Sesampainya di rumah, Mark dan Viona melangkah ke dalam dengan suasana yang penuh ketegangan. Hati Viona berdegup tak karuan, rasa berdebar akibat ulah Mark yang telah mengemudikan mobilnya seperti dalam balapan.
Suara mesin mobil yang meraung-raung mengisi telinganya, seakan merobek kedamaian yang dia dambakan. Ketika pintu rumah akhirnya terbuka, Viona melangkah masuk terlebih dahulu, membiarkan langkahnya menghilang dalam kegelapan interior yang mewah.
“Tunggu, Viona!” teriak Mark, suaranya keras dan penuh komando, seolah petir di langit malam. Viona berhenti, tubuhnya terasa kaku di ambang pintu, tapi dia enggan menoleh, membiarkan suaranya mengisi ruang di sekitarnya.
“Ibu meminta kita untuk berkunjung ke rumahnya,” lanjut Mark dengan nada yang seperti es yang retak, “Jika kamu ingin membuat masalah, nanti saja setelah kembali dari rumah orang tuaku.”
Kata-kata Mark seperti belati yang menembus hati Viona. Mereka berada di ambang jurang, hubungan mereka terkatung-katung di tepi kehancuran, dengan percakapan tentang perceraian yang sering menghantui malam-malam mereka yang sepi dan dingin.
Setiap kata Mark seolah merupakan penjara yang mengikatnya pada realitas yang sangat tidak diinginkan.
Viona menatap Mark dengan tatapan kosong yang menyiratkan keputusasaan. Dia ingin menolak ajakan itu, ingin melawan keputusan yang terasa seperti hukuman, tetapi perintah Mark memiliki kekuatan yang tidak bisa dia lawan.
Dengan napas yang tersengal, Viona akhirnya menarik napas dalam-dalam dan berlalu menuju kamar tidurnya.
Dia mengganti pakaian dengan gerakan lambat yang menunjukkan betapa tertekan dan kesalnya dia. Tubuhnya bergetar halus, berusaha menahan gelombang emosi yang mengalir deras.
Ia menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar, meninggalkan perasaan hampa dan terluka yang menekan di dadanya.
Mark, yang telah menunggu di dalam mobil, tampak asyik memainkan jarinya di layar ponsel dengan wajah dingin yang tidak menunjukkan sedikit pun rasa empati.
Begitu Viona memasuki mobil, Mark menatapnya dengan tatapan yang seperti gunung es, keras dan tidak dapat ditembus. “Masuk!” titahnya dengan nada yang tidak memberikan ruang untuk perdebatan.
Viona, merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar, berusaha duduk di kursi belakang. Namun, Mark dengan tegas melarangnya, membuatnya harus duduk di kursi depan yang terasa seperti panggung di mana dia harus memainkan perannya.
Viona tidak punya pilihan lain selain memasuki mobil dalam keheningan yang mencekam, tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.
Mobil sport berwarna abu-abu itu melaju perlahan keluar dari gerbang mansion mewah, seperti binatang buas yang keluar dari sangkar.
Mark, dengan konsentrasi penuh, mengemudikan mobil sambil mendengarkan alunan musik klasik yang mengalun lembut di dalam kabin. Melodi yang tenang kontras dengan ketegangan yang menyelimuti mereka.
Sesekali, Mark melirik ke arah Viona, namun tatapannya hanya sekedar kilasan yang tidak memberikan ruang untuk perbincangan.
Viona, yang duduk dengan tubuh membeku di kursi penumpang, mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang meluap di dalam hatinya. Setiap detik terasa seperti rentetan jam pasir yang jatuh dalam lambat, menambah rasa frustrasi yang menggerogoti jiwanya.
Saat mobil melewati jalan-jalan yang sepi, dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, suasana di dalam kabin mobil terasa semakin tegang.
Viona hanya bisa menatap keluar jendela, menyaksikan bayangan-bayangan yang melintas dalam gelap, berusaha menenangkan diri di tengah perasaan yang membara.
Mark, yang terus mengemudi dengan penuh ketelitian, tampak tidak terpengaruh oleh suasana yang membelit di sekelilingnya. Setiap gerakan jari di kemudi, setiap perubahan pada kecepatan mobil, menunjukkan betapa dia terfokus pada tugasnya.
Ketika mobil akhirnya mendekati tujuan mereka, rumah megah yang menjadi kediaman orang tua Mark, Viona merasakan beban yang semakin berat di pundaknya.
Rumah tersebut berdiri dengan megah, mencerminkan kemewahan dan tradisi, dan di dalamnya tersimpan banyak kenangan yang kini hanya membuat Viona merasa semakin terasing.
Mark, dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat, tetap memelihara keteguhan dalam setiap gerakannya. Sesaat sebelum mereka memasuki rumah, dia menoleh ke arah Viona dengan tatapan yang penuh perintah.
“Ingat, jangan sekali pun membahas perceraian di depan keluargaku,” peringatnya dengan nada yang penuh ancaman, “mereka tidak tahu apa-apa tentang masalah kita. Jangan membuat mereka kecewa karena keinginan gila kamu!”
Viona, dengan hati yang bergetar dan napas yang tersengal-sengal, hanya bisa mengangguk. “Jangan khawatir,” jawabnya dengan nada lembut namun penuh beban, “Jangan meragukan kemampuan aktingku di depan orang tuamu.”
"Mark! Senang sekali melihatmu! Aku sangat merindukanmu, Mark." Sarah merangkul Mark dengan hangat, kemudian melirik ke arah Viona, agak terkejut tetapi tetap tersenyum, meski senyum itu hanya sekadar senyum semu.
Viona lalu menyapa mertuanya itu, memberikan senyuman kecil, berusaha keras untuk menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Halo, Ibu. Senang bertemu denganmu,” ucapnya lembut. “Aku akan membuatkan makan malam untuk kita.”
Viona bergegas menuju dapur. Ia melihat banyak sekali bahan masakan yang sudah tersedia di sana.
Ia lantas memotong sayuran dan mengaduk panci. Ingin menyibukkan diri di dalam dapur, alih-alih melupakan kekesalannya pada sikap Mark yang dengan terang-terangan menolak berpisah dengannya.
Ketika makan malam tiba, mereka semua duduk di meja makan besar. Makanan yang disajikan adalah kombinasi sempurna dari tradisi dan sentuhan modern dari tangan Viona. Semua orang menikmati hidangan, dan untuk sejenak, suasana tampak normal.
Namun, saat suasana mulai hangat, Sarah melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat udara mendadak terasa berat.
"Mark, Viona, kapan kalian akan memberiku cucu?"
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te