Pernikahan tinggal menghitung beberapa hari lagi. Rumah Nea mulai ramai didatangi oleh tetangga serta kerabat. Pernikahan memang diselenggarakan di gedung tetapi ada beberapa persiapan yang dilakukan di rumah yang dibantu oleh kerabat Nea serta tetangga. Rea baru saja kembali membagikan undangan. Sesuai keinginan Nea, pernikahannya tidak dihadiri banyak orang dan hanya orang terpilih yang diundang. “Bu, undangan udah Rea antar.” Rea duduk selonjoran di sebelah Indri yang sedang menyiapkan souvernir. “Rumah Tante kamu, Nisa, udah?” tanya Indri. Rea mengangguk. “Udah semua.”“Oke, bantu ibu susun souvernir ini ke dalam kotak,” ucap Indri. Rea menghela napas. Nea sudah menawarkan Indri untuk memesan souvernir yang sudah jadi tanpa harus kita siapkan terlebih dahulu, tetapi Indri menolak. Ia ingin orang yang mendapatkan souvernir merasakan usaha dan kebahagiaan mereka.“Ibu, ibu, dikasih kemudahan malah minta yang ribet.” Rea memulai pekerjaan dengan mengomeli ibunya.“Kerjakan aja,
Zee terus berlarian ke sana ke mari, ia begitu antusias saat di sekelilingnya dipenuhi oleh permainan. Saat ini Aciel mengajak gadis kecil itu ke wahana permainan di salah satu mall yang berada di dekat rumah. "Sus, tolong jaga Zee. Saya ingin jemput Nea sebentar.""Baik, pak." Aciel langsung pergi menuju parkiran. Hari ini ia berencana menjemput Nea dari kantor. Ada beberapa hal yang harus dibahas sebelum pernikahan dan sampai sekarang Aciel belum sempat membahasnya. Setelah sampai di parkiran, Aciel disambut dengan Pak Didin, sopir Aciel. Pak Didin membukakan pintu untuk tuannya lalu kembali masuk ke dalam mobil."Antar kan saya ke kantor Nea, tolong dipercepat." Aciel melirik sekilas jam tangan yang melingkar di tangannya. Ia dia takut kalau Nea sudah lebih dulu pulang. "Baik, tuan.""Galen, di mana dia?" tanya Aciel saat menyadari tidak ada Galen sejak tadi."Pak Galen baru saja pulang, dia bilang ada yang mau di urus.""Oke." Mobil mulai melaju membelah jalanan kota, sepanjan
Setelah berusaha menemui Niko berkali-kali, hari ini akhirnya Nea bisa bertatapan langsung dengan laki-laki ini. Nea sempat ingin memukul bahunya karena kesal Niko tidak mau bertemu dengannya tapi urung mengingat hubungan mereka yang sedang retak.“Tumben banget nyariin, biasanya aku yang nyariin,” sindir Niko.Tentu Nea merasa tersindir dan tertohok. Jika dipikir-pikir benar apa yang dikatakan Niko, selama ini Nea terlalu tidak peduli pada keadaan sekitar.“Sorry, aku minta maaf udah bicara sembarangan.” Nea menangkupkan kedua telapak tangannya dan menatap kedua mata Niko dengan wajah melasnya.Niko memalingkan wajahnya. Kali ini ia bertekad tidak akan mudah termakan rayuan Nea. “Maaf? Besok diulangi lagi.”Nea menarik napas dan membuangnya peralahan. Matanya kembali menatap ke arah Niko yang enggan menatapnya.“Aku minta maaf, aku berusaha untuk tidak mengulanginya. Nik, Minggu aku nikah dan kamu masih marah? Aku mau kamu datang ke nikahan aku,” bujuk Nea.“Jadi datang ke sini supa
Flashback OnAkad nikah sepasang kekasih baru saja selesai, semua orang mengucap syukur dan menangis haru. Kini semua orang sedang menikmati hidangan yang telah disediakan oleh keluarga pengantin tak terkecuali ke keluarga Nea. Nea yang saat itu berusia 6 tahun terus memandangi pengantin yang duduk di pelaminan. Gadis kecil itu menarik baju ayahnya dan mendongak menatap kedua bola mata sang ayah. “Ayah, nikah itu apa? Kenapa mereka senang?” tanya Nea.Omar menunduk lalu menarik hidung Nea gemas. Anaknya ini memang selalu menanyakan setiap hal. “Pernikahan adalah ritual sakral antara sepasang kekasih.”Penjelasan Omar yang cukup berat tentu sulit diterima gadis kecil itu. Ia membuka mulut dengan alis menyatu. “Apa itu ayah?”Omar terkekeh. “Kayak ibu sama ayah yang hidup berdua selamanya, sama seperti teman? Mereka akan hidup bersama seumur hidupnya. Bisa bermain sama, bercerita, jalan-jalan, dan hal lain yang dilakukan bersamaan,” jelas Omar dengan kata-kata yang mudah dimengerti o
Sebuah tarikan napas yang cukup panjang oleh Nea membuat orang yang duduk di sebelahnya sempat melirik sekilas. Gadis itu tak hentinya menghela napas lalu bergerak gelisah. Mereka berdua kini dilihat oleh banyak orang yang membuat Nea menjadi gugup dan gelisah, apalagi saat ini adalah detik-detik dirinya menjadi lajang.Matanya menatap pada ayah yang menjabat tangan Aciel dan mata mereka saling beradu. Gadis itu semakin bertambah gugup saat ayahnya mulai bersuara.“ Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Aciel Cale bin Adelard Cale dengan anak saya yang bernama Nea Halina dengan maskawinnya berupa uang tunai senilai 500 juta, tunai.” Suara tegas nan lantang membuat atmosfer semakin tegang.Darah Nea berdesir hebat bersama dengan detak jantungnya diluar batas normal. Sesaat gadis itu sulit untuk meraih oksigen. Beberapa tamu undangan dan keluarga ikut merasakan kegugupan yang dirasakan Nea. Suasana hening dan hanya terfokus pada Omar dan Aciel.“Saya terima nikahnya dan kawinn
Indri dan Omar sibuk menyapa para tamu yang datang. Tamu datang silih berganti membuat sepasang suami istri tersebut tidak berhenti berkeliling. Rea pun begitu, mereka tidak melewatkan satu tamu pun.“Kak Mira, Indri senang lihat kakak datang.” Indri berjalan dengan semangat melihat sang kakak yang tinggal di luar kota menyempatkan untuk datang di pernikahan putrinya.“Masa Nea nikah kakak nggak datang, mana Nea nya? Kok nggak kelihatan?” Mira melihat ke kanan dan kiri tetapi tidak menemukan Nea serta suami. “Oh, Nea lagi ganti baju. Sebentar lagi juga keluar, kakak nikmatin hidangan yang sudah disediakan saja dulu.” Mira mengangguk, matanya masih sibuk mencari sesuatu. Indri pun mengikuti arah pandang Mira namun ia tidak menemukan apa yang dicari wanita itu. “Kakak nyari apa?” tanya Indri. “Mertua Nea ke mana? Dari tadi kakak lihat Cuma kalian yang sibuk nyapa tamu.” Pertanyaan yang diberikan sang kakak membuat Indri diam mematung, ia hanya tersenyum tipis. “Orang tua Nak El be
Suara tangisan Zee menggema pada setiap sudut ruangan, gadis kecil itu terus memeluk leher Nea yang tanpa mau melepaskan walaupun Indri, Omar, Rea, dan juga Galen mencoba membujuk gadis kecil itu. “Zee, ayo main ke taman.” Rea tersenyum hangat pada gadis kecil itu ambil mengulurkan kedua tangannya hendak menggendong Zee. Usaha Rea dibalas penolakan oleh Zee. Kini Galen maju beberapa langkah, ia sedikit menunduk untuk menyamakan tingginya dengan Zee. “Kamu sudah besar, kan? Kenapa masih digendong sama mama? Sini sama om, kasian mamanya capek.” Galen sempat menggoyahkan pendirian Zee untuk sesaat namun kemudian gadis kecil itu malah menenggelamkan wajahnya di leher Nea. Nea mengelus lembut rambut anak sambungnya itu. “Ma, biarin aja Nea bawa, kasian dia nanti nangis di tinggal.”Indri menggeleng, ia dan pendiriannya berusaha keras membujuk Zee agar mau bersama mereka dan membiarkan Nea serta Aciel pergi ke hotel berdua saja. “Zee, sama nenek aja, ya? Mama mau pergi sama papa. Tenang
Hari ini begitu panjang dan melelahkan. Diawali dari bangun pagi persiapan make up dan segala macam, lalu akad nikah dan berlanjut ke resepsi setelah itu berpamitan dengan keluarga membuat tubuh wanita yang sejak tadi memeluk Zee merasa lelah. Ingin mengeluh tetapi saat melihat Aciel yang masih fit dan terlihat baik-baik saja membuat Nea merasa minder dan mengabaikan rasa capeknya. “Biar saya gendong,” ucap Aciel saat Nea kesusahan berdiri menggendong Zee. Nea kembali duduk dan membiarkan Aciel mengangkat tubuh gadis kecil itu lalu merebahkannya di atas ranjang. “Terima kasih,” ucap Nea lalu berdiri meregangkan badannya. “Zee sudah tidur, saya mau kembali ke kamar. Jika Zee bertanya katakan saja saya sedang di luar.” Aciel mengambil laptop yang sempat dipandanginya beberapa saat lalu. “Sebentar.” Nea memberi kode pada Aciel untuk menunggu sementara dirinya sedang membongkar tas yang dibawanya tadi. Setelah menemukan apa yang dicarinya, Nea langsung menghampiri Aciel sembari member