alam bebas seperti belajar merangkak di rerumputan dengan pengawasan ayah, dan belajar berjalan serta berlari di tanah diawasi oleh ibu. Kadang para remaja kewalahan melihat tingkah para bocah yang berlarian kesana kemari sambil menjerit kegirangan kala memenangkan permainan petak umpet, atau bertengkar memperebutkan sebatang ranting yang tidak tahu untuk digunakan buat apa oleh para bocah itu. 

“Hei, jangan makan jamur itu! Astaga kalian berdua harus ku ikat!” Kesabaran Ichida mulai habis kepada adik kembarnya yang berusia lima tahun. Ichida tidak menyangka mereka diam-diam membuntutinya masuk ke hutan dan hampir memakan jamur beracun setelah berlari-larian. Wajah memelas mereka tidak membuat sang kakak terenyuh, malah sang kakak melanjutkan mengikat mereka di pohon menggunakan tali tambang yang selalu dibawanya kala memasuki area hutan. Ichida tersenyum puas selesai mengikat adik kembarnya dan kembali bergabung dengan teman sebaya untuk berburu. 

Isae yang mendapatkan tugas memindahkan kayu bakar, dengan sigap menaruh kayu bakar yang sudah dipotong-potong oleh pria dewasa ke gerobak sambil menyusunnya agar rapi. Teropah ternyata tidak berhasil menghalau udara dingin yang membuat telapak kakinya mati rasa. Mungkin jalan-jalan sebentar bisa menormalkan suhu di tubuhnya. Untunglah gerobak terisi penuh dan bagian orang dewasa yang akan mendorongnya sampai desa. 

“Pak Rogiku, aku jalan-jalan dulu sebentar,” pamit Ise. 

“Ya .. ya .. jangan lama-lama!” 

Awalnya Isae tidak tahu harus menghilangkan penat ke arah mana, dia hanya mengambil jalan lurus menuju hutan yang lebih luas dan lebat pepohonan serta semaknya. Langkah Isae terhenti teringat sesuatu hal mengenai hutan paling dalam ini. Waktu itu dia dan Ichida berumur tujuh tahun, entah apa yang dilakukan Pak Zukida kepada Ichida sehingga anak itu kabur menuju hutan. Mendiang ayahnya, Pak Zukida, Tuan Ikada, beserta dirinya yang merengek minta ikut menelusuri hutan untuk mencari Ichida. Insting orang tua tidaklah salah, Pak Zukida mengikuti nalurinya dan berakhir mereka menemukan Ichida tepat dimana sekarang Isae meregangkan badan. Tiba-tiba sekelebat bayang seperti orang berlari kencang, membuat dirinya kaget. Dia melihat bayangan itu melesat di balik pepohonan dan berhenti di semak-semak. Ingin remaja itu mengikuti arah bayangan pergi, namun panggilan dari Ichida membuat Isae urung. 

“Ada apa, Isae?” Ichida segera menghampiri Isae yang masih kebingungan. 

“Aku melihat bayangan, seperti orang yang sedang berlari,” jawab Isae. 

“Bayangan seperti orang berlari? Mungkin itu binatang liar, babi hutan atau anjing hutan.” 

“Entah. Yang jelas bayangan itu melesat dari pohon, lalu menghilang di pohon lain.” 

“Mana mungkin ada ninja di sekitar sini.” 

“Ninja?” 

“Iya. Tahu Kurume, teman kita yang pindah ke kota? Ayahku bertemu dengan orang tuanya Minggu kemarin. Kau tahu Isae, ayah Kurume bekerja sebagai ninja. Dan pekerjaan ninja adalah memata-matai musuh.” 

“Apakah orang-orang kita yang memata-matai Makigara bisa disebut Ninja?” 

“Kata ayahku sih beda. Ninja itu harus terlatih. Lagian orang-orang kita cuma memata-matai saja, tidak ada misi penting ke kekaisaran, kan?” 

Isae terdiam. Jika bayangan yang dilihatnya bukan binatang buas, melainkan ninja, apakah Kuromori baik-baik saja? Jika itu ninja, pastilah orang Makigara yang memesan jasanya. 

“Sudahlah Isae, ayo kita makan. Orang-orang paati sudah menunggu kita.” Ichida segera merangkul Isae agar berhenti memikirkan bayangan itu. Tidak akan terjadi apa-apa, ucap Ichida menenangkan Isae. 

*** 

Mirae ingat betul saat mendiang kakak perempuannya menikahi seorang pemuda yang selalu dipercayai oleh mendiang ayahnya. Bagaimana sang kakak dirias secantik mungkin untuk menemui calon suaminya di kuil. Mirae juga tidak menyangka jika pernikahan itu membawa sebuah petaka di malam harinya—Kuromori lagi-lagi menyerang Makigara tanpa tahu sebabnya. Di malam itu, kebahagian Mirae terenggut seiring nyawa keluarganya melayang. 

Dan pernikahan Mirae mungkin bisa menjadi petaka bagi dirinya. Pernah beberapa orang membicarakan tingkah pria Kuromori yang kasar kepada wanita. Kebenaran ini juga terbukti saat Mirae melihat pohon besar yang terletak di tengah-tengah pemukiman. Kata Kasami pohon itu tempat bunuh diri wanita yang ada disini jika mengalami tekanan jiwa yang teramat sangat, tetapi Kasami menyakinkan Mirae agar tidak takut kepada Yosihara. Yosihara sebenarnya pria yang baik walau garang di lain waktu. 

“Sudah selesai, Nyonya Muda,” ujar si perias. “Saya tidak perlu membubuhkan bedak banyak-banyak maupun gincu. Tanpa riasan pun Nyonya Muda terlihat sempurna.” 

“Terima kasih,” ucap Mirae sambil tersenyum. 

Dari arah pintu, Pak Zukida masuk menemui Nyonya Ikada yang dirias pula. Pak Zukida memberitahu kepada Nyonya Ikada harus sesegera mungkin ke kuil karena Tuan Ikada maupun Yosihara sudah lama menunggu mereka. 

“Dasar, tidak ada kesabaran! Mirae, kalau Yosihara melakukan hal menjengkelkan seperti itu, cubit saja lengannya! Terima kasih telah memberitahu kami, Zukida. Bilang kepada dua pria kurang sabaran itu agar menunggu sebentar lagi! Kami para wanita harus berdandan dengan cantik!” cerocos Nyonya Ikada sambil mengagumi dirinya lewat cermin. 

Semakin meninggi matahari, semakin rampung kesibukan di dapur maupun di rumah Tuan Ikada. Pengantin wanita yang dituntun oleh Nyonya Ikada telah sampai di kuil, terlihat Yosihara yang begitu gagah dengan ¹montsuki haori hakama, sedangkan Mirae tampak cantik memakai ²shiromuku. Setelah semua hadirin datang, pemimpin kuil memulai prosesi.  Kasami yang melihat sendiri bagaimana Yosihara dan Mirae meminum tiga cawan sake secara bergantian, hanya bisa mengulas senyum tanpa dia sadari—membayangkan dirinya berada di posisi mempelai wanita namun tidak bisa membayangkan siapa mempelai pria yang akan menikahinya suatu saat. Lain Kasami, lain pula Isae. Air mata yang tiba-tiba mengalir di wajah Pak Haede membuat Isae khawatir dengan beliau. 

“Pak Haede, anda tak apa?” tegur Isae pelan sambil menepuk pundak Pak Haede. 

“A ... apa?” Pak Haede terhenyak. Dia menyadari selama ini dirinya melamun sampai kenangan indah berupa ikrar sehidup semati bersama mendiang istrinya muncul sejalan prosesi demi prosesi yang dijalankan oleh Yosihara dan Mirae. 

“Anda menangis,” ucap Isae. 

Kasami segera menoleh ke ayahnya setelah mendengar Isae bahwa ayahnya menangis. “Ayah, tak apa?” 

“Benarkah?” Pak Haede segera mengusap mata serta wajah yang dibasahi air mata. 

“Ayah, apakah ayah baik-baik saja?” tanya Kasami kembali 

“Tenang Kasami, ayah hanya terbawa suasana. Kasami, setelah ini kita berziarah ke makam ibumu. Kita berdua sudah lama tidak mengunjunginya. Kau juga Isae, berziarah lah ke makam orang tuamu. Kita bertiga akan kesana.” 

*** 

Pemakaman marga Kuromori tidak terlalu jauh dari pemukiman. Hanya berjalan menyusuri hutan dan melewati jembatan kayu yang membentang di sungai, lantas belok kiri dan berjalan lagi satu meter sampai ada dua buah tugu yang masing-masing diberi jarak satu meter. Para ngengat menyambut mereka saat memasuki area pemakaman. Luas dan banyaknya kuburan tidak membuat bingung para penziarah. Sudah ada  gurat nama di pusara, serta tanda yang ditinggalkan dari pihak keluarga. Isae memilih kain kuning seolah emas untuk pusara kedua orang tuanya, Pak Haede memilih kain merah muda bekas robekan baju yang terakhir dipakai istrinya. Kenangan indah terkumpul dan membayangi ingatan mereka seiring doa-doa yang dirapalkan secara khidmat, kecuali Kasami yang hanya terdiam tidak tahu harus mengenang apa selain kenangan dirinya lahir sampai merenggut nyawa sang ibu, dan itu bukan kenangan yang indah baginya. Andai dia bisa melihat arwah dan memasuki alamnya dengan meditasi, Kasami ingin sekali menemui ibunya dan bertanya, apakah ibunya kecewa telah melahirkan dirinya? Apakah ibunya marah kala kelahirannya harus di bayar dengan nyawa ibunya? 

Pertanyaan itu selalu di pendam Kasami, dan lepas seketika kala tak kuat lagi menahannya. “Jika aku tidak lahir, apakah ibu masih hidup?” 

Tentu saja pertanyaan Kasami ini membuat ayahnya kaget. Lalu membalas, “Kau ini bicara apa! Melihatmu lahir selamat adalah sebuah kebahagian. Kehadiranmu membuat ayah bangkit kembali. Dan kelahiranmu yang selamat serta sehat, membuat ibumu tenang di alam sana.” 

“Tetap saja kelahiranku penyebab ibu–” Pak Haede segera menyumpal mulut Kasami dengan onigiri yang diperoleh dari Tuan Ikada sebelum upacara pernikahan. 

Isae hanya bisa menatap kesedihan dua orang yang telah ditinggal oleh sosok wanita welas asih. Isae juga tidak diperkenankan mengganggu momen mereka mengenang mendiang. Karena sudah semakin larut, maka Isae mendekati Pak Haede dan Kasami. Pelan dia menepuk punggu Pak Haede—mengajaknya pulang, membiarkan mendiang tidak ikut bersedih melihat keluarganya belum bisa menerima kepergiannya.

Glosarium: 

1. Montsuki haori hakama: Pakaian tradisional pernikahan Jepang untuk pria. 

2. Shiromuku: Pakaian tradisional pernikahan Jepang untuk wanita. Biasanya dipakai dengan tudung yang menghiasi kepala pengantin wanita. Warna pakaian tradisional ini berwarna putih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status