Share

07. Tingkah Kasami

“Apakah ayah serius ingin mengajari Isae beternak dan berdagang?” Kasami bertanya kepada ayahnya saat mereka berdua telah bangun di subuh hari dan Kasami menyeduh teh hangat untuk ayahnya serta dirinya, lantas bertanya seperti itu sambil duduk berhadapan. 

“Iya, memangnya kenapa? Bukankah bagus jika Isae membantu ayah beternak sekaligus berdagang. Kau sendiri juga tidak mau disuruh beternak ayam, kan?” ujar Pak Haede. 

Kasami mengerucutkan bibirnya. Ayahnya tidak tahu sama sekali dengan yang namanya musuh di balik selimut. Bisa jadi suatu saat Isae merugikan ayahnya. Syahdan, ketukan pintu terdengar. Pastilah Isae yang begitu semangat dengan kegiatan barunya ini. 

“Permisi, Pak Haede,” panggil Isae, masih di luar dengan sesekali mengetuk pintu. Jika bukan saja perintah ayahnya untuk sesegera mungkin membukakan pintu, Kasami akan membiarkan Isae kedinginan di luar, dan kembali lagi ke rumah karena Isae anggap tidak ada orang di dalam—pengusiran tamu secara halus yang sering Minra lakukan. 

"Kasami, ayahmu ada di dalam?" tanya Isae setelah Kasami membukakan pintu. 

“Ada. Masuklah,” ketus Kasami sambil berjalan di depan mengarahkan tempat ayahnya berada. 

“Permisi, Pak Haede,” sapa Isae melihat Pak Haede sedang menikmati teh hijau. 

“Oh Isae, duduklah!” Pak Haede menyilakan Isae untuk duduk terlebih dahulu dan memerintah Kasami membuatkan Isae teh hijau. 

“Pak Haede, bagaimana tentang pengajaranmu untukku?” 

“Duduklah dulu Isae. Kau sudah makan?” 

Isae mengangguk, dua menit kemudian Kasami kembali ke ruang keluarga untuk menyuguhkan teh hijau kepada Isae. 

“Bagaimana teh buatan Kasami, apakah enak?” tanya Pak Haede sekedar basa-basi. 

“Teh hijau buatan Kasami enak. Sama seperti teh hijau buatan mendiang ibuku,” puji Isae. 

“Jangan memujiku, Isae! Jangan harap aku terpancing dengan pertemanan palsumu lagi!” tegas Kasami sambil lalu. 

“Pertemanan palsu? Kasami–” 

"Biarkan dia Isae. Kadang suasana hati perempuan selalu berubah, mungkin Kasami masih kesal dengan Minra. Diamkan saja, nanti juga suasana hatinya membaik," ucap Pak Haede. 

Isae mengerti, mungkin Kasami kesal dengan Minra. Tapi, untuk perubahan sikapnya kepada Isae sebelum Kasami bertengkar dengan Minra, dan itu ketika Isae berbicara kepada Tuan Ikada jika dia ingin belajar berdagang ke Pak Haede, tidak mau ikut berperang, dan saat itu sikap Kasami berubah. 

“Sudah, jangan dipikirkan. Ayo kita mulai pekerjaan kita.” 

Kokok ayam menyambut mereka kala sampai di halaman belakang. Ayam petelur putih dan ayam petelur coklat tidak dibiarkan berkeliaran sembarangan. Ayam-ayam ini disimpan di kandang berbentuk umparan. Pak Haede mulai mengajari Isae dengan hal-hal yang kecil seperti membersihkan kandang yang wajib setiap hari dilakukan begitu pula dengan pakan jagung yang dimasukkan ke dalam beberapa wadah dari kayu buatan Pak Haede. Pak Haede juga menjelaskan telur mana saja yang berkualitas di mulai dari mengamati bentuknya yang oval, berkulit tipis, dan terkadang Pak Haede membawa wadah berisi air untuk menentukan busuk atau tidaknya telur. Telur yang busuk akan mengambang di air, sedangkan telur yang bagus akan tenggelam. Telur yang baik dipisahkan ke dalam sebuah wadah anyaman. Untuk hari ini, Pak Haede memanen telur yang lumayan jadi Isae bisa pergi ke kota untuk berjualan. 

Dengan menunggangi kereta kuda, Isae terkagum akan keindahan kota. Lihat baju bagus yang dipakai orang-orang untuk sekedar membeli bahan makanan, lihat pula kesibukan para nelayan di laut. Ini kota Yokohama kata Pak Haede, terkadang orang luar Jepang datang kemari untuk berdagang dan memperkenalkan budaya. Isae melihat sebuah kereta yang mengangkut wanita dengan solek tebal, Pak Haede bilang wanita itu adalah Geisha, jika bukan Geisha berarti Oiran. 

“Geisha? Oiran? Apa itu?” tanya Isae. 

“¹Geisha adalah wanita penghibur, biasanya mereka akan memainkan alat musik serta bernyanyi untuk menyambut para tamu. ²Oiran pun sama wanita penghibur. Tapi Oiran ini khusus menjamu para pria di ruangan tertutup .... ah, aku tidak bisa menjelaskan lebih rinci karena kau masih kecil.” 

“Menjamu pria di ruangan tertutup. Maksud Pak Haede, seperti Nyonya Ikada yang memijit punggung Tuan Ikada sambil marah-marah?” 

“Eh ... ya ... bisa jadi begitu sih. Yang jelas setelah kau dewasa ingatkan aku untuk menjelaskannya lagi.” 

“Baik, Pak Haede.” 

Kereta kuuda dipacu lebih kencang kala seorang wanita berbadan gemuk memanggil namanya sembari melambaikan tangan. 

“Bu Chou, bagaimana kabar anda sekeluarga?” sapa Pak Haede setelah dirinya dan Isae turun dari kereta dan memberi pesanan telur kepada wanita ini. 

“Kabar baik Pak Haede. Telur daganganmu sungguh berkualitas bagus. Tidak ada telur busuk, semuanya segar. Oh ... siapa remaja tampan ini?” Wanita gemuk tersenyum ramah kepada Isae dan Isae pun membalas. 

“Dia anak mendiang sahabatku. Dia ingin belajar berdagang.” 

“Hebat sekali! Tidak seperti anakku yang bungsu, selalu saja dia bermalas-malasan. Membantu kakak perempuannya susah, apalagi disuruh membantu Kakak laki-laki serta ayahnya untuk melaut.” 

“Memang susah kalau anak sudah terbiasa seperti itu, maaf aku tidak tahu harus memberi nasihat apa untuk anakmu ini. Tapi, suruhlah dia mengerjakan tugas rumah yang mudah, mengelap jendela misalnya, atau menyapu.” 

“Biar aku coba menyuruh bujang itu mengelap jendela. Jika menyapu, dia tak mau.” 

Pak Haede memanggil Isae untuk lebih dekat dengannya. Diajari dia cara menghitung uang sesuai telur yang dibeli. Usai wanita gemuk, kini langganannya kembali memanggilnya—seorang pria berasal dari China yang sudah lama menetap di Jepang dan fasih berbahasa di negara ini. Pria ini penjual tembakau dan banyak peminat. Terakhir, Pak Haede menghentikan kereta kuda, menggelar dagangan di lapaknya. Sambil merapikan dagangan, Pak Haede bercerita sedikit tentang lapak ini. Dulunya, mendiang ayahnya memperebutkan lapak ini dengan cara bergulat dengan dua pria yang sama pula menginginkan lapak ini karena paling strategis—berdekatan dengan pertokoan dibanding lapak yang jauh dari pertokoan. Pada akhirnya, mendiang ayahnya berhasil memenangkan gulat. Dan kini, tinggal dirinya yang harus mempertahankan. 

“Pasti beliau bangga karena Pak Haede mau meneruskan usaha dagang,” puji Isae. 

“Ya ... mungkin. Aku tidak tahu sampai kapan aku berjualan sedangkan Kasami tidak tertarik.” 

“Biar aku saja meneruskannya, Pak Haede. Aku akan bagi hasil dengan Pak Haede juga.” 

Pak Haede tersenyum sambil mengusap kepala Isae. “Dan jika uang kita terkumpul banyak, kita akan membuat toko kelontong.” 

“Setelah itu kita bertiga pindah ke kota ini?” 

“Ya, semoga.” 

Isae kembali takjub dengan Pak Haede, Sebentar gelar dagangan, banyak pula yang singgah ke lapak mereka. Dengan cekatan, Isae mengambil telur yang dipesan sambil menyebut jumlah uang yang harus dibayar. Ketika matahari meninggi, dagangan Pak Haede sudah habis terjual. 

“Wah, Pak Haede hebat! Telurnya habis tak tersisa,” puji Isae kembali. 

“Hahaha ... bukan aku yang hebat, tapi mendiang ayahku. Aku hanya meneruskan. Nah Isae, ini upahmu,” ucap Pak Haede selesai membereskan dagangan dan menghitung penghasilan. 

“Pak Haede, ini terlalu banyak untukku,” balas Isae selesai menghitung. 

“Itu sepadan dengan hasil kerja kerasmu. Oh ya, mumpung masih di kota, kita beli kimono untukmu serta untuk Kasami, mengingat musim dingin sebentar lagi tiba.” 

Isae setuju. 

Mereka mengelilingi pertokoan kecil yang jaraknya begitu dekat dengan lapak Pak Haede. Mata Isae berbinar—tidak bosannya melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Toko semua pakaian berjejer, bahan baku makanan begitu lengkap disini terlebih bahan baku berasal dari laut. Kota ini begitu semarak dan selalu terlihat sibuk. Kata Pak Haede, di kota ini berbagai marga berbaur menjadi satu. Walau ada perselisihan, suatu saat mereka kembali berdamai. 

“Jika marga berbaur menjadi satu, istri dari Tuan Hayade berasal dari marga mana?” tanya Isae sambil memilih baju yang digelar oleh pedagang. 

“Sama seperti marga kita, Kuromori. Tapi tidak tahu untuk putrinya kelak mendapat pria marga mana,” jawab Pak Haede. 

“Kata Pak Haede, semua marga dan kalangan masyarakat sudah berbaur, damai. Tetapi, kenapa kita masih berselisih dengan Makigara? Apa kita hanya orang pedalaman, jadi kekaisaran tidak peduli dengan kita?” 

“Entah. Yang pasti ... kita bertiga, suatu saat akan keluar dari masalah ini. Entah kedua belah pihak yang berdamai, atau kita yang pindah kemari seperti Tuan Hayade. Oh ya, walau kita pedalaman, kita masih bersyukur Tuan Ikada mengizinkan kita untuk berinteraksi dengan orang-orang di kota.” 

“Apakah Pak Haede tahu, kenapa kita belum berdamai?” 

Pak Haede hanya menggeleng. “Bukan kau saja, seangkatan aku pun tidak tahu. Orang tuaku dan kakek-nenekku, tidak memberitahu alasan sebenarnya.” 

Isae menunduk kecewa. Lantas dia teringat sesuatu dan memutuskan untuk mengatakan hal ini kepada Pak Haede. “Mumpung di kota, bagaimana kalau kita ke rumah Tuan Hayade sekaligus menjenguk istrinya Pak Rogiku.” 

Sambil mengendalikan kereta kuda, Pak Haede menjawab, “Tidak Nak, Aku tidak mau mengganggu pekerjaannya. Terkadang beliau ini begitu sibuk.” 

Isae terdiam, menikmati kota Yokohama dengan laut lebar sebagai perhiasan. Isae berharap suatu saat bisa menetap di kota ini tanpa memikirkan perang antar marga yang menurutnya sudah tidak pantas dilakukan setelah dirinya melihat sendiri keberagaman orang-orang di kota dan setelah mendengar langsung dari Pak Haede. 

Kalau sudah belajar berdagang, bukan berarti Isae bermalas-malasan, kan? Dia teringat akan kata Pak Haede setelah mereka sampai di desa. “Hanya orang pandai nan giat yang sukses di kota. Apakah itu dirimu yang bernasib baik di kota suatu saat?” ucap beliau, sehingga Isae bersemangat menyingkirkan rasa malas dengan mencari kayu bakar bersama pria dewasa dan mencari hewan buruan seperti burung atau kelinci yang membuatnya bosan, mungkin esok hari Isae mencoba membeli ikan dan belajar mengolahnya bersama Kasami atau Nyonya Ikada, Mirae pun tidak jadi masalah. 

“Hei Isae!” sapa Ichida. Kasami hanya diam sambil mengekornya dari belakang. 

“Apa benar kau ke kota bersama Pak Haede? Kotanya seperti apa?” tanya Ichida begitu antusias. 

“Kota itu luar biasa ramai dan beragam. Berbagai barang dan bahan makan dijual di sana. Di kota ada laut, perahu—” 

“Itu namanya dermaga, Isae,” potong Kasami. 

“Kasami, kau pernah ke kota juga?” Ichida segera bertanya ke Kasami. 

“Dari kecil aku pernah kesana. Ichida, Jika kau ingin tahu kota seperti apa, jangan bertanya kepada orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki.” Syahdan Kasami pergi meninggalkan dua temannya yang hanya menatap heran. 

“Kasami kenapa?” heran Isae. 

“Harusnya aku yang bertanya begitu,” timpal Ichida. “Semenjak kau mengatakan kepada Tuan Ikada, ingin belajar berdagang ke Pak Haede, sampai sekarang sifatnya berubah drastis. Dia jadi pemurung, dingin, dan ketus. Seperti Minra.” 

“Kenapa begitu? Apa salahnya aku belajar berdagang ke Pak Haede?” 

“Cemburu mungkin. Kau pasti sudah tahu kedekatan Kasami dengan ayahnya, kan? Dia tidak mau kasih sayangnya terbagi. Sama sepertiku dulu, kala adik kembarku lahir.” 

“Aku harus menemuinya. Titip keranjangku, ya!” 

Isae berlari menyusul Kasami yang langkahnya sudah jauh, namun Isae ingat arah Kasami pergi. Dan disana, di pohon yang berada di tengah-tengah pemukiman, Kasami berdiri. Entah apa yang ada dipikirannya sampai dia menatap pohon itu dengan sendu. 

“Kasami! Syukurlah kau pulang selamat, aku khawatir kepadamu." 

“Tidak usah khawatir kepadaku, Isae!” tandas Kasami. “Hah, kau tahu kalau aku ini bodoh?” 

“Tidak Kasami, kau pintar—” 

“Aku bodoh dalam menilai orang lain, Isae. Termasuk kau.” 

“Apa maksudmu? Bicara yang jelas!” 

“Jangan renggut apa yang telah aku dan ayahku miliki.” 

“Kasami, aku tidak mengerti.” 

“Kau tidak akan pernah mengerti, Isae.” 

Kasami pergi—meninggalkan Isae yang sekarang menggantikan posisi berdiri Kasami. Ya, Kasami benar, dirinya tidak bisa memahami isi hati orang lain terlebih isi hati perempuan. Andai ayahnya yang sudah memahami isi hati perempuan masih hidup, mungkin Isae saat ini atau kemarin sudah berlari ke ayahnya dan menceritakan masalah ini dengan harap cemas. 

“Isae!” Seruan Ichida di belakangnya mengalihkan pikirannya. Ichida berlari sekencang mungkin karena orang-orang sudah kembali ke rumah dan hutan mulai sepi. Dengan terengah-engah sambil membawa dua keranjang gendong yang satunya milik Isae. “Sudah bicara dengan Kasami?” lanjut Ichida kembali. 

Isae menggeleng, sambil meminta keranjang yang telah Ichida bawa. “Terima kasih,” ucapnya sambil kembali ke rumah dengan gontai. 

*** 

Berawal dari perubahan hawa panas ke dingin, di susul oleh awan mendung yang membawa butiran salju dengan awal turun tidaklah lebat, kayu bakar yang mereka tumpuk selama seminggu dipakai dengan cermat agar tidak abur sebab mereka tidak mau mencari risiko tersesat di hutan akibat badai salju yang kedatangannya tiba-tiba. Belum dengan mitos hantu yuki onna yang membuat ciut para remaja penakut. Berbanding terbalik dengan rumah yang menjadi pelindung dengan kehangatan, namun tidak bagi Isae. Rumahnya sama seperti biasa, tidaklah dingin, tidaklah hangat. Biasa saja sama seperti musim yang pernah dia lalui dari tahun ke tahun. Atau, suasana di rumah ini karena suasana hatinya yang tidak baik-baik saja sejak Kasami resmi menjauhinya selama seminggu setelah mereka berbincang di pohon besar. Lantas dia teringat ucapan Kasami, 'Jangan renggut apa yang telah aku dan ayahku miliki.' Isae tidak tahu dia telah merenggut apa dari ayahnya beserta dirinya. Sungguh, sekarang dia membutuhkan petuah dari seorang dewasa, entah itu Tuan Ikada atau Yosihara. Kadang dia sempat berkhayal, andai arwah ayahnya bisa berbicara lewat batu nisan, maka masalah ini sudah selesai dan hubungan dirinya dengan Kasami membaik dan berjalan seperti biasanya. 

“Isae, kau ada di dalam?” 

Isae tahu itu Ichida yang menyahut sambil mengetuk pintu keras-keras, berhasil membuat Isae bangkit dari baringnya dan lekas membukakan pintu agar Ichida tidak kedinginan. 

“Ada apa?” tanya Isae setelah membuka pintu dan melihat Ichida dengan kimono tebal. 

“Ayo kita ke rumah Tuan Ikada! Nyonya Ikada sudah memasak banyak-banyak untuk kita,” ajak Ichida. 

“Memang ada acara apa?” 

“Kak Mirae hamil dan Nyonya Ikada Khawatir jika Kak Yosihara yang merawatnya. Jadi Kak Mirae menginap di rumah Tuan Ikada sampai melahirkan.” 

“Baik.” 

“Hei, pakai kimono dulu! Kau tidak mau sakit akibat kedinginan, kan?” 

“Aku tidak peduli.” 

“Isae, kau kenapa? Hei tutup dulu pintunya! Hah .. kenapa harus aku pula yang menutup pintu rumahmu. Hei tunggu Isae!” 

Di kediaman Tuan Ikada sudah berkumpul keluarga kecil ditambah Isae dan Ichida, nampak makanan banyak terhidang di meja namun gurat wajah kecewa tak terbendung dari si pemilik rumah. 

“Bukannya aku tidak suka hal ini, tetapi memasak banyak hidangan bukankah berlebihan?” ucap Tuan Ikada, “Jangan bilang sisi burukmu akut lagi.” 

“Sisi buruk apa? Ini bagus,” timpal Ichida sambil mengunyah makanan. 

“Bagaimana aku tidak gugup jika suatu saat aku akan menjadi seorang nenek. Aduh ... pokoknya aku gugup. Sudah makanlah seperti Ichida! Jangan protes!” 

Harus di ingat oleh Isae, Ichida, atau mungkin Mirae. Nyonya Ikada jika sedang gugup atau memendam kegelisahan, dia akan memasak makanan banyak. Setelah selesai memasak, rasa gugup itu akan hilang dengan sendirinya. 

“Gugup? Seharusnya ibu senang, kan?” tanya Yosihara. 

“Ibumu gugup karena dia akan bertambah tua, hahaha ...” ledek Tuan Ikada yang membuat semua tertawa kecuali Isae. 

“Tapi ibu terlihat cantik walau tua sekalipun. Lagipula, cantik yang sebenarnya ada di dalam hati,” ucap Mirae sambil menghibur ibu mertuanya yang cemberut. 

“Dengar itu! Walau sudah keriput begini aku masih cantik wajahnya maupun hatinya. Hah, dikeluarga ini hanya menantuku saja yang peduli dengan wanita renta ini.” Mereka tertawa lagi mendengar ucapan Nyonya Ikada sambil membenarkan sanggulnya, lagi-lagi Isae tidak ikut tertawa. 

“Isae, kau kenapa Nak? Biasanya tawa mu yang paling kencang,” tanya Tuan Ikada, “Dan dimana Kasami? Ichida, kau sudah mengajaknya?” 

“Kasami tidak akan datang kalau ada aku,” jawab Isae, membuat semuanya tertegun. 

“Kenapa?” tanya Tuan Ikada kembali. 

Isae memberanikan diri menceritakan, dimulai dia bertandang ke rumah Pak Haede untuk diajari beternak dan berjualan di kota, peristiwa saat ke hutam untuk membantu orang dewasa mengangkat kayu bakar, percakapannya dengan Kasami, sampai Kasami menjaga jarak darinya selama seminggu. Isae sungguh tidak mengerti apa yang ada di pikiran Kasami. 

“Memang susah menebak isi hati perempuan. Aku yang sudah puluhan tahun mendampingi seorang perempuan pun masih tidak paham,” ucap Tuan Ikada. 

“Bahkan dia bilang aku merampas kehidupannya dan Pak Haede,” keluh Isae. 

“Isae, mungkin Kasami tidak mau kasih sayang Pak Haede terbagi denganmu. Kasami sudah tak memiliki ibu. Jadi, dia ingin kasih sayang ayahnya hanya untuknya seorang. Kadang sifat Kasami kekanak-kanakan, kan?” 

“Tapi, aku juga sayang Kasami. Kasami adalah sahabat pertamaku bersama Ichida. Ichida juga menyayangi Kasami, benarkan Ichida?” 

“Entah, aku tidak begitu dekat dengan Kasami walau sudah berteman lama,” ujar Ichida. 

“Isae, bagaimana kalau kau memberi sebagian makanan ini ke Kasami sambil kau berusaha mendekatinya. Tunggu sebentar ya, aku ambil wadah dulu.” Nyonya Ikada segera ke dapur dan menyiapkan beberapa makanan untuk diberikan ke Kasami. Setelah selesai, Nyonya Ikada memberikan dua bungkusan itu ke Isae. Satu untuk Kasami dan satu untuk dirinya. 

“Makan yang banyak, Isae. Aku tidak mau kau jatuh sakit,” nasihat Tuan Ikada sebelum Isae beranjak pulang. 

Di rumah, Isae mengganti yukata dengan kimono. Rupanya dia sudah menyerah dengan udara dingin. Dia memilih kimono yang dibeli di kota, kimono berwarna biru tua polos, tidak lupa membantu Pak Haede memilih kimono yang bagus coraknya untuk Kasami, maka dia menyarankan untuk membeli kimono warna biru muda dengan corak bunga sakura berwarna putih. Isae berharap jika sekarang Kasami memakai kimono pilihannya. 

*** 

³Kotatsu hangat adalah persembahan istimewa bagi Kasami yang penat dengan pekerjaan rumah sambil menahan sedikit rasa dingin yang mengusik sedari tadi. Sedangkan ayahnya membuatkan teh hijau hangat beserta onigiri untuk mereka berdua, anggap saja ini momen ayah dengan putrinya untuk saling mendekatkan diri akibat di hari biasa Pak Haede sibuk dengan berdagang atau beternak. 

“Teh hijau hangat dan onigiri sudah siap!” seru Pak Haede dengan riang. Kasami hanya tersenyum melihat tingkah ayahnya. 

“Tak seperti biasanya ayah menyiapkan ini," timpal Kasami. 

“Ayah tidak mau merepotkanmu, kau sudah mengerjakan pekerjaan rumah serta menyiapkan kotatsu, masa ayah menyuruhmu membuat teh serta onigiri. Itu namanya tak adil.” 

Kasami hanya tersenyum. 

“Nak, akhir-akhir ini kau jarang berbicara bahkan bertemu dengan Isae. Apa kau baik-baik saja dengan Isae?” 

Kasami berhenti memakan onigirinya. “Aku hanya bosan saja. Dan ... aku butuh sendirian.” 

“Ayah tidak menyangka ada rasa bosan dalam pertemanan.” 

Kasami terdiam, rasanya ingin sesegera mungkin meluapkan keluh kesahnya selama ini. Tidak sengaja dia menggigit bibir bagian bawah dan meremas kimono. 

“Kasami, kau kenapa?” 

“Pak Haede! Kasami!” Belum sempat Kasami mengutarakan apa yang mengganjal di dalam hati dan pikirannya. Sosok suara yang menjadi permasalahan bagi Kasami terdengar jelas di luar, suara itu mampu membuat Kasami kesal. 

“Ayah, kenapa setiap aku ingin bicara dengan ayah, selalu kehadiran Isae yang membuatku tidak sempat berbicara kepada ayah,” rengek Kasami. 

Pak Haede hanya tersenyum untuk menenangkan putrinya. “Mungkin Dewa telah mengirimkan orang yang tepat untuk mengutarakan keluh kesahmu. Biar ayah ya, yang membukakan pintu.” 

Walau mereka sudah duduk saling berhadapan, sebisa mungkin Kasami menghindar kontak mata dengan Isae yang kemari sambil membawa bingkisan. Sedangkan ayahnya memberi mereka ruang dengan cara pergi ke halaman belakang untuk memeriksa ayam-ayamnya. Di tambah dengan kimono yang dia pakai. Sama berwarna biru, hanya saja kimono Kasami berwarna biru muda dengan corak bunga kecil berwarna putih. Ingin rasanya Kasami cepat-cepat pergi dari tempat dia duduk kalau dia tidak ingat sopan santun. 

“Kasami. Ini, bingkisan dari Nyonya Ikada. Harusnya kau melihat betapa senangnya Kak Mirae saat diberi kabar bahwa dia hamil.” 

Kasami memutuskan untuk berdiam diri. Tidak ingin menimpali apa saja yang akan diucapkan Isae. 

“Kasami, selama kita berteman ... aku belum tahu apa saja yang kau sukai. Kau suka apa? Nanti biar aku belikan di kota.” 

Kasami masih bergeming walau ada rasa kesal dan ingin membalas ucapannya. 

“Tidak masalah jika kau tidak mau memberitahuku. Kau memakai kimono pilihanku pun aku sudah senang.” 

Kasami terkesiap. “Itu ayah yang memilihkan kimono ini untukku!” 

“Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada ayahmu. Aku permisi.” 

Mata nyalang Kasami terpaku menatap kepergian Isae di hadapannya seakan memberi isyarat untuk menarik kembali ucapannya. 

“Oh ya, Kasami,” ucap Isae sebelum pulang. “Kak Mirae menanyakanmu.” 

Kasami berdiri. Ingin dia seret Isae kembali ke dalam dan menyuruhnya meminta maaf, tapi apa alasan yang tepat? Isae pun pasti bertanya-tanya alasan dia harus meminta maaf kepada si putri tuan rumah jika Kasami nekat. Maka dipendam saja rasa kesal, sebagai gantinya dia masuk ke kamar dan membiarkan air mata mengalir. Biarkan dirinya tenang sambil mengoreksi diri. 

Glosarium: 

1. Geisha: Seniman penghibur. Para geisha bertugas memainkan alat musik, menari, dan menggoda para pria agar mereka tetap terhibur sementara mereka menunggu kedatangan Oiran. 

2. Oiran: Sebutan untuk pekerja seks dengan peringkat tertinggi. Selain Oiran, terkadang Geisha pun menggantikan pekerjaan Oiran. 

3. Kotatsu: Meja kayu pendek yang diselimuti oleh futon atau selimut besar yang menutupi bagian atas meja. Sumber panas ditempatkan pada bagian bawah berupa tungku batubara pada zaman dulu. Tetapiasa sekarang, diganti oleh penghangat elektrik yang ditempatkan pada bagian meja itu sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status