Jakarta, 2011.
"Bentar ya, Pian. Emak mau pinjem duit ke tetangga dulu." Bu Minah baru saja melangkahkan kaki pergi. Alfian segera berlari menghadang ibunya depan pintu.
"Nggak usah, Mak. Pian bisa kok berangkat jalan kaki."
"Ngaco lo ah. Ini bakalan ujan gede. Lo naik becak atau taxi aja, telat ospek hari pertama entar," ujar Bu Minah. "Bentar ya," sambungnya lalu malangkah pergi keluar rumah.
Bu Minah pergi dari satu rumah ke rumah lain, dari tetangga satu ke tetangga lain. Tak ada yang bisa ia harapkan untuk menolongnya. Dengan terpaksa beliau pergi ke rumah saudara jauh di kampung sebelah.
Sepertinya niat kedatangan Bu Minah sudah terendus oleh Budhe Lina, saudara jauhnya. "Lo kemari pasti mau pinjem duit."
Wajah Bu Minah merah padam menahan malu. "I-iya. Tiga puluh ribu aja, Lin. Nanti, pas Bang Rojali balik, saya ganti. Butuh banget buat ongkos sekolah Pian," jawab Bu Siti terus terang.
"Balikin? Hahaha, mana pernah lo balikin duit kalau pinjem," sidir Budhe Lina dengan tawa meremehkan.
"Bener Lin, saya pasti ganti." Bu Minah berusaha meyakinkan Budhe Lina. Ia menyampingkan rasa sakit hatinya. Bagi Bu Minah, yang terpenting Alfian bisa berangkat ke sekolah, itu saja.
"Lagian lo ngesok banget jadi orang miskin. Kalau nggak punya duit mah, nggak usah lah ngoyo sekolahin anak tinggi-tinggi. Paling ujung-ujungnya jadi buruh bangunan."
Tentu saja perkataan Budhe Lina sangat menyakiti hati Bu Minah. Sebagai seorang Ibu, ia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Alfian anak yang pintar, semngat belajarnya tinggi. Ia berharap agar nasib Alfian kelak akan jauh lebih baik dari kedua orang tuanya.
Bu Minah sadar jika ia hanyalah seorang buruh cuci, sedangkan suaminya bekerja menjadi supir pribadi di keluarga kaya raya. Ia hanya berharap bahwa kelak di masa depan Alfian seperti dirinya.
"Lo kalau nggak mau pinjemin, nggak perlu nyakitin perasaan Minah, Lin."
Sumber suara itu terdengar dari lorong gang samping rumah Budhe Lina. Rojali, suaminya datang dengan penuh amarah. Ini bukan pertama kali untuk Bu Minah diremehkan, dan yang tadi juga bukan pertama kalinya Pak Rojali membela sang istri.
"Cih." Budhe Lina membuang muka. "Pulang lo sana. Jijik gue liat muka suami lo," usir Budhe Lina. Ia langsung masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu marah.
Pak Rojali menggengam tangan istrinya erat. "Ada kok nih duitnya, Nah. Maaf ya Abang baru pulang, Bos nyuruh anter ke rumah sakit dulu tadi buat kontrol."
Bu Minah mengangguk lesu. Mereka pulang dengan hati yang perih. Biarlah, Pian tak perlu tahu. Bu Minah berdoa di setiap langkah, agar anaknya selalu diberi kemudahan dalam mengejar cita-cita.
***
"Dari mana aja lo baru balik ke rumah?" Pertanyaan itu langsung terlontar oleh Babeh. Langkah kaki Alfian langsung terhenti saat ingin menaiki anak tangga.
"Beh, besok lagi ngomongnya. Alfian capek," jawab Alfian dengan wajah lelah.
"Nggak bisa. Lo jelasin sama Babeh. Siapa cewek di kafe itu," bentaknya.
Alfian menatap jengah ayahnya. Ia tahu, Babeh akan mencecar Alfian dengan banyak pertanyaan. Ini bukan kali pertama. Dulu, hubungan Alfian dengan Mita juga di tentang kedua orang tuanya.
"Beh, kan Alfian udah bilang. Laras itu pacar Pian," ujar Alfian setengah malas.
Bebeh Jali langsung mengangkat kedua tangannya di pinggang. "Lo gila ya! Kenapa nggak bilang. Tindakan lo yang tadi buat malu Babeh tau nggak," hardik Babeh penuh amarah.
"Buat apa bilang? Emang kalau Alfian terus terang, Babeh bakal dengerin?" balas Alfian tak kalah marah.
"Lo bener-bener ye...."
"Lagian, Alfian juga udah yakin buat nikah sama Laras," potong Alfian. Babeh hampir saja mau melayangkan tangan untuk memukul. Tapi, Alfian keburu pergi tak menghiraukan lagi.
Alfian membanting pintu kamar dengan kasar. Ia membuang kunci mobil ke sembarang arah. “Aaaaargh," erangnya menjambak rambut kasar.
Banyak yang berubah semenjak keluarganya mendadak kaya raya. Harus Alfian akui, semenjak jadi orang kaya baru, ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Teman, sahabat, Pendidikan tinggi dan pacar. Entah tulus atau tidak, Alfian jadi punya banyak teman, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan sewaktu masih hidup melarat dulu.
Bahkan keluarga yang dulu menjauh dan meremehkan, mendadak sering silaturahmi ke rumah. Sejak itu, Babeh dan Emak juga mulai berubah. Selain Emak yang sekarang minta dipanggil Mamih, keduanya jadi tinggi hati. Merasa hebat dan dengan mudahnya merendahkan orang lain. Silau akan harta duniawi, Babeh juga mulai terobsesi agar Alfian bisa jadi anak yang bisa dibanggakan. Mulai dari pendidikan sampai masalah pendamping.
Mungkin Babeh mengira bahwa Alfian itu bodoh, tak tahu rencana besarnya. Babeh sengaja menjodohkan Alfian dengan Lisa agar Pak Broto mau berinvestasi ke perusahaan. Alfian juga tahu dari laporan keuangan tahunan perusahaan, jika tahun lalu perusahaan rugi besar.
Babeh sudah berubah. Terkadang, Alfian rindu sosoknya yang hangat dan penyayang keluarga.
Alfian memejamkan mata lelah sembari bersadar di dipan kasur. Bayangan Laras menari dipikirannya. Jujur saja, Alfian turut perihatin dengan kondisi Laras sekarang. Tujuh tahun lalu, sempat heboh berita ayahnya di tangkap pihak KPK karena kasus korupsi. Alfian tahu, musibah itu pasti berat untuk Laras dan keluarga.
Sebenarnya, mudah saja Alfian membayar semua hutang beserta bunga kakak Laras. Namun, ia sendiri tak punya pilihan lain karena ia juga butuh bantua. Sehingga tak ada salahnya memberikan penawaran itu. Yah, simbosis mutualisme, saling menguntungkan. Perjodohan dengan Lisa batal, Laras dan kakaknya bisa bebas hutang. Tak ada yang dirugikan di antara dua belah pihak.
Awalnya, Alfian mengira hal itu akan sulit. Mengingat ekspresi Laras yang sama sekali tak bersahabat. Namun, setelah Alfian menjelaskan dengan detail pernikahan kontrak itu, Laras dengan senang hati menerimanya.
Bahkan Alfian ingat senyum disertai tangis haru di wajah Laras. Seolah Alfian adalah harapan baginya.
Ponsel Alfian berdering terus menerus. Ia sudah sangat jengkel. Lisa terus-terusan menghubunginya, ia menuntut kejelasan hubungan mereka. "Cih, penjelasan apa lagi. Kita berdua aja nggak punya hubungan apa pun," Alfian menggumam.
Hari ini rasanya lelah sekali. Alfian harus segera mandi dan tidur. Besok pagi, ia akan menemui pengacara kenalannya untuk mengurus surat perjanjian nikah kontrak. Setelah itu menemui Laras, calon istrinya.
Dewasa itu tak menyenagkan seperti apa yang waktu Alfian pikir. Dulu, ia bercita-cita akan sukses dan bisa membahagiakan kedua orang tua. Kemudiian menikah dan punya keluarga kecil yang bahagia. Namun, kenyataannya, Alfian bagaikan keraman mangsa di dalam kerajaan emas. Tak bisa bebas dan bahagia, meski tak mustahil rasanya ia bisa menggenggam setumpuk harta.
Sesuatu yang dimulai dari kebaikan akan berakhir dengan baik. Sebaliknya, sesuatu yang dimulai dari keburukan, akan berakhir buruk pula.Mamih tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Papih. Meskipun tak ada alasan untuk tak membenci beliau. Ayah macam apa yang tega meninggalkan keluarga setelah membuat aib besar?Setelah bebas dari penjara lima tahun lalu, tanpa kabar dan pesan, Papih menghilang. Tak ada yang tahu keberadaan beliau sampai saat ini.Mamih selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan. Karena itu, Laras berusaha jadi orang baik versi dirinya. Bahkan saat putus asa tanpa tujuan pasti, ia masih punya keyakinan sesuatu hal baik akan datang.Tapi kekacauan yang dibuat Kak Rio, membuat Laras hilang arah. Perset
‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’ Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah. Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah. Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga. Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan
Laras menunggingkan senyum. Ia terkikik geli mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ternyata Alfian masih sama, ia kikuk saat sedang gugup. Terbukti saat Alfian menjemput Laras di salon, binar mata tak bisa bohong kalau ia terpesona. Bahkan dalam mobil pun, ia diam tak bersuara.Setelah pulang dari butik milik Sonia, Alfian dan Laras kembali lagi bekerja. Terlalu lama mengobrol, mereka jadi tak sempat makan siang bersama.Wirda juga berbaik hati memberikan izin Laras untuk pulang lebih awal. Alfian memang menyuruh Laras ke salon langganan mamih dekat Kafe Rinjani. Tapi Laras berangkat sendiri, karena Alfian tak bisa meninggalkan pekerjaa
Gemerutuk panjang suara guntur mengagetkan Laras. Kilat cahaya petir sedikit membuatnya takut. Alih-alih masuk ke dalam kamar dan sembunyi dalam selimut, ia lebih memilih menghampiri Fatma —mamihya yang terlihat sedang melamun. “Ngelamunin apa, Mih?” Laras menepuk lembut pundak Fatma. Kemudian Laras menggeser kursi kayu lalu duduk di samping Fatma. Fatma mengadah ke arah Laras. Fatma sedikit terkejut dan menjadi kikuk. Buru-buru Fatma menyeka air mata di pelupuk mata agar Laras tak tahu. “Eh, kamu, Ras. Mamih nggak ngelamun kok,” elak Fatma. Laras tersenyum getir. Memandangi pergerakan Fatma yang langsung melenggang pergi menujuke dapur. Fatma hanya ingin tak membuat putrinya khawatir. Selama ini Laras sudah cukup menderita. Ia harus putus kuliah dan bekerja jadi tulang punggung keluarga. Setiap ada kesempatan mengobrol dari hati ke hati, Fatma selalu meminta maaf pada Laras karena tak bisa lagi membiayai pendidikannya. Padahal Laras adalah an
TOK TOK TOK“Assalamualaikum...’Eros datang bersama dengan dokter kenalannya. Mereka berlari kecil menuju kamar Laras. Wajah Eros nampak lega ketika melihat keadaan Tante Fatma dan Laras baik-baik saja.“Syukur deh, Tante sudah siuman. Keadaan lo gimana, Ras?” tanya Eros sedikit khawatir.“Nggak apa-apa. Perih doang kok ini.” Laras menunjuk pada luka di ujung bibirnya.Eros mengangguk pelan. Kemudian ia memperkenalkan dokter yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini dokter Chris. Dia temen gue juga dulu waktu SD,” jelas Eros dengan nada bangga.Beberapa saat setelah kejadian, Eros sudah menghubungi Chris untuk datang ke rumah Laras. Kebetulan saja Chris kebagian jaga pagi. Jadi Ketika Eros meneleponnya, ia masih berada di rumah sakit dan berencana ingin pulang. Tetapi hari ini Chris sedang tak membawa kendaraan, sehingga Eros-lah harus menjemputnya di rumah sakit.
Laras berjalan kaki menuju rumah Pak Sholeh. Pagi-pagi sekali, Ihsan— anaknya menelepon Laras untuk datang ke rumah beliau.Udara Jakarta di pagi hari masih sejuk. Kendaraan roda dua dan roda empat pun masih belum banyak memadati ibu kota. Pedagang yang menjual berbagai macam menu sarapan pagi, baru bersiap. Abang-abang pedagang kaki lima masih tertidur di gerobaknya karena lelah semalaman bekerja.Laras sengaja berjalan kaki. Ia ingin menghidup udara bebas dan menikmati waktunya sendiri. Entah mengapa semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Lamaran keluarga Alfian membuat hatinya berdebar tidak karuan. Padahal Laras sadar betul bahwa semuanya hanyalah sandiwara. Mereka tak betul menikah karena memiliki perasaan cinta.Di dekat rumah Pak Sholeh, Laras membeli beberapa serabi untuk Pak Sholeh dan Ihsan, sekalian untuk cemilan saat bekerja.Karena masih pagi, pembeli belum terlalu banyak, sehingga Laras tak perlu antree. Setelah membeli serabi, Laras melan
Hari pernikahan Alfian dan Laras tiba. Hari dimana keduanya mengucap janji setia. Meskipun semua adalah sandiwara, namun tak bisa dipungkiri jika keduanya sangat gugup menyambut hari ini.Mamih Minah memberi banyak sekali pilihan mulai dari WO, Venue resepsi super mewah sampai Make-Up Artist ternama rekomendasi teman-teman sosialita. Namun, Laras bersikeras untuk mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Hal itu awalnya membuat hubungan antara Mamih Minah dan Laras menjadi dingin. Tapi berkat Babeh Jali dan Alfian, akhirnya Mamih Minah mengalah.Laras tahu, jika calon mertuanya itu orang baik. Meski kadang ada saja omongan yang tak mengenakan hati, tapi ia tahu jika Mamih Minah tak sampai hati.Laras memakai jasa make-up artis yang sama saat malam kelulusan saat SMA.Mbak Dev tak menyangka jika Laras masih mengingat dan mempercayakan kembali make
Bagi Laras, Yogyakarta merupakan kota yang mengingatkan kenangan indah dengan keluarga. Papihnya dahulu selalu mengajak liburan kemari setiap tahun saat liburan kenaikan kelas. Biasaya sebelum pulang ke Jakarta, Laras dan keluarga menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga besar Mamih.Berbeda dengan Alfian, sepanjang jalan Jakarta-Yogyakarta menggunakan kereta api, ia selalu terlihat murun