"Oh, nggak ada apa-apa, sih. Kalau Bunda lagi di rumah ya bagus. Gevan mau ke rumah Bunda kira-kira setengah jam lagi ya? Mau ngenalin calon mantu..."
"Aaaahh!!!" Perkataan Gevan pun terputus dan pria itu refleks berteriak, karena Aluna yang tanpa sadar telah mengikat dasinya terlalu kuat hingga lehernya pun tercekik.Di seberang sana, terdengar nada heran bundanya yang bertanya ada apa gerangan yang membuat Gevan tiba-tiba saja berteriak."Oh? Enggak Bund, tadi ada kucing nakal nyakar kaki Gevan. Udah Gevan usir kok," tukasnya sambil mendelik kesal dan menoyor kepala Aluna dengan sadis.Aluna pun hampir saja menjerit dan mengaduh akibat toyoran bar-bar bosnya itu, namun Gevan cepat-cepat menutup mulut sekretarisnya dengan satu tangannya yang bebas.Tatapan dari manik hazel pria itu menyorot tajam ke arah Aluna dengan penuh ancaman, agar gadis itu tidak mengeluarkan suaranya."Iya, Bun. Kalau begitu Gevan siap-siap dulu. Sampai ketemu di rumah. Bye..." Gevan pun akhirnya mengakhiri sambungan telepon dengan Bundanya."Hmmmph..." Aluna memukul-mukul tangan Gevan yang masih saja menutup mulutnya dan membuat gadis itu tak bisa bernapas.Seakan baru tersadar, pria itu pun baru melepaskan tangannya yang membekap mulut Aluna dari tadi."Pak Gevan!! Mau bunuh saya ya?!" Pekik Aluna gusar sambil megap-megap kehabisan napas.Gevan hanya berdecih. "Nggak kebalik? Kamu sendiri berniat mau mencekik saya dengan dasi, kan?""Iiih... itu kan nggak sengaja! Lagian siapa yang bapak maksud calon mantu dari Bunda-nya Pak Gevan, coba? Bukan saya, kan? Kan tadi saya sudah bilang mau pikir-pikir dulu??" Protes Aluna tidak terima.Gevan melipat tangannya di dada sambil menaikkan dagunya. "Ck. Nggak usah berlagak mau mikir segala deh! Penawaran itu hanya berlaku saat ini. Kalau kamu nggak mau ya sudah, saya bisa cari perempuan lain kok buat dibawa ke hadapan Bunda. Tapi kamu sendiri belum tentu bisa mendapat calon suami yang mau menerima kamu apa adanya kan?"Touché. Tepat sekali.Aluna pun seketika terdiam.Iya, dengan kondisi hamil begini tentu dia akan mendapatkan suami yang menerima dirinya, jika Tommy brengsek itu masih saja tidak mau bertanggung jawab.Sebenarnya Aluna berniat untuk membesarkan anaknya sendiri saja, namun kedua orang tuanya belum tentu setuju. Jangan-jangan malah mereka menikahkan Aluna dengan lelaki pilihan mereka yang dia tak suka!Tapi..."Pak, coba deh perhatikan muka saya baik-baik," Aluna pun menunjuk wajahnya sendiri."Bapak kan sering bilang kalau saya ini nggak cantik, sradak sruduk, baperan... apa Pak Gevan yakin nanti bakal tahan melihat saya setiap hari?" Tanya Aluna sangsi."Menikah itu kan bukan cuma buat setahun dua tahun, Pak. Atau jangan-jangan... Pak Gevan ingin menikah kontrak seperti yang di novel-novel gitu ya? Yang hanya setahun langsung cerai?""Cih. Kebanyakan baca novel kamu, Al. Pernikahan yang saya maksud sama sekali bukan seperti itu, tapi untuk selamanya--kecuali kamu ketahuan selingkuh, maka saya nggak akan segan dan langsung tendang kamu keluar saat itu juga," tegas Gevan."Dan ya... secara fisik memang kamu sama sekali tidak memenuhi kriteria saya. Tapi jujur sih cuma sama kamu, saya bisa tahan berdekatan dengan perempuan dalam durasi waktu yang cukup lama," cetus Gevan yang membuat Aluna serta merta kaget mendengarnya."Maksudnya gimana pak?" Tanya Aluna bingung."Ck. Udah, nggak usah banyak tanya! Kamu siap-siap saja sana, lima menit lagi kita berangkat ke rumah orang tua saya," usir Gevan sambil mendorong pelan tubuh Aluna agar keluar dari ruangannya.***Di dalam mobil menuju kediaman keluarga Samudra, untuk beberapa saat Gevan dan Aluna terdiam dengan pikirannya masing-masing."Nanti kalau ditanya sejak kapan kita pacaran, jawab saja dengan jujur," tukas Gevan tiba-tiba, memecah keheningan yang mengisi udara."Eeh... jujur gimana nih, maksud bapak? Kan kita sama sekali nggak pernah pacaran?" Tanya Aluna heran."Nah, itu kamu tahu! Kita memang nggak pacaran, tapi sayalah yang langsung melamar kamu hari ini," tutur Gevan sambil tetap fokus pada jalanan di depannya."Selanjutnya biar saya yang jelaskan semua kepada Bunda, dan kamu cukup diam saja. Ngerti?!"Aluna pun hanya menjawab titah si boss dengan anggukan pelan tanpa suara.Sesampainya di kediaman keluarga Samudra, Gevan menghentikan mobilnya di bagian entrance rumah mewah tiga lantai itu, lalu membuka pintu mobilnya setelah menyuruh Aluna untuk juga keluar.Aluna beberapa kali sudah pernah ke sini sebelumnya, saat mengantarkan berkas untuk Pak Andromeda Samudra, ayah dari Gevan.Ya, Aluna adalah sekretaris Andromeda sebelum jabatan CEO Samudra Corp. diturunkan kepada anaknya.Itu sebabnya Aluna tidak takut pada Gevan yang galaknya nggak ketolong, karena selain ia memang sudah terbiasa juga karena sudah mengerti seluk beluk pekerjaan di Samudra Corp.Bahkan awal mula Gevan menjabat CEO, Aluna-lah satu-satunya karyawan yang berani melawannya.Hingga akhirnya dia tak tahan dengan sikap Gevan yang pemarah dan intimidatif, Aluna pun mengajukan surat pengunduran diri.Mendengar Aluna yang mengajukan resign, Andro dan Desti--istrinya--mengundang Aluna untuk makan malam bersama, lalu membujuk gadis itu untuk membatalkan pengunduran dirinya.Aluna yang merasa tidak enak dengan kebaikan mantan bos serta istrinya itu, akhirnya mengalah dan tidak jadi mengundurkan diri.Namun entah kenapa sejak itu juga Gevan pun tidak terlalu galak lagi dengannya.Yah, kata-kata pria itu memang masih suka nyelekit kalau menghina, tapi sekarang Aluna sudah mulai terbiasa dan bisa mengabaikannya."Ya ampun, Gevan! Jadi Aluna yang kamu maksud sebagai calon mantu buat Bunda??!" Pekik Desti senang, mengetahui bahwa Aluna yang berdiri di samping anaknya.Aluna pun langsung bergerak untuk menyalami serta mencium tangan Desti. "Apa kabar, Bu Desti?" Sapanya ramah sambil tersenyum."Mulai sekarang panggil 'Bunda', ya Aluna?" Sahut Desti sambil tersenyum dan mengelus kepala Aluna.Desti memang sejak dulu sudah menyukai Aluna, dan dalam hati seringkali berdoa agar anaknya Gevan akan berjodoh dengan sekretarisnya itu.Sifat Aluna yang manis dan sabar serta pemberani, dinilai cocok untuk mengatasi Gevan yang pemarah dan perfeksionis.Itu sebabnya Desti tidak ingin Aluna resign dan membujuknya untuk tetap bekerja bersama anaknya.Ia bahkan sampai mengancam Gevan agar bersikap lebih baik lagi kepada Aluna, kalau tidak ingin diabaikan oleh Bundanya sendiri.Aluna terlihat salah tingkah dan meringis dalam hati, merasa tak enak hati karena merasa telah membohongi wanita elegan dan baik hati ini. "Uhm... ya, Bunda," sahutnya akhirnya.Bunda Desti lalu mengajak Gevan dan Aluna masuk dan mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu luas bergaya klasik-mewah.Seorang maid datang menghampiri mereka dengan membawakan teh chamomile dan cake coklat yang sepertinya menggoda selera Aluna.Duh, kalau saja sekarang dalam situasi santai, Aluna sudah menghabiskan cake lezat itu tanpa malu-malu seperti biasanya.Namun meskipun Aluna sudah sangat mengenal Bu Desti serta Pak Andro, tetap saja kedatangannya kali ini resmi sebagai perkenalan dirinya sebagai calon istri Gevan.Oh my God. Calon istri Gevan??? Rasanya Aluna masih belum percaya..."Ayo dicicip, Lun. Jangan tegang gitu, ah! Santai saja... kan kamu sudah sering ke sini?" Desti terkekeh pelan melihat Aluna yang duduk dengan kaku di sofa, padahal biasanya gadis itu langsung melahap cake coklat kesukaannya tanpa malu-malu."Ayah dimana, Bun?" Gevan yang bertanya."Masih main golf. Tahu sendiri kan, ayahmu itu! Kalau sudah asyik main nggak mau diganggu," dengus Desti sambil cemberut.Gevan mengangguk. Tak masalah jika ayah tak ada, toh Aluna dan ayahnya sudah lama saling mengenal karena Aluna adalah sekretarisnya sebelum jabatan CEO beralih kepadanya.Malah sebenarnya Gevan sudah merasa kalau kedua orang tuanya ini berharap dirinya dan Aluna akan menjalin hubungan hingga ke jenjang pernikahan.Mereka memang tidak pernah mengatakannya secara gamblang, namun Gevan sampai muak mendengar nama Aluna yang selalu saja dipuji-puji setiap kali dia berkunjung ke rumah ini.Mereka masih berbincang santai sambil memakan cake, atau lebih tepatnya, Aluna saja yang makan karena Gevan tidak suka makanan manis.Lelaki itu bahkan menyodorkan kue miliknya kepada Aluna saat melihat cake di piring Aluna sudah tandas. Sambil meringis malu, Aluna pun menerima dan memakannya dengan lahap."Jadi kamu sudah serius sama Aluna, Van?" Tanya Desti antusias. Senyum manis pun terulas bibir berlipstik merah muda elegan miliknya.Gevan mengangguk. "Iya, Bun. Gevan serius, dan kami memutuskan untuk secepat mungkin menikah dan menggelar resepsi. Kalau pernikahannya diadakan dua minggu lagi, gimana Bun?"Desti dan Aluna pun sama-sama kaget mendengarnya. Bahkan Aluna hampir saja tersedak cake coklatnya mendengar perkataan bos mulut lemesnya itu."Dua minggu?" Seru Desti tak percaya."Van, mungkin kamu sudah tak sabar untuk menikahi Aluna, tapi ya jangan terburu-buru juga! Persiapan menikah itu paling tidak dua bulan. Bunda mau kalian mendapatkan resepsi yang indah dan tak terlupakan, karena momen itu tidak akan pernah terulang kembali," tutur Bundanya."Ha? Dua bulan?? Nggak Bun, Gevan mau menikah secepatnya saja. Ya udah tiga minggu deh," tukasnya sambil menggeleng tegas. "Banyak kok wedding organizer yang bisa kita sewa dalam waktu yang mepet begitu. Bunda tenang aja. Biar Gevan saja yang urus semuanya.""GEVAN AHZA SAMUDRA!"Aluna sampai terlonjak kaget mendengar suara hardikan Desti yang bernada tinggi. Selama ini Desti selalu bersikap lembut dan sering tertawa, jadi rasanya aneh melihat wanita itu marah. Seketika gadis itu pun menundukkan wajahnya takut-takut."Apa sih yang membuat kamu ingin menikah secepat itu? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa terburu-buru seolah ingin mengejar sesuatu??" Tuntut Desti dengan wajah kesal bercampur curiga.Gevan pun menghela napas pelan, dan berpikir serta memutuskan untuk membuka semuanya saja di hadapan Bunda. Toh jika tidak sekarang, pasti nanti semua akan terbuka juga."Sebelumnya Gevan minta maaf, Bun. Bukan maksud Gevan ingin membuat Bunda marah, hanya saja... Gevan ingin sesegera mungkin menikah karena... Aluna sudah hamil, Bun."***Saat Adam masih celingukan mencari keberadaan Flora yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, tiba-tiba saja Dante dan beberapa orang lelaki menariknya menuju ke dalam lift. Ya, rumah tiga lantai milik Pinkan memang memiliki lift kecil di dalamnya. "Party time!" Seru seseorang yang berada di samping Adam dengan penuh semangat, yang disambut dengan ribut sorakan riang lainnya. Oh damned. Sepertinya Adam sedang 'diculik' dan dibawa ke dalam Bachelor Party yang tadi disebutkan oleh Dante, padahal ia sama sekali belum bertemu dengan Flora untuk meminta ijin. Adam pun buru-buru meraih ponselnya, memutuskan untuk menelepon calon istrinya itu dan memberitahu mengenai acara yang sudah di atur oleh para sepupunya yang tukang culik ini. Paling tidak Flora harus tahu, karena Adam tidak ingin gadis itu memergokinya. Bisa kacau nanti. Namun sudah berkali-kali Adam menelepon ponsel Flora, tetap saja gadis itu tidak mengangkatnya. Adam pun berdecak sebal dan memutuskan untuk mengirim
Waktu berlalu tanpa terasa, dan hanya tinggal dua minggu lagi menuju hari pernikahan Adam dan Flora.Flora pun masih bekerja seperti biasa, meskipun Gevan membebaskannya jika ingin mengambil cuti. Tapi tentu saja gadis itu merasa tidak enak hati untuk mengambil cuti yang terlalu lama. Ah, bosnya itu memang terlalu baik.Dan ngomong-ngomong soal para calon pengantin, meskipun mereka masih bekerja di dalam satu Gedung, Adam dan Flora jarang sekali bertemu karena kesibukan masing-masing yang cukup menyita waktu. Adam masih saja berkutat dengan dua perusahaan, Samudra Corp. dan Wrighton Constructions, karena Noah yang juga masih menjalani terapi kanker harus menjaga kondisinya dan tidak boleh terlalu lelah.Hal inilah yang menjadi dilema bagi Adam. Di satu sisi sejujurnya ia lebih menyukai bekerja di Samudra Corp bersama Gevan, namun di sisi lain ia juga kasihan dengan Dad yang sepertinya sudah waktunya pensiun sebagai CEO Wrighton Constructions--terutama karena sedang sakit seperti in
Adam kembali mengarahkan padangannya ke langit malam, membuat Flora pun sontak ikut mendongak melihat langit. Tapi gadis itu malah terkesiap ketika kedua matanya tiba-tiba ditutup oleh tangan Adam, membuat dirinya serasa terkungkung oleh kegelapan.Lelaki itu mendekatkan bibirnya di telinga Flora untuk berhitung mundur, "Tiga, dua, satu..."Adam membuka tangannya dari mata Flora, bertepatan dengan ledakan sejuta bunga yang berkilau laksana emas yang menyinari langit malam.Flora membelalak, terpukau, tak menyangka kalau akan ada kembang api malam ini. Suara desing lembut yang diikuti oleh suara ledakan serta visual gemerlap di angkasa membuat matanya berkaca-kaca."Indahnya..." guman Flora lirih, tanpa melepaskan tatapannya dari langit.Adam yang sedari tadi hanya memandangi Flora, kini menyunggingkan senyum kemenangan. 'Yes, dia suka!!' Soraknya dalam hati. "Ini beneran kamu yang rencanain?" Flora mengalihkan wajah penuh tanya kepada Adam."Iya dong! Kembang api itu akan terus me
Setelah makan malam, Adam bersantai sejenak di rumah Flora sebelum ia pulang ke Jakarta. Ya, ia pulang sendirian, karena besoknya lelaki itu berencana melamar Flora dengan mengajak serta Dad. Jika ayahnya itu mau. Tadi sore ia sempat menelepon Noah dan menceritakan semuanya. Noah berkata dengan jujur bahwa dia kecewa, karena berharap putranya akan kembali bersama Anya."That is not gonna happened, Dad," ucap Adam di telepon tadi sore. "It's already over between us. It's over a long time ago," tukas Adam tegas tak terbantahkan.Noah hanya bisa menghela napas. Hantaman rasa bersalah kepada Anya tidak akan pernah bisa pudar karena telah membuat wanita itu menjadi istrinya, hingga akhirnya Anya pun terpisah dengan cinta sejatinya. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Adam benar-benar telah mengubur perasaannya kepada Anya, dan membuka lembaran baru bersama Flora.Bahkan hingga sambungan telepon itu berakhir, Noah masih bungkam--enggan memberikan restunya.It's okay. Adam te
"Kalau begitu buktikan kalau kamu memang menyayangi Flora dengan sepenuh hati. Jangan cuma pacari putri kami, tapi nikahi dia," ultimatum Wahyu sambil berkacak pinggang.***Mungkin kalau ada penggaris meteran, rasanya ingin sekali Flora mengukur lebarnya senyum Adam saat ini. Ok, senyumnya memang tampan, tapi ya nggak perlu lebar-lebar gitu juga, kan??"Saya siap menikahi Flora, Pak Wahyu," jawab Adam cepat. "Kapan pun. Lebih cepat lebih baik," tambahnya, yang membuat Flora rasanya ingin menenggelamkan diri ke empang milik tetangga saking malunya. Wahyu terkesiap dan mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Adam barusan yang terdengar begitu tegas. Tak dipungkiri kalau ia senang dan cukup lega karena Adam sepertinya serius dengan putrinya. Apalagi lelaki itu juga yang telah membantunya mencari bukti-bukti yang membuat Wahyu keluar dari penjara. Dari situ saja sepertinya memang terlihat kalau Adam memang memiliki perhatian lebih kepada Flora.Hanya saja, pria paruh baya itu juga
"Tadi bicara apa aja sama Arrigo?" Flora mengangkat wajahnya dari buah mangga yang sedang ia kupas untuk Adam, ketika pertanyaan itu meluncur keluar dari mulut lelaki itu."Nggak ada yang penting, sih. Cuma say thanks aja karena Riggo sudah banyak bantu sebagai pengacara Papa, gratis pula," sahut Flora sambil kembali berkutat dengan buah mangga yang dia kupas.Mereka berdua sedang bersantai di dalam gazebo yang terletak di taman belakang rumah orang tua Flora, membiarkan Papa dan Mama Flora saling kangen-kangenan setelah beberapa hari Papanya itu berada di tahanan Polisi.Taman belakang ini tidak terlalu luas, tapi ditata dengan apik dan sangat asri. Di tengah-tengahnya ada gazebo kecil yang sering dijadikan outdoor dining room saat Flora masih tinggal di Bandung.Cuaca kota kembang Bandung ini yang tidak terlalu panas dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi pun membuat suasana menjadi rileks."Aa!" Flora bermaksud menyuapkan sepotong mangga yang ditusuk dengan garpu ke mulut Adam, ta