Share

5. Boleh Cium?

TOK TOK TOK!!

"Buun... please buka pintunya dong?"

"NGGAK! Bunda nggak mau buka! Bunda malu punya anak laki-laki yang sudah menghamili anak orang! Mau taruh dimana muka Bunda, Gevan?!" Desti berteriak kesal dari balik pintu kamarnya yang dikunci dari dalam.

Gevan menghembuskan napas gusar. Pasti Bunda sedang marah dan kecewa padanya, setelah ia mengatakan kalau Aluna hamil.

Tadi saja Bunda langsung melotot menatap Gevan dan Aluna berganti-gantian, membuat kedua orang yang mendapatkan tatapan tajam itu pun otomatis menundukkan kepalanya.

Lalu tanpa berucap sepatah kata pun, wanita paruh baya itu beranjak berdiri dan naik ke kamarnya di lantai dua. Ia pun lalu mengurung diri di sana.

Gevan akhirnya menyerah dan memilih untuk membiarkan Bundanya yang masih kesal. Padahal ia pun belum sempat menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

"Gimana, Bunda masih marah, ya?" Tanya Aluna dengan wajah risau, saat Gevan memutuskan untuk turun kembali ke ruang tamu lantai bawah lalu duduk di sofa samping Aluna.

"Bunda merasa kesal dan malu karena mengira... saya yang menghamili kamu," tukas Gevan sambil menatap Aluna lekat-lekat.

"Terus, kenapa Pak Gevan nggak langsung bilang saja apa yang terjadi sebenarnya?" Cetus heran Aluna.

Gevan seketika terdiam sesaat. Ya, kenapa tidak langsung jujur saja mengatakan bahwa bukan dirinya yang menghamili Aluna? Kenapa?

"Pak?" Aluna bergeser untuk duduk lebih dekat dengan Gevan. "Kenapa Pak Gevan tidak bilang saja yang sebenarnya?" Ulang Aluna lagi dengan nada setengah mendesak.

"Itu karena... saya tidak mau." Gevan mengerjap heran dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri.

Ya, tapi sebenarnya itu memang benar. Sesungguhnya ia enggan untuk mengatakan fakta yang sesungguhnya kepada Bunda.

Mata bening beriris hitam milik Aluna itu pun sontak terlihat bingung. "Tapi kenapa tidak mau? Jadinya kan Bunda mengira kalau Pak Gevan sudah berbuat hal yang tidak-tidak. Padahal jelas-jelas bukan Pak Gevan yang bersalah!"

Gevan segera mengalihkan tatapan mata hazelnya menjauh dari Aluna. Entah kenapa ia tiba-tiba saja mendadak merasa gerah setelah beradu pandang dengan Aluna dan mata bulatnya yang polos itu.

"Mau kemana?" Gevan bertanya pada Aluna yang mendadak berdiri dari sofa dan berjalan menuju ke arah tangga.

"Mau bicara sama Bunda. Saya akan jujur bilang yang sebenarnya. Bunda nggak boleh salah sangka mengira bahwa Pak Gevan yang menghamili saya! Itu kan tidak benar!" Cetus Aluna tegas. Ia hanya merasa harus meluruskan segalanya, agar kesalahpahaman ini pun dapat segera diluruskan.

Namun seketika Gevan malah menelan ludah. Kenapa ia malah mendadak merasa merinding sampai ke tulang, saat Aluna yang mengatakan sederet kalimat 'Pak Gevan yang menghamili saya'?

Ia tak bisa menghalau sebuah pemikiran erotis yang mendadak terlintas serta menyerbu benaknya, sebuah bayangan dari seorang gadis dengan tubuh sensual tanpa sehelai benang pun yang mendesah dengan suaranya yang manja di bawah tubuhnya.

Bayangan... dari Aluna.

Damned!!! Ada apa dengan dirinya?!

Gevan memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir fantasi tak senonoh yang singgah di otaknya.

Ketika akhirnya ia membuka mata, Gevan pun baru menyadari bahwa langkah Aluna hampir sampai di anak tangga yang pertama.

Cepat-cepat ia berdiri dari sofa untuk menyusul gadis itu dan menangkap tangannya, membuat Aluna terkejut dan seketika berhenti melangkah.

"Jangan, Al. Biarkan saja Bunda mengira seperti itu," ucap Gevan tegas. Lalu ia menarik tangan Aluna dan menyeret gadis itu keluar dari rumah menuju ke mobilnya.

"Pak? Kita kan belum pamit sama Bunda? Lagipula apa alasannya Pak Gevan tidak mau Bunda tahu yang sebenarnya soal anak saya?" Tuntut Aluna, yang mulai merasa kesal karena Gevan hanya membisu saja dari tadi.

"Bodoh. Yang di perut itu bukan cuma anak kamu, tapi anak KITA. Ingat itu," sahut Gevan datar dengan tatapan yang fokus ke depan.

Perlahan mobilnya pun keluar dari kediaman Samudra menuju jalan di depan rumah megah itu.

"Dan saat ini Bunda sedang ngambek, Al. Percuma juga kita mau pamit pun tetap nggak akan digubris sama beliau."

Aluna terlihat murung setelah mendengar perkataan Gevan. Sekarang mungkin Bunda dan Pak Andro akan membenci dirinya, dan mengira Aluna-lah yang telah menggoda dan menjerumuskan Gevan, putra mereka satu-satunya.

Aaarghh!! Aluna merasa malu sekali. Fix.Pasti sekarang dia sudah dicap perempuan nakal oleh mereka!

Diam-diam, Aluna melirik ke arah Gevan yang sedang berkonsentrasi menyetir di kursi pengemudi.

Dia benar-benar penasaran dengan alasan kenapa bosnya itu tiba-tiba saja melamarnya. Dan tak pelak Aluna pun berpikir... entah rumah tangga macam apa yang akan mereka jalani ke depannya.

Keluarga Samudra adalah keluarga terhormat pemilik perusahaan jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia, sedangkan dia hanyalah seorang sekretaris CEO dan berasal dari keluarga biasa saja di Jogja.

Apa nantinya Aluna akan bisa serta sanggup menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka?

"Kalau ditanya itu jawab, Al. Bukannya malah ngelamun!"

Aluna pun seketika tersentak saat mendengar hardikan bosnya. Lamunannya serta merta buyar, dan kepalanya langsung tertoleh ke arah Gevan.

"Ehh? Uhm... memangnya tadi Pak Gevan bilang apa ya?" Tanya gelagapan gadis itu

Helaan napas pelan namun tajam penuh ketidaksabaran pun menguar dari hidung Gevan. "Saya tanya, kamu mau makan siang dimana, Aluna?"

Aluna refleks membulatkan bibirnya membentuk huruf O besar. "Ooh itu. Dimana saja oke sih, Pak... Saya pemakan segala kok."

Gevan pun terdiam seperti berpikir untuk beberapa saat, sebelum kemudian menganggukkan kepalanya.

"Setahu saya sih wanita hamil nggak boleh makan yang mentah-mentah, kan? Seperti sushi atau rare steak gitu?"

Aluna sedikit terperanjat mendengar bosnya yang biasa cuek, tiba-tiba cukup aware dan memperhatikan soal asupan makanan sehat untuk ibu hamil.

"Kok tahu sih, Pak?" Tanyanya penasaran.

Gevan mengetuk pelan kepala Aluna dengan jarinya. "Ya tahulah. Kan saya jenius, nggak kayak kamu. Bodoh," decaknya menyebalkan.

"Pak. Kenapa sih, selalu bilang saya bodoh, bodoh... gini-gini saya itu bakal jadi istri Pak Gevan juga loh," sungut Aluna.

Yang sudah-sudah biasanya dia memang tidak pernah peduli dengan hinaan Gevan, namun entah kenapa untuk kali ini ia kesal sekali mendengarnya.

Mungkin karena hormon kehamilan yang meledak-ledak dan membuat perasaan Aluna menjadi semakin sensitif.

"Laaah, memang kamu bodoh! Buktinya, mau aja dikibulin sama Tommy. Coba kalau kamu nggak ketemu saya, siapa coba yang bakalan mau nikahin kamu, hm??" Satu alis lebat Gevan pun terangkat ke atas mengejek Aluna dengan tanpa perasaannya.

"Iya, saya memang bodoh," sahut Aluna tiba-tiba, setelah jeda beberapa saat.

"Saya bodoh karena sudah melakukan hal yang tercela, dan sekarang terpaksa harus menanggung akibatnya. Tapi saya juga nggak maksa Pak Gevan untuk membantu saya, kok. Bapak bebas kapan pun mau kalau mau membatalkan rencana menikah dengan saya. Lagipula, saya kan cuma gadis bodoh, jelek, baperan dan bukan tipe Pak Gevan sama sekali."

Aluna pun langsung memalingkan wajahnya ke jendela kaca di sampingnya, setelah mengucapkan rentetan kalimat yang justru menyakitkan dirinya sendiri. Tanpa sadar, sebutir cairan bening jatuh melintasi pipinya tanpa bisa ia cegah.

Uuuh... rasanya ingin sekali ia membentak Gevan Ahza Samudra yang tidak peka ini sampai puas! Kenapa sih, mulutnya yang seksi itu lemes banget kalau menghina Aluna?

Coba kalau kata-kata manis yang keluar dari sana, atau paling nggak yang nggak nyelekit aja deh.

Yang ada sekarang rasanya pengen banget Aluna jambakin rambut lurus lebatnya itu sambil cakar-cakar wajah ganteng tapi ngeselin itu!

"Al? Kamu nangis??" Gevan melirik Aluna yang memalingkan wajahnya, namun ia bisa mendengar suara isakan pelan.

Seketika Gevan pun meminggirkan dan memberhentikan mobilnya di bahu jalan. "Al. Hei. Kamu marah ya?" Gevan menyentuh pelan bahu Aluna, namun gadis itu tidak bergeming dan tetap memalingkan wajahnya ke jendela.

Lelaki itu pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Biasanya Aluna nggak pernah sebaper ini deh... meskipun ia sering mengolok sekretarisnya itu.

Terus kenapa sekarang... aaah ya, pasti gara-gara hormon kehamilan! Ya, Gevan pernah membaca kalau ibu hamil perasaannya jadi lebih sensitif.

Ck, merepotkan sekali.

Dengan terpaksa ia pun memutuskan untuk membuka pintu, lalu berjalan mengitari mobil menuju ke arah posisi pintu Aluna lalu membukanya--membuat Aluna terkejut dan seketika membelalakkan matanya.

"P-Pak Gevan mau ngapain?!" Pekik Aluna kaget, ketika melihat Gevan membuka pintu mobil dan berjongkok tepat di depannya.

"Makanya jangan lihat ke jendela terus. Kan saya lagi ngomong sama kamu," tukas Gevan dengan muka flatnya.

Aluna mendengus. "Mau ngomong apa lagi? Mau menghina saya lagi? Udah pak, nggak perlu. Saya tahu diri kok kalau saya memang nggak ada bagus-bagusnya. Pak Gevan dan saya itu ibarat matahari yang bersinar terang dan kura-kura yang bodoh, jelek dan lamban!" Tandas Aluna dengan matanya yang lembab namun dengan berani menantang mata hazel Gevan.

Gevan mengerjap-kerjapkan matanya dengan takjub mendengar perumpamaan yang diucapkan Aluna tadi. Sebenarnya ia ingin tertawa, tapi sekuat hati ditahan.

"Jadi menurut kamu, saya itu seperti matahari ya? Hm, boleh juga," cetusnya sambil manggut-manggut.

"Iya, matahari. Bagusnya dilihat dari jauh aja. Jangan deket-deket kalau nggak mau mati konyol karena terbakar!" Balas Aluna lagi.

Bukannya marah, Gevan malah terkekeh geli mendengar ejekan itu, yang membuat Aluna pun menatapnya heran.

'Eh si Gevan mulut lemes ini memang ternyata cakep juga kalau ketawa. Lesung pipinya jadi kelihatan gitu... '

Dua tahun Aluna menjadi sekretarisnya, baru kali ini dia melihat tawa Gevan yang ternyata diam-diam bikin jantungnya jadi loncat-loncat nggak karuan.

"Al, saya minta maaf ya. Mulai sekarang saya coba bicara yang sopan ke kamu, okay? Kamu benar, biar bagaimana pun kita bakal jadi suami istri ke depannya. Nggak pantas saya menghina kamu terus. Jadi maafin saya ya?"

Suara maskulin dengan nada lembut itu sukses membuat Aluna makin bengong. 'Eh, si Gevan ini kesambet apa ya? Tumben banget sikapnya jadi manis gini. Bukan lagi nge-prank kan? Abis ini mulutnya nggak bakal balik lemes lagi kan?'

Aluna menelan ludah dan menggigit bibirnya karena menahan rasa aneh yang terasa menjalar hingga ke perutnya.

'Ih, perutku kok tiba-tiba merinding gini sih? Apa anakku di dalam perut kelaparan ya?'

Karena jengah ditatap dengan begitu intens oleh Gevan, Aluna pun menunduk dengan wajah yang mulai merona. "I-iyaaa... sudah saya maafkan kok," cicitnya pelan.

Gevan mengangkat dagu lancip Aluna dengan jari telunjuknya, hingga wajah gadis itu pun kembali mendongak menghadap wajahnya.

Untuk beberapa saat, kedua insan itu pun saling menatap dalam keheningan lisan. Baru kali ini Aluna merasa gugup karena ditatap oleh bosnya ini, karena baru kali Gevan memandangi dirinya dengan sorot yang sangat... berbeda.

Tak ada lagi mata yang mendelik kesal disusul oleh kata-kata tajam atau ledekan meremehkan.

Untuk kali ini, Aluna seolah melihat sisi lain Gevan yang sangat berbeda. Sisi yang lebih tenang dan lembut, bukan yang pemarah dan suka meledak-ledak.

Dan sejujurnya... Gevan sendiri pun sejak tadi sesungguhnya sulit sekali untuk fokus.

Sejak ia baru menyadari bahwa bentuk bibir Aluna yang ternyata bukan saja terlihat lembut, tapi juga... terlihat sangat sensual.

Gevan mengerjap pelan, sebelum kemudian ia memanggil Aluna dengan suara pelan dan sedikit serak.

"Al."

"Ya, Pak?"

Gevan menatap bibir polos Aluna yang merah alami tanpa pulasan lipstik, dan seketika lelaki itu pun refleks membasahi bibirnya sendiri.

"Kita kan berencana mau menikah... lalu apa nggak sebaiknya... kita mencoba untuk lebih dekat daripada sebelumya? Secara fisik, maksud saya."

Pria itu pun lalu sedikit mendekatkan wajahnya dengan wajah Aluna seraya tak lepas memandangi bentuk bibir mengundang sekretarisnya.

"Apa saya boleh... cium bibir kamu, Al?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status