Share

Bagian 3 : Kisah Sedih

Alfian bersumpah akan berlutut di hadapan Laras. Ia juga tak mengerti, bagaimana bisa ide gila itu bisa terbesit begitu saja di kepala. Laras pantas marah, Alfian memang tak pikir panjang. Bisa saja Laras berpikir bahwa Alfian pria mesum yang sedang mempermainkannya.

"Anjing! Bodoh banget gue," gumam Alfian sambil menjambak rambutnya kasar.

Babeh dan Emak, ehm, maksudnya Mamih langsung pergi setelah membentak Alfian di kafe. Laras juga kabur entah kemana.

"Shit!" Lagi-lagi Alfian merutuki dirinya sendiri.

Tok tok tok

Kaca jendela mobil diketuk dari luar oleh seseorang. Alfian yang sedang menenggelamkan kepala di setir mobil reflek menoleh. Ah, Alfian tahu siapa dia. Wanita itu adalah pemilik Kafe Rinjani, tempat Laras bekerja. Alfian segera membuka kaca mobil. "Ada apa ya, Mbak?"

Pemilik kafe itu tersenyum ramah. "Permisi, Mas. Saya Wirda yang punya kafe Rinjani. Ini, ponselnya ketinggalan," ujar Wirda.

"Oh, iya. Makasih ya, Mbak." Alfian meraih benda pipih itu lalu menaruhnya di dashboard mobil.

 Wirda mengangguk pelan. “Iya, sama-sama,” balasnya.

Baru saja Kak Wirda membalikan tubuhnya pergi, Alfian memanggilnya lagi. "Mbak, tunggu!" seru Alfian. Ia langsung keluar mobil dan berlari kecil menghampiri Wirda.

"Ada apa lagi ya, Mas?" tanya Wirda dengan raut wajah heran.

"Hmm, begini. Saya boleh minta alamat rumah Laras?" pinta Alfian dengan nada hati-hati.

"Waduh, kalau gitu, saya harus minta izin dulu sama Laras," jawab Wirda.

"Pasti nggak boleh sih kalau gitu, Mbak," ujar Alfian pasrah. "Eh, tapi niat saya baik kok. Saya merasa harus minta maaf atas kejadian tadi sama Laras. Please yah, boleh," pinta Alfian sedikit memohon.

Wirda sedikit berpikir. Kalau dilihat-lihat, Alfian memang tulus ingin meminta maaf. Wirda mengangguk setuju. Setidaknya Alfian punya niat yang baik untuk meminta maaf. Lagipula, ia juga terlihat seperti pria baik-baik yang tak mungkin macam-macam. Kalau seperti itu, Wirda tak bisa bilang tidak.

"Mbak, maaf kalau saya tanya lancang. Tapi, apa Laras sudah menikah?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Alfian. Ia tak mau saja kalau suami Laras nanti akan salah paham.

Wirda terkikik geli. Pria di hadapannya ini sangat lucu dengan rasa ingin tahunya. "Belum kok. Masih single dia, belum punya pacar juga."

"Oh gitu," jawab Alfian singkat.

"Kenapa? Mau deketin Laras, ya?" tembak Kak Wirda.

Tapi Alfian tak berkata apa-apa. Ia hanya melebarkan senyum terbaik. Setidaknya, Alfian tak mau hubungannya dengan Laras semakin buruk saja.  Teringat saat kelulusan SMA, tindakan konyol Alfian sudah buat Laras membencinya.

"Thank you, Mbak."

***

"Denger ya, lo kudu lunasin semua utang-utang abang lo. Gue tunggu dua minggu lagi!" hardik pria bertubuh kekar itu.

Laras dan mamih ketakutan. Gerombolan pria yang datang ke rumahnya adalah preman suruhan Pak Wiliam. Mereka datang untuk menagih hutang Mas Rio berserta bunganya.

Dua minggu bukanlah waktu yang lama. Dari mana Laras mendapatkan uang sebanyak itu. Jual diri saja, sepertinya tak akan cukup.

"K-kalau dicicil boleh, Bang?" tanya Laras dengan suara bergetar.

Mereka yang mendengar pertanyaan Laras tertawa terbahak-bahak, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Merasa Laras melontarkan pertanyaan konyol, tanpa ampun sang preman menjambak rambut Laras kasar.

"Dicicil? Emang lo kira Abang lo ngeredit panci pakai dicicil segala!"

Mamih berlutut memohon agar preman itu bisa melepas cengkraman tangannya. "Tolong jangan sakiti putri saya, Bang."

Preman itu tak menggubris, ia masih menarik kencang rambut Laras sampai kulit-kulit kepalanya pedas. Lalu dengan kasar preman itu menendang Mamih yang bersimpuh hingga terjungkal kebelakang.

Tak ada keadilan bagi Laras di dunia ini. Ayahnya seorang koruptor, setelah bebas ia menghilang entah kemana. Sedangkan keluarganya kini masih menerima sanksi sosial dari banyak orang. Mas Rio bahkan sudah hilang akal ingin kaya instan dengan berjudi. Apa Laras harus mengakhiri hidupnya saja? Ah, tapi ia tak setega itu meninggalkan mamih berjuang seorang diri.

"Awas ya, kalau sampe masih belum ada duit juga dua minggu lagi. Tubuh lo yang jadi jaminannya!" ancam preman itu. Ia langsung menghempaskan tubuh Laras ke bawah tanah dengan keji. Setelah puas, mereka meninggalkan rumah Laras.

***

Alfian mendengar semua percakapan kejadian di depan rumah Laras. Bukan Alfian pengecut tak ingin menolong Laras dan ibunya. Tapi satu orang lawan segerombolan preman, itu tindakan yang gegabah, alias cari mati.

Apalagi, Alfian tak tahu kronologis awal permasalahan mereka. Dia tak tahu siapa yang benar dan salah. Iya kalau memang keluarga Laras yang salah, kalau sebaliknya, yang ada Alfian akan di pukuli sampai mati.

Setelah gerombolan preman itu pergi, Alfian segera berlari mengampiri Laras dan ibunya yang sudah tak berdaya untuk bangun.

"Buk, saya bantu berdiri ya,ucapnya sambil memapah mamih Laras.

Suara bariton itu seperti tak terdengar asing di telinga Laras. Perlahan, ia menatap arah sumber suara. Benar saja tebakannya, dia Alfian, pria yang baru saja mempermalukan dirinya tadi siang.

"Makasih, Nak," ucap mamih tulus.

Wajah Laras tertunduk malu. Ia tak menyangka takdir bisa membalikan hidup seseorang. Alfian yang dulu ia kenal terlihat menyedihkan. Sekarang ia tumbuh dengan sangat baik. Alfian punya keluarga yang lengkap, ia tampan dan mapan. Hal yang orang lain iri akannya.

Dulu Laras terlihat sempurna. Namun, sekarang lihat? ia tak ada bedanya dengan maha karya usang yang terlupakan.

"Ras, lo nggak apa-apa?" Setelah memapah mamihnya ke dalam rumah, Alfian menghampiri Laras untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.

Laras menangis terisak. Peduli setan dengan Alfian. Menatap wajahnya saja ia tak sanggup. Laras malu, merutuki hidup yang seperti sampah. Mengapa hidup tak adil baginya.

"Ras?" panggil Alfian lagi.

Laras menyeka air mata, ia berusaha bangkit sekuat tenaga melawan rasa sakit tubuhnya. Satu langkah ia pergi, Alfian sudah menggenggam tangan Laras.

"Jangan dulu masuk, tunggu," ucap Alfian lirih. "Kita perlu bicara."

Laras menarik tangannya menjauh. Ia tak membalas apapun ucapan Alfian. Kepalanya masih tertunduk lesu.

"Ras, gue minta maaf buat kejadian di kafe tadi," ucap Alfian. Ia menghela nafas berat, menggeser tubuhnya menghadap Laras.

"Gue kepepet, implusif bilang lo pacar gue. Tapi gue berani sumpah, nggak ada niat sedikit pun buat mempermaikan lo," jelasnya bersungguh-sungguh.

"Iya, udah gue maafin," balas Laras tanpa menatap wajah Alfian.

"Thanks, Ras. Gue harap, hubungan pertemanan kita jadi baik. Lo tau kan, acara kelulusan itu..,"

"Nggak usah dibahas Al," potong Laras cepat. Ia benar-benar tak ingin membahas masa lalu.

"Sori," lanjut Alfian kikuk.

"Ras, temennya suruh masuk sini," ucap Mamih Laras.

Laras menoleh sekilas. "Dia mau pulang kok, Mih."

"Loh, kok cepet amat?" balas Mamih.

Dua alis Alfian bertaut heran. "Lah, gue belum mau pulang kok, Ras."

Laras menghentakkan kakinya kasar. Berharap Mamih tak mendengar omong kosong Alfian.

"Lo mau apa lagi?" ucapnya penuh dengan intimidasi. Alfian tersenyum puas, ternyata Laras tak pernah berubah dari dulu. Dia perempuan yang pemberani.

"Gue bisa nolongin lo dari masalah ini," ujar Alfian.

"Ma-maksud lo?" tanya Laras pura-pura tak tahu. Ia yakin jika Alfian mendengar semua percakapan ia dengan preman tadi.

"Lunasin semua hutang-hutang kakak lo," jawab Alfian dengan nada berbisik tepat di samping telinga Laras.

"Nggak perlu! Minggir!" pekiknya.

Alfian menatap sendu, wajahnya penuh keputusasaan. Ia tmasih berusaha mengejar Laras.

"Minggir nggak lo!" bentak Laras.

Alfian lagi-lagi mendekatkan bibirnya ke samping telinga Laras. "Kalau lo mikir gue melakukan ini atas suka rela, lo salah."

Laras mendorong tubuh Alfian agar menjauh. Entah mengapa jarak sedekat tadi, membuat ia terganggu. "Maksud lo?"

"Gue bisa bayar semua hutang kakak lo beserta bunganya. Gue juga bisa kasih dia modal buat usaha biar nggak bikin susah keluarga. Gue bisa kasih apapun yang lo mau."

Sebenarnya, Alfian jijik dengan perkataannya yang sedikit angkuh. Tapi apa boleh buat, hanya ini cara agar Laras mau menolongnya.

"Apa sih, gue nggak ngerti maksud omongan lo apa," ujar Laras dengan tubuh yang panas. Ia benar-benar merasa dilucuti dan di remehkan.

"Nikah sama gue, Ras," ucap Alfian serius.

"What? Lo gila!!!"

"Bukan pernikahan yang sesunguhnya, Ras. Tapi pernikahan diatas hitam putih, setidaknya sampai Lisa nggak ngejer gue lagi."

“Pernikahan kontrak, maksud lo?”

Alfian balas mengangguk.

Laras menatap jengah, tak habis piker dengan ide gila Alfian. Tak mau Laras semakin salah paham, Alfian segera memberi tahu poin dari isi perjanjiannya. Termasuk, no sex after marriage dan berapa banyak uang yang akan Laras dan keluarganya dapatkan.

Sebenarnya Laras sedikit tersinggung, meskipun orang misikn sepertinya tak berhak merasakan demikian. Namun, pejelasan Alfian membawa angin segar dari segala permasalahan hidup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status