Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu.
Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.
Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka.
Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan.
"Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."
Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk.
"Mungkin ... aku orang ketiganya di sini."
Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berada di posisi yang salah.
"Nayla!"
Suara bariton terdengar di sela-sela gemericik hujan beserta sebuah payung besar menutupi kepalanya.
Nayla mendongak perlahan.
"Shaka?"
Kala payung itu sedikit terangkat, wajah rupawan suaminya muncul begitu risau.
"Ke-kenapa kamu ke sini?" Nayla berpaling pandang.
Syok sangat tidak menduga kalau Shaka melihatnya. Seharusnya dia bersama mantan kekasihnya sekarang.
"Kenapa?" Shaka justru meneleng.
"Bukannya lagi sama mantanmu?" Nayla cemberut.
"Oh, dia cuma numpang sampai toko roti sekalian aku mau jemput kamu," jawab Shaka santai.
"Jemput ... aku?" Nayla kembali menatap Shaka.
Shaka mengangguk, "Aku pikir cuma Jakarta aja yang dilanda hujan, ternyata Bekasi juga." mengulurkan tangan untuk membantu Nayla berdiri, tetapi Nayla segera bangkit sendiri.
"Kenapa nggak ngabarin aku kalau kamu udah pulang? Kan, bisa aku jemput lebih awal," sambung Shaka.
"Nggak perlu. Ntar aku ganggu kalian. Lagian kamu pasti sibuk ini itu, mana sempat buat jemput aku." Nayla menepis payung Shaka.
Shaka diam sejenak sebelum menutup payungnya.
"Kamu cemburu?"
Pipi Nayla memerah, "Ha?! Ce-cemburu? Haha, mana mungkin! Udah, yuk, pulang. Sebelum hujannya makin parah."
Tanpa basa-basi Nayla pergi ke mobil lebih dulu meninggal Shaka yang bingung sendirian.
"Tapi dia kedengaran kayak cemburu." pangkal hidung Shaka berkerut.
Sekitar satu jam lebih mereka tiba di rumah. Ternyata di Jakarta hujannya jauh lebih parah.
Nayla tidak sungkan lagi untuk menggunakan semua perabotan di rumah Shaka. Mulai dari peralatan dapur sampai televisi di ruang tamu dia kuasai.
Ketika Nayla hendak memasak, pergerakannya dihentikan Shaka saat di depan kulkas.
"Kamu marah, ya?" heran Shaka.
Nayla tersenyum kaku, "Nggak, kok, marah kenapa coba. Awas, aku mau ambil bahan buat masak. Kamu mau makan apa? Malam-malam hujan-hujan begini enaknya yang berkuah, hehe."
Tingkah sok biasa dari Nayla membuat Shaka membiarkan gadis itu membuka kulkas.
"Bohong!"
Tangan Nayla berhenti ketika mengambil mie instan.
"Kamu bohong, Nay."
Nayla menoleh seperti robot, "A-apa?"
Shaka mendengkus pasrah, "Lupakan mie-nya. Kamu bersih-bersih dulu terus tunggu aku di sofa."
Shaka mengambil mie Nayla begitu saja dan mendorong Nayla ke ruang tamu.
"Eh, eh, 'kan, aku yang mau masak!"
Garuk-garuk kepala karena tugasnya diambil alih paksa. Lebih baik dirinya menikmati mandi air hangat saja sampai mie buatan Shaka tercium baunya.
Dua mangkuk mie instan lengkap dengan sayuran dan telur mata sapi siap di meja depan TV. Saluran berita di tengah cuaca buruk menjadi tontonan dengan volume rendah, juga tirai jendela yang terikat menampilkan kondisi malam yang masih diterjang hujan.
Namun, yang paling buruk adalah dia duduk berdua dengan Shaka di sofa yang sama. Hati Nayla menjerit karena jarak mereka terlalu dekat.
Lirik-lirik pandang yang dilihat sibuk meniup mie yang masih panas. Auranya terasa seperti mau disidang.
"Nggak mau dimakan mie-nya?"
Suara berat Shaka mendentumkan jantung Nayla.
"Aku makan, kok, aku makan."
Nayla memakan mie itu dan rasa hangat menjalar di tenggorokannya.
"Aku mau ngomong." mata melototi berita di layar kaca.
Dalam hati Nayla syok membenarkan asumsinya.
Shaka menoleh datar, "Kamu pasti mikir yang enggak-enggak soal aku sama Verlin. Iya, 'kan?"
Nayla kehabisan kata-kata. Seharusnya Shaka tidak perlu menebaknya karena Nayla bingung bagaimana harus menjawab.
Melarikan diri pun percuma. Nayla menghembuskan napas panjang dan menyeruput kuah mie.
"Cewek mana yang nggak kesal lihat pasangannya jalan sama cewek lain." bibir Nayla mengerucut.
Shaka menahan tawa hampir tersedak. "Maaf, maaf, aku kelepasan. Kamu ... jujur banget."
Pada akhirnya Shaka melepaskan tawanya. Nayla meletakkan sendok begitu saja dan menunjuk Shaka dengan wajah menahan malu.
"Kan, kamu ketawa! Aku tau ini bakal terjadi! Huh! Aku nggak mau ngomong lagi sama kamu!"
Shaka masih tertawa geli. Air matanya hampir keluar. Melihat Nayla mengamuk memukuli udara, Shaka mencekal tangannya dan menarik Nayla lebih dekat.
"Nayla, nggak peduli seberapa panjang masa lalu aku dengannya, tapi aku melihat masa depan di matamu."
Sontak Nayla terbelalak.
"Dan masa depan itu sangat panjang selagi ada harapan."
Napas Nayla tercekat.
"Harapanku adalah bersamamu. Di sisimu selama yang aku bisa. Sampai utusan tuhan datang memisahkan kita."
Wajah Nayla memanas sampai ubun-ubun refleks menarik diri menjauh di tepi sofa sambil membawa mie.
"Ka-kamu ngomong apa, sih? Haha, ngaco, deh."
"Aku serius." Shaka kembali pada acara makannya.
Wajah Nayla berubah pucat. Mana ada muka serius sambil nyeruput mie?
Perkataan Shaka memang keterlaluan. Ekspresinya sangat tidak mendukung jika ucapannya bisa dinalar. Namun, pada hakikatnya berhasil membuat Nayla mudah terpikat.
Nayla masih cemberut melihat Shaka.
"Emangnya boleh kata-katamu kupegang?"
"Kamu makan pun juga boleh." angguk Shaka.
Seketika bantal sofa melayang menghantam wajah rupawan itu.
"Shaka, kamu gombalin aku?!"
Shaka tersenyum mengambil bantalnya, "Hmm? Masa iya?"
"Tuh, 'kan, kamu sengaja godain aku! Jahil banget, sih, jadi orang!" Nayla memukuli Shaka membuat empunya terkekeh geli.
"Haha, akhirnya kamu ketawa?"
"Masa bodoh! Tau, ah!" Nayla berpaling setelah memukul Shaka dengan bantal terakhir.
"Malam ini aku mau bagian kasur yang lebih besar. Badan aku pegal semua gara-gara kamu pukul." Shaka sok kecapean meregangkan tangan.
"Nggak mau! Tidur aja di dapur!" tatapan memicing tajam ala Nayla memundurkan keberanian Shaka.
"Ha?! Kamu tega?" ekspresi Shaka memelas.
Nayla tidak peduli dan memilih pergi ke dapur untuk menghabiskan makanannya. Lalu, pertengkaran ala anak kecil itu berlanjut hingga beberapa hari.
Siapa tahu Shaka masih ada di situ. Sembari menyusuri tiap lorong dia membuka pintu yang bisa dibuka sambil menelepon Shaka. "Shaka, ayo angkat teleponnya." panik Nayla. Namun, tidak ada jawaban. Kalau begitu Nayla pulang. Dia ngebut tidak peduli lagi dengan peraturan lalu lintas asalkan bisa sampai rumah dengan cepat dan ternyata pintu rumahnya masih terkunci. Tidak ada mobil Shaka juga di sana. "Shaka?!" Nayla membuka pintunya dan berteriak, tetapi kosong. Sosok yang dia cari seakan menghilang tanpa jejak. Nayla gelisah menepuk dahi dengan sangat keras. "Kenapa aku nggak bisa nemuin kamu di mana-mana? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?" Suaranya sudah jatuh seperti langit saat ini. Angin menambah beban Nayla. Ia menyerang membuat pusaran di langit dan mengacaukan sekitar. Dedaunan mulai berterbangan bahkan suaranya berdengung di telinga Nayla. Dia menoleh ke segala arah. Kondisinya makin parah, detak jantungnya tak karuan, dan dia bingung. "Shaka ...," terus menggunakan n
"Kenapa nanya begitu? Mbak pikir aku orangnya kejam, ya, sampai nyuruh-nyuruh cewek yang aku suka? Ngomong-ngomong aku udah putus, loh, sama pacarku." Gilang syok. "Eits, nggak usah panik, tenang, tenang. Aku cuma nanya doang apa salahnya?" Nayla menyodorkan segelas air dingin kepada Gilang dan Gilang menerimanya dengan senang hati meskipun tatapannya masih memicing tajam. "Jangan-jangan ada motif tersembunyi." Gilang sudah payah menelan airnya. Beberapa detik saling pandang tanpa menemukan titik terang. Nayla tetap bersikeras berkata hanya ingin tahu. "Okay, kalau cuma itu gampang. Tapi hadiahnya segini banyak bukannya berlebihan apa?" mulut berbicara demikian, tapi tangan lain jawaban. Sibuk mencongkel es krim di dalam gelas. Wajahnya seketika membeku karena dinginnya es krim yang lumer di mulut. Dia bahagia sekali. "Ah, nggak apa-apa udah nikmatin aja. Buruan jawab keburu malam," singkat Nayla. Gilang berdecak pelan sambil berpikir, "Eee, kalau aku punya cewek yang cantik, s
Ingin dibilang rindu, tapi kebosanan lebih cenderung mendominasi, "Aku cuma bosan, bukan frustasi." Hanya mendengar sebaris pembelaan itu saja mata Shaka sudah terpejam. "Astaga! Cepet banget tidurnya. Dia pasti kecapean banget." perlahan Nayla menarik Shaka agar kepalanya dapat menyentuh bantal. Dia menyelimuti pria yang telah menjadi suaminya itu dengan hati-hati. Nayla terkikik sendiri, "Ternyata membuatmu senang itu terlalu mudah."Kemudian, dia ikut tidur dalam selimut yang sama. ~~~Nayla baru mengembalikan kamera ke Gilang karena kemarin lupa. Lagipula Gilang juga seharian tidak ada di kantor kemarin. "Makasih, ya, kameranya." dengan senyum lebar Nayla mengembalikannya. Gilang berdecak mengecek kameranya, "Kenapa mesti pinjam aku, sih? Mas Shaka juga pasti punya." "Hah, dia mana punya." Nayla mengibaskan tangannya. Gilang tidak percaya, "Mana mungkin nggak punya. Orang kaya begitu." "Shaka bukan tipikal cowok pengumpul barang-barang kaya gitu. Dah, ah, Bye-bye!" Nayla m
Nayla pulang lebih dulu. Di rumah tidak ada orang, sangat sepi belum lagi Shaka mengirim pesan kalau dirinya lembur. Dia bosan dan tidak ada pekerjaan. Jadilah sisa-sisa penghujung hari ini dijadikan sesi bersih-bersih dadakan. Menyapu, membersihkan debu, mengepel lantai, sampai mencuci ulang pakaian dan piring yang sudah bersih. Tirai-tirai pun diganti dengan yang baru sehingga rumahnya terlihat seperti baru dibangun. Nayla tersenyum lebar puas dengan hasil kerja kerasnya dan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Rambut hitamnya tergerai panjang, kaos putih yang agak kebesaran dan celana longgar selutut menjadi pilihan dalam hidup santainya. Di kamar Nayla hanya duduk bersandar ranjang dan menunggu. Memainkan Handphone sampai bosan sambil sesekali melirik jam. Bisa dibilang hampir setiap menit dia melirik jam. "Huft, kapan Shaka pulang?" Saat layar Handphone-nya mati karena terlalu lama dibiarkan, terlihat pantulan bayangan dari kalung kristal yang dia kenakan. Senyum Nayla ter
Keesokan harinya Nayla sudah ketar-ketir bagaimana harinya dimulai nanti di pukul dua belas siang. Segala macam pikiran buruk mampir di benak Nayla. Seperti menyapu, mengepel lantai, meskipun dia melakukannya sehari-hari tetapi rasanya mendengar perintah disuruh dari mulut orang lain itu menyakitkan. Nayla tidak mau melakukan itu lagi. Dia sudah lelah menjadi babu. Namun, apa yang dia dapat bukanlah seperti apa yang dia bayangkan. Di jam istirahat di mana seharusnya Shaka mulai menuntut janjinya, Shaka justru memberi pesan jika sebaiknya ditunda hari minggu saja karena Shaka ada banyak pekerjaan hari ini. "Apa?!" Nayla berteriak di mejanya membuat semua orang menoleh kaget. Nayla tersenyum minta maaf sebelum kembali berkutat dengan Shaka. "Shaka, kamu udah bikin aku pusing tujuh keliling jangan asal main batalin aja, dingz" begitu balasnya ke pesan Shaka. Lalu, jawaban Shaka terlalu singkat yaitu sebuah kata maaf. Nayla ingin membanting Handphone rasanya, tetapi kasihan Handphone-
Mendung tiba-tiba menjarah cerahnya langit. Kenapa setiap hal yang terlihat begitu baik harus dihapus sesegera mungkin. Nayla belum puas bermain apalagi foto jeleknya di Handphone Shaka belum berhasil dibuang. Nayla menatap awan-awan kelabu tua itu dengan sangat gelisah, "Apa bakal turun hujan ekstrim lagi?" Tanpa dia sadari Shaka menariknya untuk terlentang berdua. Nayla terkesiap dan lengan kokoh Shaka menjadi bantalannya. Nayla menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Shaka sehingga dia kembali menatap langit. Tidak bisa bangkit juga meskipun Shaka tidak menahan. Itu terasa sangat tenang di bawah mendung yang erus menyibak langit biru. "Kita begini aja sebentar," suara Shaka berbisik di telinga Nayla. Nayla terasa geli dan anehnya dia tidak protes. Angin yang bertiup bukan terasa panas lagi, tetapi dingin. Dingin yang sejuk seperti aroma hujan. "Kalau kita kehujanan gimana?" tangan Nayla menengadah seolah dapat meraih salah satu awan yang mulai saling menyambung, "Aku bisa menci