Arsy melenggang dengan sangat percaya diri saat turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Seharusnya hari ini dia sudah berangkat hanya dengan supir pribadinya bukan? Kemarin dia sudah sepakat dengan ayahnya kalau Evan hanya bertugas satu hari saja. Lagian, andai ayahnya tau betapa tidak profesionalnya Evan kemarin, sudah pasti ayahnya menyesal mempekerjakan pria itu.
Namun baru saja dia menapakkan kakinya di anak tangga terakhir, sayup-sayup dia mendengar suara yang begitu mirip dengan suara laki-laki yang barusan ada si pikirannya. Si Evan itu. Tepatnya dari ruang makan, dimana dia juga mendengar suara ayah, ibu dan juga abangnya, Arsen.
Dia tidak salah dengar 'kan?
"Eh, Sy?" Ibunya, Sarah, sepertinya tidak sengaja melihat dia yang tadinya berniat ingin kabur.
"Kamu udah beres? Sini?" Wanita itu memanggil.
Benar saja, Arsy langsung mendapati pria yang dia harapkan tidak akan pernah dia temui lagi, sedang ada di sana. Duduk persis di sebelah abangnya, Arsen. Sepertinya baru saja pria itu tertawa tentang obrolan dia dan Arsen, tapi mendadak diam setelah melihat Arsy. Heh, dia bahkan ikut sarapan?
Tatapan tidak suka yang dilayangkan Arsy membuat Demian, Sarah dan Arsen langsung mengerti apa yang ada di pikiran gadis itu.
"Sy, sini makan dulu, biar papa jelasin ..." Demian mengajak dengan lembut. Tatapan teduhnya seperti memberikan sebuah janji pada Arsy, putri kecilnya.
Mau tidak mau, Arsy menghampiri empat orang tersebut dan duduk di sebelah ibunya. Persis di depan Evan, sialnya.
"Sy, kemarin Evan sudah meminta maaf atas kejadian yang menimpa kamu. Dia bilang masih belum terbiasa fokus, masih suka ke-distract. Mulai hari ini dia nggak akan ninggalin kamu lagi kayak kemarin."
Darah Arsy langsung mendidih. Mulai hari ini? Apa artinya? Evan masih tetap jadi bodyguard-nya, begitu? Whyyyy?? Kenapa dia tidak jadi mengundurkan diri??
"Kenapa, Pa? Kan kemarin katanya cuma buat satu hari?" Arsy bertanya tanpa basa-basi.
"Sy ... Mas Evan sudah melihat kamu seharian kemarin. Dia cerita kalau kamu diganggu anak laki-laki. Yang seperti itu yang kami khawatirkan. Sudah ya? Terima aja kalau Mas Evan nemanin kamu dulu sampai kamu selesai program magisternya." Kali ini Arsen yang memberi pengertian kepada adiknya. Dia sangat yakin Evan adalah pribadi yang baik. Pria dewasa itu intelektualnya saja bagus, tidak mungkin dia akan jahat kepada perempuan.
Arsy tidak jadi menyendok nasi ke atas piringnya. Mood-nya sudah rusak, padahal dia sudah berusaha membangun mood baik dan bersemangat karena hari ini dia ada ujian. Tapi kenapa harus rusak lagi karena hal yang sama seperti kemarin?
"Ya sudah. Aku nggak makan. Aku ada ujian. Ayo."
JLEB!
"Arsy!" Demian paling tidak setuju jika anak-anaknya bersikap tidak sopan terhadap orang lain.
"Aku akan telat, Pa. Permisi." Namun kali ini gadis itu tidak peduli ayahnya akan marah. Di sini dia yang berhak demikian. Ayahnya sudah mengingkari janji. Harusnya dia bisa menuntut.
Evan meneguk minumannya dengan buru-buru. Untung saja tadi dia tidak sedang mengunyah makanan, kalau tidak bisa tersedak dia.
"Pak, Bu, Mas, terima kasih sarapannya. Saya antar Nona Arsy dulu. Permisi." Dia pun keluar setelah menyambar kunci mobil di gantungan kunci. Mengejar Arsy yang sudah sampai di halaman rumah, lebih tepatnya di samping mobil yang akan mereka pakai.
Evan membuka pintu belakang dengan hati-hati dan mempersilakan Arsy masuk. Setelahnya dia kembali memutar mobil dan masuk melalui pintu kemudi.
"Kita berangkat, Nona," ucapnya memberi tahu. Namun tentu saja tidak akan ada jawaban dari kursi belakang. Evan sudah bisa menebak.
Evan menyetir dalam hening. Suara kendaraan yang lalu lalang di luar mereka bahkan sampai terdengar meskipun jendela dalam keadaan tertutup sempurna. Sanking heningnya mereka berdua.
Sesungguhnya Arsy ingin sekali bertanya kenapa Evan menarik keputusannya. Kenapa Evan malah bersedia menjadi babu di keluarganya sementara kemarin siang pria itu jelas-jelas bilang sangat membenci orang kaya. Apa yang dia pikirkan sehingga mau berubah pikiran? Apakah Demian, papanya, sudah menaikkan gajinya?
"Apakah papa menaikkan gaji kamu makanya tetap mau jadi bodyguard saya?" Arsy tidak kuasa untuk tidak bertanya. Pikiran itu sungguh mengganggunya. Mungkin jika benar uang adalah alasannya, Arsy bisa menyuruh Evan berhenti dengan mengorbankan uang tabungannya.
"Tidak, Nona."
"Terus? Kenapa kamu nggak jadi out? Kemarin bukannya kamu ejek-ejek keluarga saya?"
Tatapan kedua orang itu tanpa sengaja bertemu di kaca spion depan.
"Maafkan saya, Nona. Tapi mulai hari ini, menjadi bodyguard anda adalah pekerjaan tetap saya."
Arsy mengurut pelipisnya. Dia tidak suka. Harus bagaimana lagi mengatakannya supaya orang-orang dewasa itu mengerti?
"Kalian memang ..." desahnya pelan.
"Maafkan saya, Nona. Tapi percayalah, keputusan Bapak dan Ibu pasti yang terbaik."
Arsy tidak mau menjawab. Dan percakapan itu pun berhenti di situ saja. Gadis itu sudah membuang napas kasar yang berarti 'ya sudah lah, mau bagaimana lagi'.
Beberapa menit kemudian, Evan melirik ke kaca spion lagi. Dilihatnya Arsy sudah memegang buku bacaannya dan membaca dengan serius.
*****
"Loh? Masih tetap jadi bodyguard kamu, Sy?" Tere yang sedang berada di pelataran gedung jurusan, kebetulan melihat Arsy turun dari mobil setelah Evan membukakan pintu. Gadis itu langsung menghampiri Arsy dan menanyakan status Evan.
"Kayak yang kamu lihat aja, Ter ..." jawab Arsy malas. Langkahnya masuk ke dalam gedung jurusan, tanpa memedulikan Evan mengekorinya atau tidak.
"Kemarin kamu sama dia gimana di mobi? Jadi berantem? Dia sampai gendong kamu gitu."
"Ck, malas bahas itu lagi, Ter. Mood aku udah jelek gara-gara dia dan orang rumah. Padahal mau ujian."
Tere menghela napas. Sepertinya sahabatnya itu memang sedang sangat kesal. Wajahnya tidak pernah seperti ini. Wajah cantiknya seperti hilang ditelan kemendungan yang dia ciptakan sendiri.
Beberapa saat lamanya mereka berdua mengurus keperluan di jurusan. Tempat itu terlihat sudah ramai oleh anak sarjana dari semua tingkat. Terkadang di keramaian seperti ini, orang-orang seringkali mengira Arsy adalah anak tingkat satu atau dua. Pasalnya tubuh dan wajahnya begitu mungil, membuat banyak orang salah paham.
Cuma sebentar, urusan mereka pun selesai. Sekarang mereka berjalan menuju gedung belajar. Dengan ekor matanya, Arsy bisa melihat Evan ikut bangkit dari kursi tempatnya menunggu. Gadis itu membiarkannya saja.
"Dia juga akan masuk kelas kali ini?" tanya Tere berbisik.
"Terserah dia aja, Ter. Aku nggak urus."
Benar saja, Arsy mengabaikan Evan yang lagi-lagi duduk di belakangnya saat sudah masuk ruangan kelas. Sebenarnya gadis itu ingin menyuruh Evan duduk di baris paling belakang saja supaya tidak mengganggu ketentraman kelas. Tapi dia terlalu malas berbicara sekarang, terutama pada pria itu sendiri.
Si Bagas lagi-lagi menggodanya seperti kemarin. Mungkin mulut lemesnya itu sudah gatal ingin menyebarkan gosip bahwa Evan adalah kekasih Arsy. Namun Arsy selalu mencubit lengannya tiap kali pria itu mulai berkata halu. Tentu saja cubitan Arsy sangat sakit. Bagas sampai menjerit karena efek panas yang dihasilkan.
Dosen pengajar masuk sesaat kemudian. Menebar pandang ke seisi kelas dan tiba-tiba matanya berhenti pada sosok yang ada di belakang Arsy. Lagi-lagi, semua mahasiswa menebak, dosen itu pasti terkejut dengan kehadiran Evan di ruangan itu, termasuk Arsy.
"Evan kan??"
Arsy memutar bola matanya. Sekarang apa lagi coba? Batin gadis itu. Dia bersumpah, setelah ini tidak akan mengijinkan Evan ikut masuk ke dalam kelas. Sungguh buang-buang waktu, right?
"Halo, Pak Gus." Evan menjawab dengan sangat sopan. Dia bukan tidak tau kalau hal ini akan terjadi. Mungkin kalau bukan karena Demian menyuruhnya sampai ikut masuk ke dalam kelas, Evan sebenarnya sangat canggung jika harus bertemu mantan dosennya terus. Iya, sebenarnya Evan punya almamater yang sama dengan Arsy.
"Loh, kamu kuliah lagi, Van?" Yang dipanggil 'Pak Gus' itu seperti sangat tertarik untuk menghampiri Evan di kursinya. Membuat seisi kelas berbisik-bisik.
"Ehm, enggak, Pak. Lagi kerja aja, Pak."
Pak Gus tentu tidak mengerti. Namun mendadak otaknya mengingat sesuatu. Kabar yang kemarin dibahas di meeting dosen kemarin.
"Ohhhh, kamu yang ditugaskan Pak Demian buat jaga Arsy ya?"
HAH??!!!
Arsy tersentak kaget. Bagaimana mungkin??
"Iya, Pak, betul." Evan menjawab lugas.
"Kemarin pas rapat dosen, rektor kasih tau ke kita. Jadi ..." Pak Gus mundur sedikit supaya bisa sejajar dengan Arsy. "Papanya Arsy ini sudah tidak bisa menoleransi gangguan-gangguan yang sering dialami Arsy baik di kampus maupun di luar kampus. Jadi, Evan ini ditugaskan untuk menjaga Arsy selama berada di luar rumah."
Pak Gus mengucapkan kalimatnya begitu lembut dan hati-hati, namun nyatanya Arsy justru merasa sedang dipermalukan dengan penjelasan tersebut. Ternyata seluruh dosen juga diberitahu tentang ini. Sepenting itu kah sampai papanya harus berlebihan seperti ini? Memangnya kampus ini milik keluarga mereka sampai harus mengumbar semuanya?
Setelah ini entah apa yang akan teman-temannya katakan. Anak manja? Anak orang kaya? Atau anak orang kaya yang lebay? Wajah Arsy memerah karena sebuah rasa yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Apa lagi kalau bukan rasa malu dan amarah?
"Saya nggak tau kalau Evan yang dimaksud adalah Evan mantan mahasiswa saya dulu. By the way kalian harus tau, Evan ini dulu mahasiswa yang cukup terkenal di Fakultas Ekonomi. Kalau nggak salah dulu dia cumlaude loh."
Berganti Evan yang dibuat sedikit malu. Rasanya Pak Gus tidak perlu menceritakan tentang dirinya di sini. Karena dia 'kan bukan siapa-siapa. Yang terpenting adalah Arsy.
Eh, Arsy?! Mau kemana anak itu?
Evan baru tersadar saat Arsy tiba-tiba keluar dari kursinya dan lari dengan membawa tas di tangan. Dia bahkan tidak permisi pada pak Gus. Langkah gadis itu begitu cepat, menandakan energinya sedang dalam kondisi full.
"Maaf, Pak Gus. Saya keluar dulu." Evan pun mau tidak mau harus mengejar. Aksi mereka membuat bisik-bisik semakin menjadi seperti kerumunan lebah.
Arsy berlari membawa sakit hati yang dia rasakan. Rasanya malu sekali. Dia seperti tidak punya wajah di depan teman-teman dan dosennya.Dapat dipastikan dia sudah jadi bahan gosip sekarang. Mana ada orang yang sampai bodyguard-nya ikut masuk ke dalam kelas selain dia? Sombong! Pamer! Lebay!
"Nona Arsy!" Evan berusaha mengimbangi langkah Arsy yang lumayan cepat. Gadis itu bahkan bisa turun dari lantai tiga ke lantai satu hanya dalam waktu dua puluh detik. Benar benar, orang yang sedang marah kekuatannya bisa bertambah dua kali lipat.
Mungkin tadinya Arsy sengaja memilih tangga dengan tujuan supaya Evan tidak bisa mengejarnya. Kalau dia memilih lift, bisa-bisa dia sudah tersusul bahkan sebelum pintu lift tertutup. Namun dia salah, Evan sudah terlanjur melihatnya lari ke arah tangga darurat. Tangga yang biasa dipakai hanya untuk eksekusi dadakan.
"Arsy!!"
PLAK!!
Balasan suara keras Evan barusan adalah refleks tangan kecil Arsy yang mendarat di pipi pria itu.
"Stop permalukan aku! Bisa kah kalian sekali saja menempatkan diri di posisiku??"
******
Justru semua orang sedang memikirkan posisi anda, Nona!" Evan mengabaikan rasa sakit dan panas yang kini dia rasakan di pipi kirinya. Begitu pun dengan egonya yang kembali tersentil. Berani sekali anak kecil ini menamparnya??Lupakan egonya. Evan sebenarnya cukup terkejut melihat air mata yang menggenang di wajah Arsy. Mata gadis itu memerah, sama seperti hidungnya. Bibirnya bergetar saat membentak Evan barusan. Sejujurnya ada sedikit rasa iba yang muncul dalam diri pria berusia tiga puluh dua itu. Apa yang membuatnya sampai se-marah ini? Tanya Evan dalam hati."Bagian mananya?! Kalian pikir, mau ditaruh di mana muka aku sekarang?! Semua dosen dan teman-teman sekelasku sudah tau kalau aku hanya anak kecil yang sampai kapan pun nggak akan pernah dianggap dewasa sama orang tua aku!! Aku seakan-akan nggak bisa jaga diri sampai harus dikasih pengawal padahal umur aku udah dua puluh empat tahun. Aku malu! Kalian tau nggak??"Arsy marah besar. Sayangnya dia melampiask
Setelah kejadian yang menimpa Arsy tadi sampai di telinga Demian, semakin yakin lah pria paruh baya itu bahwa memang selama ini ada yang berusaha ingin menyelakai putrinya. Siapa lagi kalau bukan musuh bisnisnya?"Ini pasti ulah Benjamin." Demian mengepalkan kedua tangannya yang bertopang di siku di atas meja makan."Pa, jangan sembarangan ... kenapa Papa bisa menuduh Benjamin yang melakukannya?" Sarah, istrinya, mencoba menenangkan."Memangnya siapa lagi yang sedang bersaing dengan kita untuk tender Prima Rasa? Hanya perusahaan Benjamin." Demian menyebutkan salah satu program tender yang sedang mereka ikuti, yaitu tender pembangunan 50 depot rumah makan khas Sunda bernama Prima Rasa, yang akan dibangun di seluruh Nusantara. Itu adalah proyek terbesar di tahun ini. Puluhan perusahaan kontraktor ikut ambil bagian untuk memenangkan tender. Namun Demian lebih fokus pada Benjamin saja.Sarah mendesah. Dia memang tau Benjamin sangat berambisi untuk memen
Tanpa Gunawan dan Martini sadari, Evan mendengar pembicaraan mereka. Bahkan kalimat-kalimat berikutnya yang terucap dari mulut wanita yang sudah melahirkan Evan itu.Kecelakaan. Balas budi. Perjodohan. Tiga kata kunci yang dirangkai pria berkepala tiga tersebut menjadi sebuah fakta mengejutkan yang baru saja dia ketahui. Apa-apaan ini? Jadi sebenarnya tentang bodyguard ini adalah salah satu cara orang tua dan majikannya untuk membuat dia dan Arsy saling jatuh cinta? What?! Licik sekali??Jadi kecelakaan yang menimpa ibunya, Martini, beberapa tahun yang silam bukan hanya sebuah kecelakaan biasa seperti sebagaimana Evan ketahui selama ini. Ternyata itu adalah aksi heroik yang dilakukan ibunya demi menghindarkan Demian dan Sarah dari kecelakaan di sebuah lokasi proyek. What the ...Evan sungguh tidak habis pikir. Ternyata selama ini kedua orang tuanya tidak pernah jujur tentang peristiwa yang menimpa ibunya, yang mengakibatkan kaki wanita itu patah dan sempat
Sore itu juga mereka sekeluarga langsung berangkat ke Purwakarta, salah satu kota kecil di Jawa Barat yang terkenal dengan kulinernya yang khas, yaitu Sate Maranggi. Setidaknya, mereka akan membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam jika melewati jalur tol. Arsy hampir tidak percaya karena ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu benar-benar mengabulkan permintaannya. Senyum setengah tertawa menghiasai wajahnya lantaran kesenangan. Sepanjang berganti pakaian dia tidak berhenti bersenandung seperti anak kecil.“Sy?” Tiba-tiba Sarah membuka pintu kamarnya dan tubuh wanita itu masuk sebagian melalui pintu.“Iya, Ma?” Dia berbalik melihat ke arah ibunya.“Kamu butuh Evan nggak? Kalau butuh, biar mama minta dia ikut dengan kita.”“Nggak usah, Ma. Kan bukan jam kerja dia lagi.”“Beneran?”“Hm-m …” Arsy mengangguk. Dia tidak sadar kalau ibunya sedang berbicara den
Entah apa yang sedang dirasakan Evan saat ini. Mungkin sebuah realita telah membuka mata hatinya. Keluarga yang dia benci selama satu bulan belakangan ternyata tidak seburuk yang dia pikirkan. Keangkuhan orang kaya yang selalu dia alamatkan kepada keluarga Wijaya, nyatanya tidak dia temukan sedikit pun. Setidaknya selama kurang lebih delapan jam bersama-sama dengan mereka. Pulang pergi Jakarta - Purwakarta dan selama mengelilingi kota kecil tersebut.Evan justru merasakan kehangatan yang biasanya sudah jarang didapati di dalam keluarga konglomerat. Mereka juga sangat merangkul karyawan seperti pak Heru dan Evan sendiri. Selama di perjalanan dan selama di Purwakarta, tak pernah sedikitpun keluarga itu terlihat mengesampingkan supir dan bodyguard Arsy. Mereka duduk di meja yang sama, makan dengan menu yang sama dan dari piring yang sama pula.Demian dan pak Heru malah terlihat seperti teman karib saat mereka mengunjungi acara pertunjukan air mancur Sri Baduga yang
Bab 12. Es krimEvan menepati janjinya. Setelah malam itu, hubungannya dengan Arsy pun berubah menjadi baik. Oke, sebenarnya selama satu bulan terakhir dia yang menjauh dan menjadi dingin terhadap Arsy. Namun setelah melewati satu malam bersama keluarga itu, sepertinya Evan sudah salah dengan menganggap mereka adalah keluarga kaya yang jahat. Mungkin peristiwa kecelakaan ibunya waktu dulu memang sudah menjadi sebuah takdir. Evan memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Lagipula ibunya sudah sembuh sekarang, walaupun sudah tidak bisa beraktifitas seperti biasanya.Sekarang dia menjalankan tugasnya dengan hati yang lebih lapang. Arsy juga sudah tidak kaku lagi kepadanya. Sudah lebih rileks dan lebih santai. Apalagi gadis itu konsisten dengan panggilan ‘mas’-nya. Sepertinya Arsy sudah menganggap Evan seperti saudara laki-laki sendiri, sama seperti Arsen. Evan merasa begitu lebih baik. Dia pun lama kelamaan bisa memandang Arsy seperti adiknya sendiri yang
Adapun ide yang dimaksud Arsy kemarin lusa adalah sesuatu yang membuat Evan geleng-geleng kepala. Saat dia menjemput Arsy di rumah, wanita itu memakai dress normal yang berlengan dan roknya kembang se lutut. Tapi setelah sampai di club, dia mengganti pakaiannya di toilet. Evan jelas sangat terkejut dan nyaris menyuruh Arsy mengganti pakaiannya kembali.“Mas, jangan kasih tau Papa Mama yaa? Plis plis plis plissssss …” Arsy tahu Evan sedang marah sekarang. Oleh karena itu dia harus benar-benar membujuk dan memastikan agar pria itu tidak bocor ke orang tuanya.Evan yang sudah tidak selera, mengabaikan Arsy dan menyuruh gadis itu untuk segera bergabung dengan teman-temannya saja.“Syy!” Bagas yang Evan tau adalah fans sejati Arsy, datang menyambut wanita itu. Bagas sepertinya menyewa satu blok khusus di club untuk acara ulang tahunnya malam ini. Jelas sekali sepertinya dia bukan orang biasa.Bagas merangkul Arsy dan menari
Pertanyaan absurd Evan barusan sukses membuat suasana di dalam mobil menjadi semakin angker. Arsy tidak tahu harus menjawab apa. Apakah dia marah? Sepertinya tidak. Tapi tidak mungkin juga kan dia jujur kalau dia menikmatinya? Kenapa sih Evan harus pakai nanya segala? Arsy menggerutu di dalam hati.“Kenapa memangnya, Mas?” Asry membalikkan pertanyaan.“Kalau marah, saya mau meminta maaf karena sudah lancang.”“Enggak kok, Mas. Aku yang minta maaf. Aku mabuk dan menempatkan Mas Evan di posisi yang sulit. Maaf ya, Mas. Tadi udah marah ke Mas Evan .…"Hening…“Tapi kamu suka saya peluk?” lanjut Evan lagi, tidak mau berhenti.“M … Mas … kenapa pertanyaannya frontal banget sih?” Arsy menjawab dengan gugup. Tidak dapat dipungkiri sekarang dadanya berdegup kencang. Pipinya pun berubah merah. Evan sepertinya akan bisa melihatnya meski lampu di dalam mobil dipadamkan.