Share

Bab 5. Isi hati.

Kali ini Arsy tidak meninggalkan Wilda sendirian di belakang. Dia, Tere dan dosennya itu berjalan berdampingan, berderet tiga seperti anak SD yang sedang berjalan menuju kantin. Sementara Evan berjalan di belakang mereka. Mengawasi Arsy dan sesekali melihat buku yang ada di dekatnya.

"Aku saranin kamu ambil yang ini, deh. Pak Wira pernah bilang buku ini bagus. Saya juga pernah disarankan beli buku ini oleh beliau." Wilda menyodorkan satu buku yang baru saja dia ambil dari rak. Dia mencoba membuat Arsy terkesan. Semakin baik hubungannya dengan Arsy, semakin besar pula kesempatan dia bisa selalu bertemu dengan Evan.

"Oh ya? Terima kasih, Bu. Saya akan beli ini kalau begitu." Arsy menerima saran Wilda dengan antusias. Wilda adalah seorang dosen dan sudah pasti dia lebih tau selera sesama dosen seperti pak Wira bukan? Seketika dia merasa bersyukur Wilda ikut dengan mereka sekarang.

"Sama-sama. Kamu mau mencari apa lagi? Tere juga mau cari buku?"

"Oh, enggak, Bu. Saya tadi hanya ingin menemani Arsy kok," jawab Tere cepat. 

"Sudah ini saja, Bu. Ibu Wilda mau mencari buku juga kan? Biar kita temani ..." tawar Arsy.

"Oh, nggak apa-apa? Ada sih, satu buku ...."

"Iya, Bu. Bu Wilda udah nemenin saya kan tadi." Arsy memasang senyum manisnya. 

"Van, nggak apa-apa ya, Arsy temani aku dulu?"

Evan mengerutkan keningnya. Kenapa Wilda harus izin kepadanya? 

Arsy pun sepertinya berpikiran yang sama. Evan tidak punya hak atas dirinya kan?

Tidak mendapat jawaban dari Evan, Arsy mengambil alih, "Ayo, Bu. Ibu cari buku yang bagaimana?"

Wilda pun berjalan tanpa arah. Dia tidak benar-benar ingin mencari buku. Dia hanya ingin lebih lama bersama Evan. Berharap saat Arsy mencari buku, dia bisa mencuri-curi mengobrol dengan laki-laki itu. Tapi sialnya Evan benar-benar tak tersentuh. Dia sangat disiplin atas jam kerjanya.

"Psst ..." saat ketiga perempuan itu berjalan dan berpapasan dengan dua orang anak laki-laki, Evan mendengar pria itu melakukan cat calling, entah untuk siapa. Evan mengabaikan saja.

Wilda pun berhenti di rak dengan kategori Biografi. Entah buku apa yang hendak dia cari di sana. 

"Kalian kalau mau lihat-lihat, nggak apa-apa," ujar wanita itu. Sengaja ingin memisahkan diri dari Arsy dan Tere dengan tujuan nanti dia akan mendekati Evan untuk berpura-pura meminta saran.

"Oke, Bu. Kita ke sana dulu ya, nggak jauh-jauh kok." Arsy menunjuk arah barat ruangan. Wilda mengangguk.

Saat Arsy dan Tere pergi, Wilda melihat Evan mengekori kedua gadis itu dan dia sangat kesal. Strateginya tidak berhasil. Dia malah ditinggal sendirian.

Evan menjaga jarak dari Arsy dan Tere yang sedang melihat-lihat novel best seller. Belum apa-apa dia sudah jenuh dengan pekerjaan barunya. Doing nothing, just watching. Mengawasi dan menjaga jangan sampai nona majikannya itu kenapa-napa. Dia merindukan pekerjaannya yang membuat otaknya aktif bekerja. Sibuk dengan file-file dan brain storming dengan semua anggota timnya. 

"Jangan main-main ya!!"

Lamunan Evan terurai lantaran mendengar suara keras dari arah Arsy dan Tere. Dia langsung terkejut saat melihat Tere sedang berseteru dengan dua laki-laki yang ... tadi melewati mereka??

Evan segera beranjak dan setengah berlari menghampiri mereka.

"Apa-apaan ini?" Evan langsung memisahkan dua kubu tersebut dengan tubuh dan tangannya yang terlentang di kiri dan kanan.

"Heh, siapa lo? Jangan ikut campur!" ujar salah seorang dari mereka.

"Kalian siapa? Jangan buat keributan di sini." Suara Evan tegas dan berat.

"Kita cuma pengen kenalan sama dia. Lu nggak usah ikut campur!" 

Evan tidak mundur saat dadanya didorong salah seorang remaja tanggung tersebut. Jelas sekali usia mereka masih di bawah mereka bertiga.

"Mau kenalan dengan siapa?" tanya Evan tenang.

"Sama adek yang itu. Tapi kakaknya galak banget, cih!" Mereka mengira Tere adalah kakak Arsy.

Evan menoleh ke belakang. Melihat Arsy sedang menatap geram kepadanya. Apa salahnya sampai dipelototi seperti itu? Batin Evan. Kemudian dia berbalik lagi.

"Maaf, sebaiknya kalian pergi. Adik saya memang tidak suka sembarangan berkenalan dengan orang baru."

Arsy semakin menilik tajam pada Evan. Apa maksud laki-laki itu?? Ingin menolongnya atau ingin mempermalukannya??

"Cantik-cantik tapi sombong! Cuih!" Sebelum dua remaja tanggung itu pergi, mereka sempat mengoceh merendahkan Arsy. Alhasil perempuan itu semakin marah pada Evan dan semakin yakin kalau dia tidak membutuhkan bodyguard tidak berguna seperti laki-laki itu.

Arsy menarik Tere pergi. Tanpa menunggu Evan maupun Wilda. Dia berencana pulang berdua saja dengan Tere.

"Nona!" Namun tentu saja Evan mengejarnya. Mengikuti mereka sampai ke pintu keluar toko. Saat Evan menyadari Arsy melewati mobil mereka begitu saja, dia cepat-cepat menghalangi langkah kedua wanita itu.

"Maaf, Nona. Mobil ada di sebelah sana," katanya dengan nada pelan.

"Aku pulang dengan Tere."

"Maaf, Nona. Saya hanya melaksanakan tugas."

"Nanti aku yang bilang ke Papa. Kamu pulang duluan saja."

Arsy dengan keras kepalanya ingin melewati Evan. Tapi Evan mengingat gaji empat kali lipatnya. Satu tangannya dengan cepat memanjang di hadapan Arsy yang ada di sebelahnya. Itu adalah gerakan tersopan yang bisa dia lakukan. Daripada dia mengangkat gadis itu seperti karung goni, coba?

Arsy sangat terkejut. Tangan Evan hampir saja mengenai dadanya. Gadis itu spontan mundur dan melayangkan tatapan garang pada Evan.

"Kamu nggak sopan!" pekiknya.

"Maaf, Nona. Tolong Nona ikut saya."

Tere menyikut Arsy pelan. Dia tau temannya itu tidak menyukai Evan. 

"Sudah, Sy. Pulang sana. Nanti papa kamu marah kalau kamu pulang sendiri," katanya memberi pengertian.

"Vann!" Tiba-tiba suara Wilda terdengar memanggil. Hanya Tere yang menoleh.

"Kalian kenapa ninggalin saya? Saya cari-cari tadi di dalam," protes Wilda seperti ingin penjelasan. Ingin marah tapi tidak mungkin. Nanti imejnya rusak. Pertanyaan barusan akhirnya dia ucapkan dengan membubuhkan senyuman di wajahnya.

"Nona ..." Evan kembali memanggil Arsy dengan sopan.

Dicueki Evan dan Arsy, Wilda lagi-lagi kebingungan. Ada apa dengan kedua orang itu? Barusan juga Evan memanggil gadis itu dengan lembut. Ada apa gerangan?

"Mas ..." suara Arsy tiba-tiba melembut. Seakan barusan tidak ada umpatan yang dia lontarkan kepada Evan. Baik Evan maupun Tere kembali terkejut. Arsy bersandiwara lagi. Tadi saja dia memakai kamu saat tidak ada Wilda. Memangnya kenapa dia harus bersandiwara? Pikir kedua orang itu.

"Mas, aku pulang dengan Tere. Mas tolong antar Bu Wilda sampai ke rumah," kata Arsy datar. Dia memberanikan diri melihat kedua mata yang sedang menahan emosi sekarang. Jika bukan karena gaji empat kali lipat itu, Evan ogah ikut dalam permainan anak kecil ini.

"Nona, maaf." Tanpa berbasa-basi lagi, Evan menggendong Arsy dengan tiba-tiba. Semuanya shock, terlebih Wilda. Arsy memekik kaget dan memukul dada Evan dengan kuat minta diturunkan.

"Ter, Wil, maaf, kita duluan. Bapak sudah menelepon, menyuruh Arsy pulang. Maaf, kalian bisa pulang sendiri 'kan?"

"Mana ada! Mas turunin, Mas!" Arsy berontak.

"I ... iya, nggak apa-apa ..." Tere belum tau harus memanggil apa ke Evan. Mas? Kang? Abang? Om? Hahh, entahlah.

Tanpa menunggu respon Wilda, Evan meninggalkan mereka. Membuka pintu dengan remot kontrol. Memasukkan Arsy ke kursi belakang. Memasang seatbelt gadis itu tanpa berbicara apa-apa.

Arsy membuang mukanya saat wajah Evan sangat dekat dengam wajahnya. Sekuat tenaga menahan diri supaya tidak tergoda dengan aroma parfum Evan yang melintasi hidungnya.

Sesudah itu Evan masuk ke kursi pengemudi. Menghidupkan mesin dan melajukan benda beroda empat itu dalam waktu singkat.

"Kamu kalau nggak mau bantu aku nggak usah jelek-jelekin aku. Aku nggak butuh bantuan yang kayak gitu." Arsy tidak tahan untuk tidak bersuara. Dia bukan lah tipe orang yang suka memendam kejanggalan yang tengah ia rasakan.

"Maaf, Nona. Saya hanya tidak ingin membuat keributan."

"Tapi mereka menganggap aku sombong 'kan akhirnya? Itu karena kata-kata kamu. Kamu tau nggak tadi mereka narik-narik aku sampai aku kecakar? Kalau begitu caranya siapa yang mau kenalan? Kamu harusnya patahkan tangan mereka, bukannya malah mojokin aku."

Evan terdiam. Dia sama sekali tidak melihat kejadiannya. Ingat kan, dia saat itu sedang melamun?? Tapi benarkah dia ditarik dan sampai dicakar? Demian dan Sarah akan memenggal kepalanya kalau melihat tangan puteri semata wayang mereka tergores.

Evan menepikan mobil di tepi jalan yang cukup lebar. Arsy yang sudah diam sejak tadi pun mengerutkan keningnya. Ngapain dia? Pikirnya. 

Tahunya, Evan turun. Berjalan memutari mobil dan masuk dari pintu seat kosong di sebelah Arsy.

"Ngapain kamu?" hardik gadis itu tiba-tiba was-was.

"Maaf, saya tidak melihat kejadiannya. Mana yang tergores?"

Oke, Arsy cukup kaget. Apakah papanya menyuruh laki-laki ini untuk memperhatikannya sampai se-detail ini?

"Tidak usah. Nanti bisa diobati sendiri."

"Maaf, Nona. Sudah menjadi tugas saya untuk memastikan Nona tidak apa-apa."

"Kenapa? Kamu takut Papa marah? Tenang saja. Aku bisa jelasin ke Papa ...."

"Maaf ..." lagi-lagi Evan meminta maaf sebelum melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat Arsy marah. Maaf untuk meminta ijin yang dia ketahui jawabannya pasti tidak.

Evan menarik kedua lengan Arsy dengan sedikit menyentak. Tubuh gadis itu secara otomatis menjadi menghadap kepadanya. Arsy kaget bukan main. Matanya terbelalak merasakan kedua tangan besar Evan menempel di lengannya yang kecil. Baju lengan pendeknya membuat kulit mereka bersentuhan secara langsung dan itu menimbulkn efek kejut bagi gadis polos seperti Arsy.

"What the hell are you doing!!!" Dia meneriaki Evan lantaran shock. Belum apa-apa mereka sudah terlalu banyak sentuhan hari ini.

"Bagian mana yang tergores???" Evan membolak-balik lengan Arsy. Memeriksa sampai ke sikutnya, tapi tidak ada satu goresan pun di kulit putih bersih gadis itu.

"Nona berbohong?" Pria itu sudah hampir meledak karena merasa dipermainkan majikan kecilnya itu. Namun Arsy tiba-tiba membuka kepalan tangan kanannya dan menyodorkannya dengan berani ke hadapan Evan. 

"Sssshhhh ..." Kini berganti pria itu yang terkejut. Dia spontan memalingkan wajahnya lantaran ngilu. Goresan panjang itu seperti diakibatkan sesuatu dan itu benda tajam. Tapi memang tidak terlalu dalam. Namun tetap saja ada darah yang terlihat, walaupun itu tipis.

"Apa di mobil ini ada kotak P3K?" tanya Evan kemudian. 

"Sudah, aku nggak apa-apa." Arsy menarik tangannya dari pegangan Evan. "Ini hanya goresan kecil. Nggak sakit juga. Bentaran juga pasti sembuh," lanjutnya.

"Maafkan saya, Nona. Saya benar-benar sudah teledor dalam menjaga Nona." Evan menunduk di hadapan Arsy. Pria itu tidak malu mengaku salah karena kenyataanya memang demikian. Dia sudah membagi pikirannya saat seharusnya dia fokus mengawasi Arsy.

"Sudahlah. Lupakan. Kau membuat aku merasa buruk karena membuat orang yang lebih tua dariku menunduk kepadaku. Kembali lah menyetir."

Evan bergeming mendengar kalimat Arsy barusan. Seperti melihat sisi lain dari gadis yang seharian ini bersikap jutek kepadanya. Apakah sebenarnya Arsy itu berhati lembut? Pikirnya menerka-nerka.

"Baiklah. Tapi sekali lagi maafkan saya, Nona."

"Iya. Kau takut Papa tidak jadi menggajimu empat kali lipat seperti janjinya?" Arsy menyelidik. Tanpa sadar menyentil ego Evan yang cukup besar.

"Cukup! Kamu kira kalau bukan karena papa yang sangat menghormati ayah kamu, saya mau menerima pekerjaan hina ini??!!"

Arsy terhenyak. Evan akhirnya bersuara. Sepertinya laki-laki itu pun sudah berusaha meredam segala isi hati yang sesungguhnya ingin memberontak. Tapi tak apa. Arsy menyukainya. Bukan kah itu artinya mereka sama-sama tidak menyetujui perihal pengawalan ini?

"Kalau begitu seharusnya kamu bisa menolak Papa saat ingin memakai jasamu, kan?"

Sikap santai Arsy membuat darah tinggi Evan semakin naik. Dasar anak orang kaya, pikirnya.

"Mana bisa. Orang kaya seperti kalian selalu punya cara untuk membeli kami, orang tidak berduit. Sekeras apa pun kami menolak, kalian pasti selalu menang," jawab Evan sinis. Dia ingin melampiaskan kekesalannya. Kesal lantaran Demian bersikeras memaksa ayahnya untuk meminta dia bekerja menjadi pengawal untuk gadis manja ini. Demian sepertinya tau, ayahnya tidak akan bisa menolak karena Demian adalah bosnya di kantor.

"Jaga omongan mu! Kalau kalian punya harga diri seharusnya kalian akan tetap bertahan untuk tidak menerima pekerjaan hina ini walau harus mati sekali pun," balas Arsy tak kalah sengit. Kilatan matanya menggambarkan emosi yang mulai tersulut.

"Ya, begitulah yang selalu kudengar dari mulut orang kaya. Aku tidak bisa membalas kata-katamu karena itulah kelemahan kami. Harga diri kami selalu tidak ada nilainya di mata kalian. Ah ... lebih tepatnya kalian yang melihat kami tidak berharga, sehingga dengan mudahnya kalian membuat kami tunduk dengan uang kalian. Hahaha."

"Stop!!! Apa sebenarnya masalahmu!!" Arsy sugguh tidak terima Evan semakin jauh menghina orangtuanya.

"Aku muak dengan kalian! Kenapa dengan mudahnya ayahku menyuruhku berhenti bekerja di saat aku sedang berada di puncak karirku, hanya untuk menjadi seorang pengawal anak kecil sepertimu? Baru lah aku tau, semua itu ternyata karena ayahmu bisa menggaji aku empat kali lipat dari gajiku yang sebelumnya. Lihat lah, betapa uang bisa membeli harga diri kami orang kecil ini."

Arsy sudah panas hati. Selain menghina orangtuanya, Evan juga mengatainya anak kecil. Oke, dia tidak ingin berdebat kusir dengan pria yang sepertinya sudah gila di sebelahnya, dia membuka pintu dan keluar dari mobil.

"Hei! Mau kemana kamu!!" Evan buru-buru ikut keluar dan mengejar. Karena langkah kakinya lebih lebar dari Arsy, dia bisa meraih tangan gadis itu. Tentu saja langsung dihempas kuat-kuat oleh si empunya tangan.

"Urus sendiri masalahmu! Kau yang tidak bisa tegas dengan orangtuamu, kenapa jadi mengatai aku anak kecil? Kau delapan tahun lebih tua dari aku tapi bisa-bisanya kau menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidupmu?! Kalau kau tidak sepakat dengan ayahmu kenapa kau tidak kabur saja untuk menunjukkan aksi protesmu? Kenapa kau malah tunduk alih-alih mempertahankan karirmu? Jangan menyalahkan orangtuaku karena mereka punya uang banyak! Salahkan dirimu sendiri yang tidak punya pendirian!"

Kata-kata Arsy yang sangat panjang itu ibarat tamparan keras bagi Evan. Bibir mungil Arsy memang seperti cabe rawit. Pedas sekali. Tapi kenapa semua kalimatnya itu terasa benar? Evan jadi malu, seakan ditelanjangi.

Dia memang tidak punya pendirian untuk menolak tegas ayahnya. Harusnya, jika ayahnya seratus kali meminta, dia harus seratus satu kali menolak. Yang harus dia lakukan seharusnya tidak berhenti menolak dan menolak hingga ayahnya bosan. Bukan justru sebaliknya, kalah. 

Gadis itu tidak salah ketika mengatainya tidak bisa tegas dan tidak punya pendirian. Meskipun ayahnya memelas sekali pun, dia tidak seharusnya menyerah dan mengiyakan perintah konyol ini.

Arsy melihat ada taksi yang akan lewat. Sebelum Evan bereaksi dan menahan langkahnya lagi, dia buru-buru berbalik dan menghambat taksi.

Evan pun tersadar dari pikirannya yang melayang entah kemana. Dia berusaha mengejar taksi yang ditumpangi Arsy namun sia-sia. Taksi itu melaju dengan sangat cepat.

"Matilah aku!" Evan menyugar rambutnya. Bisa-bisa kepalanya dipenggal oleh Demian jika Arsy menceritakan perdebatan mereka barusan.

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nellaevi
sabar..sabar...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status