Share

Eps.8 - Family Dinner

(Mahesa)

          Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama.

          Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diunduh seluruh kalangan. Aku banyak memperkerjakan oang-orang handal dalam pembuatan games. Ini hanya tahap awal, aku sedang sibuk mencari investor dan keuangan di perusahaanku agak carut marut karena aku belum menemukan orang yang pas untuk memegang keuangan perusahaan kecilku. Nampaknya aku bisa memperkerjakan Sekar.

          Tepat pukul 5 sore, aku menelpon Sekar. Tidak ada jawaban. Aku mengirimkannya pesan teks. Juga tidak dibaca. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menjemputnya saja dan mengunjunginya di kantornya di lantai 30. Ketika aku keluar lift di lantai 30, aku berjalan ke arah pintu masuk perusahaan Sekar. Sebuah perusahaan kontraktor ternama. Aku sempat mendapatkan informasi mengenai Sekar dalam waktu semalam dengan orang pesuruhku mengenai Sekar dari A hingga Z sebelum aku memutuskan dan menawarkan Sekar menjadi istriku.

          Aku melewati sebuah resepsionis yang kosong dimana lobinya sudah agak gelap. Aku memasuki lorong yang singkat dan melihat hamparan meja-meja karyawan yang luas di lantai itu dengan beberapa ruangan yang disekat. Ruangan agak sepi, mungkin karena sudah malam dan semua karyawan sudah pulang semua. Seorang wanita gemuk dan agak kacau memakai sandal jepit melihatku. Dia hendak berjalan melewatiku dan melihatku agak lama dari atas hingga ujung sepatuku. Ragu untuk menyapa tapi akhirnya dia membuka suaranya.

          “Maaf, cari siapa ya?” tanyanya penasaran.

          “Saya cari Sekar.”

          “Mbak Sekar? Oh ada. Ada. Mas darimana ya?” tanyanya lagi penuh curiga sekarang. Matanya tidak lepas dari pandanganku.

          “Saya suaminya.”

          Wanita gemuk ini terperanjat. Dia menutup mulutnya karena kaget.

          “Oh iya iya. Pantas saya pernah lihat. Ayo ikuti saya. Mbak Sekar ada di ruangannya.”

          Aku hanya tersenyum padanya dan akhirnya mengikuti. Ruangan Sekar sangat rumit. Aku harus melewati beberapa meja-meja di dalam ruangan besar, lalu kembali melewati lorong. Ternyata satu lantai ini digunakan oleh perusahaan tempat Sekar bekerja. Akhirnya kami sampai di sebuah pintu yang transparan. Pintu ruangan Sekar hanya terbuka sedikit. Tanpa mengetuk pintu, wanita gemuk itu mengejutkan Sekar.

          “Mbak Sekar! Suaminya datang nih!” teriaknya.

          Sekar yang sedang memegang pulpen dan memandang layar komputernya yang besar langsung berdiri kaget.

          “Gantenggg booookkkk.” kata si wanita gemuk itu.

          “Laras….” Sekar memanggil namanya dan memberikan kode agar Laras pergi dari ruangannya dan berhenti menatapku. “Makasih Laras. Masih banyak kerjaan silahkan kembali.” Sekar tersenyum dingin pada Laras.

          “Baik Mbak Sekar. Mari Mas.” ijin Laras padaku.

          “Trims, Mbak Laras.” Aku mengucapkan terima kasihku padanya karena sudah menunjukkan ruangan Sekar yang ternyata agak jauh dari meja resepsionis.

          “Mahesa, kenapa kamu gak telepon aku?” Sekar menutup pintunya. Ketika Sekar menutup pintu ruangannya. Aku yakin banyak sekali orang berlalu lalang dan wara wari di depan ruangannya, karena ruangan Sekar hanyalah dibatasi gypsum tebal sebagai dinding dan kaca sebagai jendelanya.

          “Aku menelponmu berkali-kali. Kamu gak angkat telpon dariku.” ujarku datar.

          Sekar mencari ponselnya di seluruh mejanya sampai dia mengangkat beberapa dokumen yang menumpuk di atas mejanya lalu mencari-cari di dalam tasnya.

          “Astaga! HP-ku ada di ruang rapat.” Sekar memegang kepalanya. Dia segera berlari ke luar ruangan tanpa menggunakan sepatunya. Aku menyukainya.

          Tidak berapa lama, Sekar kembali sambil melihat layar ponselnya.

          “Mahesa, sorry sorry banget. Jadi kita pergi sekarang?”

          “Kalau kamu sudah selesai.”

          “Tunggu, give me like, ten minutes untuk koordinasi sebentar sama anak buahku ya.” Dia mengelus bahuku. Kemudian dia menghilang sambil mengambil beberapa lembar kertas dan meninggalkanku di ruangannya.

          Aku menyukai kelembutannya. Perhatiannya padaku. Terkadang aku senang sekali mengisenginya hingga membuatnya kesal dan marah. Aku berdiri dan duduk di kursinya menghadap layar komputernya. Ruangannya agak sempit tapi sangat terang menurutku. Karena di belakangnya adalah kaca tebal yang dapat melihat seluruh gedung-gedung di Jakarta Pusat. Pusat Perkantoran. Ketika aku memainkan mouse komputernya, aku mendapati wallpaper komputer Sekar adalah foto pernikahan kami. Saat itu juga, jantungku berdegup kencang melihatnya. Wajahku memanas. Aku memandang wallpaper di komputer Sekar sangat lama, hingga Sekar menyadarkanku.

          “Kamu kenapa? Melihat ketampananmu?” cibir Sekar. Sesaat itu juga jantungku mulai berdetak normal.

          “Iya dong!” jawabku cepat.

          “Sudah kuduga.” Sekar merapihkan mejanya.

          “Kenapa kamu pasang foto pernikahan di sini?”

          “Walaupun aku tidak mendapatkan pernikahan yang nyata, setidaknya aku menikah dan melihat wajahku saja aku sudah senang. Untuk menghibur diri.” jelasnya. Dia tidak melihatku sama sekali. “Ayo pulang. Sebelum ke rumah orang tuamu, kita mampir ke toko roti dan bunga ya.”

          “Untuk apa?”

          “Masak kita datang dengan tangan kosong?” Sekar tersenyum. Iya, betul juga. Aku menyukai ide Sekar. Walaupun aku dengan terpaksa datang karena undangan Mama Rosa, Mama tiriku.

          Sesampainya di rumah, Sekar terlihat terperangah dengan megahnya rumah yang kami datangi. Dua mobil termahal terparkir di halaman. Kurasa itu mobil Brian dan Farel. Sekar turun dari mobil dengan percaya diri. Aku tahu ada ketakutan di dalam dirinya. Dia mengambil sekantong buah yang dibelinya tadi dan beberapa roti mahal yang dibelinya, pastinya dengan uangku. Katanya, roti tersebut mahal dan enak. Kami berjalan masuk, seorang asisten rumah tangga menyapa kami. Aku tidak begitu kenal dengan wajah-wajah ART di rumah ini, karena ketika aku sampai Indonesia aku tidak pernah mau tinggal di rumah ini. Sedangkan, Brian dan Farel suka sekali tinggal di sini. Mungkin karena banyaknya ART yang bisa memanjakan mereka.

          “Wah, Mahesa sama Sekar datang. Senang sekali.” Mama Rosa muncul. Dandanannya seperti biasa terlalu berlebihan. Perhiasannya dimana-mana. Sekar memeluk Mama Rosa dan memberikan bingkisannya.

          “Bisa dimakan sebelum makan besar, Tante.”

          “Tante?” Mama Rosa mengernyitkan dahi.

          “Mama Rosa.” ujarku memberitahu Sekar. Giliran Sekar yang mengernyitkan dahi. Agak aneh. Sekar belum tahu Mama Rosa adalah mama tiriku.

          “Mama saja, Sekar. Ayo masuk. Anggap rumah sendiri ya.”

          Mama Rosa tidak mengabaikan ekspresiku yang datar seperti biasa. Aku tidak bisa memperhatikan wanita ini sebagai pengganti ibu kandungku.

          Kami berjalan hingga ruang santai. Di depan TV, seperti biasa duduk dua kakak manjaku, Brian dan Farel. Kelakukannya tidak pernah dewasa.

          “Wah, adik ipar datang. Akhirnya! Kemana aja kok gak pernah mampir?” tanya Farel.

          Sekar duduk di sebelah Brian. Sikapnya agak kaku tapi dia berusaha santai dan menjawab juga mengobrol dengan mereka. Mungkin Sekar juga bingung, karena kedua kakakku tidak pernah menganggapku ada. Aku tidak tahu awal mulanya, siapa yang mengabaikan siapa duluan. Aku atau kedua kakakku, yang aku tahu persoalan ini terjadi setelah lulus SMA. Aku hanya tahu Papa datang dua minggu sekali rutin, kemudian Mama Rosa tiba-tiba melabrak Mamaku. Sudah itu saja dan aku berakhir di New York.

          Sewaktu Sekar mengobrol, aku melihat Mama Rosa memanggilku dan aku mengikutinya. Mungkin ada Papaku ingin berbicara denganku. Ya, betul. Aku masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia terlihat duduk santai di sofanya sambil melihat ponselnya.

          “Mahesa, kamu apa kabar?” sapa Papa. Semenjak beberapa tahun terakhir ini, aku selalu melihat wajah Papa yang dingin. Tidak pernah senyum. Hanya untukku. Bahkan dia tidak pernah mau bertemu denganku.

          “Baik.” jawabku singkat. Aku mulai duduk di depannya dan melonggarkan dasiku.

          “Bagaimana kehidupanmu setelah menikah?”

          “Baik-baik saja.”

          “Bisnismu?”

          “Baik-baik juga.”

          Aku agak jengah. Mama Rosa berdiri tepat di belakangku. Mengawasi kami berdua. Tidak berbicara. Akhirnya sunyi.

          “Ayo kita mulai makan malamnya. Ada Sekar loh.”

          “Sekar?” Wajah Papa bingung. Dia menatap Mama Rosa.

          “Istri Mahesa.”

          Hah! Papa tidak datang ke pernikahanku dan tidak tahu nama istriku siapa? Bagus sekali. 

          “Oh, iya Sekar namanya.” ujarnya. Dia mengangguk-angguk.

          Mama Rosa merangkul lengan Papa dan berjalan di depan. Aku berada di belakangnya. Aku mendapati Sekar sudah di ruang makan, sibuk mengatur beberapa lauk yang baru disediakan oleh ART yang wara-wiri. Sedangkan, Brian dan Farel seperti biasa dengan gaya bossy duduk sambil menatap Sekar bekerja.

          “Ini istri Mahesa rajin banget. Apa udah biasa kerja kayak gini?” tanya Brian. Antara Brian dan Farel, hanya Brian-lah yang jika berbicara selalu membuat orang tersinggung. Aku rasa wajah Sekar ingin menerkam Brian. Tapi ditahannya.

          “Iya terbiasa. Wanita harus bisa semuanya. Kalau ada wanita yang cuma ngabisin duit suami, wanita itu useless.” ujar Sekar.

          “Berarti…” Brian ingin bertanya, Sekar memotong pembicaraannya. Nampaknya Sekar tahu arah pembicaraannya.

          “Mahesa selalu aku masakin. Mungkin karena seleranya masakan Barat itu sih perkara mudah, jadi gak perlu banyak bumbu. Aku juga nyuciin dan nyetrikain bajunya.”

          “Dan kamu bekerja?”

          “Iya dong. Masak nggak kerja? Kalau Mahesa tiba-tiba miskin atau sakit nggak bisa cari uang, masak aku juga dirumah?”

          Aku tertawa dalam hati.

          “Kamu itu Brian. Cari calon istri juga yang benar. Jangan kerjanya ke tempat dugem terus.” ujar Mama Rosa. “Kenapa kamu tanya-tanya sama istri Mahesa?” Mama Rosa melirik Sekar. Tanda tidak enak dengan ucapan Brian.

          Papa duduk di kursi yang paling tengah. Sekar menghentikan kegiatannya. Dia memberikan sendok dan piring yang dia pegang ke seorang ART yang dari tadi menunggunya disampingnya.

          “Sekar ini Papaku.” Aku memegang lengan Sekar. Memberitahukan bahwa di sebelahnya adalah Papaku. Sekar langsung mencium tangannya. Hanya tersenyum. Tidak berbicara.

          “Maaf. Saya tidak bisa datang waktu acara pernikahan kalian. Waktu itu saya lagi di hutan. Nggak ada sinyal.”

          Sekar kaget. Aku lebih kaget. Papa minta maaf? Tidak kepadaku? Tapi kepada Sekar?

          “Oh nggak apa-apa, Pah.”

          “Ini juga salah Mahesa, karena menikah mendadak. Saya sudah bilang sama Mamanya untuk menunda beberapa hari waktu saya baru dapat kabar. Tapi pernikahan udah dilaksanakan. Jadi yasudah. Apa mau dilaksanakan pesta ulang di Jakarta?”

          Brian dan Farel menyimak. Tanda tidak suka.

          “Nggak perlu. Sudah cukup pernikahannya. Saya kurang suka diketahui publik.” Sekar memberitahu. Pernyataan Sekar sekaligus memberitahu bahwa Sekar sadar diri posisinya dari orang biasa dan tidak menyukai ketenaran.

          Waktu acara makan malam dimulai, Sekar sudah sibuk. Dia yang mengambilkan piring untuk Papa dan menuangkan nasi untuknya sembari bertanya takaran nasi pada Papa. Mungkin sikap ini yang membuat syok satu meja makan. Termasuk aku. Kali ini bukan Mama Rosa yang cerewet bertanya macam-macam, malahan Papa yang sibuk bertanya ini itu.

          Selesai makan malam pun, kami tetap berada di meja makan. Aku tidak pernah melihat Papa sebercanda itu dengan orang lain. Ini dengan Sekar?

          “Kamu nggak mau kuliah lagi, Sekar?” tanya Papa. Sekarang sudah mulai mencapuri ranah pribadi Sekar. Sekar tidak menjawab. Dia terlihat berpikir.

          “Setelah dia selesai dengan proyeknya, aku suruh resign. Mungkin Sekar bisa kuliah.” Aku akhirnya bersuara.

          “Eh kenapa lo suruh resign?” Farel bertanya.

          “Pekerjaanku banyak sepertinya kalau sudah totalitas jadi istri Mahesa.”

          “Lo suruh jadi ibu rumah tangga?” Farel bertanya lagi. Kali ini Brian terlihat diam.

          “Enggak kok, katanya sih buat temani dia perjalanan bisnis. Ya kan, Mas Mahesa? Aku sama Mas Mahesa kebetulan bidangnya sama. Aku juga belajar banyak sama Mas Mahesa.” Sekar memegang tanganku yang berada di atas meja.

          Aku bisa melihat Mama Rosa terlihat menyukai Sekar.

          Papa terlihat bangga dengan Sekar.

          Hanya Brian yang menatapku dengan penuh kebencian. Mungkin ini dikarenakan dia adalah anak pertama yang tidak ingin dikalahkan. Malam ini, Brian kalah telak.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status