Damned it!Adam mengacak rambut pirang gelapnya dengan frustasi, tak peduli jika penampilannya menjadi berantakan karenanya. Bahkan sejak ia memasuki ruang kerja CEO tempatnya bekerja untuk sementara ini, Adam telah membuka jas dan melemparnya sembarangan ke atas sofa. Dasi bercorak navy abstrak pun ia longgarkan, untuk akhirnya ikut ditanggalkan dan kini juga telah teronggok di sofa menyusul jas dengan warna yang senada itu. Hempasan napas kasar terhela darinya, yang saat ini sedang memandang ke luar jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian 35 lantai.Adam pun membiarkan pikirannya mengembara, kembali pada saat Flora mengatakan bahwa apa yang ada di antara mereka telah usai. Mereka bahkan belum memulai apa pun! Adam belum menunjukkan apa pun pada Flora, belum memberikan apa pun yang ingin ia beri kepada Flora.Erangan keras penuh rasa frustasi pun kembali terlontar dari bibirnya. Sial. Ini semua karena dirinya yang dengan bodoh menunjukkan sediki
BUUGGHH!! Tubuh remaja itu pun seketika terjengkang dengan keras ke atas lantai marmer putih yang licin. Percikan darah segar mengucur dari hidung dan bibirnya yang sobek, jatuh membasahi lantai sehingga memberikan warna yang begitu kontras pada marmer putih itu. "Anak bodoh!! Sudah kukatakan kalau keturunan Wrighton haruslah sempurna!" Bentak Noah dengan mata birunya yang nyalang dan berapi-api. Lalu ia mengambil kertas lusuh yang tercampak di lantai.Ada bekas jejak sepatu di atasnya, seakan kertas itu habis diinjak.Noah mengangkat kertas itu dan melemparnya ke wajah penuh lebam dan darah anak lelaki berusia dua belas tahun yang masih diam tersungkur di lantai. "Apa itu yang kamu sebut 'sempurna', haah?!"Kertas lusuh itu pun kembali terjatuh ke lantai, menampakkan dua buah angka besar 97 dalam bolpoin merah menyala yang mencolok dan diberi lingkaran di sekililingnya. Itu adalah kertas ujian matematika, dan si anak yang babak-belur itulah pemiliknya.Anak lelaki itu menyeka d
Keesokan harinya, Adam kembali berkunjung ke makam Mommy. Namun kali ini ia juga ingin bertemu Anya untuk memberikan cake coklat serta beberapa peralatan menulis, sebagai ucapan terima kasih karena telah menolongnya kemarin. Bahkan Adam pun sudah melupakan keinginan untuk kembali mengiris pergelangan tangannya, setelah semalaman ia memandangi boneka badut kecil yang terlihat sangat konyol itu, namun entah bagaimana juga telah membuat perasaannya sedikit tergugah.Kedatangan Adam disambut dengan begitu hangat oleh para penghuni Panti Asuhan, cukup membuatnya jengah dan risih karena tidak terbiasa menjadi pusat perhatian. Namun di satu sisi tanpa ia sadari, kebekuan di hatinya secara perlahan pun mulai sedikit mencair.Anak-anak kecil tanpa orang tua itu begitu terlihat begitu ceria, dan Adam merasakan kesenangan tersendiri saat bermain dan bercengkrama dengan mereka. Sejak saat itu pula Adam dan Anya semakin dekat. Anya yang masih berusia sembilan tahun, menganggap Adam yang tiga
"Kalau begitu, biarkan ego lelaki dominan ini menaklukkan seorang gadis pembangkang yang ia inginkan. Tidurlah denganku, Flora. Sekarang," tukas Adam, sebelum kembali menyerang bibir Flora dengan beringas.Flora ingin mengelak dari serangan Adam dengan melayangkan pukulan serta tendangan, namun kedua tangannya terhimpit tak berdaya karena Adam menekannya di pintu.Pun sama halnya dengan kedua kakinya. Adam telah menekan kaki Flora dengan kakinya, bahkan juga seluruh tubuhnya.'Sialan! Kayaknya dia sudah bisa memprediksi gerakanku!' Batin Flora kesal. "Paaak!! Lepasin saya atau Pak Adam akan saya adukan ke Polisi berkaitan dengan pemaksaan kehendak disertai kekerasan seksual!" Sergah Flora lantang saat akhirnya ia berhasil melepaskan sejenak bibirnya dari terkaman buas Adam.Kedua ujung bibir Adam terlihat berkedut dan otomatis tertarik ke samping, memamerkan senyum memukau yang terlihat sangat tampan, dan sialnya justru membuat jantung Flora serasa koprol dari tempatnya."Pemaksaan
"Bagiku, makam itu adalah tempatku bermain. Dan juga tempat pertama kali aku bertemu seorang pangeran tampan dan langsung jatuh cinta padanya, sejak usiaku sembilan tahun... hingga sekarang."Flora pun kembali terdiam dengan wajah datar mendengar pengakuan Anya yang blak-blakan itu. Ia tak akan memberikan tanggapan apa pun, karena memang sudah bukan kapasitasnya lagi untuk menanggapi. Semakin jelas sekarang, antara dirinya dan Adam sudah tidak ada yang perlu dipertahankan lagi.Flora hanya bersyukur bahwa perasaannya belum terlalu dalam untuk Adam, meskipun sedikit di dalam sana ada rasa kehilangan. Sedikit. Kira-kira satu nanometer, yang katanya adalah satuan terkecil. Iya, nggak usah banyak-banyak. Bikin mules ntar.Tawa renyah Anya pun terdengar, meskipun ada selintas perasaan heran yang tersirat dari wajah cantiknya. "Kok kamu biasa-biasa aja sih mendengar semua penjelasanku dari tadi? Juga nggak ada reaksi saat aku bilang kalau Adam dan aku dulunya sepasang kekasih?"Anya me
"M-maksud Bapak, syarat dariku yang waktu itu? Black card, berlian 30 karat dan Hermes Himalaya??" Tanya Flora terkejut. Padahal saat itu dia hanya menyelutuk asal! "Plus private island, dan dan private yacht. Semua sudah siap, Flora. Jadi kapan kita bisa tidur bersama?" Tukas Adam dengan netra biru langitnya yang menghujam tajam seakan dapat menembus kepala Flora. Flora pun mengernyit. "Maaf, Pak. Tapi perasaan itu cuma syarat untuk pacaran dengan saya deh, bukan untuk tidurin saya!" Sergahnya kesal. "Apa bedanya?" Cetus Adam sambil menaikkan alisnya. "Toh kalau aku nanti nikah sama kamu, kita juga bakal tidur bareng kan?" Flora pun serta-merta kembali melemparkan tatapan datarnya. "Ya beda lagilah! Kalau sudah nikah, bobo barengnya kan sudah sah! Nggak bakalan digrebek dan diarak satu RT kalau mau skidipapap sawadikap biskuit ahoy," Balas Flora lagi. Ck. Gini deh, kalau punya otak kebanyakan konten mesum. Nikah yang diliat pun cuma bagian nganu-nganunya doang! Adam meneleng
Flora hanya bisa mendesah, dengan bibirnya yang polos tanpa pulasan lipstik itu yang manyun saja sedari tadi. Saat ini ia sedang duduk dengan perasaan kesal di kursi teras rumah kosnya. Sebuah travel bag kecil berwarna hitam berisi beberapa potong pakaian dan peralatan mandi, berada di meja kecil di sampingnya. Hari ini adalah hari Sabtu, hari yang seharusnya sangat sakral bagi gadis itu, dimana ia hanya akan rebahan cantik di kasur untuj waktu yang lama. Kira-kira berapa lama? Yah, sampai bego aja. Setelah puas rebahan sampai rasanya mau gumoh, biasanya Flora baru mulai cari makan dan cemilan untuk mengisi perutnya. Khusus weekend gini jadwal mandi pun hanya satu kali, namun baru kelar satu jam karena sekalian luluran dan creambath juga. Meskipun agak tomboy, tapi Flora senang merawat diri sendiri. Ia menyukai perasaan bahagia saat tubuh dan rambutnya menjadi sangat wangi, yang juga otomatis meningkatkan mood-nya dan membuatnya lebih bersemangat. Aaah... indahnyaaa!!!
"Amanda kabur?? Jadi gimana dong, Pak? Wisata ke Puncaknya di cancel aja ya? Kita harus buru-buru tangkap si Amanda itu lagi sebelum dia bisa berbuat macam-macam!" Ucap Flora dengab raut cemas terlukis dengan jelas di wajahnya.Ia yakin sekali kalau sepupunya Pak Adam itu akan membuat onar di luar sana, mungkin dengan menemui orang tua Pak Gevan dan memberitahu tentang siapa sebenarnya ayah biologis dari bayi yang dikandung Aluna. "Pak, sepertinya kita ke langsung ke rumah Pak Andromeda saja deh. Siapa tahu bisa mencegah Amanda untuk tidak berkata yang tidak-tidak kepada orangtuanya Pak Gevan," cetus Flora mencetuskan ide.Adam menghela napas berat dan melemparkan tatapan ke depan. "Nggak perlu," pungkasnya "Amanda sudah bukan urusanku lagi, Flo. Biarkan Gevan dan Aluna yang menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kebetulan juga hari ini mereka akan landing di Indonesia."Mata Flora pun membulat mendengarnya. "Ta-tapi, Pak--""Kita jalan ke Puncak sekarang," putus Adam akhirnya, sebel