Home / Romansa / Married to My Childhood Friend / 3. Jodoh Sejak Lahir untuk Masa Depan

Share

3. Jodoh Sejak Lahir untuk Masa Depan

Author: Aloegreen
last update Last Updated: 2024-12-31 16:15:08

Nayla bergelut dalam kalbu. Faktanya Shaka yang telah meninggalkannya, menelantarkan dirinya di antara orang-orang Toxic yang hanya ada jika membutuhkan, dan tak kunjung kembali seolah lupa bagaimana cara mereka bermain. Meskipun begitu hanya Shaka lah satu-satunya teman yang Nayla ingat hingga kini. 

"Jadi Nona Nayla, bagaimana kamu bisa yakin melamar teman lamamu ini dengan kondisi hubungan kita yang retak seperti kaca pecah itu? Menarik! Jarang sekali ada perempuan yang melamar laki-lakinya sampai ngotot minta dinikahi secara kilat." Shaka berpangku tangan dan mengedipkan sebelah mata. 

Nayla ternganga, "Haaa! Kamu banyak bicara! Berapa kata yang keluar dari mulutmu barusan? Seratus? Dua ratus? Tiga ribu?!" menghitung dengan jari.

Shaka terkekeh menjitak dahi Nayla pelan, "Dasar tukang mengalihkan pembicaraan."

Tidak bisa dipungkiri Nayla juga memiliki hati dan perasaan. Biarpun dia seorang yang terlampau ceria, tapi hatinya rapuh segelap mendung. 

Hanya Shaka yang bisa dia percaya. Bukan karena rumah mereka dekat ataupun usia yang sama, melainkan kemurnian Shaka untuk berteman dengannya tanpa memandang bulu. 

Perekonomian keluarga Nayla terbilang rendah. Sebab itu dia dijauhi teman sebayanya bahkan kerap kali menjadi korban pembulian. 

Tidak seperti anak-anak sekolah lain yang hanya belajar dan bermain, Nayla harus bekerja paruh waktu sampai pulang larut malam hanya untuk membantu mencukupi biaya hidup sehari-hari. 

Hingga sekarang, gadis itu menjadi sangat pekerja keras dan membentengi diri dari lingkaran sosial. 

Sikapnya yang selalu tertutup dan gila kerja itu membuatnya tidak bisa dekat dengan laki-laki.

Kendatipun dipaksa menikah lantaran dituntut usia pun tidak ragu meminta Shaka untuk menikahinya meskipun mereka sudah tidak bertemu cukup lama.

Satu minggu telah berlalu. Tidak ada yang istimewa, setiap hari berjalan seperti hari-hari biasanya. Tidur seranjang, tinggal di atap yang sama, dan makan bersama. Nayla membuatnya seolah-olah mereka teman seasrama, bukan pasangan suami-istri.

"Eh, ada manten baru, nih," goda seseorang yang membocorkan pernikahannya ke perusahaan.

"Diam kamu!"

Teman kerja Nayla itu tertawa sembari mencatat anggaran harian. Dia bernama Vira Lusiana Putri, ibu muda dengan satu anak dengan usia yang sama dengan Nayla. Vira bertanggungjawab atas administrasi keuangan kantor, sedangkan Nayla menjabat sebagai administrasi umum. Dia yang mengatur keluar-masuknya surat dan kerapihan dokumentasi. 

Nayla fokus mengetik data sambil bolak-balik melihat cacatan arsip yang telah dia tinggal selama cuti. 

"Aku masih nggak nyangka, ya, kamu tiba-tiba nikah. Kok, bisa." Vira berhenti sejenak dari pekerjaannya. 

"Kamu nggak tau, sih, gimana risihnya dibilang perawan tua. Diceramahi tiap hari gara-gara keluarga malu sama tetangga. Aku, sih, masa bodoh, tapi gendang telingaku hampir jebol, nih." 

"Oh, terus kamu mutusin buat nikah sama temenmu gitu?" tanya Vira.

Nayla mengangguk. 

"Kok, temenmu mau?" Vira mengernyit heran.

Nayla menoleh, "Iya, ya? Kok, dia mau?" 

Vira menggeleng kembali bekerja. Suara ketikan di Keyboard sampai terdengar ke luar. 

"Tapi Shaka bilang dia juga lagi di keadaan yang sama kayak aku, jadi yaudah jalani aja." Nayla mengendikkan bahu.

Vira menggebrak meja membuat Nayla terlonjat kaget. "Itu yang namanya jodoh dari lahir, Nay! Lama-lama kamu menjomblo ujung-ujungnya juga nikah sama temen sendiri, 'kan?" 

Nayla mengusap dada sabar, "Sesantai itu memang. Bisa nggak jangan bikin jantungan? Aku pusing, nih, kutinggal cuti jadi berantakan begini. Emangnya siapa yang gantiin kerjaan aku kemarin?" 

Vira menunjuk meja kerja bagian pendatang baru. 

"Tuh, si Gilang Rahardika, anak baru dari admin pemasaran. Kasihan anaknya bolak-balik ngurusin tugasnya sama kerjaan kamu." 

Nayla langsung memicing ke arah jari telunjuk Vira. Memang tidak asing lagi dengan sosok remaja berusia dua puluh lima tahun itu. Gilang bekerja di sana sudah hampir tiga bulan. 

Perusahaan Skincare tempat Nayla bekerja memang tidak memandang bulu untuk memperkerjakan karyawannya. Gilang cukup pintar dalam bekerja, tetapi kurang rapi. 

Mau teriak memarahi Gilang, tetapi melihat wajah pusingnya Nayla menjadi kasihan. Dia hanya bisa menghela napas sabar dan menuntaskan semuanya sendirian. 

"Dokumenku acak-acakan banget. Kayaknya aku nggak bakal bisa istirahat sampai pulang ntar," gumamnya lelah. 

Disibukkan dengan pekerjaan membuat Nayla bertanya-tanya bagaimana tentang pekerjaan Shaka. Orang itu juga baru masuk pertama kali kerja setelah liburan. Menjadi kepala manajer pemasaran pasti membuat Shaka sangat sibuk.

Sempat berpikir memberi kabar mau pulang jam berapa, tetapi Nayla urungkan. Dia bergidik geli mengapa bisa tersemat pemikiran seperti gaya pacaran anak SMA.

Meskipun terlambat pulang, rasanya Shaka tidak akan menjemputnya. Nayla cukup tahu diri bagaimana hubungan di antara mereka. Lagipula dia tidak ingin merepotkan laki-laki itu.

Berkas-berkas dokumentasi selesai dirapikan. Tinggal mengurus surat online yang masuk di email perusahaan dan laporan lainnya. 

Semua orang di dekat mejanya juga tahu kalau Nayla sedang melamun berat sambil bekerja. Nayla sampai tidak sadar kalau sedang dihujani banyak lirikan.

Tiba di penghujung hari rasa lelah bertumpuk di pundak Nayla. Mendung kembali menutupi langit. Kali ini angin hanya sebatas tiupan kecil, tetapi dedaunan kering dan debu-debu di sekitar trotoar masih mampu diterbangkan. 

Di depan kantor Nayla diam berdiri menunggu ojek online yang sudah dia pesan. 

"Nayla, aku pulang dulu, ya. Bentar lagi hujan, nih." seru Vira yang dijemput suaminya pakai motor. 

"Iya kamu duluan aja. Hati-hati di jalan!" balas Nayla berteriak karena kebisingan orang-orang yang berkendara. 

Sekarang memang jam pulang para pekerja, sehingga jalan raya lebih padat kendaraan. 

"Kamu kalau ojol-nya belum datang minta jemput Shaka aja. Dia pasti juga cemas mikirin kamu. Mendungnya gelap banget." Vira menunjuk langit dengan dagu. 

"Ce-cemas? Mana mungkin Shaka khawatir sama aku." Nayla mengibaskan tangan. 

"Terserah kamu, deh. Aku duluan, ya!" Vira menepuk pundak suaminya dan mereka pun bergabung dengan ramainya kendaraan. 

Hiruk-pikuk kota kalau sudah dilanda mendung, semua pada ribut mencari tempat berlindung. 

"Duh, ojek aku mana, sih?" Nayla memeriksa kembali pesanan ojek di Handphone-nya dan ternyata si sopir tidak jadi datang karena takut hujannya akan lebat hampir menyerupai badai seperti beberapa hari lalu di Jakarta. 

"Yah, kok, mendadak banget? Terus aku gimana pulangnya?" 

Gemuruh langit mulai terdengar menambah pacu detak jantung Nayla. Dia terus berdoa dalam hati agar petir tidak menyertai pusaran awan. 

Air pun turun dengan deras mengguyur siapapun yang berani melewati jalannya. Nayla mundur hampir menabrak pintu masuk kantor yang sudah terkunci rapat. 

Dia mendesah pasrah harus rela menunggu sampai keadaan kembali cerah.

"Nggak mungkin juga aku ngabarin Shaka. Aku kerja di Bekasi, sedangkan dia di Jakarta. Mana mau dia nerjang hujan cuma buat jemput aku," gumamnya sendu. 

Namun, matanya yang sibuk menikmati pemandangan kelabu di depan tidak sengaja mendapati seseorang yang sangat familiar baginya. Sosok itu turun dari mobil membuat Nayla maju selangkah memastikan dirinya tidak salah melihat. 

Kemudian, seorang perempuan juga turun setelah sosok tersebut membukakan pintunya. 

Tidak salah lagi, Nayla tahu siapa orang itu. 

"Shaka?" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Married to My Childhood Friend   127. Shaka Menghilang

    Siapa tahu Shaka masih ada di situ. Sembari menyusuri tiap lorong dia membuka pintu yang bisa dibuka sambil menelepon Shaka. "Shaka, ayo angkat teleponnya." panik Nayla. Namun, tidak ada jawaban. Kalau begitu Nayla pulang. Dia ngebut tidak peduli lagi dengan peraturan lalu lintas asalkan bisa sampai rumah dengan cepat dan ternyata pintu rumahnya masih terkunci. Tidak ada mobil Shaka juga di sana. "Shaka?!" Nayla membuka pintunya dan berteriak, tetapi kosong. Sosok yang dia cari seakan menghilang tanpa jejak. Nayla gelisah menepuk dahi dengan sangat keras. "Kenapa aku nggak bisa nemuin kamu di mana-mana? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?" Suaranya sudah jatuh seperti langit saat ini. Angin menambah beban Nayla. Ia menyerang membuat pusaran di langit dan mengacaukan sekitar. Dedaunan mulai berterbangan bahkan suaranya berdengung di telinga Nayla. Dia menoleh ke segala arah. Kondisinya makin parah, detak jantungnya tak karuan, dan dia bingung. "Shaka ...," terus menggunakan n

  • Married to My Childhood Friend   126. Dessert

    "Kenapa nanya begitu? Mbak pikir aku orangnya kejam, ya, sampai nyuruh-nyuruh cewek yang aku suka? Ngomong-ngomong aku udah putus, loh, sama pacarku." Gilang syok. "Eits, nggak usah panik, tenang, tenang. Aku cuma nanya doang apa salahnya?" Nayla menyodorkan segelas air dingin kepada Gilang dan Gilang menerimanya dengan senang hati meskipun tatapannya masih memicing tajam. "Jangan-jangan ada motif tersembunyi." Gilang sudah payah menelan airnya. Beberapa detik saling pandang tanpa menemukan titik terang. Nayla tetap bersikeras berkata hanya ingin tahu. "Okay, kalau cuma itu gampang. Tapi hadiahnya segini banyak bukannya berlebihan apa?" mulut berbicara demikian, tapi tangan lain jawaban. Sibuk mencongkel es krim di dalam gelas. Wajahnya seketika membeku karena dinginnya es krim yang lumer di mulut. Dia bahagia sekali. "Ah, nggak apa-apa udah nikmatin aja. Buruan jawab keburu malam," singkat Nayla. Gilang berdecak pelan sambil berpikir, "Eee, kalau aku punya cewek yang cantik, s

  • Married to My Childhood Friend   125. Upaya Nayla Belum Usai

    Ingin dibilang rindu, tapi kebosanan lebih cenderung mendominasi, "Aku cuma bosan, bukan frustasi." Hanya mendengar sebaris pembelaan itu saja mata Shaka sudah terpejam. "Astaga! Cepet banget tidurnya. Dia pasti kecapean banget." perlahan Nayla menarik Shaka agar kepalanya dapat menyentuh bantal. Dia menyelimuti pria yang telah menjadi suaminya itu dengan hati-hati. Nayla terkikik sendiri, "Ternyata membuatmu senang itu terlalu mudah."Kemudian, dia ikut tidur dalam selimut yang sama. ~~~Nayla baru mengembalikan kamera ke Gilang karena kemarin lupa. Lagipula Gilang juga seharian tidak ada di kantor kemarin. "Makasih, ya, kameranya." dengan senyum lebar Nayla mengembalikannya. Gilang berdecak mengecek kameranya, "Kenapa mesti pinjam aku, sih? Mas Shaka juga pasti punya." "Hah, dia mana punya." Nayla mengibaskan tangannya. Gilang tidak percaya, "Mana mungkin nggak punya. Orang kaya begitu." "Shaka bukan tipikal cowok pengumpul barang-barang kaya gitu. Dah, ah, Bye-bye!" Nayla m

  • Married to My Childhood Friend   124. Air Hangat

    Nayla pulang lebih dulu. Di rumah tidak ada orang, sangat sepi belum lagi Shaka mengirim pesan kalau dirinya lembur. Dia bosan dan tidak ada pekerjaan. Jadilah sisa-sisa penghujung hari ini dijadikan sesi bersih-bersih dadakan. Menyapu, membersihkan debu, mengepel lantai, sampai mencuci ulang pakaian dan piring yang sudah bersih. Tirai-tirai pun diganti dengan yang baru sehingga rumahnya terlihat seperti baru dibangun. Nayla tersenyum lebar puas dengan hasil kerja kerasnya dan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Rambut hitamnya tergerai panjang, kaos putih yang agak kebesaran dan celana longgar selutut menjadi pilihan dalam hidup santainya. Di kamar Nayla hanya duduk bersandar ranjang dan menunggu. Memainkan Handphone sampai bosan sambil sesekali melirik jam. Bisa dibilang hampir setiap menit dia melirik jam. "Huft, kapan Shaka pulang?" Saat layar Handphone-nya mati karena terlalu lama dibiarkan, terlihat pantulan bayangan dari kalung kristal yang dia kenakan. Senyum Nayla ter

  • Married to My Childhood Friend   123. Ditunda

    Keesokan harinya Nayla sudah ketar-ketir bagaimana harinya dimulai nanti di pukul dua belas siang. Segala macam pikiran buruk mampir di benak Nayla. Seperti menyapu, mengepel lantai, meskipun dia melakukannya sehari-hari tetapi rasanya mendengar perintah disuruh dari mulut orang lain itu menyakitkan. Nayla tidak mau melakukan itu lagi. Dia sudah lelah menjadi babu. Namun, apa yang dia dapat bukanlah seperti apa yang dia bayangkan. Di jam istirahat di mana seharusnya Shaka mulai menuntut janjinya, Shaka justru memberi pesan jika sebaiknya ditunda hari minggu saja karena Shaka ada banyak pekerjaan hari ini. "Apa?!" Nayla berteriak di mejanya membuat semua orang menoleh kaget. Nayla tersenyum minta maaf sebelum kembali berkutat dengan Shaka. "Shaka, kamu udah bikin aku pusing tujuh keliling jangan asal main batalin aja, dingz" begitu balasnya ke pesan Shaka. Lalu, jawaban Shaka terlalu singkat yaitu sebuah kata maaf. Nayla ingin membanting Handphone rasanya, tetapi kasihan Handphone-

  • Married to My Childhood Friend   122. Selfie Terbaik

    Mendung tiba-tiba menjarah cerahnya langit. Kenapa setiap hal yang terlihat begitu baik harus dihapus sesegera mungkin. Nayla belum puas bermain apalagi foto jeleknya di Handphone Shaka belum berhasil dibuang. Nayla menatap awan-awan kelabu tua itu dengan sangat gelisah, "Apa bakal turun hujan ekstrim lagi?" Tanpa dia sadari Shaka menariknya untuk terlentang berdua. Nayla terkesiap dan lengan kokoh Shaka menjadi bantalannya. Nayla menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Shaka sehingga dia kembali menatap langit. Tidak bisa bangkit juga meskipun Shaka tidak menahan. Itu terasa sangat tenang di bawah mendung yang erus menyibak langit biru. "Kita begini aja sebentar," suara Shaka berbisik di telinga Nayla. Nayla terasa geli dan anehnya dia tidak protes. Angin yang bertiup bukan terasa panas lagi, tetapi dingin. Dingin yang sejuk seperti aroma hujan. "Kalau kita kehujanan gimana?" tangan Nayla menengadah seolah dapat meraih salah satu awan yang mulai saling menyambung, "Aku bisa menci

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status