"Siapa yang bermain mata dengannya? Aku nggak ngelakuin apa-apa." Shaka menggeleng sambil angkat tangan."Tapi kamu senyum. Biasanya cuek kalau ketemu sama orang asing." Nayla menunjuk hidung Shaka dengan tatapan tajam. Shaka tersenyum pasrah, "Kadang-kadang kalau kamu cemburu buat aku ketar-ketir tapi aku senang. Lupakan itu, lebih baik fokus ke tujuan awal. Di mana ruangan pemilik hotel ini?" Nayla berhenti diikuti dengan Shaka, "Eh? Di mana, ya? Kok, nyampe ke sini?" melihat sekeliling yang penuh dengan pintu dengan nomor hingga ratusan. Shaka tertawa diajak nyasar, karena cemburu yang konyol sampai Nayla kehilangan fokusnya. Nayla pun ingat di mana tempatnya dan mereka segera memutar arah. Di mana hanya ada satu ruangan di antara dinding dan hiasan di sepanjang koridor, di situlah ruangan Simon berada. Suasana tegang menelingkupi mereka. Pakaian semi formal yang mereka kenakan beraroma parfum bercampur dengan aroma hotel dalam suasana malam. Nayla saling bertatapan dengan Shak
Sekarang sudah pukul berapa Nayla pun tidak peduli lagi. Dia hanya fokus mengendarai motornya untuk pulang setelah Simon mengembalikannya ke gedung itu seusai jalan-jalan. Nayla sudah mengetahui pesan balasan dari Shaka. Mereka saling berbicara lewat telepon beberapa detik. Shaka bilang ingin menjemput, tetapi Nayla melarang. Ini sudah hampir dekat dengan rumah. Tidak sampai menghitung selama tiga puluh menit Nayla sudah tiba di rumah. "Nayla? Kamu baik-baik saja? Astaga, kamu masuk angin! Kenapa keras kepala banget, sih, nggak mau aku jemput?" Shaka memapah Nayla dari pintu hingga ke kamar. Dia sangat khawatir, tetapi Nayla melepaskan diri dan menggeleng. Menarik tangan Shaka dan digenggamnya erat penuh harap. "Shaka, aku udah ketemu sama Simon. Aku baru aja diajak jalan-jalan keliling kota sama dia sambil ngobrol ngelantur ke mana-mana. Dan dia bilang kita harus ketemu dia di tempatnya besok malam," kata Nayla dengan nada antusias. Shaka mengernyit, "Ha? Semudah itu?" Nayla mel
Nayla tidak sabar untuk terus berputar-putar lagi. Orang di sampingnya cukup hebat dalam mengatur situasi sambil mengemudi. "Aku mencarimu berarti kau sudah tau jika aku punya masalah. Namun, masalahku kali ini mungkin sedikit berbeda. Aku minta maaf sebelumnya. Aku punya pertanyaan untukmu," kata Nayla serius. Simon menatapnya dalam nan penuh makna membuat naluri Nayla sedikit mundur, "Apa yang bisa kau pertanyaan padaku, Nak?" Nayla segera menggeleng, "Maafkan aku, tetapi aku mempertanyakan kewibawaanmu." "Ck! Aku tidak mengerti sama sekali. Mengapa aku merasa seperti dicurigai sebagai kriminal. Padahal aku senang sekali kita bisa bertemu lagi." Simon masih menjawab dengan santai. Nayla menggeleng lebih pelan, "Bukan kriminal, tapi hanya ingin bertanya. Mohon anda bekerjasama. Jika tidak krisis di pikiranku tidak akan hilang." Simon terdiam cukup lama. Pandangan Nayla tidak berpaling darinya. Sampai akhirnya Simon berdecih dan tersenyum meremehkan karena Nayla hanyalah anak ke
Nayla tersenyum miring, tetap dalam kesopanan, "Hari sudah tenggelam. Sepertinya waktunya untuk pulang. Maaf karena kedatanganku telah mengganggu. Nayla pamit." memberi salam kepada dua orang tua itu, kemudian pergi tanpa mendengar sepatah kata pun. Kepergiannya menimbulkan tanda tanya bagi mereka. Namun, ekspresi wajah Simon menunjukkan kebingungan yang lebih. Di luar sana Nayla lega waktunya tidak habis sia-sia kali ini. Shaka juga tidak ada kabar. Entah laki-laki itu sudah pulang kerja atau belum, karena malam ini begitu terang dan dingin tepat setelah matahari terbenam. "Kenapa dia nggak bisa dihubungi?" gumam Nayla memandangi Handphone yang tertulis nama Shaka di media pesan. Dia mengirim pesan, tetapi Shaka tidak membalas. Pesan yang sekadar basa-basi sekaligus bilang kalau dia sudah bertemu dengan Simon. Ini semakin larut. Sudah pukul delapan dan Simon tak kunjung keluar dari gedung iu. Nayla gelisah, sehingga dia memutuskan untuk pergi bersama motornya. Beberapa menit kem
"Gimana? Dapat hasil?" tanya Shaka sambil mengaduk kopi, berdiri di samping Nayla yang tengah berkelut mencari informasi kontak Simon di gudang penyimpanan masa lalunya yang sudah lama tidak pernah dibuka. "Perlu bantuanku?" Shaka meminum kopi itu dengan santai. "Aduh, kayaknya emang udah aku buang semua, deh, masa lalu." kesulitan hampir frustasi tidak menemukan apa yang dia cari selama setengah jam, Nayla menggaruk kepala. "Udah tau dibuang ngapain dicari-cari?" Shaka menanggapi dengan nada santai. Nayla menoleh memberi tatapan tajam, "Oh, baik banget kamu, Shaka. Aku lagi sibuk berjuang kamu malah asik-adikan minum kopi? Di depan aku lagi." "Kamu yang nyuruh aku buat nggak bantuin dulu, katanya kerjaan aku banyak, jadi harus fokus ke pekerjaan. Bukan salahku." Shaka mengendikkan bahu acuh. Mulut Nayla semakin terbuka lebar, "Tapi nggak gitu juga ngejeknya." Shaka tergelak. Menaruh kopinya di tangan kiri dan tangan kanan menuntun Nayla agar berdiri, "Sini, nggak usah dicari la
Benar-benar terlihat seperti kota tua di benak Nayla. Nuansa yang begitu merindukan. Tanpa sadar air mata luruh dari kelopak matanya. Ketika Nayla ingin mengusapnya, sebuah tangan telah menyekanya lembut dengan penuh perhatian. Nayla tersentak, menoleh dan mendapati Shaka tengah tersenyum kepadanya. Tersenyum sangat manis. "Ini sangat membuat orang rindu, ya," mata Shaka lembut dalam balutan senyum. Nayla terperangah beberapa detik dan sadar ketika lampu merah telah menjadi hijau. Bunyi klakson menyadarkan mereka sehingga mereka bisa menyeberang berbelok menuju hotel yang ingin dikunjungi. "Shaka, langit berbintang seolah satu-satunya penerangan yang ada." Nayla menatap seluruh kenangan dalam hotel itu, "Vintage." senyumnya terukir lembut. Shaka pun tersenyum manis, "Kayaknya Simon benar-benar bos yang baik." Perkataan Shaka menyadarkan niatnya ke sini, "Tapi dia cukup keras kepala. Kamu bakal tau sendiri nanti." Ketika menginjakkan kaki di hotel itu, mereka disambut sebagai ma