Share

Married to My Anemy
Married to My Anemy
Author: Asyima Handayu

1. Tetap Tenang

"Panggil Diandra, Dik!" Raut wajah Zaid terlihat sangat serius.

Zaid sudah lima menit membaca proposal perencanaan kerja yang dikerjakan oleh Tim Diandra. Zaid tidak habis pikir, Diandra bisa meloloskan proposal itu tiba di meja Zaid.

"Baik Pak, saya akan memanggil Bu Diandra setelah jam makan siang usai."

"Jangan menunggu jam istirahat selesai Dik, panggil Diandra sekarang juga!"

"Tapi Pak.. Sepertinya Bu Dian tidak ada di ruangannya sekarang."

"Cari Dik, cari sampai ketemu dan bawa Diandra ke ruangan saya!"

"Baik Pak, saya akan mencari Bu Diandra. Saya pergi sekarang Pak."

"Hmm.. " Ucap Zaid.

Zaid adalah seorang CEO Muda yang sangat perfeksionis dan terkenal sangat menjengkelkan.

Setiap karyawan mengeluhkan cara kerja Zaid, tidak ada proposal rencana kerja yang berhasil lolos tanpa pengulangan setelah tiba di meja kerjanya. Bukannya kinerja pegawai Zaid yang buruk, tapi Zaid terlalu pemilih. Jika tidak begitu, mungkin Zaid tidak akan sukses di usianya seperti sekarang. Zaid sangat disiplin dan menilai kinerja seseorang seobjektif mungkin.

Setelah keluar dari ruangan Zaid, Dikta sangat bingung harus mencari Diandra kemana. Wanita itu sering keluar pada jam makan siang. Entah itu keluar untuk makan siang maupun melakukan kegiatan lain.

"Dimana aku harus mencari Bu Diandra? Uhhh.. Aku sangat bingung." Dikta sudah memeriksa ruangan kerja Diandra dan tidak menemukan Diandra disana.

"Tap.. Tap.. " Terdengar suara langkah kaki seseorang mendekat ke arah Dikta.

"Bu Dian.. Syukurlah." Dikta langsung lega. Ia menemukan wanita yang dicarinya.

"Ada apa? Kenapa kamu terlihat begitu gelisah Dik?" Tanya Diandra.

Seperti biasa, Diandra sudah paham dengan mimik wajah yang ditampilkan oleh Dikta, tapi Diandra tidak menyangka akan melihat ekspresi itu pada jam makan siang seperti ini.

"Gawat Bu, Pak Zaid lagi lagi gak puas sama proposal yang Tim Ibu kerjakan."

"Gak puas gimana? Proposal itu sudah dikerjakan sesuai arahan Pak Zaid kok. Hampir semua bagian sudah direvisi. Masih gak sesuai keinginan Pak Zaid juga?" Tanya Diandra.

"Saya juga tahu kalau Ibu dan Tim sudah merevisi semuanya Bu, tapi Pak Zaid sepertinya tidak suka. Ibu dipanggil Pak Zaid ke ruangannya."

"Katakan pada Pak Zaid saya akan segera kesana setelah makan siang," Diandra menujukan bungkusan makanan yang dipegang olehnya.

"Baik Bu, setelah menyantap makanan Ibu, Ibu harus segera ke ruangan Pak Zaid ya Bu," Pinta Dikta.

"Baiklah, kamu tidak perlu khawatir. Saya tidak akan lama."

"Baiklah Bu, saya tunggu disana."

"Iya," Jawab Diandra singkat.

Diandra berjalan menuju mejanya, lalu membuka file proposal yang dimaksud oleh Dikta tadi. Layar komputer sudah menampilkan bagian pendanaan.

Sampul menyantap Sushi yang sudah dibelinya tadi, Diandra kembali meninjau bagian pendanaan pada proposal itu.

Sedangkan Dikta kembali ke ruangan Zaid.

"Tok.. Tok.."

"Masuk Dik!" Suara bariton Zaid terdengar dari dalam ruangan.

Dikta segera membuka pintu ruangan Zaid dan masuk.

"Dimana Diandra?" Tanya Zaid.

"Bu Diandra baru saja kembali dari luar Pak. Bu Diandra mengatakan, dia akan segera ke ruangan Bapak setelah makan siang."

"Hahh?? Saya gak salah dengar?" Tanya zaid. Ia merasa tidak seharusnya menunggu Diandra selesai makan siang. Dia seorang Bos, tapi diminta untuk menunggu karyawannya selesai makan siang.

"Benar Pak. Ini masih 20 menit lagi jam istirahat selesai. Bu Diandra berjanji akan segera kesini."

"Kamu.." Zaid benar-benar kesal sekarang.

"Sekarang Dik, panggil Diandra sekarang juga," Titah Zaid.

Sedangkan di luar ruangan, Diandra sedang mendengarkan perintah yang harus segera dilakukan Dimta, yaitu meminta dirinya untuk segera ke ruangan Zaid.

"Ba.. Ba..ik.. Pak," Dikta terbata-bata.

"Cekrekk.. " Suara pintu terbuka mengagetkan kedua pria yang ada di dalam ruangan itu.

"Wah... Sepertinya Bapak tidak sabar sekali," Diandra berjalan mendekat ke meja Zaid.

"Keluarlhh Dik, nikmati makan siangmu," Bisik Diandra.

"Terimakasih telah menyelamatkan saya, Bu."

Diandra mengangguk.

"Jangan lupa tutup ruangannya Dik," Pinta Diandra.

Dikta segera keluar dan tidak lupa melaksanakan permintaan Diandra untuk menutup pintu.

Diandra meletakkan kresek yang berisi Sushi yang sama dengan yang dinikmatinya tadi di atas meja Zaid.

"Apa ini?" Tanya Zaid. Wajahnya masih begitu ketat.

"Sushi kesukaan Bapak. Saya tadi pergi keluar untuk makan siang, tapi saya mendapat banyak panggilan masuk dari Bapak. Saya tidak sempat makan disana dan membungkusnya untuk di makan di kantor saja."

"Saya juga tahu ini Sushi. Terus kenapa di letakin disini."

"Bapak pasti belum makan siang karena memeriksa proposal Tim saya, jadi saya membeli satu lagi untuk Bapak." Wajah Diandra tampak rileks.

Semenjak bergabung dengan perusahaan Zaid, tidak ada waktu baginya untuk bersantai. Kehidupan Diandra dipenuhi dengan kerja kerja dan kerja.

Ia harus menghadapi perangai Bosnya itu dengan tegar. Sedikit saja Diandra lengah, pasti ia akan langsung dijatuhkan habis habisan oleh Bosnya itu.

"Lain kali tidak perlu membelikan saya makan siang. Berapa uang kamu yang terpakai untuk ini?" Zaid menujuk kresek yang berisi makanan itu.

"Saya membelinya agar Bapak bisa makan siang. Tidak perlu mengganti uang untuk membelinya Pak."

"Baiklah, bukan saya yang mau free."

"Iya.. " Diandra memilih duduk dan membuka kresek itu. Dikeluarkannya Sushi yang ia beli di tempat favorit Zaid.

"Kamu mau apa?" Zaid menghentikan Diandra.

Diandra menatap tangan Zaid yang menggengam lengannya. Buru buru Zaid melepaskan lengan Diandra.

"Apa Bapak gak lapar? Gimana kalau Bapak makan sambil mendengarkan penjelasan saya. Dikta bilang Bapak tidak suka dengan proposal yang Tim saya kerjakan."

"Saya tidak bisa makan sambil bekerja."

"Ohh... Kalau begitu, Bapak makan saja dulu. Saya akan menunggu Bapak selesai."

"Gak perlu. Buang buang waktu, Saya akan makan sambil mendegarkan kamu."

"Baiklah," Diandra menyerahkan sumpit yang sudah dibukanya dari plastik pembungkus kepada Zaid.

Zaid menerima sumpit itu, lalu langsung menyantap Sushi yang merupakan makanan favoritnya.

"Syukurlah, Bu Diandra memang paling handal dalam menangani Pak Zaid," Ungkap Dikta. Dikta belum beranjak dari depan ruangan Zaid. Dikta sedikit khawatir dengan amarah Zaid yang mungkin akan menyebabkan Zaid bertingkah berlebihan pada Diandra.

Pintu ruangan Zaid terbuat dari kaca pada bagian tengah ke atas, jadi Dikta bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangan Zaid.

"Silahkan jelaskan apa yang ingin kamu jelasin," Ucap Zaid sambil mengunyah makanannya.

"Sebentar, saya ambilkan minum untuk Bapak dulu." Diandra segera bangkit untuk mengambil air minum untuk Zaid.

"Ini Pak. Makan pelan pelan ya Pak."

Diandra kembali duduk di hadapan Zaid. Ia mengatur layar komputer yang ada di meja Zaid dan membuka wa-nya di komputer Zaid. Ia segera mencari file proposal yang membuat Zaid tidak puas dengan kinerjanya.

"Apa Bapak tidak puas dengan bagian ini?" Diandra berhenti di halaman yang mungkin menyebabkan Zaid marah.

"Huk... Uhukk..." Zaid tersedak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status