Share

8. Keluarga Arsan

     Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?

Tin!

Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.

Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan  memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.

“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.

Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.

“Pak, malu nih...” cicitku.

Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas selesai aku mencicit, pintu utama terbuka. Tangan kasar Pak Arsan mendorong bahuku untuk masuk ke dalam. Dengan mata tertutup aku menyelonong masuk. Tidak peduli sebagus apa isi rumah bak istana ini!

“Ayaaahh....” suara cempreng yang beberapa hari lalu sering aku dengar kini kembali terdengar. Aku tahu itu pasti suara Alin anaknya Pak Arsan.

“Banana? Kok ada disini?” aku mendengar suara itu lagi. Dan sebutan itu lagi! Dan... Alin sialan itu mencolek-colek punggung tanganku yang sudah bercucuran air keringat.

“Alin....”

“Hehehe... Iya Ayah, Alin lupa. Maaf ya Tante Nana. Lhoh, mata Tante kok merem terus? Kelilipan, ya?”

Mataku semakin terpejam erat mendengar celotehnya.

“Nawang, buka mata kamu. Jaga kesopanan.” mendengar Pak Arsan berbicara padaku, aku membuka mata satu persatu dan pertama yang kulihat adalah cengiran setan si Alin.

“Nenek dimana?” tanya Pak Arsan pada Alin.

“Lagi belanja sama Mbok Mar.” jawab Alin.

Selanjutnya Pak Arsan mengisyaratkan aku untuk mengikuti langkahnya. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menurut saja. Ketika tiba di sebuah ruang tengah pada rumah ini, aku dibuat terkejut melihat kemegahan. Sumpah! Pak Arsan anak orang kaya!

“Bagas... Jangan di buang-buang sayang mainannya... Hei! Ja—,”

Plok!!

Seorang balita laki-laki sekitar berusia dua tahunan berlari gesit sambil menggenggam mainan. Dia melempar mainan robot-robotannya ke depan dan tidak sengaja terkena jidat Alin. Aku melebarkan mata tidak percaya. Segera aku berjongkok di samping Alin dan melihat keadaannya. Jidatnya benjol kebiruan, tapi hebatnya dia tidak menangis. Dia hanya diam mematung sambil menatap lekat pada orang yang mencelakainnya tidak sengaja itu. Tanganku terulur untuk mengelus jidatnya namun di tepis Alin. Dasar keras kepala!

“Sudah Nawang. Dia bakal nangis kalo malah di tolongin.” ucap Pak Arsan di belakangku.

“Bagas... Ya Allah! Ish!” aku mendongak ketika mendengar suara perempuan berhijab yang ternyata ibunya si anak balita bernama Bagas.

Ibu Bagas menghampiri kami. Tepat itu pula Alin berbalik badan dan minta di gendong oleh Pak Arsan. Aku terus memperhatikan tingkahnya, Pak Arsan dengan cekatan menggendong Alin. Huh! Mungkin dia sudah tidak tahan ingin menangis.

Kuputar kepala kembali menghadap ke depan sambil berdiri. Didepanku kini sudah ada Ibunya Bagas sambil menggendong Bagas. Mataku menyipit memperhatikan wajahnya yang sangat familiar di benakku. Sepertinya aku pernah beberapa kali bertemu dengannya. Tapi...kapan?

Otakku terus mencari-cari tahu siapa gerangan perempuan didepanku ini. Dan aku tahu! Dia adalah Dokter Nina! Dokter yang dulu menangani kecelakaan Mbak Anida di sebuah RS.

“Dokter Nina?!” pekikku girang. “Dok, aku adiknya Mbak Anida, masih inget kan?” lanjutku bertanya.

Dokter Nina terlihat kebingungan. “Kamu... Na...Na! Kamu Nana?” aku mengangguk antusias. Dokter Nina mengulurkan tangan padaku yang langsung aku balas.

“Jadi kamu Nana, yang mau jadi istrinya Arsan?” tanya Dokter Nina.

Malu-malu aku mengangguk, “Iya, Dok. Hehehe...”

“Jangan panggil Dok. Panggilnya Mbak dong...” kata Mbak Nina. Aku hanya bisa kembali mengangguk.

     Kini kami sudah duduk di ruang televisi. Aku duduk satu sofa bersama Pak Arsan yang kini pahanya sedang dijadikan tempat duduk oleh Alin. Sedang Mbak Nina duduk di depan kami sambil berusaha menjaga Bagas.

Aku tidak menyangka kalau Mbak Nina ini ternyata Kakak dari Pak Arsan. Orangtua Pak Arsan hanya memiliki dua anak. Mbak Nina sendiri sudah menikah dan memiliki tiga orang anak, pertama dan kedua kembar perempuan semua, berusia 10 tahun dan yang ketiga adalah Bagas.

Aku mengenal Dokter Nina sangat baik. Dulu waktu Mbak Anida tengah di ambang kematian, Dokter cantik itulah yang menghampiriku di bawah pohon taman RS, menenangkanku dengan kalimat-kalimat ajaib yang sukses membuat tangisku mereda. Dan ketika Mbak Anida dinyatakan meninggal, aku menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh Mbak Anida, Mbak Nina datang dan memberiku saran untuk tidak menangisinya lagi. Karena menangisi orang yang sudah meninggal itu akan malah membuat orang yang meninggal mendapat siksa. Apalagi jika air matanya menetes sampai mengenai bagian tubuh si mayat.

Aku masih ingat sekali bagaimana tingkah baiknya padaku. Dokter Nina juga yang membuatku jadi ikut UN. Beliau membujukku masuk sekolah untuk mengikuti UN walau pada akhirnya aku tidak lulus juga.

Selama aku berbincang ria dengan Mbak Nina, Pak Arsan sama sekali tidak ikut serta dan hanya diam saja. Bahkan menimpali pun tidak. Dia hanya sesekali mengomel lirih pada Alin yang ternyata menangis tertahan di punggung Pak Arsan, membuat bahu Pak Arsan basah.

“Mama kok nggak pulang-pulang ya, Ar?” Mbak Nina bertanya pada Pak Arsan.

“Assalamualaikum....”

Pak Arsan sudah hendak menjawab pertanyaan Mbak Nina namum urung ketika mendengar suara salam. Kami membalas salam suara perempuan, entah siapa itu.

Dua orang perempuan paruh baya muncul di ruang televisi. Yang satu langsung menyelonong masuk lebih dalam lagi pada rumah ini. Dan yang satu lagi kini memandangiku. Kutebak pasti beliau adalah Ibunya Mbak Nina dan Pak Arsan.

Perempuan paruh baya, berhijab merah maroon itu menatapku semakin lekat. Aku balas menatapnya. Bisa kutebak mungkin wanita itu adalah Ibunya Pak Arsan.

“Baru juga di sebut namanya udah nongol aja. Ma, kenalin ini Nana calon istrinya Arsan.” Mbak Nina dengan segala kepekaannya mulai mengenalkanku pada Ibunya.

Aku turut berdiri, tersenyum pada wanita paruh baya itu sambil menyalami. “Nawang Wulan, Bu.” kataku, memperkenalkan diri.

Kulihat Ibunya Mas Arsan mengangguk dan tersenyum.

“Aku ke kamar dulu, naro Alin.” suara Pak Arsan terdengar. Lelaki duda itu berdiri, membawa Alin dalam gendongannya untuk menuju kamar. Entah kamarnya yang mana aku, tapi Pak Arsan sekarang sedang menaiki anak tangga dan masuk ke sebuah kamar di posisi tengah.

“Ah iya, sebentar ya, Ibu kedapur dulu naro belanjaan.” Ibunya Pak Arsan ikut-ikutan pamit. Aku mengangguk dan kembali duduk.

“Itu Mamaku dan Arsan, Na. Namanya Siska. Beliau agak cerewet tapi penyayang. Kamu nggak keberatan kan, punya mertua cerewet?” Mbak Nina mulai berbicara.

Malu-malu aku tersenyum. Cerewet sih nggak masalah bagiku. Yang penting dia nggak jahara alias jahat pada menantunya. Apalagi Mbak Nina bilang, bahwa Ibu Siska itu penyayang... Aku jadi tidak sabar mendapat kasih sayangnya.

“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting sayang.” balasku.

“Bener nih? Mama juga orangnya suka komentar. Kalo kita, aku dan Arsan melakukan hal yang baginya itu salah, kita bakal di komen sejam, Na.”

“Kok Mbak Nina jadi jelek-jelekin Ibu Siska sih?” balasku, guyon.

Dibalas kekehan oleh Mbak Nina. “Bukan gitu, Na. Aku ngomong begini biar kamu nggak kaget nanti kalo sudah jadi istrinya Arsan.”

“Nggak lah.... Mbak. Dirumah juga aku biasa di cerewetin Mama.”

Mbak Nina terkekeh tepat ketika Pak Arsan muncul. Dia kembali duduk di sebelahku. Aku mengabaikannya dan lanjut bercengkrama dengan Mbak Nina mengenai kegiatanku di rumah.

“Eh, udah siang. Nana, makan siang disini kan?” tanya Mbak Nina.

Aku tidak langsung menjawab, berfikir lebih dulu sambil menunggu reaksi Pak Arsan bagaimana. Kalau aku sih sebenarnya mau-mau saja makan siang bersama disini. Lagian kan dirumah juga tidak ada siapa-siapa, aku malas kalau masak untuk makan sendiri. Tapi kalau Pak Arsan tidak mengizinkanku untuk makan siang bersama keluarganya, aku bisa apa? Disini aku hanya tamu.

“Arsan, tamunya diajak makan sini.” suara Bu Siska terdengar tidak jauh. Mungkin beliau sedang ada di dapur.

“Ayo makan.”

Akhirnya! Aku tersenyum lega. Mengangguk dan ikut beranjak dari duduk. Kami bersama-sama menuju meja makan. Disana sudah ada Bu Siska tengah menyiapkan air minum. Aku tersenyum pada Bu Siska ketika beliau melempar pandangan padaku walau tanpa sedikit senyum. Entah kenapa pandangan itu membuatku agak-agak tidak enak. Aku merasa Bu Siska tidak suka dengan keberadaanku.

“Ayo Nana, ambil nasinya yang banyak... Jangan malu-malu, aggap saja ini rumah sendiri.” kata Bu Siska ramah. Ah, sepertinya hanya perasaanku saja yang terlalu negative thinking.

Karena Bu Siska sudah bilang anggap saja ini rumah sendiri, tanpa malu aku menambahkan porsi nasiku. Berbagai lauk ada diatas meja, aku ratakan semua. Tidak peduli dengan pandangan Pak Arsan yang sepertinya sudah tidak tahan lagi pada sikapku. Setelah sudah dirasa cukup, aku mulai melahapnya.

Baru lima suap makanan yang kulahap, suara tangis Alin terdengar membuat kami yang ada di meja makan terdiam mencerna suara tangis itu.

“Ayah.... Hiks hiks hiks... Ayaaaah...”

Kulihat Pak Arsan sudah berdiri dan siap melangkah, aku segera menghentikannya, “Biar aku aja.”

Wajah Pak Arsan terlihat tidak percaya. 

“Biarin Nana aja, Ar. Sekalian biar dia bisa lihat-lihat kamar kamu.” celetuk Mbak Nina pada Pak Arsan. Lantas pandangan Mbak Nina beralih padaku. “Na, kamarnya Arsan diatas ya, pintunya warna merah, di tengah.” jelasnya.

Kepalaku mengangguk mengerti. Segera aku beranjak dari kursi dan menghampiri Alin di kamar Pak Arsan. Kira-kira gimana ya dekorasi kamarnya Pak Arsan? Aku jadi penasaran.

Tiba di ambang pintu kamar paling tengah aku mendorong knop pintu. Mataku melebar. Bukan kamar indah penuh perabotan mahal yang saat ini kulihat di dalam kamar Pak Arsan. Hanya ada ranjang dan lemari saja.

Suara tangis Alin kembali terdengar membuatku langsung menyelonong masuk dan duduk di tepi ranjang, memperhatikan Alin tertidur sambil menangis memanggil-manggil Ayahnya. Dia ngelindur. Untuk sekedar meredakan tangis lindurnya, aku mencoba mengelus-elus rambut kepalanya. Kuperhatikan lekat-lekat wajah pulas Alin.

Kalau di pikir-pikir, aku jadi kasian dengan bocah ini. Usianya baru lima tahun tapi sudah di tinggal oleh Ibunya, dia tetap ceria tanpa beban. Kalau aku ditinggal mati oleh Mama diusia sebelia Alin, sudah pasti aku memilih ikut terjun mati saja.

Kala tangisnya sudah mereda, aku buru keluar dari kamar Pak Arsan.

Langkah gontaiku terhenti diambang pembatas ruang makan ketika tidak sengaja telinga kelinciku mendengar suara Bu Siska.

“Mama nggak yakin, Nana bisa jadi istri yang baik. Apalagi tahu kalau dia cuma lulusan SMA. Memang bisa apa dia? Pasti cuma bergantung pada orangtua. Sudahlah Ar, kamu sama Hanna aja. Dia cantik, Mama nyaman juga sama dia.”

Tuh kan, aku bilang juga apa! Bu Siska memang tidak suka pada kehadianku sejak awal kami saling menatap. Beliau baik hanya untuk menutupi rasa tidak sukanya dibelakangku.

“Aku nggak nyari istri yang cantik, Ma.” kudengar suara jawab Pak Arsan.

“Selain cantik, dia juga sayang banget sama Alin. Hidupmu akan terjamin bahagia kalo nikah sama Hanna.” balas Bu Siska tidak mau kalah.

Sebenarnya siapa sih Hanna-Hanna ini? Sebegitu sempurnanya dia kah, sampai Bu Siska membelanya mati-matian? Telingaku semakin menajam untuk mendengar pembicaraan mereka. Lupakan dulu sebuah fakta bahwa menguping itu dosa, karena ini sangat penting. Bersangkutan dengan masa depanku adalah hal penting.

“Ma... Udahlah, biar Arsan pilih sendiri. Nggak usah ikut campur, dia tahu yang terbaik buat dirinya sendiri dan Alin. Lagian, kalo masalah sayang sama Alin, Nana juga kayaknya sayang. Lihat aja dia denger Alin nangis, langsung ke kamar.” itu suara Mbak Nina.

“Mama cuma nyaranin. Lebih baik kamu sama Hanna saja, Ar. Kurang apa sih dia? Solekhah, banget! Rajin, iya! Jago masak, sayang keluarga, punya usaha sendiri pula.”

“Pikiran Mama terlalu dipenuhi Hanna. Coba hilangkan sedikit, Ma. Buka untuk Nana masuk.” suara Mbak Nina terdengar meninggi.

“Kok kayaknya kamu nggak suka banget sama Hanna? Ada masalah kamu sama Hanna?”

“Yang masalah itu Mama, bukan Hanna. Aku dan Hanna baik-baik aja kok.”

“Terserah kamu Nina, yang jelas Mama nggak suka sama cewek yang dibawa Arsan.” Bu Siska tidak suka padaku! Entah kenapa hati ini rasanya terenyuh sakit bertubi-tubi.

Satu menit tidak ada suara lagi, aku memilih untuk menongolkan diri. Aku duduk kembali seperti semula, di kursi sebelah Pak Arsan. Bahkan ketika menyadariku sudah kembali duduk, Bu Siska enggan melirikku.

“Tadi Alin nangis kenapa, Na?” tanya Mbak Nina.

“Ngelindur, Mbak. Tapi udah aku elus-elus kepalanya dia tidur lagi.”

Mbak Nina terkekeh. Kepalaku melirik Pak Arsan yang tidak merespon apa-apa? Kenapa sih dia selalu berekspresi menyebalkan? Ekspresi datarnya Pak Arsan itu menyebalkan bagiku.

      Semenjak aku tahu bahwa Bu Siska tidak suka padaku, aku jadi lebih pendiam. Setelah makan siang tadi, aku diajak Pak Arsan ke taman belakang rumah yang ada kolam renangnya. Kami duduk di kursi panjang berwarna putih dengan mulut tanpa bicara. Biasanya aku yang akan memulai bicara, tapi setelah mendengar kenyataan yang Bu Siska ungkapkan, aku jadi malas untuk berinteraksi dengan Pak Arsan.

Hanya beberapa menit saja kami duduk disana, Pak Arsan megajakku pulang. Sampai akhirnya kini kami sedang berada di perjalanan ke rumahku. Tentunya tanpa Alin, karena dia masih tidur. Selain pembangkang, pemberani dan suka makan, dia juga kebo kalau tidur.

Sedari tadi aku hanya diam saja didalam mobil. Sepatah kata pun tidak keluar. Pak Arsan pun begitu. Hingga mobil berhenti karena traffic light berwarna merah, barulah Pak Arsan menggunakan mulutnya untuk berbicara padaku.

“Jangan terlalu di fikirkan ucapan Mama. Beliau hanya belum terbiasa dengan kehadiran kamu.”

Kontan saja kepalaku menoleh padanya, tentu dengan bola mata membola. Jangan-jangan Pak Arsan melihatku waktu aku bersembunyi dibalik dinding.

Bukan hanya itu, kenapa dia tahu juga kalau aku sedang memikirkan hal itu? Padahal aku sama sekali tidak ada berbicara padanya mengenai itu. Dan... Kalau Bu Siska belum terbiasa dengan kehadiranku, berarti secara otomatis Hanna-Hanna yang dibicarakan beberapa jam lalu, orang yang sudah termasuk sering wara-wiri di keluarga Pak Arsan, dong?

Sebuah ingatan muncul. Aku baru ingat, Pak Arsan kan punya indera keenam!

“Kenapa Pak Arsan nggak nikah aja sama Hanna-Hanna itu?” tanyaku. Heran saja.

“Karena kita tidak bisa bersatu.” kok pasrah banget ya, jawabannya.

“Alasannya?”

“Saya nggak suka dengan wanita yang terlalu banyak bertanya.” itu bukan sebuah jawaban.

“Aelah! Aku juga nggak suka kali, sama laki-laki galak!”

“Siapa yang galak?”

Nah! Sekarang giliran dia yang malah banyak tanya.

“Bapak!” ketusku. Jawabanku membuatnya diam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status