PoV Assyifa
Aku sampai di depan pintu milik Pak Kevin.
Tok ... tok .... tok ....
"Masuk," ucap Pak Kevin dari dalam ruangan.
Aku membuka pintu lalu masuk ke dalam dan menutup kembali pintu tersebut.
"Ada apa?" tanyaku spontan.
"Silahkan duduk," ucapnya tanpa melihatku.
"Lo mau cari masalah ya sama gue?" Aku tetap berdiri.
"Silahkan duduk," ucapnya lagi.
Aku berjalan ke arahnya.
"Gue gak mau nikah sama lo." Aku berujar dengan tatapan tajam ke arahnya.
Dia berhenti melihat berkas yang ada di meja dan beralih menatap ke arahku.
"Kurang apa saya di mata kamu?" tanya Pak Kevin yang membuat aku muak mendengarnya.
"Gue udah punya pacar yang akan gue jadikan suami nantinya. Jadi, lo gak perlu dateng ke rumah gue lagi," ucapku bohong.
"Kenapa kamu mematikan telfon saya tadi pagi?" tanya Pak Kevin melihatku.
"Aish," umpatku sambil menahan emosi.
"Gue muak dengan suara lo." Aku berucap tegas.
Lalu dia mengambil benda pipih itu dan mengetik nomorku.
Lalu me-loudspeaker ponselnya.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kembali nomor tujuan Anda," ucap Operator tersebut.
"Kamu ganti kartu?" tanyanya mematikan panggilan.
"Itu gak urusan lo." Aku berucap dan memalingkan wajah ke arah lain.
"Apa perlu saya belikan kamu kartu baru?" tanyanya sok peduli padaku.
"Gak perlu, gue gak butuh." Aku berucap dan berjalan kearah pintu untuk pergi.
Locked.
Dia mengunci pintu dengan remote controlnya.
"Apa kamu membanting ponselnya?" tanya Pak Kevin menerka.
"Iya," ucapku tegas
Lalu Pak Kevin berjalan ke arahku.
"Kenapa kamu banting?" tanya Pak Kevin yang sudah berada di depanku."Suka-suka gue lah. Toh, itu barang gue beli sendiri," ucapku sambil melipat kedua tangan di depan dadaku.
"Buka pintunya," ucapku tegas.
Lalu dia mengambil remote control di atas mejanya dan menekan tombol yang aku tidak tahu.
Krek.
Pintu itu terbuka otomatis.
Aku pergi dari ruangannya dan menyusul Nana, Mey dan Elvi yang sudah ada di kelas.
****
"Apa kata Pak Kevin?" tanya Nana padaku. Aku hanya menggelengkan kepala.
Teng ... teng ... teng ....
Bel masuk berbunyi.
"Kami ke tempat duduk dulu ya," pamit Elvi dan Mey pada kami.
"Iya," ucapku tersenyum pada mereka.
Kami melanjutkan belajar di sekolah sampai jam 16.00 WIB.
***
Teng ... teng .... teng ...Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi. Kami dan anak-anak yang lain bersiap-siap pulang.
"Semuanya berdoa dimulai," perintah Doni pada kami.
***
“Aku sama Nana pulang dulu, ya.”
Aku melambaikan tangan ke arah Mey dan Elvi yang sedang berdiri di halte bus.
“Hati-hati,” ucap mereka sambil membalas lambaian tangan Assyifa.
“Iya.”
Nana menggandeng tangannya berjalan menuju rumah. Saat perjalanan pulang, aku masih sungkan untuk membeberkan semuanya semua yang kualami bersama Pak Kevin pada Nana.
Yang kutakutkan, nantinya Nana akan menjauhiku. Karena dia juga orang yang menyukai Pak Kevin. Akumenghembuskan napas pelan sambil menenangkan pikirannya.
‘Kamu bisa,’ batinku menguatkan diri sendiri.
“Na, ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucapku dengan hati-hati. Nana menoleh padaku sambil terus berjalan.
“Aku mau jujur,” sambungku.
“Apa?” tanya Nana penasaran.
Aku mulai menceritakan semua kejadian saat dia di panggil oleh Pak Nopri, Pak Kevin datang ke rumahnya dengan membawa orang tuanya sampai Pak Kevin menemuinya ke kantin dan hendak mengganti ponselnya yang rusak akibat ulahnya sendiri.
Nana melebarkan matanya terkejut dengan semua kejadian yang aku alami.
“Fa, gak salah lagi. Pak Kevin itu suka sama kamu.” Nana menghentikan langkahnya.
“Aku gak mau,” tolak Assyifa dan kembali melangkahkan kaki.
“Terus siapa lagi yang suka sama kamu, Fa?” ucap Nana frustasi.
“Jimin Oppa.”
Aku tersenyum pada Nana sambil mencubit pipinya gemas.
“Jangan halu, nanti malu,” ucapnya memperingatiku. Tak terasa kami sampai di depan pagar rumah Nana.
“Ya udah, aku masuk, ya.”
Nana membuka pintu pagar lalu aku melanjutkan langkahnya menuju rumah.
“Assalamualaikum.” Aku berjalan menuju pekarangan rumah lalu duduk di kursi untuk membuka sepatu sekaligus menyimpannya.
“Waalaikum salam,” jawab bunda. Aku berjalan menghampirinya lalu mencium tangannya.
“Nanti malam, Kevin mau datang ke rumah,” tutur Bunda padaku.
Aku hanya diam dan berjalan masuk ke dalam kamar. Tapi, terlebih dahulu aku harus menaiki beberapa anak tangga agar mencapai kamar.
“Nanti yang cantik ya, Sayang!” teriak Bunda dari bawah.
“Hm.” Aku bergumam sambil meletakkan tas di samping meja belajar lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah lengket.
“Dengar dari Bunda dia mau datang ke sini. Moodku langsung hancur,” ucapku menatap diri di pantulan cermin wastafel.
“Benar-benar.”
Setelah selesai mengenakan pakaian. Aku duduk di meja rias sambil menopang dagu.
34 menit kemudian, samar-samar terdengar suara adzan magrib. Aku berdiri dari kursi menuju kamar mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimin yaitu melaksanakan sholat magrib di kamarnya.
Brum ... brum ...
Terdengar suara mobil asing berjalan mendekati rumah. Kalau mobil ayah tak seperti itu.
Tin! Itu sudah pasti bunyi klaskon mobil ayah. Assyifa berlari ke jendela kamar depan lalu melihat mobil Lamborghini merah milik Pak Kevin. Benar kata bunda.
“Tapi, kenapa harus sama ayah, sih?” Aku bergumam sambil menghentak-hentakkan kaki karena kesal.
Tok ... tok ... tok ...
Pintu kamarnya diketok oleh seseorang. Siapa lagi kalo bukan bunda.
Ceklek!
Pintu kamarku terbuka dari luar dan terlihat bunda tengah menatapku.
“Mereka sudah datang. Dandan yang cantik, ya.”
Bunda meninggalkanku. Hanya mengatakan itu saja. Dengan malas, dia berjalan menuju lemari untuk mengambil jilbab instan hitam lalu memoleskan lipgloss di bibirku. Itu saja. Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar.
“Assyifa.”
Aku menoleh ke arah mereka yang sedang berkumpul di ruang televisi. Aku berjalan menghampiri Tante Rena dan Om Syarief untuk menyalami tangan mereka satu per satu.
“Assyifa, tadi saya tak segaja mampir ke konter dan membelikan kamu.”
Pak Kevin memberikan kresek putih yang terdapat logo ponsel dan pasti di dalamnya adalah sebuah ponsel baru.
“Gak usah. Saya gak perlu. Lagi pula ponsel tulalit masih ada kok.” Aku menolak mentah-mentah pemberiannya.
“Bilang terima kasih sama Kevin,” titah bunda sambil melirik sekilas ponsel yang ada di genggaman Pak Kevin. Itu kode bunda untukku agar aku dengan segera mengambil barang tersebut.
“Gak mau bunda,” tolakku sambil berbisik.
“Ini minumannya.”
Bibi datang menghampiri kami sambil membawa minuman yang berada di nampan.
“Makasih,” ucap Tante Rena pada Bibi lalu mengambil cangkir yang berisi minuman dan meminumnya.
Kring ... kring ... kring ...
Terdengar suara lonceng yang sangat keras dari kamarku. Membuat mereka kebingungan dari mana suara lonceng itu berasal.
“Suara apa itu?” tanya Om Syarief penasaran.
“Lonceng dari kamar Ifa, Om.”
Aku berlari ke kamar. Ada apa dengan Nana? Sampai di kamar, aku membuka jendela kamar lalu melihat Nana yang sedang menunggu kehadiranku.
“Ada apa Na?” tanyaku padanya.
“Rumah kamu sedang ada tamu, ya?” tanya Nana. Aku menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
“Pak Kevin.”
Ucapanku membuat dia membuka mulutnya lebar karena terkejut bukan main.
“Kok bisa? Aku penasaran. Aku ke sana ya,” pinta Nana.
“Gak perlu,” jawaku dengan cepat.
“Cie, gak mau diganggu, ya?” godanya. Tapi, aku hanya diam dan tak menanggapi godaan sahabatku tersebut.
arena jika aku malah merespon godaannya, membuat dia semakin menggodaku untuk kedepannya tanpa melihat area.
"Ini minumannya," ucap Bibi membawa membawa nampan yang berisi minuman dan sedikit cemilan."Makasih Bi," ucap Tante Rena pada Bibi, lalu mereka mengambil cangkir tersebut dan meminumnya.Kring ... kring ... kring ....Lonceng dari dalam kamarku berbunyi. Mungkin saja Nana membutuhkan sesuatu atau saja dia ingin menanyakan sesuatu padaku.'Aku lupa menutup pintu kamar," batinku."Itu suara apa?" tanya Om Syarief padaku."Itu bunyi lonceng di kamar Ifa, Om," ucapku dengan segera berlari ke atas, di mana kamarku terletak.Sampai di kamar, aku menyibak tirai kamar dan membuka jendela."Ada apa, Na?" tanyaku pada Nana."Rumah kamu kedatangan tamu, ya?" tanya Nana. Aku hanya mengganggukkan kepala sebagai jawaban karena memang benar saat ini rumahku sesang ramai oleh tamu."Pak Kevin," ucapku yang membuat Nana membuka mulutnya lebar-lebar."Kok bisa? Aku penasaran. Aku ke sana, ya?" tanyanya histeris. Pasalnya Pa
"Suka gak sama ponselnya?" tanya Pak Kevin dari sebrang sana."B aja," jawabku. Padahal ini pertama kalinya dibelikan ponsel mahal sama orang lain."Kamu gunain memorinya dengan baik. Jangan sampai ada foto atau video aneh. Awas," ancamnya padaku."Ya ampun, siapa juga mau simpan foto sama video aneh. Paling juga drakor atau foto Jimin," ujarku."Jimin? Siapa dia?" tanyanya heran. Ingin sekali Aku tertawa tapi, kutahan."Kekasih gelapku. Bye," ucapku lalu mematikan panggilan secara sepihak.Aku menyetel alarm jam 05.00 WIB dan tidur.****Beep ... beep ... beep ....Aku bangun mendengar bunyi ponsel."Punya siapa nih?" tanyaku heran."Oh iya, kan kemaren Pak Kevin ngasih ini ke aku," sambung dan beranjak dari tempat tidur dan men-charger ponsel tersebut. Lalu masuk ke dalam kamar mandi.Setelah selesai, Aku segera mengambil anak jilbab hitam beserta jilbab putih lalu memasang di kepalaku."Selesai," seruku
"Cepat banget," ucap Nana padaku. Aku hanya menggelengkan kepala tanda tak tahu."Ayo kita pulang," ujarnya menarik tanganku dan kami pulang bersama. Berjalan kaki bersama sambil berolahraga santai.***Di perjalanan pulang, aku selalu memikirkan bagaimana aku nanti setelah menikah dengan orang yang tak kukenal sama sekali. Apalagi orang itu membuatku muak, hatiku kesal dan pikiranku berkecamuk melihat tingkahnya yang menurutku bukanlah seorang pria elegan."Mikiran apa sih, Assyifa?" tanya Nana sambil menepuk pelan pundakku tepat di sebelah kanan."Na, gimana ya kehidupan aku setelah menikah? Aku belum siap," ucapku sedih dan menundukkan kepala melihat jalanan aspal yang kami lalui."Kamu kenapa pikirkan soal itu? Yang penting kamu nurut aja. Ini perintah orangtua kamu," ujar Nana menyemangatiku."Udah jangan sedih lagi, ya. Rumah kita udah dekat tuh," ucap Nana sambil menunjuk rumahnya."Kalau ada apa-apa, kamu cukup bunyikan lonceng
Beep ... beep ... beep ...Ponselku bergetar dengan kuat di atas ranjang milikku. Aku mengambil ponsel yang ada di samping tubuhku lalu mematikan alarm yang selalu aku setel."Hoam." Aku menguap sambil merenggangkan otot tangan dan leherku sehingga menghasilkan bunyi di sana."Udah Senin aja," ujarku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi untuk bersiap-siap sholat subuh dan berangkat sekolah.Setelah selesai, aku melihat daftar mata pelajaran yang akan dibawa untuk hari ini."Selesai," seruku lalu menyandang tas dan keluar dari kamar menuju ke meja makan untuk sarapan.***"Makan dulu cantik," ujar bunda melihatku yang sudah duduk di kursi dengan pakaian seragam sekolah, menenteng tas ranselku."Siap Ibu Negara," ucapku memberi hormat layaknya anak paskibraka pada bunda.Bunda mengambil piring yang ada dihadapanku dan menuangkan nasi goreng ke piringku."Terima kasih Bunda," ucapku mengambil piring yang be
Aku memasukkan benda pipih itu ke dalam saku bajuku dan berjalan santai ke depan pagarnya."Maaf Fa," ucap Nana sambil membuka pintu rumahnya.Nana berlari keluar dan menggandeng tanganku.***Tak terasa kami memasuki pekarangan sekolah dan aku melihat Elvi dan Mey sedang duduk di bangku panjang depan kelas."Hai," sahutku sambil melambaikan tangan ke arah mereka.Elvi dan Mey membalas lambaian tanganku sambil tersenyum ke arah kami."Aku masukin tas ke kelas dulu ya," ujarku pada mereka dan menarik tangan Nana."Yuk, duduk di depan," ajakku pada Nana."Ayo," ujar Nana menarik tanganku untuk duduk di bangku di mana Elvi dan Mey duduk."Udah lama, ya?" tanya Nana membuka percakapan seraya melihat ke arah Elvi dan Mey."Gak kok," ujar Elvi."Selamat Fa," ujar Elvi padaku.Aku menatap heran sambil mencerna ucapan Elvi yang membuatku bingung."Nana bilang kalau sebentar lagi kamu bakalan dinikahkan sama
[Fa, nanti malam temani aku ke indomaret ya beli skincare.]Nana mengirim pesan di ponselku.[Iya, tapi kok harus pake pesan segala sih?] balasku cepat. Biasanya Nana akan langsung datang ke rumahku tanpa sepengetahuanku dan tiba-tiba saja ia sudah berada di dalam kamarku.Ting!Ponselku kembali berdering menanndakan pesan masuk.[Aku lagi di rumah Paman.]Aku tak membalas pesan Nana."Langsung pake gamis lah. Nanti gak susah-susah gantinya," ucapku sambil berjalan ke lemari dan mengambil gamis motif bunga.Setelah selesai memakai gamis, aku turun ke bawah menuju dapur untuk membuat coklat panas.***Sesampainya di dapur, aku langsung menyiapkan cangkir dan mengambil 1 sachet coklat bubur yang sudah tersedia di samping kulkas."Mau ke mana, Non?" tanya Bibi yang sedang mencuci tangannya di wastafel.Aku menyobekkan bungkus coklat bubuk itu."Nanti mau ke Indomaret, Bi. N
Aku dan Nana sampai di pekarangan sekolah. Tapi saat jalan menuju kelas, Nana melihat Pak Kevin sedang berbincang-bincang bersama guru magang di parkiran samping kelasku."Guru magang itu ganjen banget sih sama suami Kamu," ujar Nana melihat Pak Kevin yang sedang berbincang bersama guru cantik itu.Kuakui dia cantik. Dari segi fisik dan bentuk badan."Emang dia cantik," sahutku pada Nana.Aku berjalan memasuki kelas."Gak bisa gitu dong, Fa. 2 hari lagi dia bakal jadi milik kamu," ucap Nana menyusulku dan semua yang ada di kelas heran mendengar ucapan Nana."2 hari lagi? Emang Assyifa kenapa dengan 2 hari lagi?" tanya Tania."Dia sedang bercanda," jawabku cepat sambil duduk di kursi."Aku kira gak ada orang," bisik Nana sambil meletakkan tasnya di atas meja dan menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi.Bel masuk berbunyi, kami mengikuti pelajaran Pak Edward guru bahasa Inggris sampai bel istirahat berbunyi.****Pak Edward
7 menit kemudian, aku menghabiskan bakso dan menyeruput es teh manis hingga tak tersisa. Huh, benar-benar kenyang dan membuat hatiku senang.Aku mengusap perutku yang terasa sesak."Alhamdulillah," ucapku."Cepat habiskan. 6 menit lagi bel masuk berbunyi," ujar Elvi mengingatkan kami."Bentar," ucap Mey seraya menghabiskan es teh manisnya."Siniin uang kalian, biar aku yang bayar," ucapku mengadahkan tangan kepada mereka. Karena kantin saat ini benar-benar ramai oleh siswa dan ada juga beberapa guru yang makan di sini. Tumben.Mey, Nana dan Elvi memberikan uangnya masing-masing 10 ribu dan aku berjalan menuju ke belakang."Bu, ini punya kami," ujarku menyerahkan uang 40 ribu pada beliau."Terima kasih," ucap Bu Ita menerimanya.Aku tersenyum dan melangkahkan kaki menyusul rombonganku."Yuk," ajak Nana."Bentar," ujarku seraya menyeduh es teh manis punya Nana hingga