Share

Kecelakaan

Penulis: hinatasenja
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-06 20:57:44

"Jangan, Pak!" Isma mendorong dada Hartono menjauh darinya. Namun, pergelangan tangannya digenggam kuat oleh tangan Hartono yang besar, lelaki tua itu tidak akan membiarkan mangsanya yang sudah di bayar mahal lolos begitu saja.

"Kamu pikir saya bodoh, hah? Kamu sudah di sini, dan sudah tugas kamu untuk melayani saya!" Hartono membangunkan Isma, menyeretnya membawa perempuan itu ke ranjang.

"Pak!" Isma berteriak dan berontak, tetapi Hartono bergeming. Dia tidak peduli Isma kesakitan.

Semakin dekat jarak mereka ke tempat tidur, semakin kalut pikiran Isma. Dia tidak mau hidupnya hancur karena uang dua juta. Isma tidak ingin membunuh masa depannya meski tidak yakin akan secerah apa hidupnya nanti.

"Pak!" Panggilan Isma diabaikan, Hartono tetap pada hasratnya yang terlanjur melambung tinggi. Lalu, keadaan semakin membuat Isma terdesak. Pikiran jahat mulai menghasutnya saat sebuah vas bunga tidak sengaja dia lihat.

Isma menyambar vas bunga yang terletak di meja kecil dekat dengan tempat tidur, tanpa pikir panjang dia memukulkan benda tersebut ke kepala Hartono.

Prang!!! Vas bunga yang terbuat dari tanah liat tersebut menghantap tulang belakang kepala lelaki tersebut. Hartono berbalik, wajahnya memerah dengan emosi siap meledak.

"Sialan!" umpatnya seraya memegang kepalanya, tangannya terasa basah, Hartono melihat cairan kental dan merah mulai mengalir di sela-sela rambutnya yang beruban.

Tidak buang kesempatan, saat Hartono masih terhipnotis dengan darah di tangannya Isma segera memutar badan. Perempuan itu mempercepat langkahnya, lari ke arah pintu lalu membukanya.

"Mau ke mana kamu?"

Sial, Hartono berhasil mengejar.

"Lepaskan saya Pak, saya tidak mau berada di sini!" Isma tidak ingin kalah, dia tidak mau terjebak bersama lelaki tua bangka di hadapannya. Dengan sisa tenaganya, Isma mendorong Hartono sampai lelaki itu tersungkur.

"Jangan pergi! Kamu tidak boleh pergi!" Hartono masih berusaha mempertahankan Isma yang terlanjur berlari kalang kabut.

Isma melepas sepatunya, melempar pada Hartono yang mengejarnya di belakang. Lorong hotel yang mereka lalui cukup sepi, karena Hartono menyewa kamar VVIP sehingga tidak banyak orang berlalu-lalang.

"Tunggu!"

Isma menoleh, melihat Hartono semakin dekat. Pelupuk matanya sudah basah sejak tadi dibanjiri air mata ketakutan perempuan berusia 20 tahun itu. Isma mengutuk perbuatannya, mengapa bisa dia dengan mudah putus asa dan memutuskan jalan pintas seperti ini?

"Hei!"

Rupanya Hartono belum menyerah, sekarang dia tidak hanya ingin menikmati tubuh Isma tetapi ingin membuatnya tersiksa karena sudah membuatnya terluka. Hartono mempercepat gerak kakinya, tapi semakin lama darah di kepalanya menetes semakin banyak.

Hartono mulai lelah, pandangannya mengabur. Dari kejauhan, dia masih bisa melihat Isma berlari keluar dari gedung hotel tersebut.

"Isma bodoh, Isma bodoh!" Berulangkali Isma memukul kepalanya, menangis sesenggukan dan menyesali perbuatannya.

Akhirnya dia berhasil lolos, saat Isma menoleh ke belakang tidak lagi nampak sosok bertubuh gempal yang hampir saja menidurinya. Isma terkulai lemas, duduk di pinggiran trotoar tanpa alas kaki. Penampilannya yang berantakan sedikit mengundang perhatian pengguna jalan lainnya.

Segera Isma menyeka air matanya. Asal Hartono tidak lagi mengejar, Isma ingin orang lain tidak tahu apa yang baru saja dia lewati. Apa kata orang nanti jika tahu dirinya hampir menjual diri?

"Huh ... huh ...." Isma masih meraup oksigen memenuhi rongga paru-parunya yang sesak, sesekali matanya memperhatikan sekeliling. Dia takut Hartono masih mencarinya.

Tidak lama, ponsel dalam tas kecil yang sejak tadi dibawanya berbunyi. Tangannya masih gemetar saat merogoh benda pipih tersebut. "Mami Ratna—" desis Isma menutup mulutnya.

Isma yakin perempuan yang bekerja sebagai germo itu sudah mengetahui apa yang baru saja terjadi. Hartono mungkin telah melaporkannya. Tidak ingin kembali pada Mami Ratna, Isma menolak panggilan tersebut kemudian mematikan ponselnya.

Dengan tertatih Isma kembali berdiri, dia tidak mungkin lebih lama di sana. "Mami Ratna bisa saja suruh orang untuk mencari aku," gumam Isma lalu kembali berjalan meninggalkan trotoar.

Hampir seratus meter Isma berjalan, tapi dia bingung harus pergi ke mana. Kalau pergi ke kontrakannya, Mami Ratna bisa saja ada di sana. Ke tempat lain? Isma tidak punya pilihan. Dia tidak punya saudara di kota besar ini.

"Nah itu dia!" Suara bariton di belakangnya mengejutkan Isma. Sontak dia berbalik, matanya terbelalak ketika melihat lelaki yang sempat mengantarkannya tadi ke hotel menunjuk ke arahnya. Lelaki itu tidak sendiri kali ini, ada beberapa orang yang ikut dengannya.

Perasaan yang mulai tenang lenyap sudah. Isma berlari, tidak memperhatikan jalan bahkan beberapa kerikil melukai telapak kakinya.

"Ya Tuhan, tolong!" Isma berlari menembus jalanan yang lengang. Padahal kota tersebut cukup besar, tapi kenapa Isma memilih jalan yang sepi saat melarikan diri tadi.

"Berhenti! Mau ke mana kamu?" Lelaki-lelaki berbadan tinggi besar di belakangnya mengejar.

"Tolong!" Teriakan Isma menggema menembus hening malam. Hanya semilir angin yang menyahut menusuk tulangnya. "Tolong!"

Jarak mereka semakin dekat, Isma kalah telak. Para lelaki itu sudah jelas lebih besar tenaganya, jika Isma sampai tertangkap maka habislah hidupnya.

"Ya Tuhan, tolong aku—" Isma berlari lebih cepat, dia menyibak rambutnya yang terurai menghalangi jalan.

Tanpa sadar, langkahnya tidak lagi di tepi jalan. Kakinya sudah menginjak aspal dan sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya.

BUGH! Suara hantaman benda begitu keras memekakkan telinga. Isma terpelanting, tubuhnya seperti sehelai kertas tanpa beban yang dilempar jauh.

BRUK! Isma tergeletak di jalanan, kepalanya membentur aspal. Matanya masih terbuka melihat cahaya remang yang berasal dari mobil sedan yang menabraknya.

"Ibu ..." rintih Isma. Darah segar mengalir dari dahinya, perlahan matanya memejam.

"Tinggalin dia! Ini sudah tidak beres!" Lelaki yang tadinya akan mengejar Isma pelan-pelan mundur saat menyaksikan kecelakaan yang menimpa perempuan itu.

Dua orang lelaki turun dari mobil yang menabrak Isma, salah satu di antaranya sempat beradu pandangan dengan pria-pria berbadan tegap yang berdiri tidak jauh dari lokasi kejadian.

"Bagaimana ini, Pak Arman?"

"Panggil ambulans!" Lelaki bernama Arman itu berjongkok, meraba urat nadi perempuan yang bersimbah darah tersebut sementara asistennya menghubungi rumah sakit terdekat.

"Masih hidup," gumam Arman–lelaki dengan sorot mata tajam dan dingin itu meninggalkan Isma kemudian kembali duduk di mobil. "Ck! Perempuan itu yang salah, kenapa dia tidak hati-hati menyeberang? Bagaimana kalau ini jadi masalah, dan ... siapa mereka? Kenapa laki-laki itu mengejarnya?" gumam Arman mengingat lagi orang-orang tadi.

Tidak lebih dari lima belas menit, ambulans tiba. Arman masih mengamati dari kejauhan, dia tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi di luar. Yang penting, perempuan itu masih bernapas, pikirnya. Asistennya–Raffi yang akan menyelesaikan semuanya.

"Pak, sepertinya kita harus pergi ke kantor polisi!"

Arman mendengus kesal ketika Raffi datang memberitahu kabar menyebalkan tersebut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Marriage Agreement   Kotak Bekal

    Pulang ke rumah di jam yang sangat larut, Arman terkejut melihat seseorang meringkuk di sofa ruang tamu. Lelaki itu menyipitkan matanya, menelisik sosok yang tampak kecil hanya diterangi cahaya yang berasal dari sela-sela ventilasi.Lalu, saat Arman meraba dan stop kontaknya dinyalakan, lelaki itu tahu bahwa seseorang yang ada di sofa tadi adalah Isma. Gadis itu tertidur di sana, tanpa selimut padahal cuaca cukup dingin ditambah pendingin ruangan yang masih menyala."Kenapa dia tidur di sini?" gumam Arman melepas jasnya yang terasa sesak dan menaruhnya di pinggir sofa yang kosong. Kemudian dia mendekat, berjongkok tepat menghadap ke wajah Isma yang tertidur pulas. "Isma?" bisiknya cukup pelan.Dalam sekali panggilan, Isma langsung mengerjap dan cukup kaget dengan kehadiran Arman yang begitu dekat posisinya. "Mas—" Isma beringsut lalu duduk di sofa sedangkan Arman sudah berdiri sejak tadi."Kamu ngapain tidur di sini? Seperti tidak punya kamar saja," celetuk Arman lalu duduk di sofa la

  • Marriage Agreement   Kekacauan Di Pesta

    Di tengah keramaian dan megahnya pesta ulang tahun pernikahan orangtua Arman, ada seorang gadis yang tengah gugup setengah mati. Isma, dia sedang berada di antara sekumpulan tamu undangan diapit oleh Diajeng dan Clara di sisi kanan kirinya."Ngomong-ngomong, ini siapa?" tanya salah seorang."Asistennya Arman, yang ngurusin keperluan pribadi anak saya." Diajeng menjawabnya, ditimpali kekehan mengejek yang berasal dari Clara."Wah, baik banget Arman. Mau bawa asistennya ke pesta ini. Terus ini siapa?" tanya yang lain lagi, beralih kepada Clara."Ini calon istrinya," sahut Diajeng kemudian memperkenalkan Clara. Tak lupa, dia juga menyebutkan dari mana Clara berasal dan perusahaan apa yang keluarganya miliki. "Selain cantik, Clara ini memang pintar. Dia sekolah di luar negeri, dan akan meneruskan perusahaan Aura Beauty."Padahal ada Isma yang sudah resmi dinikahi oleh Arman tetapi Diajeng tidak sudi untuk mengakuinya. Dibandingkan harus membiarkan semua orang tahu jika Isma sekarang menja

  • Marriage Agreement   Cuma Istri Sementara

    "Ma!"Tiba-tiba, dari arah depan Arman muncul mengejutkan Diajeng dan Isma. Bi Inah yang diam-diam melaporkan kepada lelaki itu karena tidak bisa menghentikan Diajeng."Mama ngapain Isma?" tanya Arman penuh selidik.Meski putra semata wayangnya itu tampak kesal namun Diajeng sama sekali tidak peduli padahal dia baru saja terpergok membuat menantunya sendiri kelelahan dengan pekerjaan rumah.Diajeng pun menghampiri Arman, melipat tangan di dada dan menatap lelaki itu. "Ngapain lagi? Nyuruh istri kamu beres-beres rumah, kenapa memangnya?""Ada Bi Inah yang aku pekerjakan untuk melakukan ini, jadi kenapa Isma juga harus melakukannya?"Mendengar Arman membelanya, Isma terdiam di pojokan kebun. Dia tidak menduga lelaki itu akan kembali dari kantor dan keributan terjadi lagi di antara dirinya dan Diajeng jadi Isma pun mendekat untuk menengahi."Mas, tidak apa-apa.""Tuh denger, kamu saja yang aneh! Mama cumaa ngajarin istri kamu untuk melakukan pekerjaan rumah tapi kamu malah marah!" seru D

  • Marriage Agreement   Ulah Diajeng

    Pagi hari, Arman turun dari kamarnya menuju ke meja makan. Dia sudah siap mengenakan jas dan akan pergi ke kantor. Di meja, ada sebuah cangkir berisi kopi yang masih mengepul. Kemudian Arman pun menyeruput kopi tersebut. Dia terdiam sejenak, kembali menyeruputnya merasa-rasa kopi tersebut."Tumben rasanya beda?" gumam Arman menyecap kembali minumannya. Kopi dengan sedikit susu itu biasanya terasa lebih manis, tapi kali ini berbeda di lidahnya."Kenapa, Pak?" tanya Bi Inah kepada Arman."Kopinya enak, tumben tidak terlalu manis.""Bukan Bibi yang buat," bantah Bi Inah. "Mbak Isma tadi yang buatkan soalnya Bibi lagi nyuci.""Isma?"Kemudian orang yang sedang mereka bicarakan keluar dari dapur. Isma tersenyum, dia mengenakan celemek yang membungkus pakaiannya. "Sarapannya sudah siap, Pak. Maksud saya, Mas."Bi Inah tersenyum mesem melihat pengantin baru itu masih tampak kaku. Bi Inah tentu tahu tentang pernikahan yang terjadi di antara Arman dan Isma semenjak Isma pertama kali datang, na

  • Marriage Agreement   Panggilan Baru

    Kabar pernikahan Arman dan Isma akhirnya sampai ke telinga Clara. Gadis berusia 28 tahun dan merupakan penerus perusahaan kosmetik milik orangtuanya itu tidak percaya begitu saja.Clara dan Arman memang belum resmi dijodohkan, Clara hanya tahu orangtuanya dan orang tua Arman memiliki rencana itu. Meski begitu, Clara terlanjur jatuh hati kepada Arman sejak mereka pertama kali bertemu.Karena dihantui rasa penasaran yang mendalam, Clara memutuskan pergi ke kediaman Arman lagi dan ingin memastikan kabar tersebut.Begitu sampai di rumah Arman yang terletak di salah satu kompleks perumahan elit ibukota, Clara langsung menemui petugas keamanan di sana."Di mana Arman?" tanyanya tanpa basa-basi."Pak Arman sudah berangkat ke kantor sama pak Raffi, Mbak.""Ada siapa di dalam?""Istrinya Pak Arman dan bibi."Tanpa permisi, Clara melenggang masuk ke kawasan rumah Arman dan langsung mengetuk pintunya. Tidak perlu menunggu lama, pintu dibuka dari dalam.Seorang gadis mengenakan dress terusan sede

  • Marriage Agreement   Baru Saja Dimulai

    Mobil berwarna putih itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan pelataran rumah Arman membawa kekesalan pemiliknya. Diajeng, mengepalkan tangan menahan semua amarahnya di sana."Sabar Ma," ucap Bagus seraya mengusap bahu sang istri."Ini sudah keterlaluan, Pa. Bagaimana bisa, Arman menikah tanpa sepengetahuan kita. Dia menikahi perempuan itu tanpa restu kita. Arman itu anak kita satu-satunya, argh—""Papa juga sangat marah, tapi kamu tahu karakternya seperti apa 'kan? Arman tidak akan mengikuti keinginan kita begitu saja.""Ck!" Diajeng hanya bisa berdecak sebal seiring semakin jauh kediaman Arman dari jangkauannya.Sementara itu, Arman hendak masuk ke kamarnya tapi dia lupa jika Isma masih ada di ruang kerja. Kemudian, dia pun kembali ke sana."Kamu sudah boleh pergi," kata Arman di ambang pintu namun tidak mendapatkan sahutan. Di sofa, kepala Isma tidak nampak menyembul. Lelaki itu mengedarkan pandangannya, bertanya dalam hati apa Isma sudah keluar dari ruangan tersebut?Karen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status