Share

Eps. 6 - Masuk ke Jebakan Mahesa

(Kayshila)

          Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta.

          Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!

          Aku membangunkan Mahesa yang menutup telinganya dengan bantal sewaktu bel pintu terdengar nyaring dari ruang tamu hotel.

          “Mahesa! Bangun.” Aku membangunkan Mahesa dengan suara berbisik tapi agak besar.

          “Hmmm…”

          “Bangun! Cepat pindah ke tempat tidur.”

          “Kenapa sih?” tanyanya masih menutup mata.

          “Kamila datang!”

          Mahesa membuka matanya dengan cepat.

          “Cepat pindah ke tempat tidur.”

          Aku menarik bantal dan selimutnya ke kamar dan melemparnya ke tempat tidur. Mahesa dengan malas dan berjalan ke arah tempat tidur.

          “Aduh cepetan!!!!” panikku.

          Mahesa dengan santai merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dan tertidur lagi di bawah selimut.

          Dengan cepat aku membuka pintu. Wajah Kamila mulai sebal.

          “Lama banget sih.” Kamila langsung masuk ke kamar.

          “Tidur kali.”

          “Jam berapa ini?” Kamila menunjuk ke arah jam tangannya. “Ibu suruh bangunkan kalian berdua. Ayo sarapan ke bawah sama-sama.”

          “Ayo deh.” Aku menerima tawaran Kamila walaupun aku belum begitu lapar. Aku memakai lipstick sedikit, mengambil kacamata hitamku dan mengambil sweater-ku.

          “Loh? Mahesa nggak lo bangunin?”

          Oh iya! Aku lupa. Mahesa suamiku. Yang ada di tempat tidur itu suamiku. Aku berlari kecil menuju tempat tidur dan membangunkan Mahesa.

          Sialnya, Mahesa tidak bangun-bangun sama sekali. Hanya gumaman yang keluar dari mulutnya.

          “Mahesa! Bangun!” Aku mengambil bantalnya dan memukulkannya ke tubuhnya. Tapi Mahesa sama sekali tidak bergeming. Seperti orang mati. Aku sudah mencubitnya berkali-kali, dia hanya menggerakkan tangannya.

          “Mahesa, kalau kamu nggak mau bangun, kita cerai hari ini.” Aku membisikkan kata-kata tersebut ke telinga Mahesa. Seketika Mahesa membuka matanya. Dia menatap langit-langit dan menatapku. Wajahku penuh amarah. Susah sekali dibangunkan!

          “Sekar? Kamu mau cerai? Kenapa?” tanyanya lirih.

          “Cepat cuci muka, kita sarapan. Ayah sama Ibu sudah menunggu.” ujarku keras padanya.

          Kamila yang sedari tadi duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya langsung terkejut. Dia tahu aku berkali-kali membangunkan Mahesa sambil meng-videokan adegan kekerasanku tadi.

          “Lo bangunin pake apa?”

          “Ada deh.” Aku berdiri di tengah-tengah pintu. Menunggu Mahesa keluar dari kamar mandi. Jalannya gontai sekali. Dia mengambil sweater-nya dan kacamata hitamnya.

          “Lihat lo berdua.” celetuk Kamila.

          “Kenapa?” Mahesa melirikku. “Ada yang aneh?”

          “Klop banget. Sweater dan kaca mata hitamnya.”

          Mahesa tersenyum lebar. Merangkulku dengan mesra hingga tiba di restoran. Aku tidak tahu apakah Mahesa merasakan tanganku yang berkeringat, karena aku tidak terbiasa memegang tangannya.

          “Pasti kalian belum bangun?” tanya Ibu kepada kami.

          “Mahesa susah dibangunin, Bu.” jawabku.

          “Kamu panggil Mahesa cuma nama saja?” tanya Ibu lagi heran. Dia mulai mengerutkan dahinya.

          “Trus aku harus panggil dia apa?” Aku mencomot makanan Reni. Aku mencari-cari Reni karena tidak ada di meja makan. Lalu mataku menangkap Reni sedang mengambil minumannya.

          “Kamu kan lebih muda dari Mahesa, bisa lebih sopan sedikit dengan suamimu.”

          Astaga.

          “Ibu saja manggil Ayah kan dengan sebutan Mas.”

          Ayah mengangguk. Membenarkan.

          “Mas Mahesa ya, sayang?” Mahesa melihatku dan tersenyum welas asih.

          Rasanya semua isi perutku ingin sekali keluar.

          “Iya Bu.” Aku berdiri dan mengambil makanan. Mahesa mengikutiku.

          “Boleh juga peraturannya. Jadi aku dipanggil apa? Mas? Sayang? Honey?” Mahesa pura-pura berpikir.

          Aku memberikan senyuman indahku yang pernah ada walaupun tanpa make up. Menatap Mahesa dengan tatapan garang.

          “Mas Mahesa mau makan apa? Biar aku ambilkan.”

          “Hahaha. Memang seharusnya aku dari dulu harus menikah. Ternyata kalau punya istri bisa dilayani. Oh ada di perjanjian kita poin tiga.” Mahesa menunjukkan tiga jemarinya kepadaku. Entahlah mungkin karena kekesalanku membangunkan dia dan aku lebih kesal lagi karena dia mengejekku.

          “Cepat ambil makananmu jangan banyak tingkah!” Aku mencubit pinggang Mahesa dengan keras hingga Mahesa mengeluarkan suara berteriak seluruh restoran.

          “SEKAR SAKIT!!!” Mahesa memegang pinggangnya dan mengelus-elusnya.

          “Tuh Bu. Daritadi aku lihat Sekar kasar banget sama Mas Mahesa. Masak bangunin Mas Mahesa pakai dipukul-pukul gitu?” beritahu Kamila. Ayah dan Ibu terlalu syok untuk pengantin baru. Sedangkan Reni makan dengan santai.

          “Biarin ajalah, mereka kan seumuran.”

          “Seumuran bagaimana? Mahesa kan lebih tua.”

          “Ya mungkin Ibu kan nggak pernah lihat Sekar seperti itu dulu sama Kevin. Biarin aja, Bu. Mereka mungkin memang seperti itu.” Reni memberitahu.

          Aku menemani keluargaku liburan selama dua hari di Bali. Selalu ada yang special yang diberikan Mahesa untuk keluargaku. Sebuah liburan yang menyenangkan. Tetapi waktu itu malam terakhir, disaat keluargaku akan pulang ke Jakarta, Mahesa tidak muncul untuk makan malam.

          “Kamu kemana?” tanyaku yang kedua kalinya, karena pertanyaanku yang pertama tidak digubrisnya. Mahesa sibuk melihat laptopnya.

          “Hmm, aku sibuk. Mungkin aku baru pulang besok pagi atau siang.”

          “Apa aku harus pulang juga ke Jakarta?”

          Mahesa melihatku sebentar dan balik menatap laptopnya. Raut wajahnya kesal.

          “Tunggu aku disini.” Begitu saja. Tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Mahesa menutup laptopnya. Tidak ada pertanyaan sama sekali yang keluar dari mulutku walaupun banyak sekali pertanyaan yang ingin ku lontarkan ke dia. Buat apa? Aku toh tidak peduli dan mengurusi urusannya.

          Sekembalinya dari makan malam dengan keluargaku, aku mendapati Mbak Lina mencegatku untuk masuk ke lift.

          “Bu Sekar. Maaf. Saya dapat perintah dari Pak Mahesa untuk menemani Bu Sekar selama Pak Mahesa melakukan perjalanan dinas.” Aku tersenyum sungkan. Dikarenakan Mbak Lina memanggilku dengan sebutan “Bu”.

          “Kalau boleh tahu, Mahesa kemana?”

          “Singapore, Bu.”

          Apa? Singapore? Dan dia menyuruhku untuk menunggunya disini? Gila. Waktu cutiku sudah habis besok lusa.

          Aku tidak bisa menghubungi Mahesa semalaman. Sampai pesanku pun belum sampai di ponselnya. Masih menggantung. Besok paginya setelah mengantarkan keluargaku ke bandara untuk pulang ke Jakarta, mungkin langkah yang baik aku packing dan pulang ke Jakarta sendirian tanpa Mahesa. Karena rencananya adalah aku akan bulan madu dengan Mahesa. Begitu yang aku bilang dengan keluargaku. Aku terlalu buang-buang waktu di Bali.

          Sekembalinya aku ke hotel dari bandara, aku melangkahkan kakiku ke restoran untuk sarapan. Tidak ada pikiran apa-apa sewaktu aku masuk ke restoran itu. Aku sempat melihat Kevin dari kejauhan dan sayang sekali, belum sempat aku berbalik, Kevin sudah mengejarku.

          “Sekar! Tunggu Sekar!”

          Aku berjalan cepat sekali. Memencet tombol di lift dan menunggunya. Perasaanku tidak enak.

          “Sekar, I just need to talk.”

          “Aku sudah nggak ada hubungannya denganmu lagi.”

          “Aku butuh penjelasan.”

          Aku membalikkan badan ke arah Kevin. Rasanya ingin menampar wajahnya. Semua karyawan yang ada di hotel melihat kami, seakan-akan adegan ini tidak pantas ada di depan umum.

          “Tidak ada yang butuh dijelaskan.”

          Pintu lift terbuka. Aku masuk ke dalam lift dan Kevin mengikutiku. Betul-betul butuh pertolongan.

          “Sekar, aku minta maaf.”

          “Berulang kali kamu bilang maaf dan disaat menjelang pernikahan, kamu masih mau bilang maaf? Dengan wanita yang sama? Kenapa nggak nikah saja dengan wanita itu?” Tantangku.

          Aku terjebak di dalam lift yang cukup lama dengan Kevin. Dia selalu menjelaskan segala sesuatunya dengan tidak masuk akal. Aduh, kenapa kamarku di lantai paling atas?

          “Sekar sampai kapan pun aku tetap mencintaimu.”

          Pintu lift terbuka. Aku berjalan cepat menuju kamarku yang tidak terlalu jauh dari lift.

          “Bilang sama aku kalau kamu tidak mencintai laki-laki itu, Sekar.” Kevin memohon. “Kamu tidak mungkin mencintainya.”

          Aku menempelkan kunci hotel ke pintu dan pintu terbuka lebar.

          “Siapa yang tidak mencintai siapa?” tanya Mahesa dingin. Suaranya muncul tiba-tiba. Dia memperlihatkan dadanya yang bidang dan berotot. Ada tato di bagian pinggangnya sebelah kiri. Banyak burung-burung besar di sana. Aku rasa itu gambar burung camar.

          Kevin tercekat.

          “Kamu Kevin? Mau apa kamu masih mendekati istri saya?” tanya Mahesa. Suaranya memendam penuh amarah. Rahangnya mengeras. Kevin tidak membalas pertanyaan Mahesa sama sekali. Kalah telak. Aku menyembunyikan senyumanku. Kevin pergi masih dengan tatapan yang memelas tanpa berbicara apa-apa.

          “Aktingku bagus?” Mahesa merubah suaranya kembali seperti Mahesa yang kekanak-kanakan.

          “Lumayan.” Aku memujinya sedikit.

          “Hah! Kamu nggak pernah menghargai usahaku. Kenapa dia sampai mengikutimu begitu?”

          “Nekat?” Aku mengangkat bahuku. Tidak tahu. Ya mungkin karena dia masih tidak terima aku menikah dengan orang lain.

          “Senekat dia menyelingkuhimu?”

          Aku malas membahas mengenai Kevin, jadi aku tidak menjawab pertanyaan Mahesa.

          “Kapan kamu datang?” Aku balik bertanya.

          “Aku datang semua kamar bersih. Kenapa kamu packing semua baju-bajumu?” Mahesa menatapku dengan curiga. “Kamu mau kabur?”

          “Aku bertanya.” ujarku malas.

          “Aku yang bertanya duluan, sayang.”

          “Pertanyaanmu yang mana?” Aku membuka kembali koperku dan mengeluarkan beberapa pakaian.

          Mahesa melemparkan tubuhnya ke kasur.

          “Kamu ke Singapore?”

          “Kamu tahu darimana?”

          “Kenapa kamu nggak bilang ke aku kalau ke Singapore dan kamu malah bilang ke Mbak Lina?”

          Mahesa terduduk. Dia masih belum memakai bajunya. Aku risih dengan dadanya yang bidang dan perutnya yang berotot.

          “Sekar?”

          “Apa.”

          “Kamu mau kabur kan?”

          “Iya.”

          “Apa kamu nggak ingat poin tiga?”

          “Aku tanya kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu ke Singapore untuk perjalanan bisnismu? Kalau memang seperti itu aku kan bisa pulang. Cutiku terakhir besok dan aku harus masuk kantor.”

          Aku bertolak pinggang sambil menunggu jawaban dari Mahesa. Tidak ada jawaban. Akhirnya aku masuk ke kamar mandi. Aku sempat bersolek sedikit dan pergi meninggalkan Mahesa yang sedang berenang di kolam renang. Ketika perjalananku ke lift aku sempat menghubungi Mbak Lina untuk menemaniku jalan-jalan.

          Mbak Lina menyambut baik ajakanku. Dia selalu tersenyum ramah padaku.

          “Sibuk nggak, Mbak?” tanyaku ketika kami berjalan menuju parkiran.

          “Nggak, Bu.”

          “Mbak, maaf. Saya agak risih kalau Mbak Lina panggil saya Ibu.”

          Mbak Lina membuka pintu mobilnya. Dia duduk di kursi setir dengan senyuman lebar.

          “Loh, Bu Sekar sekarang kan sudah menikah. Saya belum. Lagipula Bu Sekar kan menikah dengan Bos saya, Pak Mahesa.”

          Aku masuk ke dalam mobilnya. Parfum mobilnya sungguh membuat hidungku gatal sekali. Informasi yang baru dilontarkan Mbak Lina membuatku terdiam beberapa saat. Kaget. Pasti.

          Tunggu.

          Pantas saja, waktu pernikahanku Mbak Lina yang menemaniku selalu.

          Pantas saja, setiap staf yang wara-wiri di hotel terlalu sungkan dengan Mahesa.

          Pantas saja, Mahesa dengan cepat mengembalikan uang DP mini ballroom yang  kusewa untuk pernikahanku dengan Kevin.

          Pantas saja, waktu Mama Mahesa datang, Mbak Lina sangat hormat sekali.

          Secepat kilat aku mengambil ponselku dan membuka laman browser untuk mencari di mesin pencarian nama Mahesa Elangga Putra.

Mahesa Elangga Putra adalah putra bungsu Darius Elanggasyah

Mahesa Elangga Putra baru saja pulang ke Indonesia setelah 7 tahun hidup di New York

Apakah Mahesa Elangga Putra penerus semua harta kekayaan Darius, si bos properti dan semen di Indonesia? 

Mahesa Elangga Putra menikah dengan…

Aku tidak melanjutkan bacaanku di laman browser. Bahkan berita pernikahannya pun ada di sebuah berita nasional. Apakah keluargaku tahu? Apakah teman-temanku tahu? Tiba-tiba saja pandanganku menjadi gelap.

          “Mbak Lina, maaf. Bagaimana kalau kita kembali ke hotel?”

          “Ada yang ketinggalan, Bu?”

          “Tolong Mbak, jangan panggil saya Ibu. Panggil saya seperti biasanya.” ujarku. Mulutku kering. Ketika Mbak Lina memutar balik mobilnya menuju hotel, aku turun dengan tergesa-gesa. Semua staf di hotel menatapku sungkan dan tersenyum sopan. Jadi ini masalahnya, karena Mahesa pemilik hotel?

          Aku mendobrak pintu hotel dan menutupnya dengan kencang. Mahesa yang sedang –lagi-lagi- bertelanjang dada duduk di atas kasur sambil membuka laptopnya dan menonton televisi dengan santainya.

          “Mahesa apa maksud kamu? Kamu menipuku ya?” Bombardirku.

          Mahesa yang sedang serius menatap laptop dan TV bergantian langsung kaget.

          “Ada apa sih?” Tapi dia melihat TV. Serius memperhatikan film yang ditontonnya.

          “Kamu menipuku?”

          “Menipu apa?” Mahesa heran. Tidak tahu harus menjawab apa.

          “Kamu kenapa nggak bilang ke aku kalau kamu pemilik hotel ini?”

          “Loh? Aku kan udah bilang di malam pertama kita keluar mau ke pasar. Kamunya aja yang ngga percaya.”

          Sial! Betul sekali. Dia pernah bilang. Kupikir itu bercandaannya.

          “Lalu kenapa kamu nggak jujur kalau kamu pemilik hotel dan anak bos properti?”

          “Sekar, kalau aku jujur ada dua kemungkinan. Pertama, kamu mau menikahiku karena kekayaanku, kedua kamu tidak mau menikahiku.”

          “Ya betul aku nggak bakalan menikahimu!” teriakku.

          “Waktu kamu nggak percaya aku pemilik hotel ini, aku rasa aku nggak perlu memperjelas lagi.”

          “Apa yang harus bilang sama keluargaku? Teman-temanku?”

          “Kamu malu menikah denganku?” Mahesa menaruh laptopnya dan berdiri. Aku melihat tatonya jelas. Ternyata gambar burung camarnya tampak hingga pinggangnya ke belakang.

          Aku tidak bisa menjawab.

          Iya, aku malu. Iya, bebanku terlalu berat. Aku hanya ingin membalaskan dendamku dengan Kevin tapi malah seperti ini.

          “Aku sudah bilang. Kamu wanita yang kupilih untuk mendampingiku selama satu tahun ini untuk mencapai tujuanku.”

          Suara Mahesa penuh penekanan. Tatapannya tajam. Dia mendekatiku.

          “Ketika sampai Jakarta, ajukan resign. Uang bulanan dariku lebih besar daripada gajimu. Banyak sekali pekerjaan yang harus kamu lakukan selama mendampingiku.”

          Mahesa memegang lembut daguku. Wajahku dan wajahnya dekat sekali. Sosok Mahesa kali ini membuatku merinding. Aura dominannya sangat terlihat sekali hingga bulu kudukku merinding.

*****

         

         

         

         

         

         

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andrea Luna
Tes tes tes tes tes
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status