“Di mana Juan?” tanya seorang lelaki dengan wajah datar dan rambut silvernya yang khas.
Semua orang di ruangan tersebut terkesima dengan mulut yang membentuk huruf O besar. Mereka bertujuh, tim pengembangan, tidak pernah menyangka akan kehadiran makhluk berembut silver tersebut di tempat mereka, secepat ini.
“Di kantin,” jawab salah satu dari mereka setelah dipelotot dari awal.
Tanpa mengucapkan kata terima kasih, lelaki itu langsung melenggak pergi, berjalan angkuh seolah suudah tahu di mana letak kantin kantor.
“Kopi tanpa gulanya satu.”
Setelah mengambil pesanan, lalaki itu memutar kepala, menyapu bersih seisi kantin guna menemukan sosok manusia yang dari awal dia cari. Iya, Juan, ketua dari tim pengembangan Delmara Company.
“There you are.”
Lelaki berambut silver dengan mata abu-abu yang khas tersebut langsung duduk di samping Juan, tidak peduli dengan keterkejutan dua makhluk di sana yang tengah bersenda gurau sebelumnya.
“Apa lihat-lihat?” galaknya pada sosok perempuan yang tercengang bengang menatapnya seperti melihat hantu di siang bolong.
“Alexi, apa yang kau—”
“Aku barusan selesai tanda tangan kontrak,” potong lelaki itu terhadap ucapan Juan.
Terlihat jengkel, Juan mengambil alih gelas kopi dari tangan Alexi. “Mengejutkan, ya? Padahal kita tidak saling kenal selama delapan tahun ini,” sindirnya tajam.
Alexi malah memutar mata, menatap ke arah Ranesha. “Aku juga malas harus bertemu kau lagi. Tapi ada seseorang yang berhasil meyakinkanku,” jelasnya tanpa melepaskan kontak mata.
Sontak saja Juan juga menatap Ranesha yang kini memasang tampang orang paling bodoh sedunia.
“Jadi kau akhirnya sadar kalau Babeldaob itu sampah, huh?” cicit Juan lagi.
Alexi tidak berniat menjawab, ia masih fokus beradu dengan mata hazelnut milik Ranesha. Sedangkan perempuan itu merasa intimidasi yang kuat dari tindakan gila Alexi. Ranesha lagi-lagi merasa ditatap seperti seorang pembunuh.
Apa-apaan orang ini?
“Ternyata kalian saling kenal?” Sebuah suara berat dari sosok yang lagi-lagi main sembarang duduk berhasil mengalihkan perhatian ketiga orang tersebut.
Hail? Mendadak mata Ranesha berbinar cerah, wajahnya langsung berseri-seri indah.
“Bukannya Anda sudah makan siang tadi?” tegur perempuan itu tersenyum hangat, Hail mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya.
Hail lantas menoleh. “Iya, bukannya kau juga sudah? Apa porsi makan siangmu sebenarnya lebih banyak? Kau tidak perlu menyembunyikannya saat bersamaku,” balas pria itu ramah.
Juan terlihat menghela napas enggan, ia tidak menyangka waktu langkanya bersama Ranesha akan mendapat gangguan sebanyak ini. Apa semesta membencinya?
“Saya tidak mengenal secara pribadi sekretaris Anda,” sambar Alexi sembari merebut kopinya dari tangan Juan.
“Tapi mantan teman saya sepertinya tertarik pada dia,” ucap Alexi lagi lalu menyeruput kopi.
Juan langsung tersedak air liurnya sendiri. “Maaf, Pak, silahkan ambil waktu Anda berdua. Saya akan bawa anak ini ke tim pengembangan bersama yang lain,” pamit lelaki itu cepat-cepat menyeret Alexi menjauh dari sana.
Sayangnya baik Hail maupun Ranesha tidak paham apa yang dua insan itu bicarakan. Mereka kemudian saling lempar pandang, tersenyum canggung.
“Ayo, ada segudang pekerjaan yang belum diselesaikan,” ajak Hail beranjak dari kursi.
Ranesha cepat-cepat menghabiskan jus apelnya yang sudah mulai tidak dingin lagi. “Siap, Pak!”
***
Kadang Ranesha bertanya-tanya, bagaimana bisa lelaki secerdas Hail bisa mati? Apa nyawa seseorang semurah itu? Apa cinta bisa merusak seseorang sampai seperti itu?
“Pak,” panggilnya mendadak.
“Hm?” Hail hanya menjawab singkat, fokusnya tetap pada layar laptop di hadapan.
“Masih tidak ingin selingkuh dengan saya?” Ranesha tahu mood Hail akan jatuh seketika karena ucapannya ini. Akan tetapi, sepertinya akan menyenangkan saja.
“Aku sedang memikirkan sesuatu, bagaimana kalau ruang kerja kau dan aku dibedakan saja?” ancam Hail tanpa menatap lawan bicaranya.
“Saya tidak akan menganggu saat sibuk lagi,” jawab Ranesah cepat. Nyalinya ciut seketika.
Setelah menyelesaikan tumpukan dokumen di meja, Hail dan Ranesha menghela napas bersamaan, akan tetapi wajah mereka tidak terlihat lega.
Seorang CEO nyatanya bukanlah bos di sebuah perusahaan, tetapi budak sebenarnya. Dialah sosok yang paling banyak mengerjakan hampir segala hal. Mengontrol dan menjalankan perusahaan. Pekerjaan yang gila.
“Jadwalku untuk malam nanti?” tanya Hail sedikit melonggarkan dasi.
“Pesta relasi, mulai sore ini sebenarnya. Tapi mengingat masih ada beberapa hal yang harus dibereskan lagi, sebaiknya kita datang agak malam saja. Biar saya siapkan segala hal lainnya.”
Cekatan. Hal yang menjadi keunggulan Ranesha.
“Menurutmu apa sebaiknya aku mengajak Meriel?” Hail melongok, menatap ke arah Ranesha di seberang sana.
Tangan sang sekretaris yang menari lihai di keyboard terhenti. “Bagus juga," jawabnya tanpa membalas tatapan Hail.
Pria bermata cokelat emas itu tersenyum mendengar jawaban memuaskan tersebut. “Iya, kan? Aku ingin menghubunginya dul—”
“Ada Tuan Aron juga di sana, Anda sangat baik hati sebagai mak comblang dalam mempertemukan mereka,” sindir Ranesha halus, lengkap dengan senyuman bisnis yang membuat urat kepala Hail muncul.
“Ah, hampir saja aku lupa.” Hail memegang kepala. “Dia kan penerus Deimos.” Perusahaan raksasa yang beregerak di bidang properti.
Padahal akan bagus untuk Meriel ikut serta dalam pesta relasi kali ini. Itu bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan sang istri, menambah relasi, dan memperkuat eksistensi Meriel dalam keluarganya.
“Tidak perlu frustasi begitu, Nyonya Meriel tetap akan datang.” Kalau sesuai line di cerita webtoonya, Meriel akan datanng, tetapi bukan untuk Hail tentu saja.
“Kenapa? Bagaimana kau bisa tahu?” Hail menatap Ranehsa skeptis.
“Hmm ….” Ranesha enggan membalas pandang. Matanya masih terkunci pada layar laptop. “Feeling,” sahutnya asal bunyi.
Memutar mata, Hail menghiraukan dan memilih untuk lanjut bekerja. Sampai sebuah dering notifikasi khusus dari benda pipih bernama ponsel itu berbunyi. Membuyarkan fokus Hail. Cepat-cepat ia tengok, memastikan apakah benar Meriel yang mengirim pesan.
“Apa Hail malam ini sibuk?” Begitu isi pesannya. Singkat, padat, tapi bisa menghangatkan hati beku seorang Hail.
Apa Ranehsa memiliki kemampuan seorang cenayang, ya?
“Tergantung. Apa ada sesuatu?” balas Hail cepat.
Pesannya langsung di baca. Menandakan Meriel hanya menatap ruang chat mereka. Senyum Hail langsung merekah bak bunga matahari di kala senja.
“Aku dengar akan ada pesta relasi,” balas sang istri.
Mendadak otak Hail berputar ringan. Ia langsung menoleh pada Ranesha yang fokus bekerja di seberang sana. “Permisi, Nona, apa kau cenayang atau semacamnya?” tuduh Hail skeptis.
Tiba-tiba? Ranesha membalas tatapan Hail dengan ekspresi wajah tidak kalah bingung. “Maaf?”
Hail menunjukan layar ponselnya dari kejauhan. Tentu tidak akan dapat dilihat oleh Ranesha, itu hanya gerakan formalitas.
“Istriku … seperti katamu, dia ingin ikut pesta relasi malam ini.” Pasalnya sangat jarang Meriel ingin ikut hal seperti itu. Dia selalu berkeluh kesah bahwa pesta sangat melelahkan.
Tersenyum bangga, Ranesha mengangguk-ngangguk. “Jadi sudah terbukti, kan? Insting wanita itu kuat. Saya tidak menyadap atau mengintip ponsel Anda.”
Benar sekali. Makanya Hail semakin tidak percaya. “Kesimpulannya? Kau seroang cenayang,” ungkap Hail tidak habis pikir. Ia kemudian segera membalas pesan Meriel yang sempat dianggur.
“Iya, ada. Ingin ikut?”
Lagi, balasan pesan Hail langsung dibaca dan dibalas cepat pada menit yang sama oleh sang istri tercinta.
“Jika tidak merepotkan Hail, aku ingin ikut, apakah boleh?”
Sudur bibir Hail terangkat. “Tentu saja, kau akan menjadi bintang kejora di sana nanti.”
“Terima kasih, Hail.”
Pria tersebut tidak langsung membalas, ia menopang dagu, mengetuk-ngetuk jari di meja. Lalu akhirnya mengirim pesan lagi untuk Meriel.
“Ngomong-ngomong, kau tidak harus meminta izin untuk segala sesuatunya padaku. Jangan membawa kebiasaan menyakitkanmu yang dulu, paham?”
Kali ini pesan Hail dibaca untuk waktu yang lebih lama, sekitar sepuluh menit berlalu akhirnya Meriel membalas pesannya.
“Kalau begitu, aku akan memberitahu Aron.”
What the hell.
Genggaman Hail pada ponsel lepas seketika, membuat benda pipih itu berciuman dengan lantai cukup keras, beruntung layar kacanya tidak pecah atau retak.
“Eh? Anda baik-baik saja?” tegur Ranesha cemas, ia segera bangkit dari kursinya.
Hail mengibaskan tangan, meraih gawainya lalu memasang senyuman palsu. “Kembali saja bekerja, aku tidak apa-apa.”
Bukan hal seperti itu yang dimaksud Hail pada Meriel, ia ingin agar sang istri memperlakukan dirinya layaknya seorang suami, bukan atasan. Meriel tidak perlu meminta izin hanya untuk ke super market membeli teh, begitu maksudnya.
Namun ia tidak bisa menjelaskan hal tersebut, karena takut akan menyakiti Meriel. Pada akhirnya Hail membalas, “Go ahead.” Lagi dan lagi, Hail memberikan akses untuk sang istri selingkuh.
Sedangkan Ranesha di sisi sana masih menatap Hail dengan khawatir, wajah sang atasan terlihat buruk sekali. Ia jadi teringat akan suatu hal. Di pesta nanti Hail akan dipermalukan oleh sang pemeran utama pria—Aron Deimos. Ranesha harus mengubah hal tersebut agar tidak terjadi.
Namun bagaimana caranya, ya? Ia harus apa? Mengikat Meriel? Ei … pikiran psikopatnya muncul mengerikan. Mana bisa begitu, yang ada dirinya akan dibunuh Hail dan Aron jika sembarangan menyentuh wanita yang mereka cintai.
“Tuhan, aku harus apa supaya menghindari hal buruk terjadi?”
Setelah memastikan pekerjaannya selesai, Ranesha pamit undur diri. Untuk apa? Tentu saja menyiapkan segala hal seperti setelan jas dan gaun beserta tetek bengeknya untuk pesta.Ranesha yang kini berada di salah satu toko dari mall mewah, menatap dengan teliti deretan gaun-gaun indah yang bertengger di sana.“Anda ingin gaun yang seperti apa?” tanya pelayan toko sopan.“Yang ini saja!” tunjuk Ranesha sumringah padahal gaun tersebut bukan untuknya.Ia memilih tema biru malam yang elegan. Sebenarnya belanja seperti ini juga menyenangkan, sih. Jadi tidak apa-apa, toh, Hail nanti di pesta malah akan bersama dirinya, bukan Meriel.“Ingin yang ini atau jenis lainnya?” tanya pelayan tadi menunjuk gaun-gaun lain yang malah lebih terbuka.“Silahkan rekomendasikan yang lebih tertutup tapi tetap bisa terlihat elegan saat memakain
Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam lewat lima belas menit. Orang-orang kecil yang berusaha keras dalam dunia bisnis sibuk menyapa dan menjilat para petinggi. Menjual senyum atau melempar pujian ringan.Sedangkan manusia-manusia yang berada di atas awan itu sibuk memilah mana orang yang dapat menjadi batu baru untuk membangun gedung tinggi menjulang ke langit, atau mana yang orang yang cocok untuk dijadikan babu.Pesta relasi memang di buat dengan tujuan begitu, mungkin juga untuk beberaapa orang khusus, mereka hanya ingin memerkan diri dan menikmati pesta.“Wah, saya masih pangling dengan istri Anda, kedatangan kalian tadi benar-benar seperti pasangan emas yang turun dari langit.”Orang ini wartawan yang sering menyiarkan isu buruk, dicoreng. Batin Hail.“Setuju. Kalian mengeluarkan aura khas yang membuat iri pasangan manapun di sini.”
Ada yang mengatakan hanya orang gila yang akan mengerti orang gila. Itu berarti hanya orang mesum yang akan mengerti orang mesum, kan?“Jujur saja ….” Tangan kekar Hail terulur, menarik pinggang Ranesha mendekat. “dia tidak hanya jadi sekretaris,” beonya dengan senyuman bangga. Tidak mengacuhkan wajah syok sang sekretaris.Ricardo langsung tergelak dan mengangguk paham, setuju. Ia mengacungkan jempolnya. “Kau sangat hebat, haha!”Tentu orang mesum ini mengira Hail bermain api di belakang sang istri, bersama sekretaris sendiri.“Sudah jelas, kan?” jawab Hail tersenyum sampai kehilangan matanya. Ia semakin mendekap Ranesha untuk menempel. Tidak peduli perempuan itu sedang mengalami gejolak perang batin yang lebih besar dari pada perang dunia ketiga sekali pun.“Kalau begitu aku pergi dulu, bersenang-senanglah, ya?”
“Aku pulang.” Hail memasuki rumah megahnya yang terlihat begitu kosong. Yah, para pekerja di sana cukup sedikit dan memiliki tempat tinggal yang sengaja Hail bedakan. Pria ini tidak terlalu suka kebisingan.“Oh? Hail, pulang cepat hari ini. Aku tidak tahu.” Meriel tampak masih canggung. Interaksi antara keduanya cukup renggang semenjak kejadian kala pesta itu. Dia merasa bersalah sekaligus tak berdaya. Hail pasti akan membenci—CUP.Hail mencium sekilas kening Meriel. berusaha mengikis rasa canggung di antara mereka akhir-akhir ini. “Maaf, lain kali akan kukabari,” ucapnya begitu lembut.Lagi-lagi begini.Meriel terlihat masih sangat kaget, ia bahkan tetap diam membeku dengan tangan menyentuh kening ketika Hail sudah beranjak pergi dari ruangan.Apa akan terus seperti ini?&ldquo
Bosan, tidak ada yang suka dengan kata menunnggu, tak terkecuali Ranesha. Setelah mengobrol singkat dengan kepala pelayan rumah megah ini, ia diharuskan duduk diam menunggu sang atasan bersiap-siap hanya untuk makan.“Yah, salahku juga datang tiba-tiba, sih,” koreski gadis itu pada kekesalannya sendiri. Sebenarnya ia hanya tidak sabar ingin menanyakan perihal wanita di lukisan tadi pada Hail secara langsung.Terhitung sudah hampir dua jam berlalu dari awal Ranesha menunggu, bahkan hari sudah tidak bisa dikatakan pagi lagi, ini sudah siang. Sebenarnya Hail sedang siap-siap untuk makan atau menikahinya? Tidak wajar sekali.“Ran, kau ternyata masih di sini.”Apa maksudnya itu?Kekesalan Ranesha seketika surut saat ia menoleh, mendapati sosok Hail dengan kaos hitam dan celana jeans dengan warna senada, ia hampir tidak pernah melihat pria ini berpakaia
Gerimis hujan membuat jendela apartemen yang membatasi antara balkon dan ruangan di dalam mengembun. Seorang wanita yang hanya mengenakan baju putih polos kedodoran—sampai selutut—menatap sendu pemandangan di luar. Tangan mungilnya menyentuh kaca dingin itu. Mata biru bak telaga paling damai di muka bumi ini menerawang jauh di balik jendela besar tersebut.“Sangat cocok denganmu,” sindir Aron yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Menampilkan tubuh kekar berotot hasil dari perawatan. Ia melangkah gontai mengampiri sang kekasih. Memeluk tubuh mungil itu dari belakang dan menempelkan rambutnya yang masih sangat basah di pundak Meriel.“Aron yang sembunyikan semua baju-bajuku, kan?” kesal perempuan itu, mengacak gemas rambut Aron. “Basah sekali, keringkan pakai handuk sana dulu!”Laki-laki yang sedang sibuk mendaftar kuliah itu tersenyum manis. “Keringkan,” bisik
“Luka bakar Nona memangnya tidak apa-apa? Anda sungguh harus bekerja? Tidak izin libur saja dulu?” rewel Lily menatap sang majikan dengan penuh rasa cemas yang tercetak jelas pada matanya.Ranesha terkekeh ringan. “Tidak bisa Lily, jika tidak ada aku entah apa yang akan terjadi pada Hail.”Sekilas bayangan di mana sang atasan mengerjakan segala pekerjaan sendirian seperti zombie membuat Ranesha tersenyum getir. Tidak menutup kemungkinan Hail juga ikut tumbang atau bahkan dilarikan ke rumah sakit jiwa.“Dan juga, hadiah kecil ini membuatku cemas akan sesuatu.” Ranesha mengangkat kotak dengan hiasan cantik yang waktu itu Lily terima tanpa mengetahui identitas pengirim. Gadis ini harus melacak orang itu.Raut wajah Lily masih terlihat kalut. “Tapi luka bakar Nona tidak mungkin sembuh hanya dalam satu hari,” tegurnya sudah menyerupai sosok ibu saja andai Ra
“Endinesa,” desah Ranseha membuka peta dunia dengan tangan yang menunjuk salah satu negara dengan ratusan ribu pulau.“Aslinya adalah Indonesia, tapi karena di Indonesia sendiri tidak ada istilah CEO, dan mereka biasanya memakai istilah Direktur Eksekutif, maka penulis webtoon Perjuangan Cinta Meriel yang tidak ingin latar belakang negara lain, melencengkan nama Indonesia dengan Endinesa.” Sekaramg ia tinggal di sini.Ranesha menengadah, mengembuskan napas dengan berat. Tangannya terangkat dengan mata yang menatap langit-langit seakan menembus atmosfer bumi dan mencapai bintang-bintang di alam semesta.“Aku tidak merasa terjebak dalam dunia ini, kadang aku berpikir aku adalah Ranesha sungguhan. Dan ini adalah dunia paralel. Tapi kalau bukan, maka itu artinya aku hanyalah bermimpi panjang setelah kematian. Namun tetap saja ….” Tangan Ranesha mengepal. “Kenapa aku tidak hidu