Menikah tanpa cinta itu hal yang biasa. Karena tuntutan usia Nayla terpaksa melamar teman masa kecilnya Shaka untuk menikah secara kilat. Nayla yang dipenuhi dengan masa kelam akan pembulian serta misteri membuat Shaka mulai membuka hatinya dan rela menjadikan dirinya sebagai obat trauma sekaligus alat balas dendam untuk membalaskan setiap perbuatan buruk yang Nayla terima. Namun, cinta mereka terhalang oleh mantan kekasih Shaka dan juga orang-orang yang ingin memisahkan mereka. Tantangan pernikahan tidak berhenti meskipun keduanya saling berkorban iring berganti. Akankah kisah cinta mereka bersemi abadi seperti orang-orang pada umumnya. Akankah rumah tangga kilat mereka mampu bertahan hingga maut menjemput. Atau mungkin keputusan Nayla untuk menikah dengan Shaka adalah mimpi buruk. Entahlah, siapa yang tahu.
View MoreSatu jam yang lalu kata sah menggema di gedung pernikahan. Semua keluarga dan saksi mata terharu menyaksikan kesakralan upacara ijab kabul. Namun, Nayla justru dilanda kalut. Dia hampir tidak bisa bernapas di kamarnya.
"Bodoh! Kenapa aku nikah sama temen sendiri?!"
Flashback menghantui benak Nayla. Awal mula direcoki berbagai pertanyaan mendesak yang membuat sakit telinga tentang kapan nikah sampai julukan perawan tua pun membludak, hingga akhirnya semalam Nayla bertemu Shaka teman masa kecilnya yang baru kembali dari Jakarta karena sedang liburan selama satu minggu dan tiba-tiba besoknya mereka sudah ada di depan penghulu mengikat janji suci serta melepas masa lajang.
Memori ingatan Nayla seketika rusak parah. Dia pingsan tepat saat pintu kamarnya dibuka.
"Nayla?! Astaga, Nayla, kamu kenapa?! Kamu pingsan?!"
Tidak ada yang menjawab. Shaka panik menggendong Nayla dan menidurkannya di ranjang.
Lepas dari lelahnya serangkaian acara pernikahan sederhana tanpa resepsi, kedua keluarga mempelai justru menari di atas penderitaan Nayla dan Shaka. Tidak tahu kalau Nayla sudah sadar sejak mencium aroma minyak kayu putih yang dioleskan Shaka di hidungnya.
"Ah, kamu udah siuman? Syukurlah!"
Nayla kaget bangun-bangun melihat Shaka di sampingnya. Pakaian pengantin masih melekat di badan mereka dan Nayla tahu apa yang telah terjadi.
Dia pingsan setelah ijab kabul. Kemudian, Shaka membantunya. Artinya mereka hanya berdua saja di kamar? Mengingat hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Eee, ayah sama ibu mana?" Nayla sedikit celingukan.
"Mereka di depan. Dari tadi cuma aku yang ada di sini." jawab Shaka pelan sambil tersenyum.
Hancur hati Nayla. Apa orang tuanya tidak lagi peduli padanya? Tetapi inilah kenyataan. Mereka hanya berharap dia menikah karena usianya yang sudah hampir kadaluarsa di mata masyarakat.
Dia melirik Shaka yang sibuk membersihkan handuk kecil dan minyak kayu putih di laci. Paras rupawan itu terlihat sangat tampan memakai jas hitam walaupun memasang wajah datar. Sesekali hanya tersenyum kalau sedang berbicara dengannya.
"Shaka ... keberatan nggak, ya?" lirih Nayla hampir tak terdengar.
Shaka berganti sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam koper. Dia membawa banyak pakaian ganti karena kemarin belum sempat membongkar kopernya sudah keburu dilamar Nayla diajak langsung nikah.
Terlalu mendadak, tapi sepertinya tidak ada pilihan lain. Mereka sama-sama dituntut karena berada di usia yang genap tiga puluh tahun.
Akhirnya koper dan baju kotor Shaka ada di rumah Nayla dan dia harus memisahkannya di koper lain agar mudah untuk membawanya pindah besok. Rencananya mereka akan pergi setelah fajar.
Setiap pergerakan Shaka tidak lepas dari mata Nayla. Meskipun dalam hati masih bergejolak merasa gila telah melamar teman sendiri.
"Shaka, habis ini kita tinggal di rumahmu aja, ya, yang di Jakarta. Kamu nggak keberatan, 'kan?"
"Asal kamu yang minta aku nggak keberatan," jawab Shaka tanpa berhenti dari aktivitasnya.
Nayla diam sejenak.
"Kalau nikah sama aku ... kamu keberatan?" suaranya mulai memelan.
Pergerakan Shaka terhenti. Dia menoleh membuat Nayla tersentak.
"Kenapa? Kamu kecewa?"
"E-enggak, bukan gitu maksudnya." Nayla panik.
Shaka terkekeh lalu duduk di tepi ranjang dan menepuk kepala Nayla.
"Asalkan itu kamu aku terima apapun keadaannya."
Pipi Nayla langsung memerah. Dia menepis tangan Shaka dan berpaling, sedangkan Shaka kembali berbenah.
Melihat punggung itu yang terus bekerja tanpa sadar menghanyutkan pandangan Nayla. Gadis itu terus meragukan keputusannya.
Hanya karena frustasi akan desakan keluarga, dia sampai mengorbankan perasaan dan hidup temannya tanpa bertanya terlebih dahulu.
Nayla tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Shaka. Sedikit menyeramkan, tetapi diamnya cukup membuat Nayla nyaman. Caranya bicara selalu menghangatkan hati. Apa mungkin di masa depan Nayla bisa jatuh cinta dengan laki-laki ini. Secara Shaka adalah teman masa kecilnya.
Keesokan harinya ketika sibuk memasukkan barang-barang ke mobil, Nayla mendapat surel dari pekerjaannya.
"Nona Shakia Nayla Bestari yang terhormat, selamat atas pernikahannya. Anda diizinkan untuk mengambil cuti pernikahan selama satu pekan."
Nayla syok membaca surel itu sampai Handphone-nya hampir jatuh.
"Nah, kebetulan aku juga dalam masa libur. Kita sama-sama nggak kerja." Shaka menjentikkan jari.
"Kamu malah seneng?" balas Nayla tidak habis pikir.
Nayla justru ingin bekerja untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan. Terlebih lagi dari mana perusahaan tahu kalau dia tiba-tiba menikah.
Dilema yang terpaksa Nayla terima. Baru hendak masuk ke mobil, seseorang melambaikan tangan di depan rumahnya.
"Shaka!"
Nayla mendongak. Seketika terpesona dengan kehadiran sosok perempuan cantik yang memakai dress mahal itu. Lain dengan Shaka yang berdiam kaku.
"Verlin?"
"Hmm?" Nayla melirik bingung.
"Ternyata benar kamu." perempuan itu segera berlari menghampiri Shaka.
Dalam hati Nayla terkejut. Shaka hanya diam, tapi perlahan-lahan senyum tipisnya muncul ragu-ragu. Gerak-gerik Shaka terlihat aneh membuat Nayla sedikit penasaran. Siapa sebenarnya Verlin itu?
Dua cangkir kopi panas mengepul di meja, tetapi di balik tirai penghubung antara ruang tamu dan dapur ada yang jauh lebih panas daripada kopi.
Nayla menguping pembicaraan mereka berdua sambil memegang ujung tirai takut ketahuan, padahal suara mereka tidak bisa didengar sama sekali.
Setelah beberapa menit berbincang perempuan itu nampak sedih meskipun disembunyikan. Tersirat di wajahnya begitu jelas terlebih lagi ketika pergi dari rumah Nayla.
Nayla segera mendekati Shaka yang berdiri di ambang pintu melihat kepergian Verlin.
"Bentar amat ngobrolnya. Siapa dia?" tanya Nayla santai.
"Mantan aku."
"Apa?!" kedua bola mata Nayla hampir lepas.
Shaka bergegas ke mobil.
"Se-sejak kapan kamu punya pacar?! Jangan bilang dia sedih gara-gara kamu nikah sama aku. Eh, kejar, dong, kasihan itu dia nangis." Nayla menunjuk kepergian Verlin.
Shaka berhenti melangkah, "Emangnya kamu mau aku ngejar dia?"
Nayla tersentak tatapan laki-laki itu tajam.
"Tenang aja, kita udah putus lama. Ini nggak ada hubungannya sama kamu."
Pintu mobil dibuka dan Shaka menjadi sangat dingin, berbeda dengan tadi malam. Nayla membiarkan laki-laki itu di dalam mobil, sedangkan dia sendiri sedang berkecamuk. Sudah Nayla duga, Shaka pasti menyesal telah menikahinya.
Lewat pukul sepuluh pagi, Nayla resmi meninggalkan kota Bekasi. Perasannya semakin tidak karuan semenjak acara kemarin ditambah kemunculan mantan pacar Shaka. Sejak itu Shaka diam tidak mau bicara dengannya.
Nayla tahu laki-laki bernama Shaka Arya Wiratama itu sudah pendiam sejak kecil dan hanya bicara seperlunya saja, tetapi diamnya kali ini merubah suasana menjadi hening. Terlebih lagi canggung karena posisi mereka bukan lagi teman biasa, melainkan suami-istri.
"Dasar es batu!" gerutu Nayla semu.
"Apa?" Saga mengernyit.
"Ha? Emangnya aku ngomong, ya?" Nayla menoleh pura-pura bodoh.
Shaka berdecak cuek kembali fokus mengemudi. Nayla juga mencebikkan bibirnya membuang muka ke jendela.
Tidak bisa diajak kompromi, langit mendadak mendung dan teror petir mulai menghujam. Mereka masih dalam perjalanan sudah dihadang angin kencang. Mobil Shaka bergoyang ketika berhenti di lampu merah.
"Shaka, kayaknya mau hujan. Kita neduh dulu apa gimana?"
Panik sambil menutupi telinga erat-erat takut akan suara petir. Shaka bukannya menjawab dia langsung melepas Seat Belt Nayla dan menarik Nayla lebih dekat.
"Sini!"
Shaka menekan kedua tangan Nayla ikut menutupi telinga Nayla.
"Kamu takut petir, 'kan? Diam aja, nggak apa-apa aku di sini," ujar Shaka begitu hangat.
Suara petir jatuhnya terdengar seperti kembang api. Gadis itu terkejut karena Shaka masih ingat tentang dirinya.
"Shaka?! Shaka di mana kamu?! Tidak mungkin! Ini semua tidak mungkin! Beraninya kau menipukuuuu!" Amarah Verlin menggema di villa. Seluruh orang suruhannya dikerahkan melacak keberadaan Shaka melalui akses keuangan dan mencarinya ke segala penjuru. Mereka kejar-kejaran waktu. Di bandara tinggal menghitung detik dan menit sampai pesawat diterbangkan. "Kenapa waktu begitu lambat?!" Shaka gelisah. Kemudian, pukul sembilan pun tiba. Jarum jam sudah seperti menusuk jantungnya saja. Peringatan dari pramugari akan penerbang telah terdengar. Dentuman di dadanya begitu besar. Peluh di wajahnya sudah mengering, tapi aliran sungai darahnya mengalir begitu deras. Apalagi ketika dia melihat ke bawah, para petugas keamanan telah menahan orang-orang berpakaian hitam dan berbadan besar. Situasinya cukup sengit di sana. Shaka yakin mereka adalah orang-orang yang mencarinya. Namun akhirnya pemandangan itu menghilang. Dada sakit Shaka sedikit berkurang. Dia menunduk memegang dadanya selama penerba
Sandiwara terus berjalan. Shaka berhasil memasuki kantor perusahaan milik ayahnya Verlin dan dia membantu pekerjaan di sana hingga mencapai keberhasilan yang cukup menjanjikan. Membuat kepercayaan terlalu cepat dan semua orang senang padanya. Sejauh itu pula Shaka tidak melihat perubahan sikap Verlin lagi. Wanita itu seperti kekasihnya sungguhan. Malam ini mereka baru pulang dari kantor dan suasana malam di Eropa menyelimuti jiwa. Verlin mabuk karena sebelumnya sempat minum bersama ayahnya. Shaka tidak terkejut dengan itu sejak kejadian di Great Waterfall, dia sudah menduga bahwa Verlin suka mabuk. "Astaga, tolong lihat jalanmu. Kau hampir jatuh." Shaka menuntun Verlin ketika Verlin terhuyung-huyung di pinggir jalan. "Hahaha, kalau aku jatuh, 'kan, ada kau yang menolongku," ucap Verlin dengan wajah memerah dan bau alkohol tersebar di tubuhnya. Shaka mendesah pasrah, menatap langit, dan jalanan sepi tengah malam ini, "Ini jauh berbeda. Kau harus berhenti minum kalau ingin menjaga
Shaka membuka pintunya dan Verlin tersenyum manis tepat di depannya. Sangat anggun seperti ketika mereka pertama kali bertemu. Dia terdiam sejenak sebelum Verlin merubah senyumnya menjadi kekhawatiran yang tertata rapi. "Shaka? Kondisimu buruk," suara Verlin terdengar sangat sendu di telinga Shaka. Ini sudah sangat jauh dari yang dia duga. Bahkan Verlin lebih lembut. Perubahan yang terlalu signifikan dan Shaka bernapas lemas di ambang pintu. "Verlin ... aku menunggumu." ujar Shaka lirih dan ambruk di lengan Verlin yang sudah siap sedia membantunya. Verlin menghela napas panjang, "Maaf telah membuatmu menunggu lama." dia tersenyum, "Aku kembali." Dokter datang memberi perawatan terbaik. Shaka butuh istirahat agar tenaganya pulih dan wajah pucat itu hilang. Namun, ketika Verlin mencoba pergi memberikan kesempatan bagi Shaka beristirahat setelah dokter memeriksa, Shaka menahannya. Verlin terkejut dan memegang tangan Shaka sangat erat. Dia duduk di tepi ranjang sedangkan Shaka berb
Percuma, mereka tidak dapat menghentikannya. Gilang menepuk dahi melihat kepergian Nayla, "Percuma saja. Cintanya sudah di ranah hidup dan mati. Dinding mereka sudah tidak bisa ditembus." "Tapi Nayla bisa sakit nanti." kerutan dahi Vira terus menyiratkan kekhawatiran. "Dia sudah sakit, kalau terus dibiarkan makin parah, tapi kalau itu yang dia mau kita bisa apa?" jawab Gilang. "Ayo kita ikuti dia," ajak Vira.Tentu saja Gilang setuju. Mereka juga sudah melihat orang yang selalu membuntuti Nayla pergi tadi. Lalu, apa yang Nayla lakukan hingga malam tiba, dia hanya berkeliaran di sekitar Jakarta dan Bekasi seperti orang kasmaran yang merindukan kekasihnya. Seperti burung hantu dan serigala yang selalu menatap bulan di tengah malam. Tanpa mengenal lelah. Great Waterfall, club yang jatuh karena ulah mereka, Nayla terdiam duduk di bangunan tertutup itu seorang diri. Vira dan Gilang mengawasi dari kejauhan. Seketika mereka tahu tempat tersembunyi itu. Masih bersinar seperti sebelumny
Pintu didobrak mengejutkan seluruh penghuni gedung. Bukan hanya lantai satu, tetapi setiap sudut di bangunan itu bahkan pintu-pintu dikepung agar tidak terjadi hal-hal buruk. "Katakan di mana Verlin berada!" Dia marah di ruang manajemen. Sebelumnya Nayla menggeledah rumah Verlin, tetapi rumah itu kosong. Menurut warga setempat kediamannya sudah ditinggalkan sejak kasus mempengaruhi karirnya. Itu sudah sangat lama. Nayla bahkan lupa kapan itu terjadi. Jadi disinilah dia berada. Merusak momen orang-orang yang tidak bersalah. Mereka bilang tidak tahu di mana Verlin berada. Sejak meninggalkan agensi wanita itu telah menghilang sepenuhnya seperti ditelan bumi. Tidak ada jejak sama sekali. Bahkan ada beberapa bukti bahwa mereka mencoba menghubungi Verlin beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Keberhasilan yang menemui titik mustahil. Tidak diragukan lagi bahwa Verlin lah yang membantu Enna kabur dari penjara. Muncul satu kemungkinan yang sudah Nayla sadari sejak awal, hanya saja di
Mereka bicara di ambang pintu menimbulkan kesan yang buruk. Alhasil Vira dan Gilang mengikuti Nayla hingga ke motornya masih berusaha menghentikan Nayla. "I-iya udah kalau itu keputusan kamu. Emang sejak awal aku nyaranin kamu resign tapi bukan kayak gini keadaannya. Aku dukung kamu. Apapun keputusan kamu aku dukung. Gilang juga iya, 'kan, Gilang?" Vira menggenggam tangan Nayla yang sudah duduk di atas motornya."Iya lah pasti. A-aku mau ikut. Tunggu aku selesai kerja, ya, Mbak. Nanti aku temenin nyari mas Shaka. Sekarang masih jam...," ucapan Gilang dipotong Nayla. "Apa aku masih bisa menunggu sedangkan aku nggak tau gimana kondisi Shaka sekarang. Di mana dia, bagaimana dia, apa dia udah makan apa belum, apa jangan-jangan dia juga disiksa sama aku. Si psiko itu mulutnya sudah bisu. Dia berniat menyiksaku sampai mati. Hatiku sakit sampai sekarang apa kamu tau gimana rasanya? Dan kalian masih bisa nyuruh aku buat menunggu? Sabar? Aku udah nurut buat nyembuhin diri aku sendiri tapi gi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments