Share

2. Wanna Bet?  

“Jack, you hear me, don’t you?” ujar Susan. Dia tarik lengan Jack.

“Kamu jangan asal, Susan,” sergah Clarabelle. “Kamu mau aku jadi perusak hubungan orang? Jack dan Sabina akan segera menikah.”

“Sorry, aku hanya kesal, tapi juga kuatir padamu.” Susan mengerutkan keningnya. Dia lepaskan tangan Jack dengan rasa gundah.

Pandangan Jack masih tertuju pada Clarabelle. “Lala … Pikirkan lagi. Pernikahan itu bukan main-main. Menikah dengan orang yang saling kenal saja, bisa berantakan. Apalagi orang yang baru pertama kita jumpai.”

Clarabelle mendesah, menggeleng pelan. “Ini demi papaku. Dia merasa waktunya tidak akan lama dia hidup …” Butiran bening mengumpul di ujung mata Clarabelle.

Clarabelle hanya ingin membahagiakan orang tua yang tinggal satu-satunya. Dia tidak ingin menyesal jika tidak bisa mewujudkan harapan papanya. Meskipun takut, hati Clarabelle sudah bulat dengan keputusan itu. Percapakannya dengan sang ayah terbayang dengan jelas dalam ingatan Clarabelle dan terus mengusik hatinya.

*

“Lala, cuma itu yang Papa inginkan. Kamu mempunyai pendamping yang baik, yang akan melindungi kamu. Tidak lama Papa akan pergi. Jika kamu sendirian, Papa tidak akan tenang.” Pria berusia enam puluh tujuh tahun itu memandang putrinya. Clarabelle duduk di depannya, terlihat sedih. Dengan suara lirih dan sedikit gemetar, Adriano Johan mengutarakan keinginan terakhirnya.

“Papa …” Clarabelle, memegang tangan papanya yang dingin. Mata Clarabelle berkaca-kaca. Bagaimana hatinya tidak akan risau dan pedih? Dokter mengatakan papanya menderita gagal ginjal, satu ginjal tidak berfungsi, yang satu sudah tidak bekerja dengan baik. Kondisi Adriano sangat buruk. Semua usaha yang dilakukan untuk kesembuhan tidak begitu berarti, hanya menunda sementara, menunggu waktu hingga kedua ginjalnya berhenti bekerja.

“Sayang, kita tinggal di negeri ini tanpa saudara. Kalau aku pergi, kamu akan sendirian. Jika kamu ada pendamping, aku tidak akan pergi dengan rasa bersalah dan hati sedih.” Adriano menguatkan dirinya. Dia sedang galau, sangat resah.

Karena sakit, Adriano sudah pasti tidak bisa bekerja. Selama ini juga dia hanya penjadi pekerja lepasan yang tidak tentu hasilnya, sejak dia pensiun dari pekerjaannya yang lama. Clarabelle memang sudah bekerja di toko kue, dan hasilnya lumayan. Namun, jika harus membiayai Adriano berobat, itu cukup berat buat putrinya.

Sekalipun ada bantuan kesehatan dari pemerintah, tidak mencakup semua. Tetap ada biaya ini dan itu yang harus dikeluarkan. Satu-satunya yang ada di kepalanya adalah Clarabelle menemukan pria yang baik, yang mapan, dan menikah dengannya.

“Hidup kita di tangan Tuhan, Pa. Papa pasti sembuh,” ucap Clarabelle sedih. Rasanya berat sekali yang dia hadapi sekarang.

Sejak Adriano sakit, Clarabelle sering merasa cemas. Kalau dia tinggal papanya bekerja, lalu terjadi apa-apa, bagaimana? Ingin membayar perawat untuk menjaga papanya, tapi dia tidak ada biaya lebih. Hidupnya selama ini pas-pasan saja. Lalu, beberapa hari ini Adriano terus mendesak Clarabelle menemukan pasangan agar segera menikah.

“Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” bisik hati Clarabelle.

Clarabelle selama ini memang sudah metutup pintu hatinya untuk sebuah cinta. Sekalipun ada rasa simpatik muncul pada seorang pria, sekuat tenaga dia singkirkan jauh-jauh. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali dia terluka, cukup buatnya. Pengkhianatan yang dia alami, sangat perih rasanya. Bahkan jika bisa, Clarabelle memilih akan menjalani hidup sendiri, membahagiakan orang tua tunggalnya, yang kini harus terus bergelut dengan sakit.

Namun, permintaan papanya, tak mungkin Clarabelle abaikan. Jika benar umur sang ayah tidak lama lagi, Clarabelle akan sangat menyesal jika tidak memenuhi keinginan Adriano. Apalagi, sejak Clarabelle berusia empat belas tahun, mamanya meninggal, karena kanker rahim, papanya berjuang sendiri membesarkan Clarabelle. Bukankah seperti anak durhaka jika dia tidak mau mewujudkan harapan papanya?

Karena itu, ketika tanpa sengaja dia melihat pengumuman tentang dibukanya reality show itu, seolah sebuah jawaban datang di depan matanya. Sekalipun ada keraguan, Clarabelle mengirimkan data dirinya melamar menjadi peserta acara tersebut.

*

Jack dan Susan, tidak bisa lagi membujuk Clarabelle agar membatalkan rencananya. Situasi seperti tidak mau memihak pada Clarabelle. Mereka menatap pilu pada Clarabelle, dan berharap keputusan itu bukan sebuah kesalahan.

*****

Di sisi lain kota besar yang hampir tak pernah mati itu …

Terdengar hingar bingar suara musik keras di ruangan itu. Sorotan lampu berputar-putar dan berkedip-kedip mengelilingi seluruh ruangan. Ada tawa terdengar, ada suara teriakan, dan tidak ketinggalan seruan kegirangan. Lantai penuh dengan mereka yang bergoyang asyik mengikuti alunan musik. Club besar di kota itu tak pernah mati. Semakin malam semakin riuh dan semarak.

Di sudut kiri, empat pria muda duduk menghadapi meja sambil memegang gelas masing-masing. Seru sekali pembicaraan mereka. Kali ini topik yang sedang mereka gulirkan adalah jodoh buat Jordan Gerald Hayden. Pria muda berbadan tinggi tegap, berambut kecoklatan, yang cukup beken di kalangan mereka.

"Pelayan! Bawakan lagi tiga botol kemari! Bukan! Empat saja!" Jordan mengangkat tangan kepada pelayan yang lewat tak jauh dari mejanya.

"Baik, Tuan, segera," sahut pelayan itu. Dia berbalik dan melakukan yang diminta.

Teman-teman Jordan, mengakui selama ini Jordan memang paling digandrungi dan tak terkalahkan pamornya sebagai playboy. Tampangnya memang sangat menawan, mudah membuat wanita bertekuk lutut di bawah pesonanya. Wajah tampan dan tegas, hidung bangir, mata lebar dan tajam, sangat mudah membuat kaum Hawa menoleh padanya. Belum lagi nama belakangnya, Hayden, keluarga yang punya beberapa perusahaan, pasti dompetnya tak pernah kosong.

Teman-temannya entah bagaimana punya ide gila untuk mengerjai Jordan. Mereka membuat taruhan untuk Jordan dengan cara yang berbeda. Bukan sekedar Jordan bisa mendapatkan pasangan, tetapi memperoleh seorang istri.

“Jordan! Are you ready for this?” Ronald, pria dengan rambut cepak berwarna hitam di sebelah Jordan menyenggol lengannya.

Terus terang saja, taruhan ini menggelikan menurut Jordan. Hingga malam itu, Jordan sama sekali tidak ada pikiran akan menikah. Jauh dari kamusnya. Dia masih ingin menikmati kebebasan tanpa harus mengurus seorang wanita yang dia sebut dengan kata istri. Jordan hanya tersenyum, nyengir di ujung bibir, meneguk minumannnya tanpa mengatakan apapun.

“Kukira keturunan Hayden itu pria pemberani dan siap dengan tantangan apapun yang ada di depannya. Hm?” Dari arah depan, Louie, pemuda campuran India, dengan rambut ikal, menatap tajam pada Jordan. Dia sengaja memancing Jordan untuk menerima tantangan itu.

Jordan menggoyang-goyangkan gelas di tangannya, melirik ke arah teman-temannya.

“Okelah. Aku baru sadar, ternyata Jordan …”

“Wanna bet?" Belum selesai Ronald bicara, Jordan membuka mulutnya. "Aku akan buktikan aku bisa punya istri. Bukan hal sulit buatku, hanya saja aku merasa enggan terikat apapun dengan wanita.”

“Yuhuuu!!” Warren, pria yang bangga dengan jambangnya itu, yang dari tadi hanya memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. “Tiga bulan. Menurut kalian, dalam waktu tiga bulan, apakah Jordan bisa membawa ke hadapan kita seorang wanita yang memakai cincin dan kita panggil dia Nyonya Hayden?”

Ronald dan Louie mengangkat tangan di udara, toss dengan wajah sumringah. Mereka setuju dengan usul Warren. Dan yang membuat Jordan menegakkan badan, hampir bangun dari kursinya, saat Louie menantang dua mobil sport miliknya akan mereka sita jika Jordan kalah dalam taruhan itu.

“Shit!” Jordan mengumpat kesal. “Ini pememerasan!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status