Share

Eps.7 - Back Home

(Sekar)

          Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya!

          “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Executive yang sangat diandalkan. Perusahaan sedang mendapatkan dua proyek sekaligus jadi aku harus teliti dalam menghitung budgeting yang masuk. Itu hanya contoh kecilnya untuk job desk seorang finance executive.

          “Ada di belakang.” jawabku masih fokus ke laptop dan lembaran laporan. Dia hanya duduk di atas kasur dan menonton TV. Suara TV sebetulnya sangat menggangguku. Ingin rasanya aku mengerjakan semua pekerjaanku di ruangan lain. Pastinya Ibu akan melihat keadaanku yang sibuk. Dia pasti marah karena aku sudah bersuami.

          “Sudah disetrika belum?”

          “Belum.”

          “Bisa disetrika nggak?”

          “Besok pagi aja.” tawarku.

          “Sekar…” Mahesa memanggil namaku lembut dan penuh penekanan. Berarti perintahnya tidak boleh dibantah. Aku berdiri dengan terpaksa, membanting pulpen yang kupegang ke atas tumpukan laporan-laporan yang bertebaran di atas karpet di lantai kamar, dan menutup pintu dengan keras.

          Aku berjalan menuju ruangan di mana tempat tumpukan baju berada. Aku menggali-gali tumpukan baju yang bercampur dan mendapati kemeja Mahesa. Ketika aku menunggu setrika panas, Ibu menghampiriku.

          “Setrika baju Mahesa?”

          “Iya Bu.”

          Ibu menyandarkan tubuhnya ke dinding. Melihatku mulai menyetrika.

          “Ayah sama Ibu menghargai keputusanmu. Satu hal yang nggak kami paham, kenapa kamu merahasiakan ini?”

          Aku berhenti menyetrika dan melihat Ibu. Maksudnya? Apa Ayah dan Ibu tahu aku dan Mahesa hanya menikah kontrak? Tanganku mulai berkeringat dan pura-pura santai menanggapinya.

          “Merahasiakan apa?”

          “Kamu pasti tahu kan Mahesa anaknya siapa?”

          Aku melengos dalam hati. Mengucapkan syukur. Ternyata itu yang dimaksud Ibu. Aku pikir karena pernikahan kontrakku.

          “Iya tahu.”

          “Kenapa kamu bawa Mahesa ke rumah Ibu?”

          “Maksudnya, Bu?” Aku mengerutkan dahiku. Masih sibuk menyetrika.

          “Karena kemarin waktu pernikahanmu, Ibu ngobrol banyak dengan Mama Mahesa. Dia berharap kamu dan Mahesa tinggal sama dia.”

          Aku terdiam. Mahesa tidak memberi tahukan hal ini. Aku pun tidak bertanya apa-apa. Dia hanya bilang ingin tinggal di rumahku selama satu atau dua minggu, lalu aku dan Mahesa tinggal di apartemennya sementara rumahnya yang di Pondok Indah akan direnovasi dan diisi barang-barang. Dia yang merencanakannya. Bukan aku. Dia yang mengambil keputusan bukan aku. Dia yang lebih dominan sekarang.

          “Bu, Mahesa cuma mau dekat sama keluarga di sini kok. Mungkin minggu depan Sekar tinggal di apartemennya Mahesa.”

          Ibu mengangguk. Cukup puas dengan jawabanku. Selesai menyetrika baju Mahesa, aku kembali ke kamar. Aku mendapati Mahesa menatap laptop dan melihat tumpukan laporanku.

          “Pantas saja kamu lembur. Kamu nggak lihat apa letak kesalahanmu sama budgeting di kolom-kolom ini?” Mahesa menunjuk laptopku. Aku menggantung kemejanya di pegangan lemari kecilku di sudut dan langsung menatap laptopku. Lenganku dan lengan Mahesa nyaris bergesekan. Aku fokus dengan laptopku dan melihatnya berulang-ulang. Mahesa kembali naik ke tempat tidur dan menonton TV kembali.

          “Kok kamu bisa tahu?” Aku penasaran sambil memperbaiki letak kesalahanku di laptop.

          “Ya aku bisa melihat sekilas.” jawab Mahesa sombong.

          “Kenapa kamu bisa tahu?”

          “Ya aku bisa baca pekerjaanmu. Itu kan pekerjaanku juga.”

          Aku berdiri membawa laptop dan duduk di atas kasur di sebelah Mahesa yang sedang menonton film. Entah apa filmnya dan itu drama korea kurasa.

          “Kamu nggak tahu aku Phd di jurusan finance and business?”

          Aku menganga. Seperti mendengarkan kabar baik. Ternyata Mahesa sekeren itu.

          “Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”

          “Harus?” Mahesa memalingkan wajahku. Dia sepertinya tahu akan aku mintai tolong untuk mengerjakan semua laporanku. Aku butuh istirahat sebentar. Semenjak pulang dari Bali, aku langsung disibukkan dengan pekerjaan ini.

          “Maukah mengecek semua laporanku?” Aku memberikan senyumanku yang paling indah padanya. “Aku akan setrika semua bajumu, rapih, dan wangi.”

          “Kerjaanmu itu berat. Dua proyek loh.” Mahesa tidak bergeming. Dia tetap memperhatikan dramanya di TV.

          “See? Bahkan aku nggak pernah bilang laporanku ada dua proyek.”

          “Aku kan nggak mau tertipu tiba-tiba kamu suruh aku kerjakan laporanmu.” Akhirnya Mahesa melihat wajahku. Dekat.

          “Kerjakan satu saja dari dua laporanku. Aku mau istirahat sebentar. Kayaknya kepalaku mau pecah.”

          Aku menyodorkan laptop dan laporan dari proyek pertama pada Mahesa. Kemudian aku menyiapkan bantal untuk kutiduri disebelahnya.

          “Sekar, ada yang kamu lupa.”

          “Apa itu?” Aku menatap wajah Mahesa dari bawah. Bentuk wajahnya tegas sekali.

          “Kamu harus resign.”

          Aku bangun kembali dan terduduk.

          “Aku masih ada kewajiban dengan perusahaan ini. Setidaknya aku menyelesaikan proyek-proyek ini.”

          “Sampai kapan?” tanyanya seperti anak kecil.

          “Bulan depan mungkin.” Aku memutar bola mataku seolah berpikir. “Aku janji.”

          Aku memberikan kelingkingku padanya. Menunggunya untuk memberikan kelingkingnya juga. Akhirnya aku memegang tangannya dan memegang kelingkingnya agar bersatu dengan kelingkingku.

          “Kamu nggak takut laporan ini akan bocor ditanganku?”

          “Aduh, aku percaya sama kamu.”

          “Sebagai laki-laki biasa atau suami yang special?”

          Aku menarik selimutku yang tebal. Semenjak ada Mahesa, kamar ini menjadi dingin. AC selalu disetel dingin sekali. Dia tidak suka panas. Standar dinginku dan dinginnya berbeda sekali.

          “Suami yang special yang mengerjakan laporan istri.” jawabku dari balik selimut. Aku tidak tahu ternyata jawabanku saat itu membuat keadaan berubah. Semenjak jawabanku itu, aku tidak tahu kenapa kami terkadang berkelahi dengan masalah kecil lalu kembali berbaikan, atau diantara kami yang ngambek dan kondisi berubah kembali normal, atau salah satu dari kami yang terlihat posesif. Bukan aku yang posesif ternyata. Tapi Mahesa.

          Pagi harinya, aku ingin sekali bangun. Karena alarm di ponselku berbunyi nyaring. Ada yang aneh, semenjak Mahesa tidur di kamarku seminggu ini, aku merasakan suhu di kamarku kembali normal. Standar dinginku. Mungkin Mahesa menaikkan suhu AC. Ketika aku membuka mata, ternyata Mahesa ada di sampingku. Satu selimut denganku dan memeluk tubuhku.

          “Mahesa!!!” Aku mendorong tubuh Mahesa kuat hingga tubuhnya jatuh ke lantai.

          “SEKAR! Apa-apaan kamu!” Mahesa berteriak.

          “Ngapain kamu tidur di sini?!” Aku melihat Mahesa yang ada di lantai. “Kan kamu tahu peraturannya!”

          “Aku ketiduran! Nggak sengaja!” Mahesa berdalih.

          Aku memasang muka cemberut lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Mahesa keluar kamar dan duduk di meja makan dengan tampang kusut. Wajahnya terlihat kurang tidur. Di dalam mobil menuju kantor, aku masih diam dengan Mahesa.

          “Aku mengorbankan waktu tidurku untukmu. Tidak ada terima kasihnya!” Mahesa geram.

          “Oh, terima kasih.” Ucapku dengan sopan.

          Mahesa terdiam sambil menyetir. Tidak banyak berbicara lagi.

          Ketika sampai di gedung perkantoranku, Mahesa melihatku.

          “Seharusnya kamu nggak mesti lembur malam ini kan? Aku sudah menyelesaikan laporanmu dan malam ini aku minta kita makan malam di rumah orang tuaku. Mama mengundang kita untuk makan malam.”

          Aku membatalkan membuka pintu mobil. Tubuhku berbalik ke arah Mahesa.

          “Mamamu mengundang makan malam?”

          Nampaknya aku belum siap.

          “Ya udah satu minggu lebih semenjak kita menikah, kita belum menyapa mereka.”

          “Oh ya ya, sebaiknya kita sapa mereka.” Aku ikut setuju. Wajah Mahesa terlihat enggan. Sepertinya dia tidak ingin ke rumah orang tuanya. Aku bisa membaca itu. “Akan aku usahakan.”

          Kemudian aku meninggalkan Mahesa. Mengucapkan pesan untuk berhati-hati menyetir.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status