Alfian bersumpah akan berlutut di hadapan Laras. Ia juga tak mengerti, bagaimana bisa ide gila itu bisa terbesit begitu saja di kepala. Laras pantas marah, Alfian memang tak pikir panjang. Bisa saja Laras berpikir bahwa Alfian pria mesum yang sedang mempermainkannya.
"Anjing! Bodoh banget gue," gumam Alfian sambil menjambak rambutnya kasar.
Babeh dan Emak, ehm, maksudnya Mamih langsung pergi setelah membentak Alfian di kafe. Laras juga kabur entah kemana.
"Shit!" Lagi-lagi Alfian merutuki dirinya sendiri.
Tok tok tok
Kaca jendela mobil diketuk dari luar oleh seseorang. Alfian yang sedang menenggelamkan kepala di setir mobil reflek menoleh. Ah, Alfian tahu siapa dia. Wanita itu adalah pemilik Kafe Rinjani, tempat Laras bekerja. Alfian segera membuka kaca mobil. "Ada apa ya, Mbak?"
Pemilik kafe itu tersenyum ramah. "Permisi, Mas. Saya Wirda yang punya kafe Rinjani. Ini, ponselnya ketinggalan," ujar Wirda.
"Oh, iya. Makasih ya, Mbak." Alfian meraih benda pipih itu lalu menaruhnya di dashboard mobil.
Wirda mengangguk pelan. “Iya, sama-sama,” balasnya.
Baru saja Kak Wirda membalikan tubuhnya pergi, Alfian memanggilnya lagi. "Mbak, tunggu!" seru Alfian. Ia langsung keluar mobil dan berlari kecil menghampiri Wirda.
"Ada apa lagi ya, Mas?" tanya Wirda dengan raut wajah heran.
"Hmm, begini. Saya boleh minta alamat rumah Laras?" pinta Alfian dengan nada hati-hati.
"Waduh, kalau gitu, saya harus minta izin dulu sama Laras," jawab Wirda.
"Pasti nggak boleh sih kalau gitu, Mbak," ujar Alfian pasrah. "Eh, tapi niat saya baik kok. Saya merasa harus minta maaf atas kejadian tadi sama Laras. Please yah, boleh," pinta Alfian sedikit memohon.
Wirda sedikit berpikir. Kalau dilihat-lihat, Alfian memang tulus ingin meminta maaf. Wirda mengangguk setuju. Setidaknya Alfian punya niat yang baik untuk meminta maaf. Lagipula, ia juga terlihat seperti pria baik-baik yang tak mungkin macam-macam. Kalau seperti itu, Wirda tak bisa bilang tidak.
"Mbak, maaf kalau saya tanya lancang. Tapi, apa Laras sudah menikah?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Alfian. Ia tak mau saja kalau suami Laras nanti akan salah paham.
Wirda terkikik geli. Pria di hadapannya ini sangat lucu dengan rasa ingin tahunya. "Belum kok. Masih single dia, belum punya pacar juga."
"Oh gitu," jawab Alfian singkat.
"Kenapa? Mau deketin Laras, ya?" tembak Kak Wirda.
Tapi Alfian tak berkata apa-apa. Ia hanya melebarkan senyum terbaik. Setidaknya, Alfian tak mau hubungannya dengan Laras semakin buruk saja. Teringat saat kelulusan SMA, tindakan konyol Alfian sudah buat Laras membencinya.
"Thank you, Mbak."
***
"Denger ya, lo kudu lunasin semua utang-utang abang lo. Gue tunggu dua minggu lagi!" hardik pria bertubuh kekar itu.
Laras dan mamih ketakutan. Gerombolan pria yang datang ke rumahnya adalah preman suruhan Pak Wiliam. Mereka datang untuk menagih hutang Mas Rio berserta bunganya.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama. Dari mana Laras mendapatkan uang sebanyak itu. Jual diri saja, sepertinya tak akan cukup.
"K-kalau dicicil boleh, Bang?" tanya Laras dengan suara bergetar.
Mereka yang mendengar pertanyaan Laras tertawa terbahak-bahak, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Merasa Laras melontarkan pertanyaan konyol, tanpa ampun sang preman menjambak rambut Laras kasar.
"Dicicil? Emang lo kira Abang lo ngeredit panci pakai dicicil segala!"
Mamih berlutut memohon agar preman itu bisa melepas cengkraman tangannya. "Tolong jangan sakiti putri saya, Bang."
Preman itu tak menggubris, ia masih menarik kencang rambut Laras sampai kulit-kulit kepalanya pedas. Lalu dengan kasar preman itu menendang Mamih yang bersimpuh hingga terjungkal kebelakang.
Tak ada keadilan bagi Laras di dunia ini. Ayahnya seorang koruptor, setelah bebas ia menghilang entah kemana. Sedangkan keluarganya kini masih menerima sanksi sosial dari banyak orang. Mas Rio bahkan sudah hilang akal ingin kaya instan dengan berjudi. Apa Laras harus mengakhiri hidupnya saja? Ah, tapi ia tak setega itu meninggalkan mamih berjuang seorang diri.
"Awas ya, kalau sampe masih belum ada duit juga dua minggu lagi. Tubuh lo yang jadi jaminannya!" ancam preman itu. Ia langsung menghempaskan tubuh Laras ke bawah tanah dengan keji. Setelah puas, mereka meninggalkan rumah Laras.
***
Alfian mendengar semua percakapan kejadian di depan rumah Laras. Bukan Alfian pengecut tak ingin menolong Laras dan ibunya. Tapi satu orang lawan segerombolan preman, itu tindakan yang gegabah, alias cari mati.
Apalagi, Alfian tak tahu kronologis awal permasalahan mereka. Dia tak tahu siapa yang benar dan salah. Iya kalau memang keluarga Laras yang salah, kalau sebaliknya, yang ada Alfian akan di pukuli sampai mati.
Setelah gerombolan preman itu pergi, Alfian segera berlari mengampiri Laras dan ibunya yang sudah tak berdaya untuk bangun.
"Buk, saya bantu berdiri ya," ucapnya sambil memapah mamih Laras.
Suara bariton itu seperti tak terdengar asing di telinga Laras. Perlahan, ia menatap arah sumber suara. Benar saja tebakannya, dia Alfian, pria yang baru saja mempermalukan dirinya tadi siang.
"Makasih, Nak," ucap mamih tulus.
Wajah Laras tertunduk malu. Ia tak menyangka takdir bisa membalikan hidup seseorang. Alfian yang dulu ia kenal terlihat menyedihkan. Sekarang ia tumbuh dengan sangat baik. Alfian punya keluarga yang lengkap, ia tampan dan mapan. Hal yang orang lain iri akannya.
Dulu Laras terlihat sempurna. Namun, sekarang lihat? ia tak ada bedanya dengan maha karya usang yang terlupakan.
"Ras, lo nggak apa-apa?" Setelah memapah mamihnya ke dalam rumah, Alfian menghampiri Laras untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
Laras menangis terisak. Peduli setan dengan Alfian. Menatap wajahnya saja ia tak sanggup. Laras malu, merutuki hidup yang seperti sampah. Mengapa hidup tak adil baginya.
"Ras?" panggil Alfian lagi.
Laras menyeka air mata, ia berusaha bangkit sekuat tenaga melawan rasa sakit tubuhnya. Satu langkah ia pergi, Alfian sudah menggenggam tangan Laras.
"Jangan dulu masuk, tunggu," ucap Alfian lirih. "Kita perlu bicara."
Laras menarik tangannya menjauh. Ia tak membalas apapun ucapan Alfian. Kepalanya masih tertunduk lesu.
"Ras, gue minta maaf buat kejadian di kafe tadi," ucap Alfian. Ia menghela nafas berat, menggeser tubuhnya menghadap Laras.
"Gue kepepet, implusif bilang lo pacar gue. Tapi gue berani sumpah, nggak ada niat sedikit pun buat mempermaikan lo," jelasnya bersungguh-sungguh.
"Iya, udah gue maafin," balas Laras tanpa menatap wajah Alfian.
"Thanks, Ras. Gue harap, hubungan pertemanan kita jadi baik. Lo tau kan, acara kelulusan itu..,"
"Nggak usah dibahas Al," potong Laras cepat. Ia benar-benar tak ingin membahas masa lalu.
"Sori," lanjut Alfian kikuk.
"Ras, temennya suruh masuk sini," ucap Mamih Laras.
Laras menoleh sekilas. "Dia mau pulang kok, Mih."
"Loh, kok cepet amat?" balas Mamih.
Dua alis Alfian bertaut heran. "Lah, gue belum mau pulang kok, Ras."
Laras menghentakkan kakinya kasar. Berharap Mamih tak mendengar omong kosong Alfian.
"Lo mau apa lagi?" ucapnya penuh dengan intimidasi. Alfian tersenyum puas, ternyata Laras tak pernah berubah dari dulu. Dia perempuan yang pemberani.
"Gue bisa nolongin lo dari masalah ini," ujar Alfian.
"Ma-maksud lo?" tanya Laras pura-pura tak tahu. Ia yakin jika Alfian mendengar semua percakapan ia dengan preman tadi.
"Lunasin semua hutang-hutang kakak lo," jawab Alfian dengan nada berbisik tepat di samping telinga Laras.
"Nggak perlu! Minggir!" pekiknya.
Alfian menatap sendu, wajahnya penuh keputusasaan. Ia tmasih berusaha mengejar Laras.
"Minggir nggak lo!" bentak Laras.
Alfian lagi-lagi mendekatkan bibirnya ke samping telinga Laras. "Kalau lo mikir gue melakukan ini atas suka rela, lo salah."
Laras mendorong tubuh Alfian agar menjauh. Entah mengapa jarak sedekat tadi, membuat ia terganggu. "Maksud lo?"
"Gue bisa bayar semua hutang kakak lo beserta bunganya. Gue juga bisa kasih dia modal buat usaha biar nggak bikin susah keluarga. Gue bisa kasih apapun yang lo mau."
Sebenarnya, Alfian jijik dengan perkataannya yang sedikit angkuh. Tapi apa boleh buat, hanya ini cara agar Laras mau menolongnya.
"Apa sih, gue nggak ngerti maksud omongan lo apa," ujar Laras dengan tubuh yang panas. Ia benar-benar merasa dilucuti dan di remehkan.
"Nikah sama gue, Ras," ucap Alfian serius.
"What? Lo gila!!!"
"Bukan pernikahan yang sesunguhnya, Ras. Tapi pernikahan diatas hitam putih, setidaknya sampai Lisa nggak ngejer gue lagi."
“Pernikahan kontrak, maksud lo?”
Alfian balas mengangguk.
Laras menatap jengah, tak habis piker dengan ide gila Alfian. Tak mau Laras semakin salah paham, Alfian segera memberi tahu poin dari isi perjanjiannya. Termasuk, no sex after marriage dan berapa banyak uang yang akan Laras dan keluarganya dapatkan.
Sebenarnya Laras sedikit tersinggung, meskipun orang misikn sepertinya tak berhak merasakan demikian. Namun, pejelasan Alfian membawa angin segar dari segala permasalahan hidup.
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj