LOGINElang Mahaputra Adikara POV
Belakangan ini Opaku tidak banyak membuat kepalaku pusing. Beliau tidak lagi memintaku serta Leo untuk segera menikah. Hal ini membuatku bisa lebih fokus menikmati kehidupanku. Hidupku benar-benar berwarna dan bahagia tanpa bayang-bayang keluarga Adikara. Seperti hari ini di mana aku baru saja selesai menikmati peranku sebagai seorang cupid. Yuhu... cupid yang menembakkan arah panah cintanya. Ide gila Wilson ini membuatku harus rela berdandan seperti ini demi membantu Adit melamar Hanna. Baiklah, tidak ada salahnya membantu teman agar segera melepas masa lajang. Apalagi anak Adit sudah mau memasuki bangku SMA.
Sejujurnya aku merasa sedikit gagal sebagai seorang laki-laki. Bagaimana bisa Adit yang anteng dan tidak banyak tingkah polah itu sudah memiliki anak remaja sedangkan aku yang selalu terbang ke sana kemari seperti kupu-kupu ini jangankan memiliki anak, memiliki pasangan saja tidak. Oh... entahlah, mungkin banyak wanita yang hanya siap menerimaku tapi tidak dengan Lean. Lagipula wanita normal mana yang mau berbagi segalanya termasuk perhatian seumur hidup dengan anak bawaan suaminya? Ya... kalopun ada, persentasinya pasti satu banding sejuta.
"Peran jadi cupid sudah, sekarang kita mau ngapain lagi, ya?" tanya Wilson saat kami sudah keluar dari kamar mandi.
"Siap-siap ke Solo."
"Kita enggak balik ke Jakarta dulu ini sebelum ke Solo."
"Enggak, ngapain ke Jakarta dulu. Buang-buang waktu, tenaga sama duit aja," Kataku sambil mulai melangkahkan kaki menuju ke arah tempat Adit melamar Hanna tadi.Saat aku mulai berjalan, Wilson dan Raga mengikuti di belakangku.
"Lean gimana, Bro? Lo mau titip dia sama Mokara selama apa? Yakin anak lo enggak akan diajakin party tiap malam? Gue aja yang bukan bapaknya bayangin Mokara ngasuh Lean sudah panas dingin begini."
Aku tersenyum mendengar perkataan Wilson ini. Ya, seburuk-buruknya Mokara, dia tetap Tante bagi Lean dan pasti dirinya akan meminimalisir semua hal buruk yang akan masuk ke kehidupan Lean.
"Dia bakalan ke Solo dua hari lagi. Tapi Mokara bilang dia enggak akan ikut acara ini. Maklumlah, adik gue pernah jadi korban PHP-nya Gavriel dulu."
Wilson langsung tertawa karena mengingat hal gila yang pernah Gavriel lakukan pada Mokara. Ya, aku memaafkannya karena ia tidak tahu jika Mokara adalah adikku dan mereka belum sampai naik ke atas ranjang. Mungkin kalo Gavriel berhasil menindih adikku, akan lain ceritanya. Tidak akan pernah ada group Lapak Dosa diantara kami berempat.
Kali ini rasanya cukup sampai di sini saja kami membicarakan hal ini. Aku tidak mau Raga sampai mengetahui kenyataan pahit yang terjadi dulu. Saat aku sampai di parkiran mobil, tidak sengaja kedua mataku menangkap sosok Memel. Beberapa saat aku memperhatikannya hingga akhirnya aku yakin jika perempuan itu adalah perempuan yang aku temui empat tahun lalu di kolong jembatan. Dia masih sama manisnya seperti dulu hanya tubuhnya terlihat jauh lebih berisi. Saat otak dan tubuhku sanggup bersinergi, semua sudah terlambat karena perempuan itu sudah masuk ke Pajero putih. Aku coba mengejarnya namun semua gagal. Ya, setidaknya selama empat tahun aku bertanya-tanya tentang dirinya, aku menemukan satu jawabannya. Memel tidak berada di Jakarta tetapi di Jogja. Ini memperkuat alasan kenapa aku tidak pernah menemukannya meskipun selama ini aku sering berkeliling Jakarta untuk mencarinya.
***
Setelah dua hari berada di Jogja bersama teman-temanku, akhirnya aku sampai di Solo siang ini. Kali ini Hanna (calon istri Adit) memilih sebuah guest house untuk kami tinggali daripada hotel dengan pertimbangan karena guest house ini cukup luas yang membuat Lean bebas bermain tanpa takut kami harus kehilangan dirinya. Baiklah, aku tidak mempermasalahkan di mana kami akan tinggal, toh kali ini dirinya semua yang membayar. Aku hanya cukup membawa badan dan pakaian.
"Lo ngapain lagi sih, Lang sedih begitu. Bibir lo udah monyong bener. Bentar lagi gue kuncir juga bisa itu."
Aku mencoba mengabaikan perkataan Wilson padaku. Dia tidak tahu saja usahaku selama dua hari ini untuk mencari Memel ke mana-mana masih belum membuahkan hasil. Aku bahkan mencoba mencari nomer polisi mobil Memel yang ia pakai namun sampai detik ini aku belum mendapatkan hasilnya.
"Berisik lo, Son."
"Enggak usah sestress itu mikirin perempuan. Lo 'kan ganteng itu. Nanti gue ajakin ke jalan seribu baliho kalo sudah sampai di Jogja habis itu malamnya kita masuk night club. Biar lo bisa pilih-pilih teman kencan. Syukur-syukur lo bakalan ketemu sama dia."
Aku hanya tersenyum. Sejujurnya aku malas beredar jika bukan di night club milik Wilson. Karena hanya di sana aku bisa bebas minum tanpa takut ada yang mengambil keuntungan dariku. Setidaknya centeng-centeng milik Wilson akan menjaga diriku dan mengantarkanku ke rumah bila aku sudah teler.
"Gue lebih yakin kalo perempuan modelan Memel itu lebih sering masuk tempat ibadah daripada masuk tempat maksiat."
"Dih, sok yakin banget. Jangan pernah tertipu sama tampangnya, Lang. Jaman sekarang itu, muka cupu ternyata suhu juga banyak."
"Gue ini terlalu berengsek untuk mudah dikadalin perempuan, jadi gue yakin banget sama persepsi gue itu."
Aku bisa melihat Wilson yang menghela napas panjang. Sepertinya dirinya sudah pasrah bila membahas tentang Memel bersama dengan diriku. Kini Wilson mulai berdiri lagi dari sofa yang ia duduki bersamaku.
"Lo mau ke mana?" tanyaku sambil mendongak untuk menatapnya.
"Mau siap-siap ke acaranya Gavriel. Lo buruan siap-siap juga."
Setelah mengatakan itu, Wilson segera melangkahkan kakinya menuju ke arah kamarnya yang ada di lantai dua. Baru setelah Wilson tidak terlihat lagi di mataku, aku mencoba menghubungi Mokara yang sejak dirinya menginformasikan kepadaku bila sudah sampai di Solo ini, ia belum kunjung juga sampai di tempat ini. Aku takut ia tersesat karena jalan di kota ini banyak yang satu arah. Aku saja sempat salah jalan ketika berada di sini. Untung saja Gadis bisa aku hubungi untuk memberikan petunjuk yang pasti di mana jalan yang benar.
"Hallo, Lang?" sapaan ramah membelai telingaku. Suara Mokara kali ini meskipun lembut dan terdengar sabar tetapi disekelilingnya sepertinya sangat riuh sekali.
"Hallo, Kar. Lo di mana sama Lean?"
"Di mall. Anak lo ngajak main di playground."
Aku memutar kedua bola mataku. Bagaimana bisa Mokara menuruti keinginan Lean padahal aku sudah menunggu mereka berdua di sini sejak tadi. Bagaimanapun juga meskipun Mokara tidak mau ikut menghadiri acara ini, tetapi Lean seharusnya datang. Ini adalah hari penting Ayah dan Bundanya. Ya... Ayah dan Bundanya sebentar lagi akan menikah, sedangkan Papa? Papa masih belum memiliki Mama sampai saat ini. Menyedihkan sekali nasib anakku itu. Semoga saja ia tidak merasa diabaikan kala nantinya Gavriel dan Gadis memiliki anak mereka sendiri. Dan semoga saja saat hal itu terjadi, aku sudah memiliki pasangan yang bisa menggantikan peran mereka berdua terutama peran Gadis. Meskipun ada Hanna yang sering dipanggil Lean dengan sebutan Mama Hanna, tetapi Hanna juga memiliki kesibukan segunung. Belum lagi ia juga memiliki anak kandung sendiri yang jelas lebih ia perhatikan.
"Mana Lean? Gue mau bicara sama dia."
"Di dalam Playgorund."
"Coba tolong cariin dia. Gue sudah kangen seharian belum ngobrol."
"Okay, tunggu sebentar."
Beberapa saat aku menunggu Mokara mencari Lean. Mungkin ada sekitar tiga menitan dengan samar-samar aku mendengar suaranya yang mulai terdengar panik.
"Kar... Kara..." Aku coba memanggil Mokara.
Dengan suara sedikit terisak dan panik, Mokara coba berbicara. "Lean enggak ada di Playground. Dia katanya keluar tadi."
Kali ini jantungku seakan baru saja jatuh ke tanah. Otakku juga tiba-tiba tidak bisa berpikir. Lean hilang di kota ini? Bagaimana aku harus mencarinya? Aku tidak terlalu mengenal kota ini sebaik aku mengenal Jakarta sebagai kota kelahiran dan aku tumbuh.
"Kok bisa?" Hanya itu yang bisa meluncur dari bibirku saat ini.
"Enggak tahu. Gue mau bikin laporan dulu."
"Share loc mall-nya di mana. Gue susulin ke sana sekarang."
"Okay."
Setelah Mokara menutup sambungan teleponnya, aku segera berdiri. Secepat kakiku bisa berlari, aku menuju ke kamar untuk mengambil kunci mobil sewaan. Saat aku berlari menuju ke arah garasi, Adit yang melihatku dan bertanya aku akan ke mana pun aku cuekin. Kali ini yang terpikirkan olehku hanya aku harus segera menuju ke mall tempat Mokara dan Lean berada saat ini. Selain fokus pada kemudi mobil, aku juga terus berdoa agar Lean baik-baik saja dan segera ditemukan. Karena bagaimanapun juga, aku tidak tahu bagaimana hidupku kelak jika harus aku jalani tanpa kehadirannya.
***
Caramel Attanaya Raharja POVBagai kerbau yang dicolok hidungnya, kali ini aku menurut saja saat Elang sudah menuntunku menuju ke arah tas kami berada. Saat sampai di sana ia segera mengambil handuk mikrofiber milik Edel yang berwarna pink dan ia juga mengambil sabun cair beraroma strawberry milik keponakanku itu. Selesai mengambil dua barang itu, ia meminta kunci mobil kepadaku. Setelah aku memberikannya, ia menuntunku menuju ke arah kamar mandi wanita berada yang ada di dekat kolam renang utama di depan."Kamu mandi, aku carikan baju dulu.""Mau cari di mana?""Dekat perempatan jalan tadi ada swalayan."Aku tahu tempat yang dimaksud oleh Elang ini karena itu aku memilih menganggukkan kepalaku. Saat aku sampai di dekat bapak-bapak yang aku tolong tadi, aku melihat beberapa orang masih berusaha menolong. Aku memilih berhenti berjalan dan melihatnya dari jauh. Bahkan sampai saat petugas medis datang dan membawanya pun aku masih diam di tempatku berdiri saat ini. "Bapaknya enggak kenap
Elang Mahaputra Adikara POVAku tidak mengira jika pada akhirnya rasa kesalku pada Caramel tadi bisa menguap begitu saja saat aku bertemu dengan keluarga besarnya. Seumur hidupku, aku baru satu kali menemui keluarga sehangat keluarga besar Caramel ini. Entah kenapa bukannya ingin mengubur semua rasa yang sudah aku pendam bertahun-tahun pada Caramel, yang ada aku justru semakin berkeinginan diterima oleh dirinya terlebih keluarganya. Mungkin aku akan menyayangi mereka semua seiring waktu karena mereka sangat terbuka dan baik kepadaku. Meskipun mungkin itu baru beberapa saja keluarganya belum seluruhnya.Saat aku, Caramel, Edel, Lean akan masuk ke mobil untuk mengantarkan si kembar les renang, Juna bahkan menyerahkan sebuah cek untuk Caramel. Bukannya aku shock dengan semua ini, namun menurutku terlalu berlebihan jika mengantarkan anak les renang saja, bayarannya menggunakan cek yang aku yakin isinya pasti cukup untuk biaya hidup Caramel selama sebulan. Jika tidak, mana mungkin senyum c
Caramel Attanaya Raharja POVApa aku tidak salah dengar kali ini? Benarkah apa yang dikatakan Elang barusan kepadaku? Jika benar tentu saja aku sudah terlalu overthinking hingga berpikir yang tidak-tidak tentang Elang. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi semua situasi ini apalagi aku sudah berusia lebih dari 30 tahun. Ah, mungkin aku begini karena kehebohan keluargaku sejak Elang dan Lean masuk ke rumah Budhe. Apesnya lagi yang menemuinya pertama kali adalah Mamaku. Dari tatapan Mama kepadaku saja, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi mengenai status hubunganku dengan Elang dan Lean. Apalagi Lean memanggilku Mama di depan keluarga besarku.Saat aku membalikkan tubuhku, aku bisa melihat Elang yang dengan sabar mencoba membujuk Lean untuk pulang. Setelah melambaikan tangan kepada Galen, Edel dan Eric, Elang segera menggandeng tangan Lean untuk menuju ke pintu. Aku hanya bisa diam melihat semua ini. Jika aku bergerak, orang-orang akan
Elang Mahaputra Adikara POVSudah tiga hari ini Lean sakit dan puncaknya adalah kemarin malam kala aku membawanya ke UGD salah satu rumah sakit besar swasta yang ada di Jakarta. Panasnya sudah mencapai 40 derajat celcius dan saat aku tahu bahwa amandel Lean membesar, aku semakin merasa bersalah setelahnya. Sepertinya aku terlalu lalai dalam menjaga asupan makanan dan minumannya selama ini. "Pa, aku mau ketemu sama Mama."Ucapan Lean membuatku mengangkat pandanganku yang sejak beberapa saat lalu fokus pada laporan pendapatan bulanan tempat karaokeku. "Okay, Papa telepon Mama Hanna.""Bukan Mama Hanna tapi Mama Mel."Astaga...Aku yang selama satu bulan ini pusing bagaimana membuat alasan untuk menghubunginya akhirnya menemukan solusi di kala Lean mengatakan hal ini. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan kesakitan Lean, namun saat ini mungkin saat yang tepat untuk menghubungi Caramel. Aku mencoba menghubungi Caramel namun tidak kunjung diangkat olehnya. Hmm.... kenapa wanita ini mengaba
Caramel Attanaya Raharja POVSatu bulan ini berat badanku naik satu kilogram dan semua itu disebabkan karena hampir setiap malam aku selalu makan di luar rumah. Jika bukan menuruti keinginan keluargaku terutama orangtuaku yang mulai mengenalkan aku pada beberapa anak temannya, aku pasti tidak mau. Mau menyalahkan mereka juga tidak bisa, karena pada nyatanya aku yang sempat meminta keluargaku untuk mencarikan jodoh yang setara denganku. Karena di usiaku yang sekarang semakin hari semakin sulit menemukan pria yang mandiri, mapan dan tentunya bisa nyambung denganku. Aku sudah menutup telingaku rapat-rapat kala ada yang mengatakan aku matre atau sebagainya. Karena nyatanya kembaranku yang sangat realistis dan rela menurunkan standart laki-laki idamannya dengan alasan cinta ujungnya juga nangis dipojokan. Calon suaminya ketahuan memiliki anak dengan perempuan lain. Benar sih, hal seperti itu wajar di dunia barat, namun untukku yang numpang lahir di barat tetapi besar di timur tetap tidak b
Elang Mahaputra Adikara POVAku memandangi nomer telepon Caramel sambil sesekali tersenyum. Aku tersenyum bahagia karena pada akhirnya justru Lean yang bisa menemukan perempuan itu. Seakan Tuhan sedang memberiku kebahagiaan yang bertubi-tubi kali ini karena selain sudah berhasil bertemu dengannya lagi, ternyata Lean juga menyukainya. Ya, setidaknya Caramel cukup ramah anak dan terlihat sangat keibuan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggali semua informasi mengenai semua tamu yang hadir di acara Gadis dan Gavriel. Seperti saat ini sebelum aku pulang ke Jakarta bersama Lean, aku mengajak Gadis berbicara terlebih dahulu. Ya tentu saja menyangkut Caramel yang masih aku rahasiakan dari semua teman dekatku termasuk Gavriel. Pokoknya selama belum yakin seratus persen dia bisa menjadi pasanganku, aku tidak akan berkoar-koar. Aku tidak mau mengulang kesalahan temanku yang sudah mendeklarasikan hubungan mereka namun pada akhirnya untuk menikah saja halangannya banyak sekali sampai mu







