Berhubung ternyata kantin di kantor sangat penuh, Hail dan Ranesha memilih makan di pinggiran jalan kantor terdekat sembari menyusun jadwal kerja mereka pada hari ini.
“Seperti prediksi Bapak, tiga dari lima orang yang ingin kita rekrut untuk tim pengembangan menghubungi saya tadi, pagi-pagi sekali,” jelas Ranesha di sela menunggu makan siang mereka datang. Hal itulah yang membuat perasaannya sedikit membaik tadi pagi.
Hail ikut senang mendengar kabar baik tersebut. “Berarti kita bisa melakukan upgrade pada My Teacher dan menjalankan proyek baru, kan?” timpal pria itu tersenyum lega.
Ranesha mengamati pemandangan indah dari pesona laki-laki yang sayangnya sudah beristri ini. “Iya, kita bisa membuat My Asisstan atau My Friend, tinggal didiskusikan kembali yang mana duluan sebaiknya.”
Makan siang mereka sudah di antar, dua piring nasi goreng spesial dengan bau harum yang semerbak. “Terima kasih,” ucap Ranesha pada si pelayan dan tersenyum kecil.
Hail menarik piring miliknya. “Kalau menurutmu mana yang lebih dulu?”
Setelah berpikir sejenak, Ranesha menyuap nasi goreng tadi, mengunyah pelan lalu berujar sambil tersenyum nakal, “Saya akan memilih Anda lebih dulu.”
“Uhuk!” Tentu saja pria tersebut langsung tersedak. “Nona Ranesha Seibert,” panggilnya gemas, ingin memukul wajah sekretarisnya dengan sendok saja jika bisa.
“Hm?” Ranesha malah terlihat bangga, tidak ada setitik pun rasa bersalah di wajah cantiknya.
Ketika Hail ingin angkat suara, dering pada benda pipih di dalam saku celana membuat niat jahatnya urung. Ia segera meraih gawainya, membaca notifikasi pesan yang tertera di layar utama.
Seketika wajah Hail berubah masam, hawa yang dikeluarkan tubuhnya berwarna gelap seperti gurita yang sedang menyebar racun dari tentakel-tentakelnya. Pesan itu dari sang istri dan tentu saja berisi hal yang menyebalkan.
“Go ahead,” balas Hail pada pesan dari Meriel.
Maka pada menit yang sama Meriel segera membalas, “Sungguh tidak apa-apa? Hail tidak marah, kan?”
Hail sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya mengetikkan pesan lagi, “Jika itu yang istriku ingin, maka aku tidak memiliki hak untuk melarangmu.”
“Terima kasih, Hail.”
Laki-laki itu tidak membalas lagi, membiarkan pesan terakhir mendapat pemberitahuan sudah dibaca saja. Dia mengembuskan napas berat lalu kembali berusaha menghabiskan makan siang tanpa selera.
Ranesha langsung saja paham akan situasi sang atasan. “Dari Nyonya Meriel, ya?”
“Hm,” sahut Hail seadanya.
“Dia minta izin untuk main di luar sampai larut malam?” tebak Ranesha lagi.
Walau pun bingung tentang pengetahuan mistis Ranesha yang bak cenayang, Hail kembali menjawab dengan suara kecil dan singkat, “Hm.”
“Pasti dia juga bilang mungkin saja akan menginap di tempat Aron lagi, kan?” Ranesha masih melahap makan siangnya dengan nikmat.
Mata Hail naik, menatap netra hazelnut milih gadis itu penuh selidik. “Kau menyadap ponselku, kan?” tuduhnya sembarangan.
Tentu saja Ranesha tidak terima. “Fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan, asal Anda tahu saja," belanya.
“Cepat jelaskan, bagaimana kau tahu?”
“Karena saya mencintai Anda,” sahut Ranesha cepat.
Hail kehilangan kata-kata, mata mereka masih bertemu dan saling beradu, seolah berlomba menemukan celah pada masing-masing individu. Dan tentu saja Hail yang pertama kali memutuskan kontak mata itu.
“Cepat habiskan makanmu!” titah Hail galak. Ia tidak sadar akan perasaan sedihnya yang tadi membuncah kini lenyap tertiup angin, digantikan dengan rasa kesal pada sekretarisnya sendiri.
***
“CEO kita yang mendekati kata sempurna itu, kini sedang tanda tangan kontrak dengan orang-orang yang pernah bekerja di Babeldaob, jadi yang bergabung dengan tim pengembangan kita adalah Rayhan, Bryan dan Alexi,” tutup Ranesha tersenyum cerah.
Wanita itu diminta Hail untuk memberitahu terlebih dahulu agar ketika perkenalan nanti, tim pengembangan yang lama bisa lebih mempersiapkan diri menyambut tim pengembangan yang baru.
“Bravo! Bravo!”
“Kalian hebat sekali!”
“Terima kasih sudah memerhatikan kondisi tim kami!”
Sebuah tepuk tangan dan wajah gembira cerah ceria langsung menyambut hal tersebut, mereka berdelapan. Tim pengembangan andalan yang memiliki peran penting dalam Delmara Company. Dua di antara mereka termasuk orang yang merintis dari awal bersama Hail dan Ranesha.
“Aku tidak pernah menyangka Alexi yang hebat itu ingin bergabung dengan kita!” pekik Juan melompat dari kursi. Ia lantas menghampiri Ranesha dan mengacak rambut yang telah susah payah gadis itu tata dengan rapi. “Hebat sekali!” puji Juan gemas.
Menepis tangan lelaki itu, Ranesha menggembungkan pipi dan menghentakkan kakinya. “Kau tidak tahu berapa jam aku habiskan untuk menata rambut saja!” protesnya malah terlihat seperti anak kucing di mata Juan.
Kedelapan anggota tim pengembangan di sana langsung tertawa receh. Kehangatan yang jarang dijumpai pada perusahaan besar, ada di sini. Seolah mereka bukanlah partner kerja melainkan sedang reuni.
“Oh, iya, kau sudah makan siang? Aku tidak ada makan dari pagi tadi.” Juan memegangi perut, menampilkan wajah seperti orang yang busung lapar atau kekurangan gizi.
Ranesha mengerjapkan mata beberapa kali hampir tak percaya, lalu mendelik. “Ini sudah menjelang sore, bagaimana kau—”
“Kalian itu sangat kejam tahu? Meminta banyak hal dengan deadline di luar nalar. Aku berusaha mati-matian untuk menuntaskannya,” potong Juan mengeluh. Membuat amarah Ranesha surut seketika.
Yah, perkataan pria itu tidak salah sama sekali. Dia adalah kepala tim pengembangan ini. Menemukan bug dan menyelesaikan masalah entah itu baru atau yang lama dalam My Teacher adalah tugas yang merepotkan, akan tetapi sang CEO malah memberi mereka proyek lain. Belum lagi rencana fitur baru dari My Teacher. Membuat pusing kepala dan kelelahan jiwa.
“Ugh … maaf.” Ranesha menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Aku sudah makan, sih, tapi aku bisa mentraktir kalian sekarang.”
Tujuh orang di sana yang terdiri dari dua wanita dan lima pria langsung menyilangkan tangan di depan dada. “Kami sudah makan, kalian berdua saja!” tolak mereka serentak, seperti pasukan prajurit yang telah latihan berabad-abad.
Memasang tampang bingung, Ranesha menoleh pada Juan. Lelaki berambut pirang itu sudah memamerkan senyumannya yang paling tampan. “Kau akan traktir, kan? Ayo, ke kantin kantor saja, aku sudah saaaangat lapar.” Ia menarik tangan Ranesha tanpa permisi.
Sementara dua orang itu pergi, ketujuh manusia yang ditinggal tadi mulai bergosip ria. Yah, di sela pekerjaan mematikan yang melelahkan itu, mereka perlu refreshing tersendiri.
“Hei, apa gosip itu benar?”
“Yang mana? Kau pikir cuman ada satu dua tiga gosip di gedung ini?”
“Itu, yang katanya Ranesha mengajak Hail untuk selingkuh!”
“Kau memanggil kedua orang itu tanpa embel-embel, ya.”
“Apa masalahnya? Kami dekat.”
“Dulu.”
“Diam kau!”
“Mengingat sifat Nona Ranesha, rasanya gosip itu dilebih-lebihkan.”
“Benar, kan? Itu tidak mungkin.”
“Menurutku, mungkin Nona Ranesha hanya menyatakan perasaannya selama ini saja.”
“Wah, kalau benar begitu berarti posisi Juan dalam bahaya, dong?”
“Kasihan memang makhluk itu.”
“Mereka semua sangat rumit. Nyonya Meriel mencintai pewaris sah perusahaan sebelah, tapi dia malah menikah dengan Hail. Sang suami malah membiarkan perselingkuhan itu atas dasar cinta buta. Dia tidak sadar kalau sekretaris yang merupakan sahabat sejak kecil mencintainya dengan tulus. Dan Ranesha tidak pernah peka dengan perasaan Juan padanya. Woahh! Kisah mereka seperti sinetron karma!”
Kalimat penutup yang membuat semua orang di ruangan itu tertawa miris. Sedangkan di kantin ….
“Apa kau tahu beredar rumor tentangmu?” tanya Juan sambil menyuap makanannya.
Ranesha hanya memesan jus apel selagi menunggu Juan menghabiskan makan siang--sorenya. “Rumor tentang apa?”
Juan mengerling. “Hm … aku rasa itu akan menyakitimu,” ucapnya sedikit ragu.
Mengaduk jus dengan sedotan, Ranesha tersenyum kecut. “Tidak ada manusia yang bisa menghindari komentar manusia lain bahkan sampai mati,” jawabnya terdengar tajam.
Juan langsung terkekeh ringan. “Seakan kau tumbuh besar dalam kebencian.”
Benar sekali, sang ayah adalah pelaku utama, tapi Ranesha tidak mungkin menceritakan hal tersebut. “Bahkan Tuhan saja dibenci setan, bagaimana mungkin ada manusia yang hidup tanpa dibenci yang lain?” sergahanya hampir saja kecoplosan menjadi ladang curhat.
Juan sedikit tersentak akan kalimat tersebut, Ranesha terlihat berbeda sekali. Namun secepat mungkin ia memperbaiki ekspresi wajahnya. “Rumor itu bilang kau mengajak CEO kita untuk … selingkuh?” ujar Juan dengan wajah tidak nyaman, takut menyinggung perasaan wanita di hadapannya sekarang, bisa-bisa makanannya tidak dibayar. Dompet Juan? Ketinggalan. Tamatlah riwayatnya.
“Itu saja?”
Namun respon Ranesha lebih mengejutkan dari pada matahari terbit di barat.
“Eh?” Juan memasang wajah bengong, terheran-heran.
Ranesha tergelak ringan. “Benar, kok. Tapi dia langsung menolak,” sahut gadis cantik itu enteng. Seperti menelan permen karet.
Kali ini Juan tidak berhasil menjaga ekspresi. Ia melongo terang-terangan. “Hah? Kau gila?” serunya tidak sopan.
Ranesha mengambil alih sendok dari tangan Juan lalu menyumpal makanan ke mulut lelaki itu. “Aku tidak akan menyembunyikan perasaanku lagi.”
Juan terkesiap, sepertinya baru sadar kalau ia sudah melewati batas. “Kalau begitu, mari kita cari topik lain saja, maaf, ya.”
“Tidak masalah.”
Setelah itu, obrolan menjadi ringan. Hanya seputar masalah-masalah kecil, cerita lucu, atau gosip-gosip lain di kantor utama Delmara Company.
Sebelum akhirnya sebuah suara dan sosok tak terduga malah ikut bergabung, makan bersama mereka.
"Apa lihat-lihat?" galak orang itu dengan wajah tanpa emosinya yang khas.
Saking terkejutnya, makanan di mulut Juan sampai keluar, kembali ke piringnya dengan bentuk yang malang.
Apa-apaan orang ini?
Satu bulan telah berlalu sejak hari itu. Meriel sendiri telah kembali tinggal bersama ayahnya yang adalah seorang diktator. Secara sembunyi-sembunyi, Ranesha mendengar obrolan antara Caspian dengan kepala pelayan. Ternyata Caspian masih menyimpan dendam dengan Meriel. Wajar sekali sih, pria paruh baya itu hampir saja kehilangan satu-satunya harta paling berharga yang ia miliki di dunia ini—Ranesha. Walau bagaimanapun, Caspian ingin memastikan bahwa orang itu—Meriel—mendapat ganjaran yang lebih mengerikan dari pada penjara. Benar. Ranesha tahu sendiri bahwa bagi Meriel, kembali tinggal di rumah ayahnya yang bagaikan psikopat itu adalah hukuman paling berat di muka bumi ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan, Meriel saat ini sedang merasa lebih buruk dari pada di neraka. “Apa aku sangat buruk karena senang dengan hal itu?” Ranesha bergumam. Saat ini rambut Ranesha sudah lebih panjang, mata hazelnut indahnya menatap pe
“Aku berjanji,” lanjut Hail lagi semakin menunduk dalam. “A-aku berjanji kalau ini akan menjadi pertemuan kita yang terakhir.”“T-tunggu dulu, Pak. Apa maksudnya Anda ini sekarang—"“Ran … kata maaf saja memang tidak cukup untuk menebus segala kesalahan yang telah aku perbuat pada hidupmu.” Hail menyela kalimat Ranesha yang belum rampung. Pria dengan tampilan yang amat berantakan ini masih terus berceloteh dengan mengabaikan pendapat lawan bicaranya sendiri—sebuah kebiasaan buruk yang tak patut untuk ditiru.“Pak, saya—”“Aku akan pergi dari negara ini setelah segala urusan di perusahaan aku selesaikan. Jadi kau tenang saja. Cukup diam di sini dan beristirahatlah sebanyak mungkin. Kau tidak perlu mencemaskan apa pun lagi. Biar aku yang urus semuanya.”“Tapi saya—”&
Buruk. Ranesha bahkan hampir tidak bisa mengenali penampilan Hail saat ini. Sungguh, ketika baru saja ia selesai diperiksa oleh dokter, mengobrol ringan bersama dengan sang ayah, Ranesha hampir saja terkena serangan jantung tadi saat Hail tiba-tiba masuk ke dalam ruangan ini dengan sedikit gebrakan yang cukup mengejutkan.Dan kini, Caspian setelah menantap pria itu dengan intimidasi mengancam, pergi meninggalkan Hail dan Ranesha sendirian. Ini cukup mengejutkan karena Ranesha tahu bahwa Caspian dari dulu membenci sosok Hail—entah karena alasan apa.“Ran, aku ….” Hail masih menunduk, tidak sanggup menatap kondisi mengenaskan Ranesha. Padahal saat ini malah Ranesha yang tengah memandanginya dengan tatapan kasihan. Penampilan Hail sungguh berantakan, tidak terurus. Wajah tampannya terlihat kusam, dengan kumis danjenggot yang tidak dirapikan. Rambut legam Hail juga tampak kusut. Apalagi bajunya, apa Hail tidak meminta or
“Meriel aku ….” Hail memejamkan mata, lalu memjiat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut, berusaha untuk tidak berlaku kasar pada seseorang yang dulu pernah ia cintai setengah mati ini.“A-Aku mohon Hail! Jangan seperti ini … j-jangan lakukan ini! Aku minta maaf! Aku sangat menyesal, j-jadi tolong hentikan semua ini Hail! Jangan menyiksaku ... aku mohon padamu dengan sangat-sangat!” Meriel masih bersimpuh di kaki Hail, menangis sampai meraung-raung. Memohon seperti orang yang tidak memiliki harga diri lagi.Hail menengadah, mendengkus kasar, Ia sangat tidak sudi untuk menyentuh Meriel barang seujung jari pun. Memang benar kata orang dulu, kalau perbedaan antara benci dan cinta itu setipis benang saja. Hari ini kau bisa sangat membenci dia, tapi besok kau bisa saja sangat menggilainya. Begitu pula sebaliknya. Hari ini mungkin dia adalah duniamu, dia adalah segalanya bagimu, tapi besok … bisa saja
Runtuh. Hancur tanpa sisa kepingan lagi. Tiada kata-kata yang dapat menggambarkan perasaan Caspian saat ini. Ketika Ranesha, harta satu-satunya yang ia miliki di dunia ini, dikabarkan kembali mengalami kecelakaan. Apalagi ini bukanlah kecelakaan biasa. Setelah diusut oleh tim keamanan pribadinya, Caspian menemukan fakta bahwa Ranesha telah diserang.“Lalai … Ayah lagi-lagi gagal dalam menjagamu.” Caspian masih menangis sambil memeluk erat tangan Ranesha, menciumnya sesekali, meletakkan tangan kurus itu di keningnya dalam perasaan kalut bercampur haru.“Ibu dan adikmu pasti saat ini sedang mengutuk Ayah. Kau juga harus melakukannya.” Caspian masih mengoceh di sela isak tangis. “Tolong siksa Ayah dengan hal lain Ran. Kau boleh membenci Ayah. Kau juga boleh memukul Ayah. Kau boleh melakukan apa pun, tapi tolong ….” Kedua tangan Caspian yang meremas lembut jari-jari putri tercintanya ini.
Langit malam bertiup kencang melewati seonggok tubuh kecil, yang kini tengah melayang setelah terpeleset dari atap gedung dengan lima belas lantai.“Ah … perasaan dejavu,” ungkap gadis itu yang tak lain dan tak bukan adalah Julia. Benar. Sosok asli dari Ranesha yang seharusnya terjebak di dalam dunia webtoon. Lantas, kenapa di bisa berada di sini? Dia jelas pernah mengalami ini. Sebuah peristiwa nahas yang membuat jiwanya berpindah menjadi tokoh sampingan dalam webtoon Perjuangan Cinta Meriel.“Padahal aku sebagai Ranesha habis mengalami kecelakaan,” gumam si gadis berbadan mungil yang memakai jaket nan tipis tersebut. Ia ingat bagaimana mobil Ranesha terguling dan dirinya tengah sekarat saat itu. Sekarang dia berada di sini dengan sangat membingungkan. Tubuhnya yang jatuh dari atap gedung tinggi serasa melmbat. Seolah-olah gravitasi bumi tengah menolak dirinya.Mata bulat si gadis menatap