Share

Bagian 4 : Rencana

Jakarta, 2011.

"Bentar ya, Pian. Emak mau pinjem duit ke tetangga dulu." Bu Minah baru saja melangkahkan kaki pergi. Alfian segera berlari menghadang ibunya depan pintu.

"Nggak usah, Mak. Pian bisa kok berangkat jalan kaki."

"Ngaco lo ah. Ini bakalan ujan gede. Lo naik becak atau taxi aja, telat ospek hari pertama entar," ujar Bu Minah. "Bentar ya," sambungnya lalu malangkah pergi keluar rumah.

Bu Minah pergi dari satu rumah ke rumah lain, dari tetangga satu ke tetangga lain. Tak ada yang bisa ia harapkan untuk menolongnya. Dengan terpaksa beliau pergi ke rumah saudara jauh di kampung sebelah.

Sepertinya niat kedatangan Bu Minah sudah terendus oleh Budhe Lina, saudara jauhnya. "Lo kemari pasti mau pinjem duit."

Wajah Bu Minah merah padam menahan malu. "I-iya. Tiga puluh ribu aja, Lin. Nanti, pas Bang Rojali balik, saya ganti. Butuh banget buat ongkos sekolah Pian," jawab Bu Siti terus terang.

"Balikin? Hahaha, mana pernah lo balikin duit kalau pinjem," sidir Budhe Lina dengan tawa meremehkan.

"Bener Lin, saya pasti ganti." Bu Minah berusaha meyakinkan Budhe Lina. Ia menyampingkan rasa sakit hatinya. Bagi Bu Minah, yang terpenting Alfian bisa berangkat ke sekolah, itu saja.

"Lagian lo ngesok banget jadi orang miskin. Kalau nggak punya duit mah, nggak usah lah ngoyo sekolahin anak tinggi-tinggi. Paling ujung-ujungnya jadi buruh bangunan."

Tentu saja perkataan Budhe Lina sangat menyakiti hati Bu Minah. Sebagai seorang Ibu, ia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Alfian anak yang pintar, semngat belajarnya tinggi. Ia berharap agar nasib Alfian kelak akan jauh lebih baik dari kedua orang tuanya.

Bu Minah sadar jika ia hanyalah seorang buruh cuci, sedangkan suaminya bekerja menjadi supir pribadi di keluarga kaya raya. Ia hanya berharap bahwa kelak di masa depan Alfian seperti dirinya.

"Lo kalau nggak mau pinjemin, nggak perlu nyakitin perasaan Minah, Lin."

Sumber suara itu terdengar dari lorong gang samping rumah Budhe Lina. Rojali, suaminya datang dengan penuh amarah. Ini bukan pertama kali untuk Bu Minah diremehkan, dan yang tadi juga bukan pertama kalinya Pak Rojali membela sang istri.

"Cih." Budhe Lina membuang muka. "Pulang lo sana. Jijik gue liat muka suami lo," usir Budhe Lina. Ia langsung masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu marah.

Pak Rojali menggengam tangan istrinya erat.  "Ada kok nih duitnya, Nah. Maaf ya Abang baru pulang, Bos nyuruh anter ke rumah sakit dulu tadi buat kontrol."

Bu Minah mengangguk lesu. Mereka pulang dengan hati yang perih. Biarlah, Pian tak perlu tahu. Bu Minah berdoa di setiap langkah, agar anaknya selalu diberi kemudahan dalam mengejar cita-cita.

***

"Dari mana aja lo baru balik ke rumah?" Pertanyaan itu langsung terlontar oleh Babeh. Langkah kaki Alfian langsung terhenti saat ingin menaiki anak tangga.

"Beh, besok lagi ngomongnya. Alfian capek," jawab Alfian dengan wajah lelah.

"Nggak bisa. Lo jelasin sama Babeh. Siapa cewek di kafe itu," bentaknya.

Alfian menatap jengah ayahnya. Ia tahu, Babeh akan mencecar Alfian dengan banyak pertanyaan. Ini bukan kali pertama. Dulu, hubungan Alfian dengan Mita juga di tentang kedua orang tuanya.

"Beh, kan Alfian udah bilang. Laras itu pacar Pian," ujar Alfian setengah malas.

Bebeh Jali langsung mengangkat kedua tangannya di pinggang. "Lo gila ya! Kenapa nggak bilang. Tindakan lo yang tadi buat malu Babeh tau nggak," hardik Babeh penuh amarah.

"Buat apa bilang? Emang kalau Alfian terus terang, Babeh bakal dengerin?" balas Alfian tak kalah marah.

"Lo bener-bener ye...."

"Lagian, Alfian juga udah yakin buat nikah sama Laras," potong Alfian. Babeh hampir saja mau melayangkan tangan untuk memukul. Tapi, Alfian keburu pergi tak menghiraukan lagi.

Alfian membanting pintu kamar dengan kasar. Ia membuang kunci mobil ke sembarang arah. “Aaaaargh," erangnya menjambak rambut kasar.

Banyak yang berubah semenjak keluarganya mendadak kaya raya. Harus Alfian akui, semenjak jadi orang kaya baru, ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Teman, sahabat, Pendidikan tinggi dan pacar. Entah tulus atau tidak, Alfian jadi punya banyak teman, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan sewaktu masih hidup melarat dulu.

Bahkan keluarga yang dulu menjauh dan meremehkan, mendadak sering silaturahmi ke rumah. Sejak itu, Babeh dan Emak juga mulai berubah. Selain Emak yang sekarang minta dipanggil Mamih, keduanya jadi tinggi hati. Merasa hebat dan dengan mudahnya merendahkan orang lain. Silau akan harta duniawi, Babeh juga mulai terobsesi agar Alfian bisa jadi anak yang bisa dibanggakan. Mulai dari pendidikan sampai masalah pendamping.

Mungkin Babeh mengira bahwa Alfian itu bodoh, tak tahu rencana besarnya. Babeh sengaja menjodohkan Alfian dengan Lisa agar Pak Broto mau berinvestasi ke perusahaan. Alfian juga tahu dari laporan keuangan tahunan perusahaan, jika tahun lalu perusahaan rugi besar.

Babeh sudah berubah. Terkadang, Alfian rindu sosoknya yang hangat dan penyayang keluarga.

Alfian memejamkan mata lelah sembari bersadar di dipan kasur. Bayangan Laras menari dipikirannya. Jujur saja, Alfian turut perihatin dengan kondisi Laras sekarang. Tujuh tahun lalu, sempat heboh berita ayahnya di tangkap pihak KPK karena kasus korupsi. Alfian tahu, musibah itu pasti berat untuk Laras dan keluarga.

Sebenarnya, mudah saja Alfian membayar semua hutang beserta bunga kakak Laras. Namun, ia  sendiri tak punya pilihan lain karena ia juga butuh bantua. Sehingga tak ada salahnya memberikan penawaran itu. Yah, simbosis mutualisme, saling menguntungkan. Perjodohan dengan Lisa batal, Laras dan kakaknya bisa bebas hutang. Tak ada yang dirugikan di antara dua belah pihak.

Awalnya, Alfian mengira hal itu akan sulit. Mengingat ekspresi Laras yang sama sekali tak bersahabat. Namun, setelah Alfian menjelaskan dengan detail pernikahan kontrak itu, Laras dengan senang hati menerimanya.

Bahkan Alfian ingat senyum disertai tangis haru di wajah Laras. Seolah Alfian adalah harapan baginya.

Ponsel Alfian berdering terus menerus. Ia sudah sangat jengkel. Lisa terus-terusan menghubunginya, ia menuntut kejelasan hubungan mereka. "Cih, penjelasan apa lagi. Kita berdua aja nggak punya hubungan apa pun," Alfian menggumam.

Hari ini rasanya lelah sekali. Alfian harus segera mandi dan tidur. Besok pagi, ia akan menemui pengacara kenalannya untuk mengurus surat perjanjian nikah kontrak. Setelah itu menemui Laras, calon istrinya.

Dewasa itu tak menyenagkan seperti apa yang waktu Alfian pikir. Dulu, ia bercita-cita akan sukses dan bisa membahagiakan kedua orang tua. Kemudiian menikah dan punya keluarga kecil yang bahagia. Namun, kenyataannya, Alfian bagaikan keraman mangsa di dalam kerajaan emas. Tak bisa bebas dan bahagia, meski tak mustahil rasanya ia bisa menggenggam setumpuk harta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status