Share

3. Pertemuan Kedua

last update Last Updated: 2025-12-11 10:41:51

Caramel Attanaya Raharja POV

Aku duduk diam sambil memperhatikan laki-laki yang sedang berbicara dengan gaya sok elitnya di hadapanku ini. Sumpah, jika bukan karena Nielo yang merekomendasikan aku untuk bertemu laki-laki ini, aku juga tidak akan mau. Gayanya sok kegantengan ingin membuatku muntah. Dan hebatnya, aku sudah bertahan duduk bersamanya selama satu jam ini.

"Gue kalo cari istri maunya yang minimal tinggi 170 centimeter. Biar gue enggak capek nunduk dan dia juga enggak capek dongak," ucapnya lalu ia tertawa.

Baiklah... bukankah aku sudah tereliminasi secara langsung dan bukannya tersinggung, aku justru merasa bahagia. Lagipula siapa juga yang mau punya pasangan seperti laki-laki di hadapanku ini. Kini aku keluarkan handphone dan segera meng-order taxi online untuk kembali ke rumah. Ya, belakangan ini aku lebih suka untuk pergi menggunakan taxi online daripada menyetir sendiri bila sedang berada di Jakarta. Semua ini aku lakukan setelah beberapa waktu lalu, mobil yang sedang aku kendarai ditabrak dari belakang ketika aku sedang berada di tol. Karena tabrakan beruntun ini, Papa menyarankanku untuk menggunakan taxi online jika aku sedang lelah dan harus berpergian cukup jauh.

"Oh, semoga lo beruntung dapat pasangan sesuai sama kriteria yang lo mau, ya," ucapku dengan ramah lalu akhiri dengan sebuah senyuman. 

"Kalo gue boleh tahu, tinggi lo berapa?"

"Gue? Hmm... 170 centimeter kalo pakai high heels berhak 5 centimeter."

Setelah mengatakan itu, aku segera pamit padanya. Tanpa mempedulikan dirinya yang menanwarkan untuk mengantarkan aku pulang, aku berjalan meninggalkannya. Aku berharap taxi online pesananku akan datang cepat kali ini. Di saat aku berdiri diam sambil menunggu taxi, sebuah panggilan masuk ke handphoneku. Segera saja aku mengangkatnya.

"Hallo?"

"Hallo, selamat siang. Dengan Mbak Caramel Attanaya?"

"Iya. Bapak sudah sampai mana?"

"Saya sudah di depan resto, Mbak. Mobilnya Lamborghini Urus warna merah, silahkan masuk."

Aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Kini aku perhatikan plat nomer mobil  mewah yang ada di dekatku itu dengan yang ada di aplikasi. Hmm... kenapa beda sekali ya? Bukan hanya berbeda plat nomer namun juga tipe mobil. Aku 'kan hanya pesan yang biasa saja bukan yang Luxe, tapi kenapa mobil ini yang datang? Sejujurnya aku ragu untuk naik, namun kala melihat teman Nielo mulai berjalan ke arahku, mau tidak mau aku segera masuk ke dalam mobil Lamborghini urus ini.

Begitu aku masuk ke dalam, sapaan ramah menyapaku. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari jika driver yang sedang menyetir ini adalah driver yang aku temui beberapa waktu lalu yang mengantarkan aku ke bandara tetapi dengan nomer polisi yang berbeda.

"Selamat siang, Mbak. Sudah siap mau berangkat?"

"Iya, Pak. Kita jalan sekarang saja," kataku cepat.

Beberapa saat suasana mobil cukup tenang hingga akhirnya bapak ini bertanya kepadaku.

"Masih ingat saya tidak, Mbak?"

Aku yang baru saja memblokir kontak teman Nielo ini segera menutup handphoneku.

"Hmm... ingat dong. Bapak yang antarkan saya ke Soetta beberapa bulan lalu. Iya 'kan?"

"Betul sekali. Bagaimana keadaan Mamanya sekarang?"

Aku tersenyum kala mengingat jika sewaktu pertama kali aku bertemu dengannya, aku menceritakan kondisi Mama yang sedang dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di Singapura karena sakit kanker yang dideritanya.

"Alhamdulillah, Mama sudah sehat, Pak. By the way, kok mobilnya ganti?"

"Mobil yang biasanya lagi di bengkel buat service, Mbak. Daripada nungguin service di sana, mending saya muter 'kan dapat teman ngobrol."

"Pak... Pak... apa ya nutup biaya perawatan mobil ini dari hasil taxi online?"

"Enggak saya pikirkan, Mbak. Daripada mobil nganggur di rumah. Saya kesepian juga karena cucu-cucu saya enggak pada mau nikah. Dijodohin enggak mau, ditanya mana calonnya juga pada enggak punya."

Entah kenapa aku bisa tertawa lepas kali ini. Permasalahan generasi milenials yang tidak kunjung menikah itu sungguh semakin berat setiap tahunnya. Sudah di desak menikah padahal calon saja tidak punya. Jika ingin menikah, pertimbangannya semakin banyak saja. Apalagi bagiku yang merupakan harapan terakhir orangtuaku setelah kembaranku yang tinggal di Italia gagal menikah dengan pacarnya. Berbulan-bulan aku mencoba membuka diri dengan berkenalan dengan beberapa kandidat kenalan teman-teman dekatku hingga saudaraku namun hasilnya masih zonk.

Entahlah, mungkin aku terkena karma karena pernah menolak sosok David yang saat SMA selalu mengejarku sejak kelas satu hingga kelas tiga. Aku baru bisa bernapas lega karena dirinya tidak mendekatiku lagi ketika ia harus kembali ke negaranya. Banyak yang berpikir aku perempuan gila karena menolak sosok laki-laki bule tampan dan berasal dari keluarga baik-baik seperti David, tapi aku tidak peduli. Karena perasaan tidak bisa dipaksakan terlebih aku memang lebih menyukai produk lokal daripada produk asing.

"Saya juga begitu, Pak. Sejak kaembaran saya gagal nikah sama pacar bulenya, saya yang jadi harapan keluarga terutama orangtua saya untuk segera menikah dan memberikan cucu."

"Apa Mbak mau saya jodohkan dengan cucu saya?"

satu detik...

dua detik...

tiga detik...

Aku hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Dijodohkan dengan cucu kakek pengemudi taxi online ini?

"Gimana? mau tidak, Mbak? Tenang saja, cucu saya ada dua laki-laki. Usianya sudah kepala tiga lebih, punya pekerjaan dan tentunya sudah mapan secara finansial."

Aku bukan perempuan gila yang hanya memandang segala sesuatu dari laki-laki hanya dari segi finansial semata. Karena bagiku uang bisa dicari tapi ketulusan itu yang sulit. Untuk menolak tawaran ini tentu saja aku tidak akan sampai hati jika mengatakannya secara gamblang. Sejujurnya, aku takut menyakiti hati orangtua. Karena terkadang sakit hati mereka bisa menjadi kesialan bagi kehidupan kita. Beberapa saat aku berpikir, apa yang bisa aku katakan hingga akhirnya ide gila itu muncul di dalam benakku.

"Pak..."

"Ya?"

"Kalo saya sih mau aja, tapi jangan cuma disuruh pilih satu. Saya maunya dua sekaligus."

Bapak driver taxi online ini tertawa. Aku tahu dirinya butuh teman bicara bukan uang seperti kebanyakan driver yang lain. Di usianya yang sudah senja dan masuk ke usia pensiun mungkin mengobrol dengan orang bisa membuatnya melupakan kesedihannya karena keluarganya memiliki kesibukan yang segunung. Aku tahu hal itu karena almarhumah Eyangku dulu selalu mengeluhkan hal itu. Karena itu, ia rela antar jemput cucu-cucunya ke sekolah hampir setiap hari. Bukannya mengantarkan kami kembali ke rumah setelah pulang sekolah, kami semua akan dibawa ke rumahnya untuk sekedar bermain. Kebiasaan itu yang membuat aku dan sepupu-sepupuku memiliki hubungan yang dekat sampai saat ini.

Kini saat taxi online ini sudah memasuki kawasan perumahan tempat aku tinggal, aku mencoba untuk berpamitan kepada bapak ini. Dari raut wajahnya, ia tampak sedikit sedih.

"Bapak jangan sedih, ya? karena kesibukan anak cucu bapak saat ini adalah salah satu upaya mereka untuk terus mandiri secara finansial agar tidak menajdi beban untuk bapak."

"Saya sedih bukan karena itu. Tapi saya harus kehilangan teman ngobrol yang asyik lagi setelah beberapa bulan kita tidak bertemu."

Aku tersenyum mendengar penuturan bapak ini. "Siapa tahu saja nanti kita bisa ketemu lagi di lain waktu dan kesempatan. Sekarang saya keluar dulu ya, Pak. Terimakasih sudah mengantarkan dan menemani saya mengobrol sepanjang perjalanan ini. Hati-hati di jalan, Pak."

Setelah mengatakan semua itu, aku segera membuka pintu dan keluar dari dalam mobil ini. Aku baru memasuki rumah kala taxi online ini sudah tidak terlihat lagi dari pandanganku. Sejujurnya aku tidak tega memberitahu kepada bapak taxi online itu jika akhir bulan ini, aku akan menetap kembali secara permanen di Jogja. Ya, aku sudah resmi mengundurkan diri dari kantor tempatku bernaung selama dua tahun terakhir ini. Mulai bulan depan, aku harus belajar meneruskan pekerjaan Papaku yang pelan-pelan akan mulai mundur dari pekerjaannya dan fokus menemani Mama menjalani pengobatan serta perawatannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Marriage With Benefits   13. Ternyata Pria Yang Ramah Anak

    Caramel Attanaya Raharja POVBagai kerbau yang dicolok hidungnya, kali ini aku menurut saja saat Elang sudah menuntunku menuju ke arah tas kami berada. Saat sampai di sana ia segera mengambil handuk mikrofiber milik Edel yang berwarna pink dan ia juga mengambil sabun cair beraroma strawberry milik keponakanku itu. Selesai mengambil dua barang itu, ia meminta kunci mobil kepadaku. Setelah aku memberikannya, ia menuntunku menuju ke arah kamar mandi wanita berada yang ada di dekat kolam renang utama di depan."Kamu mandi, aku carikan baju dulu.""Mau cari di mana?""Dekat perempatan jalan tadi ada swalayan."Aku tahu tempat yang dimaksud oleh Elang ini karena itu aku memilih menganggukkan kepalaku. Saat aku sampai di dekat bapak-bapak yang aku tolong tadi, aku melihat beberapa orang masih berusaha menolong. Aku memilih berhenti berjalan dan melihatnya dari jauh. Bahkan sampai saat petugas medis datang dan membawanya pun aku masih diam di tempatku berdiri saat ini. "Bapaknya enggak kenap

  • Marriage With Benefits   12. Kolam Renang

    Elang Mahaputra Adikara POVAku tidak mengira jika pada akhirnya rasa kesalku pada Caramel tadi bisa menguap begitu saja saat aku bertemu dengan keluarga besarnya. Seumur hidupku, aku baru satu kali menemui keluarga sehangat keluarga besar Caramel ini. Entah kenapa bukannya ingin mengubur semua rasa yang sudah aku pendam bertahun-tahun pada Caramel, yang ada aku justru semakin berkeinginan diterima oleh dirinya terlebih keluarganya. Mungkin aku akan menyayangi mereka semua seiring waktu karena mereka sangat terbuka dan baik kepadaku. Meskipun mungkin itu baru beberapa saja keluarganya belum seluruhnya.Saat aku, Caramel, Edel, Lean akan masuk ke mobil untuk mengantarkan si kembar les renang, Juna bahkan menyerahkan sebuah cek untuk Caramel. Bukannya aku shock dengan semua ini, namun menurutku terlalu berlebihan jika mengantarkan anak les renang saja, bayarannya menggunakan cek yang aku yakin isinya pasti cukup untuk biaya hidup Caramel selama sebulan. Jika tidak, mana mungkin senyum c

  • Marriage With Benefits   11. Ruang Keluarga

    Caramel Attanaya Raharja POVApa aku tidak salah dengar kali ini? Benarkah apa yang dikatakan Elang barusan kepadaku? Jika benar tentu saja aku sudah terlalu overthinking hingga berpikir yang tidak-tidak tentang Elang. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi semua situasi ini apalagi aku sudah berusia lebih dari 30 tahun. Ah, mungkin aku begini karena kehebohan keluargaku sejak Elang dan Lean masuk ke rumah Budhe. Apesnya lagi yang menemuinya pertama kali adalah Mamaku. Dari tatapan Mama kepadaku saja, aku tahu bahwa aku harus memberikan penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi mengenai status hubunganku dengan Elang dan Lean. Apalagi Lean memanggilku Mama di depan keluarga besarku.Saat aku membalikkan tubuhku, aku bisa melihat Elang yang dengan sabar mencoba membujuk Lean untuk pulang. Setelah melambaikan tangan kepada Galen, Edel dan Eric, Elang segera menggandeng tangan Lean untuk menuju ke pintu. Aku hanya bisa diam melihat semua ini. Jika aku bergerak, orang-orang akan

  • Marriage With Benefits   10. Konflik Pertama di Pertemuan Kedua

    Elang Mahaputra Adikara POVSudah tiga hari ini Lean sakit dan puncaknya adalah kemarin malam kala aku membawanya ke UGD salah satu rumah sakit besar swasta yang ada di Jakarta. Panasnya sudah mencapai 40 derajat celcius dan saat aku tahu bahwa amandel Lean membesar, aku semakin merasa bersalah setelahnya. Sepertinya aku terlalu lalai dalam menjaga asupan makanan dan minumannya selama ini. "Pa, aku mau ketemu sama Mama."Ucapan Lean membuatku mengangkat pandanganku yang sejak beberapa saat lalu fokus pada laporan pendapatan bulanan tempat karaokeku. "Okay, Papa telepon Mama Hanna.""Bukan Mama Hanna tapi Mama Mel."Astaga...Aku yang selama satu bulan ini pusing bagaimana membuat alasan untuk menghubunginya akhirnya menemukan solusi di kala Lean mengatakan hal ini. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan kesakitan Lean, namun saat ini mungkin saat yang tepat untuk menghubungi Caramel. Aku mencoba menghubungi Caramel namun tidak kunjung diangkat olehnya. Hmm.... kenapa wanita ini mengaba

  • Marriage With Benefits   9. Rumah Budhe Liz

    Caramel Attanaya Raharja POVSatu bulan ini berat badanku naik satu kilogram dan semua itu disebabkan karena hampir setiap malam aku selalu makan di luar rumah. Jika bukan menuruti keinginan keluargaku terutama orangtuaku yang mulai mengenalkan aku pada beberapa anak temannya, aku pasti tidak mau. Mau menyalahkan mereka juga tidak bisa, karena pada nyatanya aku yang sempat meminta keluargaku untuk mencarikan jodoh yang setara denganku. Karena di usiaku yang sekarang semakin hari semakin sulit menemukan pria yang mandiri, mapan dan tentunya bisa nyambung denganku. Aku sudah menutup telingaku rapat-rapat kala ada yang mengatakan aku matre atau sebagainya. Karena nyatanya kembaranku yang sangat realistis dan rela menurunkan standart laki-laki idamannya dengan alasan cinta ujungnya juga nangis dipojokan. Calon suaminya ketahuan memiliki anak dengan perempuan lain. Benar sih, hal seperti itu wajar di dunia barat, namun untukku yang numpang lahir di barat tetapi besar di timur tetap tidak b

  • Marriage With Benefits   8. Menginterogasi Gadis

    Elang Mahaputra Adikara POVAku memandangi nomer telepon Caramel sambil sesekali tersenyum. Aku tersenyum bahagia karena pada akhirnya justru Lean yang bisa menemukan perempuan itu. Seakan Tuhan sedang memberiku kebahagiaan yang bertubi-tubi kali ini karena selain sudah berhasil bertemu dengannya lagi, ternyata Lean juga menyukainya. Ya, setidaknya Caramel cukup ramah anak dan terlihat sangat keibuan. Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah menggali semua informasi mengenai semua tamu yang hadir di acara Gadis dan Gavriel. Seperti saat ini sebelum aku pulang ke Jakarta bersama Lean, aku mengajak Gadis berbicara terlebih dahulu. Ya tentu saja menyangkut Caramel yang masih aku rahasiakan dari semua teman dekatku termasuk Gavriel. Pokoknya selama belum yakin seratus persen dia bisa menjadi pasanganku, aku tidak akan berkoar-koar. Aku tidak mau mengulang kesalahan temanku yang sudah mendeklarasikan hubungan mereka namun pada akhirnya untuk menikah saja halangannya banyak sekali sampai mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status