Jakarta, Juli 2012
Malam kelulusan Bina Bangsa.
Laras menatap kagum dirinya dari pantulan kaca rias kamar. Dia sudah berdandan lebih dari tiga jam lamanya hanya untuk menghadiri acara malam kelulusan. Hasil tangan Mbak Dev, MUA yang lagi naik daun di Jakarta tak pernah mengecewakan. Ditambah lagi gaun dari designer terkenal yang makin membuat penampilan Laras terlihat sempurna.
“Wah Mbak Dev, aku suka banget loh make up-nya. Makasih ya, tangan ajaib Mbak Dev buat aku jadi cantik banget malam ini,” puji Laras.
Mbak Dev tersenyum puas. “Sama-sama. Ah! Lagian kamu mah nggak di make up juga udah cantik, Ras,” balas Mbak Dev rendah hati.
Bagi Laras, hari ini merupakan hari yang sangat spesial. Selain menghadiri acara malam kelulusan, yang Laras dengar dari teman dekatnya, Randi juga akan mengungkapkan cinta pada Laras. Ini adalah hal yang sudah lama Laras nanti. Mereka dekat hampir satu tahun lalu, namun belum ada tanda-tanda Randi untuk mengungkapkan perasaannya.
Kedatangan Laras membuat banyak mata melihat dengan terkagum-kagum. Bahkan banyak yang iri akan kecantikannya. Ia berjalan lurus ke tengah aula untuk menghampiri Randi yang tengah asyik mengobrol dengan teman nongkrongnya.
“Ran.” Laras menepuk pelan Pundak Randi.
Randi pun menoleh, matanya membulat kagum setelah melihat penampilan Laras yang seperti bidadari. Semburat senyum Randi merekah bak bunga di pagi hari. Randi menggengam tangan Laras, membawanya ke belakang panggung yang sepi. Randi mencium tengkuk tangan Laras lembut. Laras tersipu malu, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak menyangka bahwa Randi akan secepat ini mengungkapkan cinta.
“Ras,” panggil Randi lembut.
“Ya?” jawab Laras yang tak mampu menutupi senyuman bahagia.
“Kamu mau nggak....”
“Tes... tes... tes.”
Ungkapan perasaan Randi harus tertunda karena suara mic yang berasal dari atas panggung tadi mengganggu.
“Laras, untuk Vania Larasati.” Terdengan suara seorang pemuda memanggil nama Laras. Suara para siswa sudah terdengar bergemuruh heboh. Di belakang panggung Laras terkejut ketika namanya dipanggil, begitu pun Randi. Mereka berdua segera berlari untuk datang ke sumber suara.
Laras kaget, di atas panggung sudah ada Alfian, anak IPA 1 yang culun bukan main. Kedua netra antara Alfian dan Laras bertemu. Alfian menampilkan senyum menawan yang ia bisa, kedatangan Laras membuat hatinya membuncah hebat. Berbanding terbalik dengan Laras yang menatapnya kesal.
“CIE CIE!!!” sorak sorai para siswa semakin riuh.
“Laras, kamu mau nggak jadi pacarku?” tembak Alfian langsung.
Semua orang tak bisa mengabaikan momen ini begitu saja. Mereka merekam kejadian itu untuk bahan candaan keesokan hari. Sebagian mereka hanya tertawa sampai wajahnya merah. Laras sudah naik pitam. Bagaimana malam kelulusan yang harusnya jadi momen tak terlupakan malah menjadi kacau.
“Alfian. FUCK YOU!” rutuknya dalam hati.
2021
Laras berjalan melangkahkan kakinya hati-hati menuju tempat kerja. Laras melirik pilu ke arah sepatu flat hitam yang ia pakai. "Harusnya ini sepatu udah pensiun sih," ia menggumam sendiri.
Bulan lalu, Laras sengaja berkunjung ke mall dekat rumah. Ia sudah berniat untuk membeli sepatu baru, namun tabungannya tidak cukup. Padahal dulu membeli sepatu setiap minggu bisa ia lakukan, tinggal bilang Mamih atau Papih saja. Kalau sekarang, boro-boro beli sepatu baru tiap minggu, besok makan atau gak saja, belum pasti.
"Ras, buru-buru lo ganti baju." Wirda membuyarkan lamunan Laras yang baru saja masuk kafe.
"Emang ada apa, Kak?" tanya Laras kebingungan. Tak biasanya Wirda datang pagi-pagi dan menyuruhnya segera bersiap.
"Ini satu kafe udah di booking sama orang. Mau ada acara lunch keluarga gitu," jawab Wirda sembari menata kursi dan meja.
"Oh gitu. Mau ada party planner nya datang ke sini?" tanya Laras lagi.
Wirda menggeleng pelan. "Nggak ada sih. Mereka cuma bilang pesan kafe dua jam buat 7 orang."
"Wah, Lunch buat 7 orang aja sampai nyewa satu kafe?" Laras berdecak kagum. Ia segera menuju dapur untuk mengganti seragam kerja. Setelah itu, ia berjalan menuju parkiran mobil milik Wirda untuk mengambil bahan-bahan makanan dari pasar menuju dapur.
Brukkk
Laras jatuh tersungkur di depan kafe. Ia menjatuhkan kantong belanjaan yang ia bawa. Dilihatnya sayur mayur dan minyak goreng jatuh tercecer mencium lantai tepat di depan matanya.
"Ras." Wirda berlari menghampiri Laras kemudian membantunya berdiri.
"Ras, lutut lo berdarah," ujar Wirda menunjuk luka di lutut Laras. Raut wajah Wirda ketara sekali khawatir.
Laras meringis kesakitan menahan perih luka lututnya. "Nggak apa-apa kok, Kak," kilahnya.
"Nggak apa-apa gimana? Muka lo aja nahan sakit gitu," celetuk Wirda. "Ya udah, gih di obatin dulu," perintahnya.
"Eh, tapi tunggu..." Wirda melirik sepatu flat milik Laras yang sudah tak karuan bentuknya. Ia mengambil lalu memperhatikan sepatu itu lekat.
"Ras, ini sepatu rusak kenapa masih dipakai?"
Laras tak menjawab pertanyaan Kak Wirda. Ia hanya bisa menundukan wajahnya sembari memutar otak untuk mendapatkan jawaban yang terasa masuk akal.
Kalau Laras sudah bersikap begini, tanpa perlu ia menjelaskan pun, Kak Wira sudah tahu jawabannya. "Ya udah gini. Lo nanti ke ruangan gue. Ambil sepatu di bawah kolong meja warna hitam. Itu buat lo," perintah Wirda. "Kayaknya kita satu ukuran," sambungnya lagi.
"T-tapi, Kak."
"Nggak usah tapi, tapi ah. Gih sana, ambil. Lagian gue nggak mau ya, pas nanti lo anter pesanan pelanggan malah jatuh kayak tadi," ujarnya tegas.
Laras mengangguk pelan. "Makasih, Kak."
Laras segera masuk ke dalam kafe. Setelah mengobati lukanya, ia bergegas ke ruangan Wirda untuk mengambil sepatu sesuai perintah.
***
Tepat jam dua belas siang, para tamu satu per satu mulai datang. Dari mobil yang mereka kendarai saja, Laras sudah tahu, kalau yang datang pasti orang berdompet tebal. Laras segera memperiapkan diri, membawa menu dan tablet untuk mencatat pesanan.
"Selamat siang, Tuan dan Nona. Ini menunya, silahkan." Laras menaruh menu di atas meja.
Obrolan sepasang suami-istri paruh baya dan anak perempuan yang usianya kira-kira awal 20-an itu terhenti setelah kedatangan Laras.
"Baik Mbak, makasih. Di keep dulu ya menunya. Kita masih nunggu orang," balas perempuan itu ramah. "Nanti, saya panggil lagi ya," sambungnya.
Laras mengangguk sopan. Ia kembali ke dapur sesuai perintah sang tamu.
"Lo ngapain disini?" Wirda tiba-tiba datang mengagetkan.
"Aduh, Kak! Bikin kaget aja," ujar Laras sembari mengelus dada.
"Eh, sori. Mereka pesen apa?" tanya Wirda penasaran.
"Belum, Kak. Masih nunggu orang katanya," jawab Laras yang masih memperhatikan meja pelanggan di ujung pintu masuk.
"Oh," Wirda mengangguk. "Nunggu siapa emang?" tanyanya lagi.
"Mana gue tahu," balas Laras mengangkat bahunya.
Akhirnya setelah hampir setengah jam menunggu, lonceng pintu kafe berbunyi. Tamu yang ditunngu datang juga. Diawali dengan pasangan paruh baya yang langsung disambut hangat pasangan suami-istri yang Laras lihat tadi. Lalu, seorang pemuda bertubuh jenjang masuk setelahnya.
Wirda menyenggol pergelangan tangan Laras pelan. "Sana gih, udah dateng tuh tamunya."
Laras mengangguk pelan. Ia berkaca terlebih dahulu, merapihkan pakainnya, memastikan bahwa penampilannya sudah oke. Setelah sudah yakin akan penampilannya, ia berjalan menuju meja pelanggan. Dengan ramah ia tersenyum dan berdiri di samping meja, menunggu mereka menyuruhnya mencatat pesanan.
"Laras?"
Suara bariton itu mengagetkan Laras. Ia langsung segera menoleh ke arah sumber suara. Mata Laras menerjap beberapa kali, ia tak percaya, bagaimana bisa ia bertemu dengan Alfian di tempat ia bekerja.
Laras masih bergeming tak bicara. Isi kepalanya penuh dengan kemungkinan yang akan terjadi. Seperti Alfian yang akan mengejek dirinya, seperti teman-teman lain. Namun, hal yang tak terdua terjadi. Alfian mengampiri Laras dan langsung memeluknya erat.
"Maafin aku sayang," ucap Alfian tiba-tiba. Tangannya mengelus rambut Laras lembut, wangi parfumnya bahkan bisa Laras cium dengan jelas.
Sadar jika apa yang Alfian lakukan adalah salah, Laras berusaha menguasai diri. Laras merasa tak terima. Yah, setidaknya meski Laras melarat, tapi ia masih punya harga diri. Laras langsung melayangkan tangan ke pipi kanan Alfian.
Plak!
Semua orang di kafe yang melihatnya terkejut bukan main, termasuk Kak Wirda yang sedang berdiri diujung pintu
"Berani-beraninya lo...." hardik Laras menunjukkan jari ke muka Alfian.
Alfian masih memegangi pipinya yang merah. "Aku bisa jelasin sayang. Kamu jangan salah paham. Aku nggak nerima perjodohan konyol ini," ujar Alfian memohon.
Sialan, Laras sudah mulai paham jika Alfian sedang berakting mempermainkan dirinya. Entah apa tujuannya. Mungkin saja Alfian sengaja ingin mempermainkan Laras. “Apa mak...”
"Please, sayang dengerin aku dulu," potong Alfian cepat.
"Alfian!" bentak Babehnya kasar. "Apa-apaan lo? Mau bikin malu Babeh?!"
Jantung Laras berdetak lebih cepat. Jangan sampai Alfian membuat masalah yang menyeret dirinya.
"Babeh, Alfian kan udah bilang nggak mau di jodohin sama Lisa. Alfian udah punya pacar." Alfian langsung menggenggam tangan Laras tanpa ragu. "Dia Laras, Beh. Temen SMA Alfian, kita udah pacaran enam bulan yang lalu."
Mata Laras langsung melotot marah ke arah Alfian. "What the..."
"Ayo kita pualng sekarang, Lis," ujar orang tua Lisa geram kemudian meninggalkan kafe.
Laras bisa melihat kemarahan dari raut wajah kedua orang tua Lisa. Ditatapnya Lisa yang masih menundukan kepala. Dengan ragu, Lisa yang menatap antara Laras dan Alfian secara bergantian. Setelah itu, ia berjalan cepat keluar kafe mengejar kedua orang tuanya.
"Broto, tunggu...," sergah Babeh cepat. Namun, Pak Broto enggan mendengarkan penjelasan Babeh.
"Alfian! Babeh perlu ngomong sama elo!"
Laras tahu, hidupnya tak akan baik-baik saja setelah ini.
Alfian bersumpah akan berlutut di hadapan Laras. Ia juga tak mengerti, bagaimana bisa ide gila itu bisa terbesit begitu saja di kepala. Laras pantas marah, Alfian memang tak pikir panjang. Bisa saja Laras berpikir bahwa Alfian pria mesum yang sedang mempermainkannya. "Anjing! Bodoh banget gue," gumam Alfian sambil menjambak rambutnya kasar. Babeh dan Emak, ehm, maksudnya Mamih langsung pergi setelah membentak Alfian di kafe. Laras juga kabur entah kemana. "Shit!" Lagi-lagi Alfian merutuki dirinya sendiri. Tok tok tok Kaca jendela mobil diketuk dari luar oleh seseorang. Alfian yang sedang menenggelamkan kepala di setir mobil reflek menoleh. Ah, Alfian tahu siapa dia. Wanita itu adalah pemi
Jakarta, 2011. "Bentar ya, Pian. Emak mau pinjem duit ke tetangga dulu." Bu Minah baru saja melangkahkan kaki pergi. Alfian segera berlari menghadang ibunya depan pintu. "Nggak usah, Mak. Pian bisa kok berangkat jalan kaki." "Ngaco lo ah. Ini bakalan ujan gede. Lo naik becak atau taxi aja, telat ospek hari pertama entar," ujar Bu Minah. "Bentar ya," sambungnya lalu malangkah pergi keluar rumah. Bu Minah pergi dari satu rumah ke rumah lain,dari tetangga satu ke tetangga lain. Tak ada yang bisa ia harapkan untuk menolongnya. Dengan terpaksa beliau pergi ke rumah saudara jauh di kampung sebelah. Sepertinya niat kedatangan Bu Minah sudah terendus oleh Budhe Lina, saudara jauhnya. "Lo kemari past
Sesuatu yang dimulai dari kebaikan akan berakhir dengan baik. Sebaliknya, sesuatu yang dimulai dari keburukan, akan berakhir buruk pula.Mamih tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Papih. Meskipun tak ada alasan untuk tak membenci beliau. Ayah macam apa yang tega meninggalkan keluarga setelah membuat aib besar?Setelah bebas dari penjara lima tahun lalu, tanpa kabar dan pesan, Papih menghilang. Tak ada yang tahu keberadaan beliau sampai saat ini.Mamih selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan. Karena itu, Laras berusaha jadi orang baik versi dirinya. Bahkan saat putus asa tanpa tujuan pasti, ia masih punya keyakinan sesuatu hal baik akan datang.Tapi kekacauan yang dibuat Kak Rio, membuat Laras hilang arah. Perset
‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’ Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah. Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah. Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga. Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan
Laras menunggingkan senyum. Ia terkikik geli mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ternyata Alfian masih sama, ia kikuk saat sedang gugup. Terbukti saat Alfian menjemput Laras di salon, binar mata tak bisa bohong kalau ia terpesona. Bahkan dalam mobil pun, ia diam tak bersuara.Setelah pulang dari butik milik Sonia, Alfian dan Laras kembali lagi bekerja. Terlalu lama mengobrol, mereka jadi tak sempat makan siang bersama.Wirda juga berbaik hati memberikan izin Laras untuk pulang lebih awal. Alfian memang menyuruh Laras ke salon langganan mamih dekat Kafe Rinjani. Tapi Laras berangkat sendiri, karena Alfian tak bisa meninggalkan pekerjaa
Gemerutuk panjang suara guntur mengagetkan Laras. Kilat cahaya petir sedikit membuatnya takut. Alih-alih masuk ke dalam kamar dan sembunyi dalam selimut, ia lebih memilih menghampiri Fatma —mamihya yang terlihat sedang melamun. “Ngelamunin apa, Mih?” Laras menepuk lembut pundak Fatma. Kemudian Laras menggeser kursi kayu lalu duduk di samping Fatma. Fatma mengadah ke arah Laras. Fatma sedikit terkejut dan menjadi kikuk. Buru-buru Fatma menyeka air mata di pelupuk mata agar Laras tak tahu. “Eh, kamu, Ras. Mamih nggak ngelamun kok,” elak Fatma. Laras tersenyum getir. Memandangi pergerakan Fatma yang langsung melenggang pergi menujuke dapur. Fatma hanya ingin tak membuat putrinya khawatir. Selama ini Laras sudah cukup menderita. Ia harus putus kuliah dan bekerja jadi tulang punggung keluarga. Setiap ada kesempatan mengobrol dari hati ke hati, Fatma selalu meminta maaf pada Laras karena tak bisa lagi membiayai pendidikannya. Padahal Laras adalah an
TOK TOK TOK“Assalamualaikum...’Eros datang bersama dengan dokter kenalannya. Mereka berlari kecil menuju kamar Laras. Wajah Eros nampak lega ketika melihat keadaan Tante Fatma dan Laras baik-baik saja.“Syukur deh, Tante sudah siuman. Keadaan lo gimana, Ras?” tanya Eros sedikit khawatir.“Nggak apa-apa. Perih doang kok ini.” Laras menunjuk pada luka di ujung bibirnya.Eros mengangguk pelan. Kemudian ia memperkenalkan dokter yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini dokter Chris. Dia temen gue juga dulu waktu SD,” jelas Eros dengan nada bangga.Beberapa saat setelah kejadian, Eros sudah menghubungi Chris untuk datang ke rumah Laras. Kebetulan saja Chris kebagian jaga pagi. Jadi Ketika Eros meneleponnya, ia masih berada di rumah sakit dan berencana ingin pulang. Tetapi hari ini Chris sedang tak membawa kendaraan, sehingga Eros-lah harus menjemputnya di rumah sakit.
Laras berjalan kaki menuju rumah Pak Sholeh. Pagi-pagi sekali, Ihsan— anaknya menelepon Laras untuk datang ke rumah beliau.Udara Jakarta di pagi hari masih sejuk. Kendaraan roda dua dan roda empat pun masih belum banyak memadati ibu kota. Pedagang yang menjual berbagai macam menu sarapan pagi, baru bersiap. Abang-abang pedagang kaki lima masih tertidur di gerobaknya karena lelah semalaman bekerja.Laras sengaja berjalan kaki. Ia ingin menghidup udara bebas dan menikmati waktunya sendiri. Entah mengapa semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Lamaran keluarga Alfian membuat hatinya berdebar tidak karuan. Padahal Laras sadar betul bahwa semuanya hanyalah sandiwara. Mereka tak betul menikah karena memiliki perasaan cinta.Di dekat rumah Pak Sholeh, Laras membeli beberapa serabi untuk Pak Sholeh dan Ihsan, sekalian untuk cemilan saat bekerja.Karena masih pagi, pembeli belum terlalu banyak, sehingga Laras tak perlu antree. Setelah membeli serabi, Laras melan