Alhasil akhirnya aku memilih pulang. Lagian, Mas Arsan sudah tahu aku ada dimana. Jadi daripada berlama-lama di Rumah Sakit mending sekalian pulang. Yah, walau setengah hati. Karena aku masih malas dengannya.
"Kamu masih marah sama saya?" tanya Mas Arsan. Melirik secuil padaku lantas kembali fokus pada jalanan.
Segala pake tanya, lagi! Suka banget sih, sama basa-basi? Malas menjawab, aku lebih memilih menatap jalanan lewat kaca samping. Jujur saja, sampai saat ini aku masih terheran-heran sama dia. Kapan sih, dia bilang minta maaf padaku? Kapan?
Ya, aku tahu jika perminta maafannya juga tidak akan bisa membuat semua kembali semula, tapi kan setidaknya bisa membuat gejolak amarah dalam hatiku jadi agak mengecil. Dia terlalu gengsi sebenarnya, sama kayak Alin.
"Lusa saya mau ke Jogjakarta, karena harus mengurus cabang restoran yang sebentar lagi akan dibuka." Mas Arsan kembali berceloteh.
Ketika mataku terbuka diesok hari, pemandangan kamar Alin bukanlah yang aku lihat melainkan kamar Mas Arsan. Dahiku mengernyit bingung. Semalam aku benar-benar tidur di kamar Alin, bahkan aku mengunci kamar Alin, karena saking marahnya pada Mas Arsan. Tapi, kenapa sekarang aku ada di kamar sialan ini?Mas Arsan jelas tidak bisa masuk ke kamar Alin dan membopongku pindah kesini. Tidak mungkin juga dia membobol pintu kamar Alin. Aku jelas tidak sepenting itu di hidupnya. Memang, siapa aku? Hanya wanita yang terpaksa dia nikahi karena kasihan pada Orangtuaku.Sekelebat bayangan kejadian semalam kembali menghampiriku. Masih teringat jelas ketika dia berkata dengan nada tinggi dan tiba-tiba menciumku kasar namun tanpa nafsu. Saat itu telah benar-benar dia lakukan, aku berfikir bahwa Mas Arsan adalah lelaki terkasar dalam hidupku. Bahkan, saat aku masih ada hubungan dengan Arman dulu, dia tidak pernah sekalipun m
Ini sudah lebih dari enam jam Alin menangis karena sakit gigi dan juga kepergian Ayahnya. Aku sendiri sudah muak dengan suara tangisnya. Dia sama sekali tidak mau berhenti sedetikpun. Kalaupun capek, suara tangisnya hanya sesekali memelan lalu kembali mengglegar.Ah! Seharusnya aku tidak perlu memberitahu Alin mengenai kepergian Mas Arsan ke Jogja. Pasti keadaannya tidak akan seperti ini. Alin tidak akan menangis selama ini. Suara tangisnya itu, lhoh!Seperti sekarang ini, suara tangis Alin sedang dalam volume rendah. Mungkin dia lelah. Lagian, dari bangun tidur pukul empat sore sampai sekarang nangis terus! Gimana nggak lelah, coba? Kulihat juga bibirnya sudah membengkak. Entah bagaimana matanya, karena Alin memangis dengan mata tertutup.Posisi Alin saat ini tengah berada di gendonganku. Bajuku yang belum ganti dari pagi sudah basah karena air mata dan ingusnya. Tapi aku abaikan
Berkali-kali aku mendecak bibir dengan sebal. Rasa nggak nyaman sekaligus malu kurasakan sejak bangun tidur. Kuhela napas setenang mungkin agar tubuh menjadi lebih baik. Entahlah, sejak bangun tidur dan menyadari bahwa semalam aku melakukan nafkah batin dengan Mas Arsan rasanya agak.. nggak nyaman. Aku heran pada diriku sendiri. Tidak mengerti dengan perasaan tidak nyaman ini.Sekali lagi aku menarik napas dalam dan kulepas pelan-pelan, lantas meraih cangkir teh di meja. Saat ini aku tengah duduk santai di kursi teras rumah“Hari ini kita pulang.”Tubuhku terkejut mendengar suara berat yang datang tiba-tiba itu. Hampir saja cangkir yang kugenggam melayang sia-sia. Untungnya aku segera menetralkan tubuh kembali. Dengan sedikit kemarahan, kutoleh kepala kearah sumber suara. Mas Arsan berdiri di samping. Tubuhnya sudah mengenakan pakaian santai, dia terlihat segar mungkin habis mandi.
Niat hati awalnya mau masak mie instan, tapi setelah membuka laci dapur disana sama sekali nggak ada makanan instan. Satu mie pun nggak ada. Aku lupa, kalau tadi siang cuma masak bahan makanan sisa-sisa di kulkas.“Kamu sedang apa?”Ah, lagi-lagi suara itu! Setelah mengomel tanpa suara, sambil berbalik badan aku memutar bola mata. Jengkel. Ya, kenapa sih dia selalu bicara tiba-tiba? Selalu!“Mau masak mie tapi nggak ada!” ketusku.“Makan malam diluar, mau? Sekalian belanja isi kulkas.” katanya.Kalau bukan karena perut udah lapar nggak ketulung, aku ogah menganggukan kepala. Duh!“Ayo,” tanpa kata lain dia menarik tanganku, membawaku keluar dari rumah.“Tapi aku belum ganti baju... Masa ke supermarket pake kaos begini, nanti dikira aku tuh jalan salam om-om.” cerocosku sambil terus berusaha melepas cekalan tangannya di per
Senyum bahagiaku belum luntur barang sedikitpun. Terserah mau bibir jadi kering atau dibilang kayak orang gila, aku nggak peduli. Yang penting aku senang. Senang karena sudah membuat Hanna pulang dari rumah ini.Yak, beberapa menit lalu, setelah dia menangkap basah aku dan Mas Arsan sedang ciuman, dia langsung pamit pulang. Nggak langsung sih sebenarnya, Hanna bantu aku cuci gelas dulu terus dia pamit. Katanya sih mau ke Surabaya, melihat butiknya yang lagi ada masalah.Berbeda denganku yang sekarang lagi bahagia, Mas Arsan sedang kebingungan sejak tadi karena harus mencari jawaban pas untuk pertanyaan Alin yang menanyakan mengenai kejadian tadi, waktu Mas Arsan sedang berduaan denganku.“Ayah.. jawab dong! Kok diem terus...!” Alin mulai merengek. Ini bukan kali pertama dia merengek, daritadi dia bahkan berteriak didepan Ayahnya yang tak kunjung memberi jawaban.Aku jadi k
“Tante.. parfum aku dimana...?”Aku buru-buru menguncir rambut asal sambil keluar dari kamar menuju kamar sebelah. Masuk ke dalam, kulihat Alin sedang mengobrak-abrik meja, mencari parfum.“Masih di tas kali.. kemarin kan kamu bawa waktu renang.” kataku.“Ambilin dong!”Bahkan nggak ada kata 'tolong' sama sekali. Tapi aku tetap mengambilkan parfumnya. Menyerahkannya secara nggak ikhlas. Baru hendak melangkah keluar, suara Alin lagi-lagi memerintahkanku.“Tante, kok poni aku miring begini? Ada yang panjang ada yang pendek, nggak pas..” katanya.Aku balik badan, melihat dia sedang bercermin sambil memegangi poninya yang menjulang hampir menutupi mata. “Nggak kelihatan kok.” jawabku.“Ish! Tapi kan nggak enak buat kedip. Hari ini aku mau UTS, aku nggak mau waktu ngerjain soal jadi keganggu sama poni.” curhatnya.
Matahari pagi bersinar cerah di arah sana. Namun tidak dengan diriku. Pagi ini aku bersinar suram karena di landa rasa marah berkelebihan. Gimana tidak marah coba? Kalau pagi-pagi, sekitar pukul 07:00 Mas Arsan sudah memberi kabar tak mengenakan. Dia bilang, kalau hari ini aku sudah di bolehkan untuk pulang. Yak, setelah bedrest selama dua hari, akhirnya aku bisa lepas juga dari ruangan membosankan ini. Jelas aku senang dengan kabar itu. Tapi, yang bikin aku tidak senang adalah, kami pulangnya bukan ke rumah Mas Arsan. Melainkan ke rumah Orangtuanya Mas Arsan.Katanya, untuk sementara kami tinggal disana dulu. Agar aku ada yang merawat dan Alin juga ada yang menjaga. Aku menolak mentah-mentah alasan itu dengan bilang kalau aku bisa merawat diri sendiri sekaligus merawat Alin. Tapi tetap saja di tentang olehnya. Yang pada akhirnya aku kalah. Fix, mulai dari sekarang aku harus siap sedia usus panjang agar tidak terpan
Author POV Sudah lebih dari lima menit Nawang termenung dalam duduknya. Mulutnya terkatup tanpa sepatah kata. Sesekali ia mengganti posisi duduk dengan merebahkan kepala di punggung sofa ruang tengah. Otaknya kini tengah berfikir mengenai panggilan Alin untuknya, yaitu 'Mama'. Sedangkan Alin memanggil Arsan dengan sebutan 'Ayah'. Bukankah Ayah pasangannya sama Bunda? Mama sama Papa. Papi sama Mami. Dady sama Mommy. Appa sama Amma. Ummi sama Abi. Babeh sama Enyak.Dan, entah bagaimana kenapa ia harus memikirkan hal yang tidak terlalu penting ini? Seperti tidak ada hal lain saja untuk di pikirkan.Nawang mendesah kesal, merasa salah dengan otaknya. Pandangan matanya kini beralih pada sosok yang barusan ia pikirkan. Alin tengah duduk lesehan di bawah permadani, sibuk pada dunianya sendiri. Bermain dengan buku gambar dan krayon. Akhir-akhir ini dia jadi sering menggambar. Apa