Share

06. Minra Bagian 1

Hal kedua yang Kasami tidak suka adalah ditinggal pergi ayahnya tanpa sang ayah pamit kepadanya. Bukan karena manja, dia khawatir jika suatu hal buruk terjadi kepada ayahnya—diculik oleh segerombolan Makigara yang dulu menimpa seorang pemuda sampai meninggal akibat di siksa. Sudah tahu apa yang Kuromori lakukan akibat kejadian ini—balas dendam yang begitu dahsyat perlawanannya. Sungguh, walau Kasami tahu peristiwa itu hanya dari mulut ke mulut, peristiwa yang dia dengar membuat semakin dia menggenggam ayahnya begitu erat bagai seorang ibu yang mengekang anaknya dengan dalih keselamatan. 

Karena Kasami tidak menemui ayahnya di kamar maupun halaman belakang tempat kandang ayam, Kasami ke luar dan segera berlari menuju rumah tetua marga. Di dalam sana, setelah Nyonya Ikada membukakan pintu untuk Kasami, sudah ada Isae dan Ichida yang menunggu masakan dari tangan Mirae. Tidak terlihat Yosihara. 

“Nyonya Ikada, ayahku menghilang,” cemas Kasami setelah meminum air putih yang disediakan Nyonya Ikada untuk menenangkan Kasami. “Aku takut jika ayah di culik oleh Makigara. Tuan Ikada, tolong cari ayahku.” 

“Tenang dulu Kasami,” ucap Tuan Ikada. “Ayahmu dan Yosihara sedang ke kota. Istri Pak Rogiku sakit, jadi mereka membawanya ke Tuan Hayade.” 

“Istri Pak Rogiku sakit apa?” tanya Ichida. 

“Demam,” ujar Mirae sambil membawa ikan goreng sebagai masakan terakhir. “Kalian bertiga, jaga kondisi ya. Sebentar lagi musim dingin, jangan sampai kalian sakit.” 

“Lalu, kemarin malam Minra kenapa? Aku dengar Minra berteriak sampai aku terbangun,” ujar Isae. 

“Kau tidak tahu, Isae.” Ichida memelankan suaranya, “Minra ingin mengutuk Pak Orochi. Untunglah ada Tuan Ikada. Sepertinya kita harus berhati-hati kepada Minra, dia sudah menjadi iblis.” 

“Benarkah? Tuan Ikada, apa benar yang dikatakan Ichida?” 

“Sudah, jangan mengungkit Minra! Lebih baik kita memulai sarapan,” titah Tuan Ikada. 

Sumpit dan mangkuk beradu menjadi simfoni penggugah lapar bagi si pendengar. Penghujung dari simfoni beradu sumpit dan mangkuk ketika orang-orang meneguk minum dari gelas penawar serak di tenggorokan. Lantas, Nyonya Ikada dan Mirae mulai membereskan meja yang penuh dengan wadah kotor serta remah. 

“Bagaimana masakan dua Nyonya kita? Enak, bukan?” imbuh Tuan Ikada. 

“Enak!” Serempak tiga remaja ini berucap. 

“Kasami, kau sudah mencuci bajumu?” tanya Nyonya Ikada. 

“Belum, mungkin besok. Cucianku sedikit. Tuan Ikada, kapan ayahku pulang?” ucap Kasami. 

“Mungkin sebentar lagi,” jawab Tuan Ikada sekenanya. 

Suasana kembali sepi, hanya dua wanita yang masih membereskan peralatan makan. Syahdan Isae teringat akan suatu hal—peperangan Kuromori dan Makigara. Masih teringat gambarannya walau sudah lalu. “Aku tidak mau menjadi pria Kuromori.” Isae berucap begitu saja membuat mereka saling pandang. 

“Apa maksudmu, Isae? Kau ingin pindah marga?” tanya Ichida. 

“Isae, kenapa tiba-tiba berucap seperti itu?” Kini Tuan Ikada yang meminta penjelasan. Tentu Isae sendiri gelagapan. Bisa-bisanya dia berucap seperti ini, atau Isae sudah tidak bisa menyimpan rahasia besarnya. 

“Maksudku ... aku tidak mau ikut berperang.” Isae berterus terang dengan rahasia yang dia simpan baik-baik. “Setelah dipikir lagi ... lebih baik aku menjadi Tuan Hayade yang mencari kehidupan di kota dan berhasil menjadi orang kaya. Atau, aku ingin seperti Pak Haede yang sukses menjual telur ayam di kota. Dan setelah itu, aku tidak mau berlatih bela diri dengan Kak Yosihara. Boleh, kah?” 

Tuan Ikada mengangguk. Beliau tahu jika generasi muda di sini sudah tidak minat lagi berperang yang tidak tahu kapan berakhirnya. “Itu keputusanmu. Aku tidak berhak mengatur jalan hidup orang lain. Tapi, kau harus berlatih bela diri sebagai tameng. Bagaimana jika kau berpapasan dengan para begundal di kota dan ingin menghajarmu, sedangkan kau tidak bisa bela diri? Ingin prajurit atau rakyat biasa, ilmu bela diri harus terampil, terlebih jika menggunakan ilmu bela diri untuk melindungi kaum lemah.” 

“Terima kasih, Tuan Ikada. Sepertinya aku harus berbicara dulu ke Pak Haede. Semoga Pak Haede ingin mengajariku. Kasami—” 

“Aku pamit.” Kasami beranjak, sesegera mungkin dia ke luar dari kediaman Tuan Ikada. 

Hal ketiga yang Kasami tidak suka adalah orang yang sengaja maupun tidak sengaja meredupkan perniagaan ayahnya. Bagi Kasami, Isae yang meminta ayahnya untuk mengajari cara beternak ayam, sudah jelas suatu saat dia akan meruntuhkan niaga ayahnya. Kasami mulai menarik kesimpulan secara sembarang jika pertemanan antara dirinya dengan Isae adalah palsu. Isae memanfaatkan pertemanan dengan dirinya untuk itu. Dia sekarang mensejajarkan dirinya sebagai korban pengkhianatan. 

“Isae persis seperti orang-orang Kuromori yang berbuat ulah,” kesal Kasami sambil menghentakkan langkah kakinya dengan keras hingga gaungnya terdengar. 

“Selamat pagi, Kasami!” 

Kasami terhenti, melihat siapa penyapa dirinya. Ada Pak Orochi yang sedang mencuci di kamar mandi yang terletak di belakang rumahnya. Pintu kamar mandi sengaja tak di tutup agar menghalau pengap. Kasami sudah terbiasa melihat Pak Orochi mencuci baju, namun kali ini cuciannya begitu banyak, bahkan tiang jemuran pun sudah penuh oleh baju yang selesai di cuci. Sedangkan di keranjang sana masih ada pakaian kotor. Sedangkan Minra, putri bungsunya, sedang tertawa riang bersama teman-temannya di gubuk. Andai saja Kasami adalah Eiko, mungkin dia sudah memarahi Minra atau menamparnya jika berani melawan. 

“Pak Orochi, bisakah saya membantu anda?” Kasami dengan senang hati menghampiri Pak Orochi dan menawarkan bantuan. 

“Tidak perlu repot-repot, Kasami. Ini hampir selesai.” 

“Iya, cuciannya hampir selesai. Tapi tidak dengan Pak Orochi, anda mungkin sudah lelah.” 

“Tapi–"” 

“Maaf Pak Orochi, saya memaksa. Biar saya yang melanjutkan sedangkan Pak Orochi beristirahat dan Kak Eiko bisa melanjutkan pekerjaan rumah lain.” 

“Ayah, beristirahatlah. Aku dan Kasami yang melanjutkannya,” pinta Eiko. 

“Terima kasih, Kasami.” Dengan senang hati Pak Orochi menerima tawaran Kasami, beliau mulai berdiri dari jongkoknya. Naas, kebaikan Kasami harus diketahui oleh Minra yang berdiri tegap bak algojo yang siap mengeksekusi bagi para pelanggar hukum serta aturan yang di anutnya. Ciut, Pak Orochi menunduk dan jongkok kembali. 

“Kasami, aku ingin bertanya. Siapa ayahmu? Orochi atau Haede?” sengit Minra dengan menatap tajam lawannya. 

“Tidak peduli siapa ayahku. Jika ada seseorang baik muda atau renta sedangkan dirinya mengalami kesusahan, aku akan menolongnya,” ucap Kasami tak kalah sengit. 

“Wah, hatimu baik sekali! Tapi sayang, selama Pak Orochi adalah ayahku, hanya aku yang bisa mengaturnya.” 

“KAU PIKIR AYAHMU PELAYAN! SEHINGGA KAU BISA MENGATUR SESUKAMU!” 

“Tenang Kasami, tenanglah. Aku begini agar ayah sadar akan perlakuan dirinya terhadap ibu dan kedua putrinya dulu. Kasami, selama kau merengkuh kasih sayang, kau tidak akan tahu rasanya hidup dalam kekerasan.” 

“Tapi bukan begi–” 

“KENAPA SEMUA ORANG MENGASIHI PRIA PEMBUNUH SEPERTI OROCHI! TANPA DIA SADARI, DIA YANG TELAH MEMBUAT PILIHAN KRPADA IBUKU UNTUK BUNUH DIRI! INGAT KASAMI, SUATU SAAT KAU AKAN MENGALAMI APA YANG DIRASAKAN IBUKU BESERTA WANITA DI DESA INI!” 

PLAK! 

Di sekitaran halaman belakang Pak Orochi semakin memanas dengan sulut amarah berupa tamparan di pipi Minra. Orang-orang yang sedari tadi menonton drama ini sejak kehadiran Minra, menutup mulut masing-masing dengan kedua tangan. 

“Kenapa diam?” tantang Pak Zukida yang menampar Minra tadi. Tatapan mata tajam yang selalu ditakuti Ichida beserta adik kembarnya, membuat nyali gadis ini perlahan ciut. “Di mana sikap kurang ajarmu? Ayo, keluarkan sikap kurang ajarmu kepadaku seperti kau bersikap kurang ajar kepada ayahmu!” 

Minra bergeming. Tangan kanannya masih memegang pipi kanan yang memanas dan berbekas merah, namun tatapan penuh dendam pada gadis itu tidaklah bohong. Minra segera menarik diri dari arena pertikaian yang dia buat sendiri. 

“Orochi!” Dengan cepat, Pak Zukida mendekati pria malang yang duduk lunglai. “Aku harap kau tegar! Minra sudah kelewat batas. Kita harus cepat merundingkan masalah ini ke Tuan Ikada. Eiko, Kasami! Kalian berdua saling bantu membersihkan rumah ini dan rapikan baju Pak Orochi. Mungkin, kita harus membiarkan Pak Orochi menginap di rumah Tuan Ikada, Yosihara, atau rumahku. Pokoknya bereskan baju Pak Orochi!” 

“Tidak!” sergah Pak Orochi. “Biar aku saja yang menyelesaikan ini. Minra benar, aku pembunuh. Aku layak mendapat perlakuan seperti ini. Jadi tolong Zukida, jangan mengasihi diriku.” 

"Orochi, itu bukan sepenuhnya karma! Ya. Mungkin menurut Minra memperlakukan dirimu seperti ini adalah hal wajar baginya untuk balas dendam. Tapi Orochi, bagaimana jika Minra lepas kendali? Jika Minra lepas kendali, suatu saat dia akan sepertimu. Menyesali seumur hidup dan mewajarkan kekerasan yang menimpa dirinya adalah karma.” 

Lengkingan kuda dan roda kereta yang bergesekan dengan tanah cukup tahu siapa yang datang sehingga Pak Orochi tidak membalas ucapan Pak Zukida. Sedangkan, ketika kereta itu berhenti dan menampilkan Pak Haede dan Yosihara, semua warga yang ada di luar mengerumuni dua orang ini—menanyakan kesehatan istri Pak Rogiku. 

“Tenang, untuk sementara beliau harus tinggal di rumah Tuan Hayade. Dan beliau baik-baik saja,” jawab Pak Haede ketika ada yang bertanya kabar istri Pak Rogiku. 

“Tidak, itu tidak benar. Istri beliau benar-benar demam. Bukan karena luka parah karena penyiksaan,” tambah Yosihara ketika salah seorang menanyakan sebab dari istri Rogiku sakit. 

“Hei bocah! Kenapa kau selalu penasaran dengan apa itu malam pertama? Dimana orang tuamu?!” Kesabaran Pak Haede harus diuji kala seorang remaja menanyakan ke Yosihara tentang malam pertama sehingga Yosihara harus menahan malu. “Sudahlah Yosihara, jangan dipikirkan. Hei bocah, jika kau bertanya lagi, maka aku akan menghampiri kedua orang tuamu, biar orang tuamu memberi teguran keras! Dan kalian bubar! Istri Rogiku baik-baik saja dikediaman Tuan Hayade!" 

Belum sempat kerumunan bubar, dua orang berusaha mendesak agar bertemu Yosihara dan Pak Haede. Akibatnya, beberapa orang tersungkur dan menyumpah serapah. 

“Yosihara, Haede, untung kalian datang di saat yang begitu tepat,” ucap Pak Zukida sambil memboyong Pak Orochi. 

“Dari cara kau memboyong Orochi dan ekspresi dari Orochi, ada yang tidak beres,” ujar Pak Haede. 

“Apakah masih soal Minra?” tanya Yosihara. 

“Ya, tentang Minra.” Pak Zukida segera menceritakan apa yang terjadi dengan Pak Orochi. Sedangkan orang-orang kasak-kusuk ketika mendengar penuturan dari Pak Zukida. Bahkan tatapan tajam menyoroti Pak Orochi sebagai biang keladi dari semua permasalahan hidupnya. 

“Lalu apa rencana kalian? Lalu, bagaimana dengan Kasami?” Pak Haede mulai khawatir karena putrinya terlibat dalam permasalahan ini. 

“Kasami sedang membantu Eiko membersihkan rumah dan membereskan baju Orochi,” jawab Pak Zukida. 

“Untuk apa membereskan bajunya Orochi? Kenapa tidak membereskan bajunya Minra, dan sesegera mungkin kita mengirim Minra ke kota untuk dilatih tata kramanya?” 

“Apakah maksud Pak Zukida, untuk menyelamatkan Pak Orochi terlebih dulu?” terka Yosihara. 

“Benar, Yosihara! Kita tidak tahu kedatangan pamanmu kemari, bukan?” 

“Lebih baik masalah ini kita selesaikan nanti. Untuk sekarang, Pak Orochi dan Pak Zukida ikut bersamaku ke rumah Tuan Ikada. Pak Haede, aku harap anda datang juga setelah anda membersihkan diri.” 

*** 

Malam dengan udara lebih dingin pertanda sebentar lagi musim dingin, membuat orang memakai kimono ketimbang yukata dan sebisa mungkin mengurangi aktifitas di luar rumah, entah saat matahari sedang berkuasa di langit maupun bulan atau bintang yang berkuasa. Lalu, ada juga orang yang sengaja beraktifitas lebih agar badannya tetap hangat. Isae segenap hati memilih beraktifitas lebih saat musim dingin tiba. “Beraktifitas di musim dingin bisa menjaga tubuhmu tetap hangat. Jadi, utarakan keinginanmu belajar berdagang kepada Pak Haede sekarang.” Pesan Tuan Ikada kepada Isae saat selesai makan malam. Isae setuju saja. 

Isae yang masih menggunakan yukata, mengetuk pintu rumah Pak Haede. Dia sudah merangkai kalimat apa saja yang harus dia utarakan kepada Pak Haede. Tidak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan pria kurus dengan tinggi sekitar 160 cm. 

“Isae, silahkan masuk,” sambut Pak Haede, “Tidak seperti biasanya kau datang kemari. Oh, Kasami! Tolong beri Isae teh hangat. Kau sudah makan, Isae?” 

“Sudah.” 

Mereka duduk saling berhadapan. Kasami yang menyuguhkan teh hangat, sesegera untuk tidak ikut bergabung dengan mereka—masih menyimpan rasa kesal kepada Isae yang sudah jelas itu dari prasangka buruknya. 

“Kasami, kau ingin kemana?” tanya Pak Haede melihat putrinya pergi begitu saja. Seingat Pak Haede, Kasami akan ikut duduk bersama mereka jika ada temannya yang bertamu. 

“Masih ada cucian piring,” jawab Kasami sambil lalu. 

“Kasami kenapa?” tanya Isae kepada Pak Haede. 

“Mungkin karena kejadian tadi pagi,” terka Pak Haede. 

“Jadi benar ya, yang Ichida katakan?” 

“Memang Ichida mengatakan apa saja kepadamu?” 

Isae mengingat-ingat rahasia yang diberikan Ichida kepadanya sambil berbisik. Ichida bilang, jika Kasami terseret dalam permasalahan ini walau sebagai seorang penolong. Pak Orochi juga sudah putus asa menghadapi Minra, dan setuju menyerahkan Minra ke Tuan Hayade untuk dibina di kota. Tapi untuk sekarang, Pak Orochi bersikukuh tetap tinggal bersama Minra dan Eiko, agar Minra tidak curiga. 

“Kenapa Ichida bisa tahu?” tanya Pak Haede. 

“Menguping,” jawab Isae. 

“Dasar, anak itu! Lalu, apakah kau kemari karena mengkhawatirkan Kasami?” 

“Sebelumnya aku tidak mengkhawatirkan Kasami, bisa jadi Ichida hanya membual. Tetapi, apa yang dikatakan Ichida benar, sekarang aku mengkhawatirkan Kasami.” 

“Terima kasih sudah begitu peduli dengan Kasami.” 

Ada jeda sejenak, dan jeda ini dari rasa canggung Isae untuk mengutarakan tujuan yang sebenarnya menemui Pak Haede. “Pak Haede,” lirih Isae kemudian. 

“Ya.” 

“Sebenarnya ... aku kemari untuk belajar berdagang seperti anda. Boleh?” 

“Berikan alasanmu kenapa kau ingin belajar berdagang kepadaku?” 

“Aku sudah menemukan cita-citaku sendiri. Berawal dari mimpi buruk tentang kematian ayah, dari sana aku menarik kesimpulan seandainya setelah dewasa aku tidak ikut berperang melawan Makigara, maka anakku kelak akan tidur nyenyak. Tidak memimpikan kematianku.” 

“Aku tidak menyangka kau sudah berpikir layaknya orang dewasa. Aku bangga kepadamu. Tapi Isae, perlu kau ingat, berdagang tidaklah semudah yang kau kira. Kau harus pandai-pandai mengatur strategi seperti mematok harga, melobi pembeli agar tertarik dengan barang daganganmu, memilih tempat strategis dan tentunya tempat itu harus minim dengan barang yang kau jual, misalkan tempat itu minim akan ikan, maka jual lah ikan di tempat itu. Teori itu aku dapat dari mendiang ayahku. Jadi bagaimana? Kau serius ingin belajar berdagang?” 

“Iya, aku ingin! Mohon doa serta bimbingannya, Pak Haede!” Isae membungkuk hingga kepalanya menyentuh lantai. 

“Tegakkan badanmu kembali, tidak usah membungkuk seperti itu. Aku senang dengan cita-citamu dan semangatmu. Andai saja pemuda Kuromori maupun Makigara berpikiran sama sepertimu, mungkin peperangan berhenti begitu saja dan berdamai seiring berjalannya waktu.” 

Isae terdiam sejenak sebelum berkata seperti ini, “Apakah Pak Haede tahu asal muasal marga Kuromori dan Makigara selalu berperang?” 

“Berawal dari saling rebut daerah. Kau tahu sendiri jika daerah Kuromori memiliki hutan yang lebat sehingga leluasa berburu hewan. Itulah mengapa marga Makigara yang terlebih dulu menyerang daerah ini, lalu setelahnya marga Kuromori membalas. Mungkin hanya itu penyebabnya, sedangkan penyebab lain masih samar. Isae, tolong jangan beritahu ini kepada yang lain. Sebab Tuan Ikada sendiri tidak mau menceritakannya.” 

Isae kembali ke rumah dengan rasa senang sekaligus bangga. Dengan semangat dia memilih baju yang cocok untuk berjualan di kota. Mengeluarkannya dari lemari dan menyimpannya di samping kiri tempat dia akan tidur lebih awal. Namun, suara teriakan gadis membuat momennya hancur begitu saja—memilih menengok di balik pintu. Ada Minra yang masih memarahi Pak Orochi di luar dan Isae tidak tahu permasalahan mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status