Share

bab 3

Author: Yunda Arsya
last update Last Updated: 2022-06-25 16:54:38

Setelah pencarian dibeberapa tempat, akhirnya Tania mendapatkan kontrakan yang cocok untuknya dan sesuai kemampuannya, walaupun bisa dikatakan kontrakan kecil dan tidak sebesar rumah yang ia tempati selama ini tetapi ia bersyukur bisa mempunyai tempat tinggal.

Setelah itu ia membereskan rumah itu dan memasukkan bajunya ke dalam almari. Tania sama sekali belum membuka ponsel, bukan tidak mau tetapi ia belum sempat.

Kontrakan ini terlalu banyak debu karena jarang ditempati, maka dari itu ia akan membersihkan dulu sebelum ia mengistirahatkan tubuh.

Setelah ini ia berniat menghubungi temannya yang berjanji akan mencarikannya pekerjaan.

Selepas ia berpisah dengan Hanif tidak ada lagi yang memberinya nafkah, ia harus bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.

***

Rentetan panggilan tak terjawab memenuhi layar ponsel Tania saat ia berniat menghubungi temannya, siapa lagi kalau bukan Hanif yang menelponnya sampai beberapa kali.

Ia hanya bisa menghela nafas panjang, bingung dengan suaminya itu. Bukankah ini yang dia harapkan tetapi kenapa malah bersikap seperti ini.

Tak lama kemudian ponselnya bergetar.

"Hallo," ucap Tania.

"Kamu dimana? Kenapa seharian ini tidak memberi kabar?" jawab suara di seberang telepon.

"Aku sibuk," jawab Tania. Sebenarnya ia sedikit malas meladeni Hanif, kalau terus-terusan seperti ini, kapan ia bisa melupakan Hanif.

"Sudah dapat kontrakan?"

"Sudah."

"Dimana?"

"Tak perlu kamu mengetahui," jawab Tania. Bukan maksud apa, ia tidak mau diganggu siapapun, ia ingin memulai hidup yang baru dengan bahagianya sendiri.

"Tania," panggil Hanif

"Ya..."

"Maafin aku, ya?"

"Sudah lama aku maafin."

"Kamu jaga kesehatan, jangan telat makan. Kalau butuh bantuan, kamu bisa minta tolong sama aku," ucap Hanif.

"Terimakasih atas perhatian kamu."

"Ya...dan aku menyesal atas semuanya."

"Semua sudah takdir, tidak perlu lagi ada penyesalan," jawab Tania.

Hening beberapa saat sampai akhirnya Tania pamit karena masih ada kesibukan. Panggilan pun ia matikan.

Tidak boleh ada kesedihan lagi, ia harus kuat.

[Bagaimana? Sudah dapat kerjaan yang ku tanyakan kemarin]

Tania mengirim pesan pada temannya yang tadi malam ia hubungi untuk meminta dicarikan pekerjaan.

[Sudah, besok kamu bisa mulai bekerja. Kirim alamat rumah mu, besok aku jemput]

Sebuah balasan dari temannya mampu membuat bibir Tania menyunggingkan senyum.

***

"Bagaimana kerja di sini? Kamu betah?" tanya Arnold, teman satu profesinya.

"Alhamdulillah betah," jawab Tania dengan tersenyum.

"Gitu dong senyum, bukan murung melulu," ucap Arnold.

Semenjak ia mengenal Tania, tak sekalipun wanita itu nampak ceria, walaupun bersikap biasa tetapi Tania jarang mengumbar senyum.

"Eh, kamu layani orang itu ya. Aku mau ke toilet sebentar," ucap Arnold dan dianggukkan oleh Tania.

Setelah kepergian Arnold, Tania pun menghampiri lelaki yang tengah duduk sendiri di pojok restoran.

"Permisi, Pak," ucap Tania lembut.

Lelaki itu menoleh, betapa kagetnya saat mengetahui pelayan yang tengah menghampiri itu adalah istrinya yang beberapa hari ini selalu ia rindukan.

Keterkejutan itu bukan hanya pada Hanif, tetapi juga Tania.

"M-Mas Hanif," ucap Tania terbata. Degub jantungnya berdetak keras.

Beberapa waktu ini ia memang mencoba menata hatinya dan melupakan Hanif, bahkan pesan Hanif sengaja ia skip dan tidak ia balas, telepon pun juga tak diangkat karena ia ingin secepatnya move on dari lelaki di hadapannya.

"Kamu kerja di sini?" tanya Hanif. Ia mencoba mengurangi rasa canggungnya.

Jujur saja, beberapa hari ini ia tidak baik-baik saja, ada separuh hidupnya yang hilang setelah ditinggal Tania.

"I-iya," jawab Tania.

"Kamu baik-baik saja, Tania?" tanya Hanif sambil menatap lekat ke arah wanita itu.

Tania mengangguk lalu setelah itu ia menanyakan mau pesan apa pada Hanif.

"Baiklah, kamu tunggu sebentar. Pesananmu akan segara datang," ucap Tania sambil melangkah pergi.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Hanif lontarkan pada wanita itu, juga ada rindu yang bergemuruh di dadanya. Ingin menahannya tetapi ia tidak bisa lakukan itu.

Ia sadar, saat ini Tania sedang bekerja, ia tidak mau membuat wanita itu kehilangan pekerjaan karenanya.

Di tempat lain...

"Kamu yang antar makanan ini, ya?" pinta Tania pada salah satu temannya. Jujur saja, pertemuan tadi mampu membuat luka yang awalnya terkikis kembali menganga, maka dari itu untuk menjaga hatinya, ia tidak mau bertemu dengan Hanif untuk waktu dekat ini.

"Baiklah."

"Kamu kenapa, Tania? Kenapa wajah kamu pucat. Kamu sakit?" tanya Arnold yang melihat Tania sepucat mayat.

Tania menggeleng lemah, bukan karena ia sakit tetapi karena bertemu dengan lelaki yang coba ia lupakan.

Hati yang awalnya mulai tertata kini porak poranda karena pertemuan yang tidak sengaja tadi.

"Kamu bisa izin pulang kalau sakit," ucap Arnold memberi perhatian sedikit.

"Tidak. Aku karyawan baru di sini, takutnya malah kehilangan pekerjaan," jawab Tania.

"Ya sudah, tapi kerjain yang ringannya saja," ucap Arnold.

Tania pun mengangguk. Selama bekerja di sini, Arnold selalu bersikap baik padanya, padahal ia mengenal juga belum lama.

***

[Ibuku mau ke sini. Dia mencarimu]

Pesan dari Hanif. Tania menghela nafas panjang, ia tidak habis pikir, kenapa sulit sekali lepas dari bayang-bayang Hanif.

Pengajuan gugatan perceraian sudah ia ajukan dan tinggal menunggu panggilan, tetapi selama menunggu kenapa banyak sekali rintangan untuk ia terlepas dari lelaki itu.

Ingin sekali memblokir nomor Hanif, tetapi ia tidak lakukan. Seperti perjanjian awal, mereka akan tetap menjalin komunikasi sebagai teman.

[Maaf, aku tidak bisa]

[Datanglah demi ibuku, bukan aku]

[Jangan memaksa]

[Demi ibuku, aku akan memaksa]

[Aku lagi kerja]

[Sepulang kerja. Aku jemput kamu]

[Apa ibumu tidak tahu kalau kita telah berpisah]

Tidak ada balasan dari Hanif tetapi tak lama kemudian sebuah panggilan masuk.

"Aku mohon datanglah," ucap Hanif si seberang telepon.

"Aku tidak bisa, Mas. Kita itu tidak ada hubungan apapun sekarang ini," jawab Tania.

"Bukan kita, tetapi kamu sama ibuku."

"Ibu belum tahu kalau kita udah berpisah?" tanya Tania.

"Belum."

"Kenapa?"

"Karena aku belum yakin kalau kita benar-benar berpisah. Aku masih berharap keajaiban itu datang dan kita masih bisa bersama-sama lagi seperti dulu," jawab Hanif.

Tania terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Mas   bab 80

    "Ibumu di kampung menitipkan uang untukku. Sebenarnya kita tidak ada urusan apa-apa, tetapi bukankah amanat harus tetap disampaikan, ya?" tanya Hanif santai dan seolah tak menggubris Randi yang menatapnya dengan sinis."Kamu dari sana?""Ya."Randi membuang muka, sudah sangat lama ia tak pernah mengunjungi ibunya itu, bahkan menghubungi saja juga tak pernah. Mendadak ia merasa rindu pada orangtuanya tersebut."Aku ambilkan uangnya dulu, sebab uangnya berada di rumah. Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Hanif."Aku tidak ingin ada orang yang tau di mana keberadaanku sekarang, jika kamu mau, aku tunggu kamu di sini."Hanif menatap heran, Randi sungguh benar-benar berubah. Ia bahkan sampai tak mengerti, ada apa dengan lelaki di hadapannya ini."Kamu baik-baik saja?" Hanif menatap penuh curiga, tapi secepat kilat ia mengalihkan pembicaraan agar lelaki di depannya itu tidak menaruh curiga."Kamu terlihat kecapean, makanya aku bertanya seperti itu," ucap Hanif lagi."Iya, aku lagi bingung

  • Mari Berpisah, Mas   bab 79

    Hanif pulang sendiri karena Kakak iparnya harus menjalani serangkaian pemeriksaan. Apalagi luka yang dialami, terbilang cukup parah.Benar dugaannya, jika iparnya itu belum diperiksa tenaga kesehatan. Setelah sedikit didesak, Zaki mengakui kalau setelah kecelakaan wakt itu, dirinya langsung beranjak pulang.Tapi Kakak iparnya itu tidak mengatakan alasan apa pun kecuali merasa tak perlu diperiksa."Mas Zaki mana, Mas?" tanya Tania saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Dia dirawat. Lukanya terbilang cukup parah."Tania diam, ia sudah menduga. Tapi memang lebih baik jika kakaknya dirawat agar lekas sembuh."Vino dibawa ke rumah saja, tidak mungkin kamu tinggal di sini," ucap Hanif."Iya, Mas."Setelahnya, Tania pun beranjak ke arah ponakannya tersebut dan mengajaknya berkemas, ia juga memberi tahu alasannya. Keponakannya sudah besar, maka dari itu, Tania memberi tahu kondisi ayahnya saat ini.***"Kamu tidak kerja, Mas?" tanya Tania saat mereka telah sampai di rumah."Aku izin, sel

  • Mari Berpisah, Mas   bab 78

    "Aw!" pekik Hanif saat istrinya mencoba membersihkan lukanya. Walaupun bukan Dokter, Tania tahu cara membersihkan luka itu, dulu dirinya pernah diajari oleh ibunya."Ini ceritanya gimana sih, Mas?" tanya Tania. Kini ia duduk di samping suaminya dan membersihkan darah itu, setelahnya ia meneteskan obat merah pada luka itu."Pas jalan, aku enggak tahu kalau ada botol pecah," jawab Hanif sambil meringis kesakitan."Apa perlu kita bawa ke rumah sakit, Mas?""Tidak. Nanti juga sembuh kok.""Aku beli nasinya dulu, ya? Setelah itu kita pulang."Hanif mengangguk. Kini ia melihat kakinya yang terluka, jika dipakaikan sepatu, maka akan semakin terasa sakit. Masa iya tidak kerja lagi, ia kan habis libur panjang.***"Mas," panggil Tania saat suaminya fokus pada kemudi."Iya.""Aku tadi lihat Mbak Murni diseret orang.""Kapan?" tanya Hanif sambil menoleh ke arah istrinya."Tadi, Mas. Tapi saat aku ingin ke sana, kamu malah kena pecahan kaca."Hanif diam, bukan maksud apa, ia tak mau membahas mant

  • Mari Berpisah, Mas   bab 77

    "Apa ada saksinya, Mas, yang melihat kejadian itu?" tanya Tania saat ia sudah sampai di kediaman kakaknya. Melihat kondisi kakaknya, membuat Tania merasa prihatin. Bagaimana tidak, apa yang diucapkan Kakak iparnya itu tidak sesuai realita.Sewaktu di telepon Kakak iparnya mengatakan jika Zaki tidak apa-apa tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Di hadapan Tania, tubuh kakaknya itu mengalami banyak luka. Apalagi di lengan kirinya, goresannya cukup parah."Tadi ada yang melihat plat mobilnya, ada juga yang mengejar tetapi tidak kekejar," jawab Zaki sambil meringis kesakitan saat luka itu terasa nyut-nyutan."Bawa ke rumah sakit saja, Mas. Itu lukanya cukup parah loh," tawar Hanif. Dirinya pun sama seperti istrinya, tidak tega melihat kondisi kakaknya seperti ini."Tadi sudah dibawa ke Puskesmas terdekat. Ini sudah tidak apa-apa kok," jawab Zaki yang merasa tak enak dengan adiknya. Terpaksa ia harus berbohong karena tidak mungkin berkata sejujurnya. Mereka sudah mau membantu membenahi ge

  • Mari Berpisah, Mas   bab 76

    "Sekali lagi kamu menghina istri saya, maka mulut Anda akan saya sumpal dengan sandal ini!" bentak Hanif sambil menunjukkan sandal yang ia pakai."Ini Murni, kan?" tanya wanita itu yang seperti kebingungan."Dia Tania, bukan Murni!" tegas Hanif yang masin tak terima, apalagi melihat anaknya meringsut ketakutan saat melihat wanita itu marah-marah."Jadi bukan Murni?" tanyanya lagi memastikan."Apa mata Ibu sudah rabun sehingga tidak bisa membedakan mana Murni dan mana orang lain?" tanya Tania pelan tapi terdengar nyelekit."Saya rasa Ibu terlalu muda jika harus pikun," ucapnya lagi.Sedangkan wania itu tergagap menahan malu karena merasa salah sasaran. Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya tanpa berani menatap dua manusia di depannya."Maaf," ucap wanita itu. "Kata maaf mudah saja dilontarkan, tapi apa Ibu tahu imbas dari ucapan Ibu ini, anak saya ketakutan dan saya takut mempengaruhi mentalnya," jawab Tania sambil menatap tajam. Ia benar-benar tidak tahu siapa wanita ini, selam

  • Mari Berpisah, Mas   bab 75

    "Sekarang coba kamu lihat, mana ada aku tanggapi pesan Laura. Cemburu boleh, Sayang, tapi lihat-lihat juga," ucap Hanif pelan karena tak ingin membangunkan sang anak kalau sampai ia berbicara keras."Apanya yang dilihat, Mas? Aku dengar sendiri apa yang diucapkannya. Beruntung saja aku sendiri yang mengangkat teleponnya," sungut Tania. Kini emosinya ia luapkan pada Hanif, ia hanya ingin Hanif tahu kalau dirinya tidak suka ada perempuan lain yang menghubungi suaminya kecuali masalah pekerjaan, apalagi mendengar apa yang dikatakan Laura, ia seperti menangkap kalau wanita itu mengejar-ngejar suaminya."Terus aku harus bagaimana? Aku tidak melakukan apapun loh," bela Hanif. Berbicara pada orang yang tengah cemburu memang sangat sulit, maka harus ekstra sabar saat menghadapinya karena sedikit saja salah bicara, imbasnya akan panjang, dan hal itu yang sering terjadi saat ini."Aku enggak tahu, pokoknya aku enggak suka aja," jawab Tania.Hanif semakin mendekatkan tubuhnya lalu meraih jemar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status