(Mahesa)
Aku menginjak pedal gas dengan pelan. Di dalam mobil menuju apartemen, aku dan Sekar tidak berbicara satu patah kata pun. Sekar kesal ketika tahu aku meminum kopi. Dia tidak berhenti mengomel saat aku menemaninya berbelanja. Jadi, malam menjelang ketika aku selesai melakukan rapat di kantor dan kebetulan aku harus menemui beberapa orang yang ada di salah satu pusat perbelanjaan di ibukota, mengecek ballroom yang ada di mall tersebut untuk acara launching nanti. Setelah aku bertemu dengan manajer mall, aku dan Kiano memutuskan untuk ke salah satu kedai kopi yang terkenal. Waktu aku masuk ke kedai kopi dan sempat mengantri, aku melihat Sekar dan Kevin duduk berdua sedang bercengkrama.
Perasaan tidak suka membuncah di pikiranku. Apa yang dila
(Kevin) Dua minggu sebelumnya, Aku melihat layar ponselku berkali-kali. Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu di parkiran di sebuah gedung pusat perbelanjaan. Beberapa minggu yang lalu, aku dihubungi oleh seseorang yang ingin membantuku mendapatkan Sekar kembali. Yang aku tahu pasti, kesempatan itu langsung aku ambil. Dia mengaku kakak tidak sedarah, Mahesa, suami dari Sekar. Kami intens sekali bercakap-cakap via telepon dan akhirnya kami memutuskan untuk bertemu. Di sini. Seseorang mengetuk kaca mobilku dan aku langsung membukanya. “Kevin?” tanyanya. “Brian?” Aku memastikannya. &n
(Sekar) Aku masuk ke ballroom dengan gugup. Ini pertama kalinya aku menghadiri acara formal seperti ini, sebagai istri orang, seorang CEO, pemegang saham, dan merangkap pemilik perusahan. Pastinya kehadiranku sangat dinanti-nanti. Aku membuat dandananku menyesuaikan Mahesa. Formal. Tidak banyak yang kukenal dari peluncuran game pertama kali oleh perusahaan Mahesa. Teman-temanku yang pasti datang karena sudah diundang oleh Mahesa sendiri dan Kamila yang memang sengaja kuhubungi untuk datang. Lalu, aku melihat Lina menghampiriku setelah dia berbicara sebentar dengan Kiano di depan pintu, karena Kiano harus mendampingi Mahesa. “Sebetulnya aku lebih suka kamu nggak dandan.” bisik Mahesa dari belakang. Membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak datang bersamanya tadi. Aku hanya datang sendiri.
(Mahesa) Aku berdiri menghadap Kevin, memasukkan kedua tanganku ke dalam kantong celana karena berusaha tidak mengepalkan tinju padanya. Setelah acara peluncuran, aku mendapati kabar oleh Derry bahwa Sekar berada di tempat yang berbeda, yaitu di kolam renang di Mall yang sedang direnovasi pula. Tercebur. Tidak bisa jalan. “Apa elo ada masalah dengan Sekar?” tanya Kevin. Berani-beraninya dia bertanya seperti itu. Aku bermasalah dengan Sekar atau tidak itu pun bukan urusannya. “Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?” lanjutnya. Dia menuntutku dengan berbagai macam pertanyaan dan tuduhan. Suami yang tidak becus menjaga istrinya dan terlalu gila kerja. Aku hanya diam. Menatapnya tajam. Kevin mungkin sadar semua urat-urat di dahiku muncul karena menahan emosi yang tidak tertahankan.
(Mahesa) Aku membuka pintu ruangan kerja Papa. Ruangan yang tidak pernah berubah dari dulu. Walaupun ada beberapa perabotan yang diperbaharui mengikuti jamannya. Aku melihat Papa duduk membaca sebuah koran. Matanya melihatku masuk dan kembali melihat koran yang dibacanya. Aku otomatis duduk di depannya. Duduk saja. Menunggunya untuk berbicara.“Jadi bisa dijelaskan apa yang terjadi sama Sekar?” Dia melipat koran dan meletakknya di meja depannya. Nampaknya koran yang dibacanya adalah koran yang terbit di sore hari karena ada sebuah berita peluncuran game-ku.“Seseorang mendorongnya jatuh ke dalam kolam renang.”“Kenapa bisa begitu?” Papa mengerutkan dahinya.“Not sure. Dia dapat sms dari seseorang dan waktu ke lokasi dia di dorong.”“Sudah liat cctv?”“Nggak ada cctv.” jawabku singkat.Papa m
(Sekar) Sudah hampir tiga hari, aku tinggal di rumah orang tua Mahesa. Tidak pernah keluar kamar bahkan berbicara dengan kedua orang tuanya. Mungkin kedua orang tuanya sibuk sekali. Ada yang berbeda hari ini. Mahesa betul-betul tidak mengabariku akan pulang jam berapa dan ketika aku melihat layar ponselku, tiba-tiba pintu kamarku diketuk satu kali dan langsung dibuka tanpa aku izinkan untuk masuk. “Aku dengar kamu sudah tinggal di sini beberapa hari dan sedang sakit?” Farel masuk. Tampangnya kusut. Beberapa kancing kemeja putihnya terbuka. Farel melihatku dari atas sampai bawah. Kebetulan aku sudah memakai piyama dan siap tidur. Piyama berlengan pendek. Aku tidak tahu harus memakai piyama yang seperti apa, tetapi beberapa baju yang ada di koper adalah pilihan Lina.
(Sekar) Aku membuka mataku. Seseorang mengelus pipiku dengan lembut. Ternyata Mahesa. “Ayo bangun, Sleeping beauty.” ujarnya. “Aku harus kerja. Ini udah jam setengah delapan.” Karena aku yang masih belum sadar memeluknya dan menjadikan lengannya sebagai bantal, langsung saja terduduk. “Jam setengah delapan?!” Aku terkejut. Langsung saja aku turun dari tempat tidur, tentunya sambil meringis. Aku lupa karena kakiku masih sakit. Walaupun tidak sesakit beberapa hari yang lalu. Aku sempat berhenti berjalan. “Kamu ini, selalu lupa kalau kakimu sakit. Pelan-pelan sedikit
(Brian) Aku menghisap rokokku cepat-cepat. Rasa kekesalan memuncak setelah tahu kemarin Farel dipukul oleh Mahesa. Kurang ajar sekali anak haram itu. “Jadi apa yang lo lakukan?” tanya Farel. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi bar yang keras. “Gue akan menghancurkannya.” “Perusahaannya?” “Nggak bisa. Karena hampir semua sahamnya atas nama Papa. Kalau perusahaan Mahesa terjadi apa-apa, Papa akan turun tangan dan akan menyelidiki langsung.” terangku pada Farel. “Pinter juga taktik Mahesa. Trus gimana ca
(Kiano) Semenjak aku mengenal Mahesa dan mengklaim bahwa dia adalah penyelamatku sewaktu dulu aku di masa sulit dan dia juga sahabatku, aku tidak pernah melihat Mahesa sekacau ini. Dia seperti kehilangan arah. Tidak tahu apa yang harus diperbuat sejak Sekar, istrinya menghilang. Kali ini aku yang berpikir keras. Mengerahkan semua koneksi dan kemampuan dengan membawa nama Mahesa Elangga Putera anak dari pemilik Langga Perdana Grup. Aku sibuk sekali mengangkat telepon yang masuk ke ponsel Mahesa. Dia sama sekali tidak bisa berbicara apalagi berpikir jernih. “Oke, oke. Saya tunggu. Apapun yang terjadi Pak Mahesa berharap banyak.” kataku tegas. Mahesa hanya menatap nanar ke sebuah ponsel. Ponsel milik Sekar.