"Ini minumannya," ucap Bibi membawa membawa nampan yang berisi minuman dan sedikit cemilan.
"Makasih Bi," ucap Tante Rena pada Bibi, lalu mereka mengambil cangkir tersebut dan meminumnya.
Kring ... kring ... kring ....
Lonceng dari dalam kamarku berbunyi. Mungkin saja Nana membutuhkan sesuatu atau saja dia ingin menanyakan sesuatu padaku.
'Aku lupa menutup pintu kamar," batinku.
"Itu suara apa?" tanya Om Syarief padaku.
"Itu bunyi lonceng di kamar Ifa, Om," ucapku dengan segera berlari ke atas, di mana kamarku terletak.
Sampai di kamar, aku menyibak tirai kamar dan membuka jendela.
"Ada apa, Na?" tanyaku pada Nana.
"Rumah kamu kedatangan tamu, ya?" tanya Nana. Aku hanya mengganggukkan kepala sebagai jawaban karena memang benar saat ini rumahku sesang ramai oleh tamu.
"Pak Kevin," ucapku yang membuat Nana membuka mulutnya lebar-lebar.
"Kok bisa? Aku penasaran. Aku ke sana, ya?" tanyanya histeris. Pasalnya Pak Kevin adalah guru yang sangat familiar di sekolahku karena ketampanannya.
"Gak perlu," jawabku cepat.
"Cie," goda Nana padaku.
"Temanin aku pergi ke konter yuk," tawarku padanya.
"Bukannya kamu udah punya ponsel, ya?" tanya Nana heran.
"Iya. Tapi, tadi pagi Pak Kevin nelfon aku. Gak tau dapat nomor darimana. Yaudah, aku banting ponselnya," tuturku membuat Nana tepok jidatnya sendiri.
"Ya udah, aku siap-siap ya," ucapnya langsung menutup jendela.
Aku mengambil celengan ayam di dalam lemari.
'Aku harus mengorbankanmu, kesayanganku. Makasih ya, selama ini kamu sudah mau menyimpan uang-uangku.' batinku melihat celengan berganbar ayam itu.
"Bismillah," ucapku dan menjatuhkan celengan di lantai.
Prang!
Aku memunguti dan menghitung uang yang berserakan itu bersamaan dengan serpihan-serpihan celenganku.
Semuanya berjumlah 3.650.000 rupiah.
"Cukup," ucapku sambil menyambar jaket hitam bertopi dan memakainya di tubuhku serta masker hitam yang kuikat di belakang jilbab.
"Let's go," seruku menyimpan uang di saku jaket dan keluar dari kamar.
Ceklek.
Pintu kamar kututup dan berjalan ke bawah.
"Ifa mau keluar sebentar dulu ya," pamitku.
"Mau ke mana kamu keluar malam-malam?" tanya Ayah membuat langkahku berhenti.
"Assyifa keluar sama Nana kok, Yah. Assalamualaikum." Aku berucap cepat takut Ayah melarangku. Aku berlari sampai pagar rumah dan aku melihat Nana sudah berdiri di depan pagar rumahnya.
"Yuk," ucapku menarik topi jaket ke kepalaku.
Konter ponsel tak jauh dari rumah hanya 15 dengan jalan kaki dan sampai ditujuan.
Saat diperjalan kami melihat ada penjual kebab.
"Beli yuk," tawar Nana padaku.
"Bang, kebabnya 2 ya," ucap Nana memesan pada penjual kebab tersebut.
"Oke, tunggu sebentar," ujarnya pada kami.
Kurang dari 3 menit kebab yang kami pesan pun sudah disuguhkan.
"Nih Neng."
Penjual kebab memberi kebabnya pada kami dan mengambilnya.
"Aku aja yang bayarin." Tahan Nana padaku dan memberikan uang itu pada penjual kebab.
"Makasih Nana udah ditarktirin kebabnya," ucapku seraya memeluknya.
"Sama-sama, yuk lanjut,"
Kami melanjut jalan kaki menuju konter ponsel sambil memakan kebab itu.
***
Akhirnya kami sampai di konter ponsel dan duduk di kursi yang telah disediakan."Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya Kakak pegawai pada kami.
"Merek ponsel yang 2 jutaan boleh saya lihat, Kak?" tanyaku sopan.
"Boleh," jawabnya lalu pergi meninggalkan kami. Sembari menunggu, aku dan Nana melihat berbagai merek ponsel yang berada di depan kami. Tepatnya di dalam lemari kaca, berbagai harga. Mulai dari 1 juta hingga 7 juta tersedia di dalam lemari kaca ini.
Brum ... brum ... brum ...
Aku yang melihat mobil Lamborghini merah berhenti tepat di depan konter ponsel yang kami kunjungi.
Keluarlah pemilik mobil itu adalah Pak Kevin.
Nana yang melihat itu langsung melotot.
"Aduh, kok Pak Kevin ke sini ya, Fa?" tanya Nana padaku.
Aku tak bergeming.
'Mati Gue.'
Aku memejamkan mataku berharap ada seseorang yang menarik tanganku untuk segera pergi dari sini agar tak ketahuan oleh Pak Kevin, tapi aku juga ingin terbangun dari mimpi buruk. Jika ini mimpi.
Tapi, mana mungkin. Aku dengan sadarnya tadi memecahkan celengan ayamku.
"Fa, dia jalan ke sini," ucap Nana yang membuat jantungku berdegup kencang.
'Gawat.'
"Kamu ngapain di sini?" tanya Pak Kevin tepat di belakangku.
Semua pengunjung melihat ke arah kami.
"Beli ponsel lah. Pake nanya lagi," ucapku sinis tanpa melihat ke arahnya.
"Ini Mbak ponselnya," ucap Kakak itu dengan membawa berbagai macam merek ponsel.
Mataku langsung berbinar melihat ponsel yang ia bawa.
"Na, mana yang bagus?" tanyaku pada Nana.
"Tadi saya sudah kasih kamu ponsel, Assyifa." Pak Kevin berucap geram padaku. Tapi tak kuindahkan. Aku tetap pada keinginanku.
"Simpan kembali ya Mbak," ucap Pak Kevin menarik tanganku keluar dari konter.
Aku melepaskan pergelangan tanganku dari genggamannya.
"Lo ngapain ke sini? Ngikutin gue?" tanyaku padanya.
Dia tak menjawab pertanyaanku.
"Nana, kita pulang," ucapku meninggalkan Pak Kevin.
"Masuk ke mobil atau saya telfon Ayahmu sekarang!" ancamnya membuat langkahku terhenti.
Aku mengembuskan napas sejenak. Terpaksa aku dan Nana masuk ke dalam mobilnya dan duduk di belakang pengemudi.
Mobil pun berjalan ke arah rumahku.
"Teman kamu rumahnya di mana?" tanya Pak Kevin padaku.
"Di samping rumahku," jawabku cepat.
***
Kami pun sampai di depan rumahku.
"Terima kasih Pak Kevin udah antar kami pulang," ucap Nana dengan sopan. Mungkin saja sahabatku ini tengah mengambil hati padanya.
"Iya sama-sama," jawabnya dengan tersenyum.
"Aku pulang ya, Fa?" ucap Nana pamit padaku.
"Iya, hati-hati," ucapku dan Nana pulang ke rumahnya.
***
Pak Kevin terus memandang ke arahku. Tak kupedulikan, aku masuk ke dalam rumah diikutinya dari belakang.
"Assalamualaikum," ucapku sembari masuk ke dalam rumah.
"Waalaikum salam, kamu ke mana aja, sih?" tanya Bunda padaku.
"Aku-"
"Ke konter ponsel, Tan," potong Pak Kevin dari belakang.
Aku menatapnya muak seraya memicingkan mata lalu menyebikkan bibir.
"Bukannya kamu udah ada ponsel, Fa?" tanya Ayah heran.
'Mampus.' Aku hampir kehilangan kata-kata. Tapi, lebih baik jika jujur saja, pikirku.
"Ponselnya Ifa banting, Yah" ucapku menundukkan kepala.
"Kenapa?" tanya Tante Rena.
"Dia, pagi-pagi udah nelfon Ifa. Makanya Ifa banting ponselnya," ucapku menunjuk Pak Kevin. Tapi, gelagat pria tua itu hanya biasa saja.
"Kamu ambil aja pemberian Kevin ya," tutur Ayah padaku.
"Gak, Ifa mau beli pake uang Ifa aja," ucapku menolak mentah-mentah pemberiannya.
"Kamu tinggal ambil aja, gak usah gengsi-gensian sama saya," ujar Pak Kevin seraya mengambil kotak persegi panjang itu dan menyerahkannya padaku.
"Ambil Ifa atau Ayah gak kasih kamu uang jajan selama 1 tahun," ancaman Ayah membuatku terkejut mendengarnya.
'1 tahun gak di kasih uang jajan? Aku mau nabung pake apa? Pake daun?' batinku.
"Yaudah deh, Ifa ambil. Ini terpaksa ya," ucapku mengambil kotak persegi panjang dari tangan Pak Kevin.
"Di dalamnya sudah saya beri kartunya. Tinggal kamu aktifkan aja," ujar Pak Kevin padaku.
"Makasih," ucapku malas.
"Ifa ke kamar dulu ya, ngerjain tugas sekolah," pamitku berjalan ke kamar. Agar aku segera terhindar dari tatapan Pak Kevin, benar-benar merisihkan.
***
Ceklek.
Sesampainya di dalam kamar, aku segera menutup pintu kamar dan melihat ponsel pemberian Pak Kevin.
"Wah bangus banget. Iphone S8," ujarku kaget.
Lalu aku melihat harganya yang tertera di belakang kotak ponsel tersebut yang bernilai 7.500.000 rupiah.
"Mahal banget. Nabung 5 tahun baru bisa dapat 7 juta," gumamku sambil melihat benda tersebut.
Karena ini pertama kalinya aku pake ponsel bermerek Apple ini. Sebelumnya aku pake Samsung Galaxy J5. Tapi, sudah kupecahkan.
Aku buka cashing ponsel dan melihat berapa kapasitas memory.
"What? 256 GB," ujar terkejut.
"Bisa d******d drakor sepuasnya, deh. Gak perlu salin ke laptop," ucapku senang.
Lalu menutup cashing ponsel tersebut, mengaktifkan ponsel itu. Sembari menunggu, aku lalu berjalan menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci wajahku sebelum tidur.
Setelah selesai, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang.
Beep ... beep ... beep ...
Suara ponsel berbunyi tanda panggilan masuk.
[Suamiku is calling]
"Gila, rupanya dia udah nge-save duluan di hape ini," ucapku lalu menggeser tombol hijau.
"Apaan, sih? Telfon orang malam-malam. Gak sopan!" teriakku di depan layar pipih itu.
"Kamu yang gak sopan ke saya. Bukannya jawab salam malah teriak-teriak," ucapnya dari sebrang sana.
"Mau apa?" tanyaku mulai kesal. Pasalnya karena aku sudah menerima barang pemberiannya, dia menjadi semena-mena padaku. Itulah yang kupikirkan.
Ketika komputer menyala, aku segera me-refresh lalu berselancar ke aplikasi UC Browser untuk mencari materi tentang proposal yang dipegang oleh Bu Nurhalimah. Aku meng-copy tulisan tersebut lalu memindahkan ke microsoft word. "Di jadiin P*F gimana?" Aku menggaruk kepala tak gatal. "Kak!" teriakku karena dia tidak menjawab pertanyaan dariku yang membuatku sedikit emosi. "Sudah?" tanya Kak Kevin yang terdengar sampai ke dalam ruangan. "Caranya menjadikan file P*F gimana, sih?" tanyaku bingung. Aku beranjak dari kursi untuk menghampiri Kak Kevin. "Sudah selesai?" tanya Kak Kevin menatapku sekilas lalu fokus pada laptopnya. Aku hanya diam sambil berjalan menuju nakas di samping ranjang untuk mengambil ponselku lalu kembali ke ruang kerjanya. "D******d aja aplikasinya," ujarku seraya menjatuhkan kembali tubuhku di kursi empuk. Aku menyambungkan nomor WhatsAppku ke komputer agar filenya mudah di kirim tanpa me
"Baru saja Pak Kevin mengirim pesan pada saya jika ia tak bisa masuk hari ini. Di karenakan ada keperluan lain," jelas Bu Adelia seraya menatapku sekilas.Sementara diriku hanya menetapnya biasa saja dengan memangku dagu pada kedua telapak tanganku yang terangkat ke atas."Ya sudah, mari kita mulai pelajaran pagi ini," sambung Bu Adelia pada kami. Kami mengikuti pelajarannya sampai bel istirahat berbunyi.Teng ... teng ... teng ... bel istirahat berbunyi."Sampai di sini dulu pertemuan kita. Assalamualaikum," ujar Bu Adelia melangkahkan kaki keluar kelas."Yuk, kita ke kantin," ajak Nana padaku."Ah, gak Na. Kalian saja," tolakku sambil meletakkan kepala di atas meja."Ya sudah," ucap Nana seraya pergi meninggalkanku di kelas sendirian.Aku mengeluarkan ponsel yang berada di dalam tas. Terlihat ada pesan masuk di sana.Aku menggeser layar lalu mengetik passwordnya dan membuka pesan masuk.[Semangat untuk pag
Di kamar, aku duduk di meja belajar sambil mengunyah tanpa henti."Dulu dia bilang gak bakalan ulang lagi, janji," ujarku menahan emosi.Aku melihat tak ada tanda-tanda Kak Kevin menyusulku ke kamar untuk meminta maaf.Aku menghela napas kasar berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tanganku.Selesai membersihkan tangan, aku melihat Kak Kevin yang sedang duduk di atas ranjang sambil memainkan ponselnya."Aish," umpatku berjalan menuju meja belajar sambil mengunyah kacang polong dan memainkan ponselku."Nanti malam jadi 'kan beli martabaknya?" tanya Kak Kevin membuatku muak mendengarnya."Gak perlu, gue bisa pergi sendiri. Urus aja Bu Adelia yang cantik itu," jawabku sinis.Aku beranjak dari kursi menuju lemari untuk mengambil jaket dan juga mengenakan jilbab."Mau kevmana?" tanya Kak Kevin padaku."Kepo banget sih," ucapku meninggalkannya yang ada di kamar.
"Yuk, kita ke kantin," ajakku pada Nana, Elvi dan Mey."Kajja," ucap Mey menggandeng tanganku."Bisa bahasa Korea juga?" tanya Nana pada Mey."Kemaren aku cari member BTS dan aku jatuh cinta sama Jungkook," jawab Mey membuat kami tertawa mendengarnya."Ayolah," ujar Elvi dan kami melangkahkan kaki keluar kelas menuju kantin."Aku malas makan bakso, nih. Kita beli roti aja yuk," tutur Nana pada kami."Okelah."Aku, Nana, Mey dan Elvi masuk ke dalam kantin lalu mengambil makanan serta minuman yang diinginkan dan membayarnya."Ayo, kita ke kelas," ajakku pada mereka. Kami melangkahkan kaki menuju kelas.***Kami masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi masing-masing."Ah, hari ini panas banget," keluh Elvi saat kami masuk ke dalam kelas."Iya. Sampai aku keringetan," ujar Mey seraya mengelap keningnya."Kalian beli minuman dingin 'kan?" tanyaku dan mereka menganggukkan kepala sambil mengeluarkan m
PoV AuthorPagi ini, kelas Assyifa belajar matematika yang digurui oleh Kevin. Kevin yang membuat soal di papan tulis lalu dijawab oleh siswanya dengan semangat. Bagaimana tidak, penampilannya hari ini sangat memukau bahkan Juwita, Nana, Tania dan teman perempuannya sangat terkagum-kagum melihat Kevin dengan sangat charming itu. Kemeja hitam yang dipakainya hari ini tak seperti guru lainnya yang memakai seragam. Tapi, mereka bertingkah biasa-biasa saja. Poni Kevin yang begitu tampan dan postur tubuhnya yang proposional. Siapa yang tidak terpukau?"Siapa yang bisa menyelesaikan soal ini?" tanya Kevin pada mereka.Tania menganggkat tangannya."Silahkan," ujar Kevin meletakkan spidol di atas meja lalu Tania meraih spidolnya dan menulis jawaban di papan tulis."Bagus," ucap Kevin seraya mengambil spidol dari Tania.Tania berjalan duduk di kursinya."Ada yang bisa lagi?" tanya Pak Kevin lagi."Saya, Pak," ujar Nana mengangkat
"Ayo pulang," ajakku pada Nana.Nana menganggukkan kepalanya seraya meraih tanganku dan kami berjalan pulang ke rumah.Saat di perjalanan, aku masih memikirkan apa yang dibicarakan Pak Kevin dengan Bu Adelia pagi tadi di parkiran. Aku sangat pernasaran sampai mereka saling bersitatap. Di mata Bu Adelia, dia melihat Pak Kevin dengan mengaguminya. Terlihat dari pupil matanya yang membesar menatap Pak Kevinku. Eh, Pak Kevinku? Belum Assyifa. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu, ih."Jangan dipikirkan lagi. Nanti kamu 'kan bisa tanyain langsung ke Pak Kevin," sahut Nana yang seakan tau dengan pikirankanku."Gak mikirin itu," elakku pada Nana.Nana sangat tahu apa yang ada di kepalaku dan hatiku karena kami juga sudah lama bersahabat dan juga Nana sering tidur bersama di rumahku dan aku juga begitu pada Nana. Sering makan siang dan makan malam di rumahnya."Terserah kamu," ujar Nana yang tak mau berdebat denganku.