Share

4. Luna Kampret!


      Mataku menatap intens pada Fika yang saat ini ada di depanku. Dia sedang menceritakan bahwa kemarin dia di hukum oleh Pak Arsan karena ketawan pulang telat. Fika mendapat hukuman membersihkan gudang sekolahan. Aku tahu sekali gudangnya SMA Satu, berantakannya melebihi rumah orang tukang rongsokan. Dan baunya jangan ditanya, ada bau macam-macam disana, mulai dari bau kotoran tikus, anak tikus yang mati dan lainnya. Lagian sih, salahnya juga kemarin pulang sekolah bukannya langsung ke rumah malah main ke Mall.

“Lagian ya, kenapa kemarin Pak Arsan ada disini, sih? Aku kan nggak ada masalah di sekolahan, kenapa Arsan datang kesini?”

Fika bertanya dengan raut sebal. “Yeee... Sirik aja! Terserah dia dong mau kesini! Kamunya aja yang suka Badung! Pulang sekolah bukannya ke rumah malah ngemall!”

“Iiihh... Aku ke Mall bukan buat seneng-seneng, Teh! Aku ke gramedia, nyari novel buat kado ultah temen satu bangkuku!” belanya pada diri sendiri. 

“Anak SMA jago ngeles, udah diem!” kataku lantas membaringkan tubuh, memunggunginya. 

Kurasakan Fika sepertinya itu membaringkan tubuh, dia memelukku dari belakang. Kami memang selalu tidur bersama, karena aku tidak berani tidur sendiri. Selain buta dalam mengendarai kendaraan, aku juga takut tidur sendirian, padahal umurku sudah 21 dan sebentar lagi 22! Lengkap sudah diri ketololanku. 

“Teh, aku masih penasaran deh. Kira-kira ada masalah apa ya, kenapa Pak Arsan kesini?” tanya Fika dibelakang ku. 

“Udah diem! Tidur, besok sekolah!” bentakku pada Fika sambil mengguncang tubuh agar dia tidak memelukku.

Sebenarnya aku tidak bisa tidur. Aku ingin menanyakan tentang kehidupan Pak Arsan di sekolahan pada Fika. Tapi malu. Takut-takut kalau Fika malah bertanya, 'kenapa tetejh tiba-tiba kepo sama pak Arsan?' kan bisa berabe! 

***

Berita tentang kedatangan Pak Arsan ke rumah ternyata sudah meluas. Semua anggota keluarga sudah pada tahu kecuali Fika, kami masih merahasiakan ini darinya. Bahkan Mas Reza yang posisinya sedang tidak ada di rumah saja sudah mengetahui. Dan karena dia tau bahwa aku akan di jodohkan, Mas Reza memutuskan aku untuk berhenti mengelola kaffee, membuatku saat ini girang kesenangan. 

Akhirnya aku bebas dari pekerjaan membosankan itu. Karena aku sudah tidak kerja lagi, pagi ini aku memilih berleha-leha di sofa sambil nonton TV dan main instagram di ponsel.

Dalam kegiatanku, otakku memikirkan betapa bahagianya aku. Sudah tidak kerja di kaffee dan sebentar lagi juga aku akan keluar dari rumah ini. Mungkin, sih. Kalau jadi nikah.

Memikirkan nikah, otakku melayang pada calon suami dan malah membayangkan wajah Pak Arsan. Lagi-lagi aku terjebak dalam bayangan tubuh tegap dan wajah sangarnya. Bagaimana tidak ditakuti para murid coba, sudah badannya tinggi, kekar, tatapan matanya tajam bak burung hantu, dan sekali lagi, ucapannya tidak pernah main-main. Pak Arsan selalu serius dalam berbicara apapun. Beliau tidak kenal bercanda. 

Sepertinya hari ini aku harus bertemu dengan Pak Arsan lagi, untuk menanyakan kebenarannya. Beliau sebenarnya serius dalam perjodohan ini atau hanya main-main saja. Aku takut di permainkan lagi. Cukup Arman dan mantan-mantanku saja.

Iseng, kubuka daftar kontak di ponselku. Dan menemukan nama Arsyad disana, diurutan ketiga. Sebelum memutuskan untuk mengirimnya pesan untuk bertanya apakah hari ini kita bisa bertemu atau tidak, lebih dulu kuganti nama kontaknya dengan nama 'Pak Arsan'. Setelah itu mengetik pesan dan mengirimnya. 

Me :

Pak, hari ini bs ktmu ngga? Ada yang mau di pertanyakan soalny. 

    Pesan baru saja terkirim. Aku harap-harap cemas, apakah dia akan membalasnya atau hanya sebatas di baca saja. Kalau opsi dua yang dia pilih, fix lebih baik aku memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini. Lima menit sudah berlalu. Karena terlalu lama akhirnya aku keluar dari menu pesan dan beralih ke daftar musik-musik. Sampai akhirnya dimenit kesepuluh, pesanku di balas olehnya.

Pak Arsan :

Bs. Jam brp? Dmn? 

Astagfirullah! Males nulis atau gimana ini orang? Singkat banget kayak SMSannya kids jaman now, yang lagi berantem sama pacarnya.

Me :

Di CaffeeMe jam 2, Pak. Makasih sebelumnya. 

     Aku tidak mengharapkan balasannya, karena kutahu pasti cuma di read. Sekarang, yang terpenting adalah kedatangannya di kaffee Mas Reza. Kenapa aku memilih kaffee itu? Karena biar sekalian ngecek kondisinya. Sudah lama aku tidak menginjakkan kaki kesana. Ini hari rabu, pasti Pak Arsan pulang ngajar cepat. Karena biasanya hari rabu di SMA Satu pulangnya cepat.

     Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah dua, aku beranjak membersihkan diri. Setelah itu kulangkahkan kaki masuk ke kamarnya Luna sambil memainkan ponsel untuk memesan uber.

“Luna, kamu mau ikut ke Kaffee nggak?” tanyaku setelah membuka pintu dan mendapati anak kecil belingasan itu sedang bermain basket seorang diri didalam kamar.

Dia menoleh dan mengangguk, “Tapi jangan pake uber! Tante harus nyetir sendiri!”

Bola mataku melotot tajam. Aku tahu arah bicaranya kemana. Dia mengejekku karena aku tidak bisa mengendarai mobil. Dasar bocah! Masih misuh-misuh, aku membalas, “Cepetan ganti baju! Ubernya udah sampai.” lantas berlalu dari kamar si cecunguk. 

Dari semua ponakan-ponakanku, memang dialah yang paling berani padaku. Bukan hanya padaku saja sih, Luna juga berani pada Mama dan Papaku. Dia sering memanggil Mama dengan nama Mama sendiri tanpa embel-embel Nenek. Terkadang juga Papa menjadi bahan ejekannya, karena kumis putihnya yang hanya tumbuh di sisi kanan dan kiri saja, di tengahnya tidak ada. 

***

Tiba di Kaffee, ternyata Pak Arsan sudah datang lebih dulu. Aku jadi malu tidak ketulung. Dan untuk menyembunyikan rasa maluku, kepalaku selalu tertunduk dengan tangan tidak henti memutar-mutar sedotan pada jus alpukat. 

“Om, Om kesini naik apa?”

Aku mendengar suara Luna yang duduk di sebelahku bertanya pada Pak Arsan. Diam-diam aku sedikit mengangkat kepala untuk melihat ekspresinya saat menjawab pertanyaan tidak penting dari seorang anak kecil. 

“Naik mobil. Memangnya kenapa?” ekspresinya masih seperti biasa, datar.

“Ooh... Em, aku boleh minta tolong nggak, Om?”

“Boleh. Minta tolong apa?”

“Ajarin Tante Nana nyetir mobil, Om.... Soalnya Tante nggak bisa nyetir, padahal udah gede.”

Sekarang kepalaku sudah benar-benar terangkat. Aku segera membawa kepala Luna ke ketiak dan membekap mulutnya dengan mata tidak terindahkan pada wajah Pak Arsan yang sepertinya kebingungan dengan tingkah anehku ini. 

“Hehe, ma-maaf, Pak. Luna kalau ngomong suka nggak bener. Maaf, ya Pak. Maklumlah anak kecil mulutnya kayak cabe, biasa.” kataku sambil menahan amarah karena Luna sudah meludahi telapak tanganku. Asyu! 

Ucapanku hanya dibalas helaan napas tanpa anggukan kepala olehnya. Pak Arsan memalingkan pandangan ke penjuru Kaffee dengan posisi duduk bersender di kursi dan kedua tangan melipat pada dada. Pakaian gurunya masih melekat di tubuh dengan balutan jaket hitam. Dari gerak-gerik tubuhnya, Pak Arsan sepertinya tidak nyaman dengan tingkahku. Apa beliau ilfeel? 

“AWwwwwh...” aku menjerit keras ketika Luna dengan sengaja menggigit telapak tanganku.

Aku melepas bekapan pada mulut Luna dan segera membungkuk. Kutekan telapak tangan, agar rasa sakitnya bisa berkurang, sambil menahan tangis. Tidak peduli bagaimana ekspresi Pak Arsan, mungkin beliau saat ini sudah menutup wajah sendiri lantaran malu karena aku berteriak tidak tahu tempat.

Setelah rasa sakit sudah berkurang, aku menegakkan tubuh kembali namun dengan mata tertutup, karena aku belum sanggup melihat wajah marah Pak Arsan. Ketika aku memberanikan diri untuk membuka mata, sudah tidak ada Luna dan Pak Arsan. Orangnya tidak ada tapi kunci mobilnya tergeletak di meja. Dimana beliau? Aku celingukan mencari keberadaannya. 

Mumpung tidak ada Pak Arsan, aku meminum cepat-cepat jus alpukatku hingga tandas setengah gelas. 

“Maaf, tadi saya ada telpon.”

Pak Arsan datang secara tiba-tiba membuatku berjengit kaget hingga terseda jus. Aku terbatuk-batuk selama beberapa detik sampai akhirnya bisa menguasai diri kembali. Kini Pak Arsan sudah duduk seperti semula. Entalah dimana si Luna, semoga saja dia tidak berbuat aneh-aneh di Kaffee. 

Bahkan barusan aku tersedak minuman karenanya, Pak Arsan sama sekali tidak menanyakan keadaanku. Setidaknya berbasa-basi apakah aku baik-baik saja atau perlu di telponkan ambulans, gitu. Untungnya aku tipikal orang yang penyabar. 

Menghela napas, aku memulai percakapan serius, “Pak?”

Pak Arsan mulai memandangku. 

“Aku boleh tanya?” kepala Pak Arsan. 

“Sebenarnya Pak guru se—,”

“Tante Nana tangkap bola kastinya....” dari jarak dua meter, aku melihat Luna membawa dua buah bola kasti. Dia melempar satu kasti kearahku yang sama sekali belum berposisi siap untuk menangkap. 

Alhasil bola itu bukannya aku tangkap tetapi malah melayang mengenai dahi. Tepat di tengah. Membuatku menjerit tertahan dan menutup mata rapat-rapat. Ya Tuhan, bisakah engkau menurunkan panci di dimejaku? Aku malu sekaliiiiii. 

Aku berusaha menuliskan pendengaran dari tawa-tawa para pengunjung yang melihat kejadian memalukan ini. Mereka tidak tahu saja, kalau yang aku rasakan ini sakit sekali. 

“Tante Nana tangkap satu bola lagi..... Hap.....”

Mendengar aba-aba dari bocah sialan itu aku segera merentangkan kedua telapak tangan didepan wajahku agar kejadian tadi tidak terulang kembali. 

Bukan sebuah kasti yang memantul di tanganku, melainkan suara seseorang yang telah berhasil menangkap bola kasti yang kudengar. 

Membuka mata, Pak Arsan memandangku dengan bola kasti ada di tangan kanannya, seolah beliau mengejekku. 

Aku buru-buru menundukkan kepala dan menggumamkan ucapan terimakasih. 

“Saya harus pulang. Minggu ini, kamu siapkan diri. Saya akan mengenalkan kamu pada anak saya.”

Buru-buru aku mendongak, menatapnya yang sudah berdiri di tempat. “A-anak?” ejaku, tidak percaya. Ya, aku baru tahu kalau Pak Arsan sudah punya anak. Jadi, Pak Arsan ini duda anak satu?

Kata siapa satu? 

Ketika Pak Arsan sudah hendak melangkah pergi, aku bergegas bertanya, “Pak guru anaknya berapa?” tanyaku cepat. 

Pak Arsan tidak menjawab dan malah melanjutkan langkahnya. Aku terus menatapnya sampai akhirnya kulihat jari telunjuknya terangkat. Memberi kode padaku bahwa beliau memiliki satu anak. Aku menghela napas lega. Setidaknya hanya satu dan bukan dua.

“Tante Nana... Tangkap bola basketnya....” aku segera berbalik badan dan saat itu juga bola basket melayang tepat mengenai hidungku.

Aku mengaduh kesakitan sambil menyumpah serapah anak iblis itu. “Asu koen Lun! Luna kampret....!”

Gara-gara dia, aku tidak jadi bertanya pada Pak Arsan mengenai keseriusannya untuk menikah denganku. Dan gara-gara dia juga, seluruh wajahku jadi pada sakit. 

Luna kampret! Ingatkan aku untuk memutar pola pikirnya agar tidak miring lagi, sobat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status