Home / Romansa / Married to My Childhood Friend / 4. Aku Melihat Masa Depan di Matamu

Share

4. Aku Melihat Masa Depan di Matamu

Author: Aloegreen
last update Last Updated: 2024-12-31 16:19:25

Kini Nayla mengerti apa arti dari mendung yang sebenarnya, yaitu kegelapan di antara hawa dingin yang menembus kesadaran dua individu. 

Dingin dari derasnya guyuran air, petangnya semesta di pukul enam sore, dan lampu di sepanjang trotoar yang menyala redup.

Suara adzan pun terdengar jelas berdengung di telinga Nayla, tetapi kedua orang tersebut begitu riang memasuki sebuah toko roti yang masih buka. 

Nayla tersenyum antara pahit dan manis menjadi satu. Dia kembali mundur duduk di teras kantor yang hampir basah akibat percikan hujan. 

"Kenapa enggak? Mereka pernah pacaran, mungkin masih saling menyukai."

Pandangannya ikut meredup seiring kepala tertunduk.

"Mungkin ... aku orang ketiganya di sini." 

Dicampakkan bukanlah hal buruk. Nayla sudah sering mengalami ketidakadilan sejak kecil, jadi untuk apa berkecil hati. Tidak perlu sedih hanya karena memikirkan hal yang bukan-bukan. Kalaupun Shaka masih mencintai Verlin, Nayla akan tetap tersenyum. Dia sadar kalau di sini dia lah yang berada di posisi yang salah. 

"Nayla!" 

Suara bariton terdengar di sela-sela gemericik hujan beserta sebuah payung besar menutupi kepalanya. 

Nayla mendongak perlahan. 

"Shaka?" 

Kala payung itu sedikit terangkat, wajah rupawan suaminya muncul begitu risau. 

"Ke-kenapa kamu ke sini?" Nayla berpaling pandang. 

Syok sangat tidak menduga kalau Shaka melihatnya. Seharusnya dia bersama mantan kekasihnya sekarang.

"Kenapa?" Shaka justru meneleng. 

"Bukannya lagi sama mantanmu?" Nayla cemberut.

"Oh, dia cuma numpang sampai toko roti sekalian aku mau jemput kamu," jawab Shaka santai.

"Jemput ... aku?" Nayla kembali menatap Shaka. 

Shaka mengangguk, "Aku pikir cuma Jakarta aja yang dilanda hujan, ternyata Bekasi juga." mengulurkan tangan untuk membantu Nayla berdiri, tetapi Nayla segera bangkit sendiri. 

"Kenapa nggak ngabarin aku kalau kamu udah pulang? Kan, bisa aku jemput lebih awal," sambung Shaka.

"Nggak perlu. Ntar aku ganggu kalian. Lagian kamu pasti sibuk ini itu, mana sempat buat jemput aku." Nayla menepis payung Shaka. 

Shaka diam sejenak sebelum menutup payungnya. 

"Kamu cemburu?" 

Pipi Nayla memerah, "Ha?! Ce-cemburu? Haha, mana mungkin! Udah, yuk, pulang. Sebelum hujannya makin parah." 

Tanpa basa-basi Nayla pergi ke mobil lebih dulu meninggal Shaka yang bingung sendirian. 

"Tapi dia kedengaran kayak cemburu." pangkal hidung Shaka berkerut. 

Sekitar satu jam lebih mereka tiba di rumah. Ternyata di Jakarta hujannya jauh lebih parah. 

Nayla tidak sungkan lagi untuk menggunakan semua perabotan di rumah Shaka. Mulai dari peralatan dapur sampai televisi di ruang tamu dia kuasai. 

Ketika Nayla hendak memasak, pergerakannya dihentikan Shaka saat di depan kulkas. 

"Kamu marah, ya?" heran Shaka. 

Nayla tersenyum kaku, "Nggak, kok, marah kenapa coba. Awas, aku mau ambil bahan buat masak. Kamu mau makan apa? Malam-malam hujan-hujan begini enaknya yang berkuah, hehe." 

Tingkah sok biasa dari Nayla membuat Shaka membiarkan gadis itu membuka kulkas. 

"Bohong!" 

Tangan Nayla berhenti ketika mengambil mie instan. 

"Kamu bohong, Nay." 

Nayla menoleh seperti robot, "A-apa?" 

Shaka mendengkus pasrah, "Lupakan mie-nya. Kamu bersih-bersih dulu terus tunggu aku di sofa." 

Shaka mengambil mie Nayla begitu saja dan mendorong Nayla ke ruang tamu. 

"Eh, eh, 'kan, aku yang mau masak!" 

Garuk-garuk kepala karena tugasnya diambil alih paksa. Lebih baik dirinya menikmati mandi air hangat saja sampai mie buatan Shaka tercium baunya. 

Dua mangkuk mie instan lengkap dengan sayuran dan telur mata sapi siap di meja depan TV. Saluran berita di tengah cuaca buruk menjadi tontonan dengan volume rendah, juga tirai jendela yang terikat menampilkan kondisi malam yang masih diterjang hujan. 

Namun, yang paling buruk adalah dia duduk berdua dengan Shaka di sofa yang sama. Hati Nayla menjerit karena jarak mereka terlalu dekat.

Lirik-lirik pandang yang dilihat sibuk meniup mie yang masih panas. Auranya terasa seperti mau disidang.

"Nggak mau dimakan mie-nya?" 

Suara berat Shaka mendentumkan jantung Nayla. 

"Aku makan, kok, aku makan." 

Nayla memakan mie itu dan rasa hangat menjalar di tenggorokannya. 

"Aku mau ngomong." mata melototi berita di layar kaca. 

Dalam hati Nayla syok membenarkan asumsinya.

Shaka menoleh datar, "Kamu pasti mikir yang enggak-enggak soal aku sama Verlin. Iya, 'kan?" 

Nayla kehabisan kata-kata. Seharusnya Shaka tidak perlu menebaknya karena Nayla bingung bagaimana harus menjawab. 

Melarikan diri pun percuma. Nayla menghembuskan napas panjang dan menyeruput kuah mie. 

"Cewek mana yang nggak kesal lihat pasangannya jalan sama cewek lain." bibir Nayla mengerucut. 

Shaka menahan tawa hampir tersedak. "Maaf, maaf, aku kelepasan. Kamu ... jujur banget." 

Pada akhirnya Shaka melepaskan tawanya. Nayla meletakkan sendok begitu saja dan menunjuk Shaka dengan wajah menahan malu. 

"Kan, kamu ketawa! Aku tau ini bakal terjadi! Huh! Aku nggak mau ngomong lagi sama kamu!" 

Shaka masih tertawa geli. Air matanya hampir keluar. Melihat Nayla mengamuk memukuli udara, Shaka mencekal tangannya dan menarik Nayla lebih dekat. 

"Nayla, nggak peduli seberapa panjang masa lalu aku dengannya, tapi aku melihat masa depan di matamu." 

Sontak Nayla terbelalak. 

"Dan masa depan itu sangat panjang selagi ada harapan." 

Napas Nayla tercekat. 

"Harapanku adalah bersamamu. Di sisimu selama yang aku bisa. Sampai utusan tuhan datang memisahkan kita." 

Wajah Nayla memanas sampai ubun-ubun refleks menarik diri menjauh di tepi sofa sambil membawa mie. 

"Ka-kamu ngomong apa, sih? Haha, ngaco, deh." 

"Aku serius." Shaka kembali pada acara makannya. 

Wajah Nayla berubah pucat. Mana ada muka serius sambil nyeruput mie?

Perkataan Shaka memang keterlaluan. Ekspresinya sangat tidak mendukung jika ucapannya bisa dinalar. Namun, pada hakikatnya berhasil membuat Nayla mudah terpikat. 

Nayla masih cemberut melihat Shaka.

"Emangnya boleh kata-katamu kupegang?" 

"Kamu makan pun juga boleh." angguk Shaka.

Seketika bantal sofa melayang menghantam wajah rupawan itu. 

"Shaka, kamu gombalin aku?!" 

Shaka tersenyum mengambil bantalnya, "Hmm? Masa iya?" 

"Tuh, 'kan, kamu sengaja godain aku! Jahil banget, sih, jadi orang!" Nayla memukuli Shaka membuat empunya terkekeh geli. 

"Haha, akhirnya kamu ketawa?" 

"Masa bodoh! Tau, ah!" Nayla berpaling setelah memukul Shaka dengan bantal terakhir. 

"Malam ini aku mau bagian kasur yang lebih besar. Badan aku pegal semua gara-gara kamu pukul." Shaka sok kecapean meregangkan tangan.

"Nggak mau! Tidur aja di dapur!" tatapan memicing tajam ala Nayla memundurkan keberanian Shaka.

"Ha?! Kamu tega?" ekspresi Shaka memelas.

Nayla tidak peduli dan memilih pergi ke dapur untuk menghabiskan makanannya. Lalu, pertengkaran ala anak kecil itu berlanjut hingga beberapa hari. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Married to My Childhood Friend   44. Rasanya Terlahir Kembali

    "Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b

  • Married to My Childhood Friend   43. Hadiah Kecil yang Mematikan

    Mencari begitu lama, Nayla akhirnya memberitahu bahwa dia ingin catatan biografi Verlin dengan alasan untuk belajar. Tidak tahu bodoh atau lugu mahasiswi itu memberikan semua catatan umum Verlin kepada Nayla. Ketika membacanya, Nayla bagai tertiban reruntuhan emas. Identitas asli Verlin lebih menakutkan dari yang dia kira. Ternyata wanita itu adalah keturunan konglomerat. Tidak heran takdirnya bisa sesukses dan sekaya itu. Uang sudah seperti debu baginya. Tanpa dicari pun kepopuleran dan harta akan datang dalam genggamannya. Nayla menutup semua buku itu sembari menarik napas dalam. "Aku mengerti sekarang. Dia bukan lawan yang bisa dihadapi sembarangan," gumam Nayla tanpa sengaja mengutarakan isi pikirannya. "Hmm? Kamu bilang sesuatu?" mahasiswi itu tiba-tiba bingung mendengar Nayla di saat sedang sibuk membaca. "Oh, bukan apa-apa. Terima kasih, ya, kau sangat membantu. Aku sudah merekap beberapa inti yang kuanggap penting. Kurasa aku tau apa yang harus kulakukan." Nayla menggoya

  • Married to My Childhood Friend   42. Lokasi ke Dua

    "Hahaha, terima kasih atas traktirannya. Jadi merasa tidak enak," kata orang ke satu. "Haha, jangan sungkan. Kita sama-sama berteduh, hahaha. Oh, iya, tadi kalian bilang pemilik toko ini seorang model, ya? Aku karyawan di kantor itu. Kami sedang mencari model yang pas untuk mengiklankan produk terbaru kami. Mungkin saja pemilik toko ini bisa membantu." senyum tulus Nayla bahkan tercermin di matanya. Nayla tidak ragu-ragu untuk berakting bahkan merogoh isi dompet untuk mentraktir dua orang asing itu dengan kopi dan roti. Orang ke satu mendesah, "Takutnya kalian tidak akan bisa mengatur kontrak dengannya." Nayla berkedip, "Kenapa?" "Aku tau dari berita dia sangat mahal dan jarang terikat dengan kontrak. Siapa juga yang membutuhkan banyak pekerjaan kalau sudah kaya. Bukankah toko ini terlalu sukses?" orang pertama itu mengendikkan bahu menyindir terang-terangan. Nayla mengangguk dan bersandar kursi. Membiarkan kedua orang itu menikmati kopinya. "Hmm, benar juga. Hah, sayangnya men

  • Married to My Childhood Friend   41. Informasi

    Pandangan rapuh nan teduh itu seperti helaian sutera yang terbang di udara. Jari-jemari Nayla merasakannya. Bagaimana bisa rambut seorang pria bisa sehalus itu. Padahal shampo yang mereka kenakan sama. Senyum Nayla tak pernah pudar melihat wajah lugu Shaka tertidur di sampingnya. Seolah-olah kursi kecil itu ikut menanggung lelah yang Shaka derita. "Ganteng banget," gumam Nayla. Pikirnya pantas saja Verlin mengejar Shaka setengah mati."Huft, Verlin, ya?" terus bermain dengan rambut Shaka. Sorotan mata terarah ke langit-langit putih tulang. "Aku harus lakuin sesuatu ke dia. Kayaknya ... dimulai dari mencari informasi tentang dia. Siapa dan apa latar belakang cewek kejam itu yang sebenarnya." Kondisi mulai stabil. Lelah sepertinya tidak bisa bilang, tetapi kata dokter Nayla sudah boleh pulang. ~~~Pagi telah berubah. Matahari menyembunyikan sinarnya. "Hah? Pagi-pagi begini udah turun hujan aja." Bibir merah sakura mencondong dengan tangan menampung rintikan air yang turun. "Uda

  • Married to My Childhood Friend   40. Pingsan

    Napas lega bisa Nayla hela sekarang. Akhirnya truk itu kembali dengan kosong. Pihak perusahaan yang diajak kerjasama juga telah memberi balasan dan menerima dua persen dari penjualan. Suara pukulan ringan di cermin wastafel kamar mandi terdengar bersamaan helaan napas."Akhirnya selesai juga." Badan sudah hampir ambruk sampai mati rasa, tetapi mental dipaksa berdiri bagaimanapun caranya. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang. Beruntung perusahaan itu punya banyak wadah yang bisa mendistribusikan semuanya." Pantulan cermin sudah bukan seperti dirinya. Wajah yang gelap, kantung mata menghitam, dan bibir kering pucat seperti mayat hidup. Nayla membasuh wajahnya berkali-kali sampai matanya perih kemasukan air. Lepas itu dia pergi menjelaskan segalanya kepada sang atasan hingga hasil pendapatan pun diterima. "Wah, Nayla, kamu melakukan semua ini sendirian? Hanya dengan satu hari satu malam? Wah, kamu jenius atau apa?" "Gila! Dia benar-benar gila! Bisa membolak-balikkan fakta sekejap itu

  • Married to My Childhood Friend   39. Kiprah Nayla untuk Membersihkan Nama

    "Ssttt, kecilkan suaramu. Ntar kalau kedengeran orang lain gimana?" Nayla menaruh telunjuk di bibir. Seketika Vira membungkam mulutnya. Dia celingukan ke segala arah. Tidak ada orang lain di kamar mandi selain mereka, Vira rasa aman. "Eh, kasih tau aku semuanya cepetan. Kamu habis dari mana aja? Satu kantor heboh pusing tau nggak gara-gara kamu." desisan Vira haus informasi. Helaan napas lelah Nayla muncul bersama kerutan dahi yang seolah enggan menghilang sejak pagi. "Aku ... pergi ke kantor itu. Aku nekat minta bantuan buat mendistribusikan produk kita ke tempat lain dengan syarat penjualan naik dua persen. Dan dua persen itu sepenuhnya untuk mereka. Perusahaan kita cuma bakal dapat harga yang ditetapkan sebelumnya aja," jelas Nayla kelelahan. "What?! Astaga, kamu nekat sampai kayak gitu?! Parah, parah, aku makin pusing. Ini beneran?! Kamu ke luar kota buat atur sendiri kelanjutan Problem hantu itu?!" "Hantu?" Kening Nayla berkerut."Iya, hantu, 'kan, tiba-tiba muncul aja gitu

  • Married to My Childhood Friend   38. Tuduhan Palsu

    Sebuah pesan tak dikenali meneror ponsel Nayla. Sekuat tenaga gadis itu lari ke ruang manajerial kepala divisi atas tuduhan pemalsuan dokumen.Seharusnya surat persetujuan pengiriman produk lama ke luar kota itu tidak ada, tetapi jelas-jelas surat itu diterima Nayla dan masuk ke dalam rekap surat masuk harian.Jelas Nayla sudah mencatat tanggalnya. Surat itu dikirim kemarin. Berkasnya pun masih ada dan dia harus mempertanggungjawabkan itu semua. "Apa? Bagaimana bisa saya memalsukan surat? Ini tuduhan palsu! Jelas-jelas surat itu datang kemarin. Pak satpam yang memberikannya. Banyak saksi mata yang menyaksikan, Pak," bela Nayla di hadapan sang manajer. Namun, apa bisa didaya? Meskipun satpam dipanggil untuk dimintai keterangan tetap saja Nayla bersalah. Satpam itu mengaku telah memberikan Nayla surat, tetapi bukan surat yang sedang dipertanyakan. Nayla gemetar dalam sudut tatapan tajam para penanggungjawab. "Tidak mungkin!" Tuduhan yang dilayangkan semua orang mengikis rasa tanggu

  • Married to My Childhood Friend   37. Merebut Hati Para Atasan

    Daripada terus berlarut dalam ketakutan yang tiada sebab, Nayla menyeret Shaka untuk angkat kaki dari kost tersebut. Laki-laki itu menurut saja daripada Nayla terserang trauma kegelapan listrik padam. Akhirnya mereka berujung di jalanan. Mata sudah seperti bohlam rusak, bahaya jika terus berkendara. "Huft, kita ke hotel." Shaka menghela napas lelah. Nayla menoleh, "Tapi itu lumayan jauh, loh." "Lebih jauh rumah orang tua kita yang sama-sama di Bekasi. Daripada mengumbar malu balik dan tidur di kantor, lebih aman kita ke hotel," terang Shaka. Nayla menatap kaca depan yang sepi, "Kenapa nggak dari tadi aja? Bikin jantung aku mau copot rasanya. Kost satu hari itu mengerikan." bulu kuduk Nayla berdiri lagi. "Itu karena mati listrik tau," kilah Shaka. "Tapi suara di balkon nyata tau," balas Nayla seolah ketakutannya akan bangkit. Shaka menghela napas saja mengakhiri pembicaraan. Jika dipaksa bicara mereka berdua bisa pingsan kelelahan. Benar, sekarang pukul dua dini hari. Akhirnya

  • Married to My Childhood Friend   36. Pemadam Listrik Serentak dan Ketakutan Nayla

    Nayla menggigil bukan karena sikap dingin Shaka, melainkan hawa malam tiba-tiba dingin seperti es. "Sshhh, Shaka ... ini masih di tenah kota, 'kan? Kenapa rasanya kayak di pegunungan?" Nayla menggosok kedua lengannya sambil mendesis. Hembusan napas pun menjadi asap. "Itu karena kami berdiri di balkon. Cepat masuk. Aku ajak kamu pulang supaya bisa tidur, bukan bergadang." Shaka mengayunkan tangannya memanggil Nayla dari ambang pintu kamar. Nayla mendekat dn pintu pun ditutup Shaka. "Haaaa! Kipasnya nyala!" Teriakan Nayla membuat bulu kuduk Shaka berdiri . "Apa, sih?!" Shaka kaget. "Se-sejak kapan ada kipas di situ? Perasaan tadi nggak ada. Kenapa juga bisa nyala?!" jari Nayla gemetaran menunjuk kipas berdiri di pojokan. Wajah Shaka pucat seketika. "Nayla, sejak kapan kamu buta?" geleng-geleng kepala memilih tidur dan menutup kepala dengan bantal. Membiarkan Nayla heboh dengan pikiran negatifnya. Gadis itu sibuk menunjuk semua hal dengan mata tajam dan leher yang dingin. "Apa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status