“What?!” Susan menaikkan kacamata minus yang melorot ke ujung hidungnya, berdiri dan melotot pada Clarabelle yang persis duduk di depannya. Dengan cepat jantungnya berdetak kencang dengan pernyataan yang Clarabelle katakan.
Tak ayal, Susan sangat terkejut demi mendengar apa yang dikatakan wanita berambut coklat, dengan wajah cantik itu.
“Susan, please … calm down. Semua orang menoleh ke sini.” Clarabelle memegang lengan Susan dan memintanya kembali duduk.
Beberapa orang yang ada di kafe itu melihat ke arah mereka, karena suara Susan yang cukup keras. Susan masih tak percaya mendengar yang Clarabelle katakan. Susan meletakkan lagi pantat pada kursinya. Dia mendengus dan menggeleng-geleng karena masih terkejut.
“I have no choice, Susan.” Saat mengucapkan itu Clarabelle tidak sedang tersenyum lebar. Sebaliknya hati wanita dua puluh empat tahun itu sedang kalut.
“Kamu yakin? Tidak akan menyesal dengan keputusan kamu, Lala?” Susan meletakkan kacamatanya di meja. Dia usap rambut di kepalanya dengan sedikit kasar.
Susan kembali menatap tajam pada sahabatnya. Masih tidak percaya, tapi jelas-jelas dia tidak salah dengar dengan pernyataan Clarabelle.
“Hanya ini kesempatan aku. Kamu tahu, aku sangat bingung beberapa waktu ini. Dan ini, aku merasa ini jalan yang bisa aku lakukan.” Clarabelle menarik nafas dalam, mencari kata yang tepat untuk menjelaskan rencana yang ada di kepalanya pada Susan.
“At the First Time I Meet You? My God, Lala …” Susan kembali menggeleng-geleng keras. Tangan Susan mengepal karena kesal harus mendapati kenyataan tak masuk akal yang dipilih Clarabelle. "You will have a married at first sight. Are you serious?"
Clarabelle baru mengatakan jika dia mendaftar menjadi salah satu peserta reality show di salah satu stasiun televisi di kota Sydney tempat mereka tinggal. Acara itu cukup booming dan telah berlangsung bertahun-tahun, mempertemukan pria dan wanita sebagai pasangan untuk pertama kali saat hari pernikahan. Pro kontra masih saja ada tentang acara itu meskipun sekian tahun terus ditayangkan di TV.
Susan dan Clarabelle termasuk yang tidak begitu suka dengan konsep pernikahan yang disajikan pada reality show dengan tajuk At the First Time I Meet You. Bagaimana mungkin dua orang yang sama sekali tidak saling mengenal, dipertemukan untuk pertama kali, di depan altar, menjadi pasangan, berjanji hidup bersama sebagai suami istri. Buat mereka sangat tidak masuk akal.
Lalu, Susan mendengar jelas Clarabelle mengutarakan dia akan ikut dalam acara ini. Berkali-kali Susan menepuk dadanya meyakinkan diri, dia tidak sedang berkhayal.
"Lala, kamu tidak ingat kesepatakan kita? Kita akan menikah dengan pria yang tampan, baik hati, dan sayang pada kita. Tidak harus orang yang berduit, asal dia punya pekerjaan baik, it is okay. Yang utama dia sayang dan setia. Kamu ingat?" Susan memajukan tubuhnya, merapat pada meja, menghujamkan pandangan paca Clarabelle yang juga memandangnya.
Clarabelle menelan ludahnya. Itu memang kesepakatan mereka, harapan mereka. Tidak mudah mencari pasangan hidup yang tepat. Tapi mereka tidak mau asal pria yang sedia jadi pendamping mereka. Harus ada rasa cinta yang mendasari hubungan, apalagi sebuah pernikahan. Ternyata, Clarabelle justru dengan sengaja memilih masuk sebuah pernikahan dengan jalan ikut acara di TV, tanpa tahu siapa pria yang akan dia nikahi. Ajaib, bukan?
“Aku tahu, ini aneh, sangat ga mungkin. Tetapi, dengan situasiku, apa aku punya pilihan? Aku harus segera menikah. Dan aku tidak dekat dengan pria manapun, Susan.” Suara sendu Clarabelle terdengar lagi.
Kalau boleh, Clarabelle juga tidak mau harus mengambil keputusan itu. Bukan ini yang dia impikan untuk sebuah pernikahan yang akan dia jalani sepanjang hidup.
“Lala …” Susan menepuk bahu Clarabelle, Susan jadi gelisah. Dia masih menyayangkan keputusan sahabatnya ini.
Sejak mereka berteman semasa kuliah, Susan sangat kenal dengan Clarabelle. Kehidupan dan pergumulan gadis itu, semua pedih dan lukanya karena pria-pria yang hanya mempermainkan dia. Tiga kali Clarabelle menjalin hubungan percintaan, tiga kali juga wanita cantik dengan hidung bangir yang bagus itu dikhianiati.
Susan yang selalu di sisi Clarabelle, membantu temannya itu kembali kuat. Meskipun Clarabelle akhirnya mempunyai trauma untuk menjalin hubungan asmara. Bahkan beberapa kali dia mengatakan, dia baik-bsaik saja, tanpa ada pria di hidupnya. Dengan keputusannya ini, menikah dengan orang asing, tentu saja Susan sangat kuatir, jika hal yang sama akan terulang pada Clarabelle.
“Susan, aku tidak tahu pria seperti apa yang tepat buat aku. Hanya patah hati yang aku dapatkan saat menemukan cinta dan kamu tahu kacaunya aku seperti apa. Para ahli akan bisa menemukan pria yang sesuai dengan aku.” Clarabelle memberikan alasan mengapa dia berniat ikut acara yang cukup fenomenal itu.
“Hai! Tegang sekali kalian berdua? Ada apa?” Seorang pria sebaya dua wanita itu muncul. Senyumnya lebar, memandang Clarabelle dan Susan.
“Ah, Jack, duduk.” Susan menarik tangan Jack, memaksa pria itu duduk di sebelahnya.
Dengan rasa penasaran, Jack manut. Dia memandang Susan, lalu pada Clarabelle. Sepertinya dua teman wanitanya ini sedang tidak baik-baik saja. Keduanya tampak tegang, tidak ada senyum seperti yang Jack biasa lihat saat bertemu mereka.
"Ada apa dengan kalian? Dapat teguran bos?" Jack menebak yang terjadi. Kedua wanita itu masih saling memandang dengan tatapan yang aneh. "Ah, kalian bertengkar? Jatuh cinta pada cowok yang sama?
"Kamu sok tahu," ujar CLarabelle sedikit ketus, tapi kata-katanya juga terasa dia sedang resah.
"Jack ..." Susan menatap Jack. Raut wajahnya menunjukkan dia tidak sedang main-main. “Kamu mau menikah dengan Clarabelle tidak?”
“Apa?!” serentak Clarabelle dan Jack menyahut, memandang pada Susan yang jelas tidak sedang bercanda.
“Susan, kamu bicara apa?” Clarabelle jadi kesal dengan temannya yang satu itu. Bukan mendukung dan melegakan dia, justru membuat situasi makin runyam. Jack sudah punya tunangan. Dia sudah merencanakan pernikahannya dalam tiga atau empat bulan ke depan.
Jack masih tidak paham dengan pembicaraan Susan dan Clarabelle. Bagaimana mungkin dia datang lalu ditanya dengan sebuah pertanyaan aneh begitu?
"Woww ... ada apa ini?" Jack menatap kedua wanita cantik itu bergantian. Dia minta penjelasan.
Susan pun menceritakan rencana Clarabelle dengan nada penuh kekuatiran. Jack yang mendengar itu makin terbelalak kaget.
“Oh, my God! Lala?" Jack memandang Clarabelle dengan mata masih melebar. "Kamu tidak sedang bercanda? Ini hanya sekadar bicara saja, kan?” Sama seperti Susan, dia tidak percaya itu yang akan Clarabelle lakukan dengan hidupnya.
"Dia tidak main-main. Kalau dia hanya bercanda apa aku akan sekesal ini, Jack?" ujar Susan.
Jack memandang Clarabelle yang melirik padanya.
"Jack, kamu kenal Lala wanita yang baik. Tolong dia. Lebih baik kamu saja yang menikah dengannya. Daripada dia menikahi pria entah datang dari mana, lalu dia akan menderita seumur hidup." Ucapan Susan sangat jelas.
Jack dan Clarabelle saling memandang.
“Jack, you hear me, don’t you?” ujar Susan. Dia tarik lengan Jack. “Kamu jangan asal, Susan,” sergah Clarabelle. “Kamu mau aku jadi perusak hubungan orang? Jack dan Sabina akan segera menikah.” “Sorry, aku hanya kesal, tapi juga kuatir padamu.” Susan mengerutkan keningnya. Dia lepaskan tangan Jack dengan rasa gundah. Pandangan Jack masih tertuju pada Clarabelle. “Lala … Pikirkan lagi. Pernikahan itu bukan main-main. Menikah dengan orang yang saling kenal saja, bisa berantakan. Apalagi orang yang baru pertama kita jumpai.” Clarabelle mendesah, menggeleng pelan. “Ini demi papaku. Dia merasa waktunya tidak akan lama dia hidup …” Butiran bening mengumpul di ujung mata Clarabelle. Clarabelle hanya ingin membahagiakan orang tua yang tinggal satu-satunya. Dia tidak ingin menyesal jika tidak bisa mewujudkan harapan papanya. Meskipun takut, hati Clarabelle sudah bulat dengan keputusan itu. Percapakannya dengan sang ayah terbayang dengan jelas dalam ing
Tawa ketiga teman Jordan meledak bersama. Sementara Jordan melotot kesal pada mereka. “Karena itu kamu jangan sampai kalah. Oke? Kami tidak sabar mau membawa mobil keren kamu berkelana, bahkan keluar Sydney. Siapa tahu aku ingin berlibur ke Brisbane.” Warren menaikkan alisnya memanas-manasi Jordan. “Oke. Aku terima. Jika aku menang, kalian mau kasih apa?” Gantian Jordan menantang ketiga temannya. Dia tahu mereka tidak mungkin kasih sesuatu yang besar. Dari antara mereka, Jordan memang yang paling berkantong tebal. Ronald dan Warren anak pengusaha juga, tetapi bisnis orang tua mereka tidak sebesar keluarga Hayden. Sedang Louie, ayahnya wakil direktur di salah satu anak perusahaan milik keluarga Jordan. “Hm, kamu mau menjebak kami?” Dengan pandangan makin tajam, Warren memajukan badan, mendekat pada Jordan. “Ini bukan hal sepele. Menikah, huh? Itu berurusan dengan harga diriku!” tegas Jordan. “Okelah. Kami akan pikirkan. Besok malam, kita bertem
“Papa, please …” Clarabelle tahu, ayahnya tidak setuju dengan keputusannya. “Apa kamu tidak punya teman pria yang baik, yang kamu kenal, sampai kamu harus menikahi orang asing?” Adriano menatap tajam pada Clarabelle. Apakah dia membuat permintaan yang salah sehingga putrinya memutuskan melakukan hal ini? Akan lebih baik kalau dia menjodohkan Clarabelle dengan anak temannya yang sudah pasti dia tahu siapa mereka. “Papa, para ahli akan menemukan orang yang tepat. Mereka melakukan dengan penelitian bukan sembarangan. Percaya aku, Pa, aku pasti akan mendapat pria yang baik sebagai suami.” Clarabelle membujuk ayahnya. Dia menjelaskan proses yang harus dia lewati hingga akhirnya tersaring dalam acara inti. “Menikah itu harus di hadapan Tuhan, resmi disahkan pemilik hidupmu. Pernikahan dalam acara semacam itu, seperti permainan saja. Apa kamu tidak berpikir soal ini? Kamu lupa yang aku ajarkan tentang artinya pernikahan dan keluarga buat kamu?” Adriano marah dengan
Adriano berdiri memandang Clarabelle yang tampak begitu cantik dan anggun. Balutan gaun putih tulang yang membungkus tubuh mungil Clarabelle, membuatnya makin menarik dan mempesona. Mahkota bunga yang menghiasi kepalanya menambah dia makin tampak rupawan. “Sayang, kamu siap?” Adriano mengulurkan tangan pada Clarabelle. Ada senyum tipis muncul di bibirnya. Dengan hati berdebar tak karuan, Clarabelle mengangguk. Dia menyambut tangan kanan ayahnya, berjalan di sisinya, bersiap menuju tempat dia akan menemui mempelai pria yang telah menanti. Clarabelle sedikit gemetar. Jantungnya tak bisa berdetak dengan normal. Tubuh terasa panas dingin. Perut terasa mual seolah diaduk-aduk. Clarabelle tidak tahu akan jadi bagaimana hidupnya setelah ini. Pria seperti apa yang akan dia temui? Apakah dia baik? Apakah dia tampan? Seorang pekerja keras dan penyayang atau … Semua pertanyaan beruntun berkejaran di kepalanya, sementara selangkah demi selangkah Clarabelle memasuki area
Detak jantung Clarabelle semakin laju. Berdiri di depan pria ini, meskipun tampan, gagah, dan mempesona, pikiran Clarabelle berkecamuk. Sungguhkah dia tidak salah langkah? "Miss Johan?" Sekali lagi pemimpin acara memanggil Clarabelle. Semua yang hadir mulai gelisah, Clarabelle masih terpaku menatap mempelai prianya. Clarabelle menarik nafas dalam, dia tak bisa mundur. Dia harus melanjutkan apa yang sudah dia putuskan. “Aku menerima Jordan Gerald Hayden …” “Wow, kamu langsung hafal namaku?” Jordan menyahut. Gelak tawa kembali terdengar dari deretan bangku tamu. Senyum tipis pun muncul di bibir Clarabelle. “… aku akan mengasihimu, apapun yang akan aku lewati, aku tidak akan mengucapkan kata cerai. Kita disatukan dalam pernikahan ini, sebuah ikatan suci, yang tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Aku akan sekuat tenaga memeliharamu, memberikan dukungan dan kegembiraan dalam hidupmu. Aku ingin seutuhnya menjadi istri yang setia untukmu.” Kem
“Aku ingin membersihkan diriku. Maaf …” Clarabelle berdiri dan melangkah menuju ke kamar mandi. Dia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Dia sangat paham jika Jordan akan marah, tetapi Clarabelle punya alasannya dan dia harus tegas dengan itu. Jordan hanya memandangi saja saat Clarabelle menghilang di balik pintu kamar mandi. Terasa getaran dari saku celananya. Jordan merogoh kantung celana dan mengeluarkan ponsel yang tersimpan di sana. Ronald menelpon. “Dasar,” umpat Jordan. Bagaimana bisa temannya itu menghubungi di saat seperti ini. “Mau apa menghubungi aku sekarang?” Sedikit kesal Jordan menerima juga panggilan Ronald. “Haa … haa …” Suara tawa Ronald memekakkan telinga Jordan hingga dia menjauhkan ponsel. “Lagi ngapain? Sudah seru-seruan dengan is-tri-mu?!” Jordan melotot kesal. Temannya yang satu itu paling suka bikin emosi naik. Sengaja juga dia mengatakan istrimu dieja begitu. “Bagaimana mau seru kalau ada setan lewa
“Kita sampai," ucap Jordan sembari melemparkan senyum riang. Jordan membuka lebar pintu kamar hotel mereka. Lagi-lagi hamparan menakjubkan ada di depan mata. Kamar pengantin yang berikutnya mereka lihat. Unik, dengan ciri khas Bali sebagai pernak-pernik ruangan indah itu. “It is amazing.” Clarabelle masuk ke tengah ruangan. Dia memandang sekeliling, rasa takjub memenuhi hatinya. “I love it, really.” Senyum Clarabelle mengembang, melihat ke arah Jordan. Dia mulai terbiasa dengan Jordan di sisinya. Tidak ada rasa canggung seperti hari yang lalu. “Lebih dari yang kubayangkan. Thank you, At the First Time I Meet You. Aku tidak akan lupa semua ini.” Jordan melangkah lebih jauh. Dia membuka pintu yang mengarah ke balkon kamar hotel. Dari balkon, lautan lepas terhampar begitu cantik. Biru gelap, langit di atas biru cerah. Awan berarak indah tak lelah bergerak. Sementara angin terasa menerpa wajah. Suasana pantai sangat terasa. “Wow … it is in
Jordan tersenyum lebar saat mengirim pesan itu pada ketiga sahabatnya. Selama ini buat mereka bersama wanita manapun, asal suka sama suka sah-sah saja. Tetapi jika bisa mendapatkan seseorang yang masih murni, rasanya seperti menang lotere yang besar. Karena itu Jordan ingin teman-temannya tahu, taruhan mereka membawa banyak kesenangan buat Jordan. Benar saja, beberapa menit berikut Warren menelponnya. Jordan tertawa kecil. Dia bisa membayangkan apa yang Warren akan katakan. Tidak ingin membangunkan Clarabelle, Jordan memilih menuju balkon dan bicara dengan Warren di sana. “Sial! Kamu tidak bercanda?” Kalimat yang Warren ucapkan tepat seperti yang muncul di kepala Jordan. “Aku memang pria ga jelas, tapi kamu tahu, aku bukan orang yang suka bohong. Kecuali terpaksa. Hee … hee …” Jordan terkekeh. “Kenapa malah kamu dapat banyak untung, hah?” kesal Warren. Bagaimana tidak? Dia dan kedua temannya ingin mengerjai Jordan, kenapa situasi justru seolah terbali