Share

Chapter 6

Author: RoseannaG
last update Last Updated: 2025-06-15 18:36:05

~🖤~

Apa aku hanyalah sebuah barang yang sudah laku dijual ?

***

Sebulan telah berlalu. Tak ada yang berubah dengan hubungan pernikahan Diana dan Darren. Mereka semakin sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Darren yang tiada henti berangkat ke kantor, dan Diana yang terus fokus mengembangkan restoran. Selain itu Diana juga seorang mahasiswi, ia ingin meneruskan gelas magisternya. Darren pun tak ada masalah dengan itu, selagi Diana masih mengantarkan makan siangnya ke kantor.

Kebetulan saat ini Darren memiliki jadwal meeting bersama ayah mertuanya mengenai wilayah yang akan ditambang untuk menghasilkan bahan konstruksi bangunan. Sama seperti bisnis ayahnya, yang merembet ke segala bidang, Darren pun sama, lelaki yang sudah menginjak kepala tiga itu juga mulai mengembangkan perusahaannya.

Darren adalah tipe pekerja keras, kalau sudah berambisi maka lelaki itu akan menghalau segala rintangannya meskipun itu sangat beresiko. Tak pernah gagal ? Bukan sekali dua kali, baginya kegagalan adalah pelajaran yang dapat ia ambil untuk menjadi lebih baik lagi. Darren tidak suka dengan kata 'menyerah' , ia tidak akan berlarut-larut dalam keputusasaan. Bagaimana pun ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan, apapun caranya, ia sendiri yang akan mencari.

Tubuh yang tinggi tegap menambah nilai plus lelaki itu. Sebenarnya ia bisa saja menjadi CEO yang memiliki belasan wanita, menggunakan seluruh uangnya untuk mentraktir mereka tas, sepatu, dress, dan barang branded lainnya. Tapi ia lebih sayang dengan uangnya, daripada diberikan kepada wanita tidak jelas, lebih baik ia berikan untuk istrinya, meskipun ia belum menyukai Diana. Itulah kenapa sebulan yang lalu, ia begitu menggembar-gemborkan pernikahan mewahnya, itu semua tak jauh dari paksaan mama yang terus meminta menantu dan juga wanita-wanita yang selalu mengejarnya seperti seorang jalang. Darren tidak suka dikejar, lelaki itu gampang sekali risih. Saat remaja pun banyak surat cinta yang ia dapatkan, Darren tampan, dan ia sangat menyadarinya. Dan, tak ada satu pun surat yang ia baca, semua tersimpan rapi di laci kamar. Kenapa tidak dibuang saja ? Awalnya sih niatnya begitu, tapi surat itu dapat ia pamerkan ke calon anaknya nanti, bahwa papanya dulu seorang primadona.

Darren berjalan menuju ruang meeting diikuti sekretarisnya dari belakang.

"Ceklek..." Tak lama kemudian pintu terbuka dengan lebar, semua orang sudah menunggunya. Tatapan Darren jatuh kepada ayah mertua dan kakak iparnya, ia sedikit menunduk untuk menyapa, mereka pun membalasnya. Hubungan mereka seperti hanya seorang rekan kerja, sama sekali tidak dekat. Isi chat mereka pun tak jauh membahas tentang proyek kerjasama, tak ada bahasan tentang Diana, gadis yang menyatukan hubungan mereka. Tak ingin berlama-lama, Darren pun mulai memimpin rapatnya hari ini.

*

*

*

Diana terus mengabaikan bunyi notifikasi pada ponselnya, gadis itu lebih memilih memeriksa laporan keuangan kedainya. Ia tidak ingin kecolongan seperti dua bulan lalu, mulai saat ini ia akan lebih tegas kepada karyawan-karyawannya. Sambil duduk di kursi kebesarannya, dengan teliti Diana membaca. Saat dirinya sedang fokus, tak ada satu pun yang berani mengganggu.

Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit, Diana menyelesaikan bacaannya. Bibirnya sedikit tersungging saat melihat hasil yang tidak mencurigakan. Ia pun meletakkan kertas itu tepat atas di meja. Baru saja ia akan berdiri, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dengan raut kesal ia menggeser ikon berwarna merah itu. Tidak apa-apa kan ia menolak panggilan dari ibunya sendiri? Ia sudah tau apa yang wanita itu ingin bicarakan, dan demi menjaga telinganya dari perkataan buruk, lebih baik ia menolak panggilan itu. Tak lama ponselnya kembali berdering.

"Ada apa Bu ? Diana sedang sibuk."

"Bagaimana hubunganmu dengan Darren ?"

"Kami baik-baik saja."

"Apa kamu sudah datang bulan? Apa kalian sudah melakukannya ?"

"Kemarin baru saja aku beres menstruasi Bu."

Diana menghela nafas sebentar, meski sedikit ragu ia kembali membuka mulutnya. "Dan untuk hubungan ranjang, biarlah itu menjadi pilihanku, aku bisa saja menyerahkannya Bu, tapi Darren, aku tidak bisa memaksanya naik ke ranjangku. Apa ibu tahu ? Anakmu ini hanya dijadikan tukang masak dan menantu seorang pengusaha kaya raya. Aku seperti bukan istrinya, tak ada sedikit pun rasa cinta, Darren tak menyukaiku."

"Rasa cinta ? Itu tidak penting Diana."

"Yang diinginkan keluarga kita hanyalah penerus, apalagi jika kamu melahirkan seorang putra, itu akan sangat bagus."

"Bagaimana pun caranya, kamu harus cepat-cepat mengandung sebelum Darren menceraikanmu. Apa kamu tahu ? Suamimu itu, banyak yang menyukainya, apa kamu senang menjadi orang yang tersingkirkan ?"

"Termasuk menghilangkan harga diriku ?"

Ya

***

Menangis ? Untuk apa ? Tak ada yang perduli dengan rasa sedihnya. Lagipula sudah biasa ia diperlakukan seperti ini. Dari sejak kecil hidupnya selalu dikendalikan Ibu dan Ayah. Diana rasa air matanya sudah terkuras habis, terakhir kali ia menangis saat ia menikah. Ia sadar, mulai hari itu kebebasannya semakin direnggut.

Sudah sebulan lalu ibunya mengirimkan pesan puluhan kali. Tak ada pertanyaan bagaimana keadaannya, apa Diana bahagia atau tidak ? Apa Diana sehat atau sebaliknya ? Masih dengan pertanyaan yang sama, apa Diana sudah mengandung atau belum?

Diana meletakkan ponselnya di meja kerja, lebih baik ia tak lagi membalas pesan ibunya. Sebentar lagi jam dua belas siang, sebelum Darren menelponnya, ia harus sudah beres masak. Ia tidak ingin kena omel. Kalau sudah menceramahinya, paling sebentar selama tiga puluh menit, tidak hanya memarahi, Darren selalu mengancamnya melapor kepada ayah. Kalau sudah berurusan dengan ayah, jangan harap ia bisa melawannya.

Diana menuruni tangga, lalu berjalan menuju dapur. Ia hanya mengangguk di saat para pegawai menyapanya. Ia masih belum tahu apa makanan kesukaan Darren, ia sempat berkirim pesan dengan mama Delia, untung saja wanita itu tidak seperti kebanyakan mertua lain yang selalu berlaku kejam kepada menantunya. Wanita itu dengan ramah memberikan list makanan apa saja yang disukai anaknya, malah saat berkunjung akan memberikan satu buku berisi menu makanan.

Bajunya ia lipat agar tidak kena air saat mencuci sayur dan daging. Tak hanya itu Diana juga memotong beberapa buah untuk suaminya. Dengan telaten ia memotong bahan-bahan masakan, ia terlihat begitu mahir.

***

Diana sedikit menggerutu, pasalnya sudah hampir sepuluh menit mobilnya sama sekali tidak bergerak. Jalanan saat ini macet karena ada perbaikan selokan yang mampet. Ponsel yang ia letakkan di dashboard terus berbunyi. Siapa lagi kalau bukan Darren. Ia pun menjawabnya meskipun rada males.

"Kamu di mana ?"

"Aku masih di jalan Darren, ini macet banget."

"Apa kamu lupa punya suami ? Aku sudah sekarat ini. Aku lapar."

"Beli dulu makanan lain ya, sebentar lagi aku sampai."

"Aku cuma mau makan masakanmu!"

"Yaudah sebentar tunggu, sabar dong..."

"Cepet, jangan lama."

"Iya Darren."

***

Sebenarnya Diana ingin membalas ucapan Darren dengan teriakkan, menyumpah serapah lelaki itu karena merengek seperti anak kecil. Apa Darren pikir ia tidak memiliki kesibukan lain ? Apa ia koki khusus di rumahnya, bayangkan ia memasak tiga kali sehari, padahal ada bibi yang bisa memasak kapan pun Darren mau. Tapi semua perkataan itu ia simpan di hatinya, ia ingat dosa, dan sudah menjadi kewajibannya untuk melayani Darren. Setelah beberapa menit, Diana sudah bisa melajukan kendaraannya. Ia sedikit mengebut supaya cepat sampai di gedung tempat suaminya bekerja. Untungnya ia sudah mahir, sehingga ia berhasil menyalip beberapa mobil.

Tepat pukul satu siang Diana sampai di parkiran. Segera ia keluar sambil membawa tas jinjing yang berisi makanan. Beberapa orang menyapa gadis itu, mungkin karena sudah hampir satu bulan ini Diana bolak-balik ke kantor. Mereka juga sudah tahu kalau Diana adalah istri dari atasannya, banyak karyawati yang ingin mendekati Diana agar bisa memiliki pelindung dari atasannya Darren, untuk urusan pekerjaan, lelaki itu memang sangat disiplin. Jika ada karyawan atau karyawati yang melanggar peraturan atau kurang disiplin, ia tak segan untuk memecat mereka. Padahal percuma saja mereka mendekati Diana, tak ada yang tahu kalau Diana dan Darren tidak sedekat itu.

Kini Diana sudah berdiri tepat di depan pintu ruangan suaminya. Baru saja ia akan membuka pintu, sebuah tarikan dari dalam mengagetkannya.

"Dari mana saja kamu ?!" tanya Darren penuh dengan penekanan. Terdengar nada marah di setiap ucapannya. Namun lelaki tak sampai memukul istrinya.

Tangan lelaki itu memegang lengan Diana dan membawanya ke dalam.

"Kan aku tadi udah bilang, aku kejebak macet," bela Diana sedikit ketus. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, kalau tidak ingat Darren suaminya, mulutnya sudah berbusa.

"Ekspresi apa itu ? Cepet siapkan piringnya!" omel Darren, seolah tak suka dengan raut wajah Diana yang seperti menyumpah serapahnya.

Diana meletakkan tasnya di meja, lalu ikut duduk di kursi. Dengan segera ia mengeluarkan semua makanan yang dibawanya. Tanpa berbicara ia menyerahkan piring itu di meja.

Melihat makanan di atas meja Darren pun mulai menyantapnya. Lelaki itu makan dengan lahap, pertanda bahwa makanan buatan Diana cocok di lidahnya. Kalau boleh jujur mulai sebulan yang lalu, ia menyukai masakan istrinya, rasanya ia tidak ingin memakan makanan lain. Tapi ia tidak ingin menunjukkan semua itu di depan Diana, ia tidak mau gadis itu menjadi besar kepala.

Mereka tak berbicara apapun, setelah Darren selesai, Diana langsung membereskan tempat makan itu. Setelah semuanya beres, ia pun berpamitan. Sebenarnya Diana ingin mencium tangan Darren, tapi lelaki itu malah mendiamkannya.

"Emhh aku pulang dulu..."

"Hmmm..." Balas Darren tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.

Tidak ada kecupan selamat tinggal. Tunggu, apa ia menginginkannya ? Diana sedikit melirik pada Darren yang sibuk membaca. "Kamu mengharapkan apa Di ?" gumamnya. Setelah itu ia kembali melanjutkan langkanya menuju pintu berwarna hitam itu.

***

Saat akan pulang, Diana berpapasan dengan ayah dan kakaknya. Kebetulan mereka juga menatap Diana. Tak ada raut antusias seperti keluarga lainnya, mereka malah kembali berjalan diikuti sekretarisnya di belakang.

Diana sadar, ia adalah putri yang tidak diinginkan. Ia merasa bahwa semua keluarganya tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Ayah yang sedikit-sedikit membentaknya karena masalah sepele, ibu yang selalu bersikap dingin dan mengacuhkannya. ibu hanya mau berbicara dengannya mengenai masalah akademik. Semua keperluannya diurus dengan pengasuhnya. Hanya Elina, pengasuh itu begitu dekat dengannya, sedangkan pegawai yang lain, mereka tidak pernah bersikap ramah kepada Diana. Dan Farrel, kakak lelaki satu-satunya selalu menatap sinis ke arahnya. Hanya satu pertanyaan, kenapa mereka begitu membencinya? Apa ia berbuat salah ?

Diana menjadi ingat perkataan ibunya seminggu lalu.

"Ayah ingin kamu segera mengandung  anaknya Darren, AnaKabar kehamilanmu akan membuat hubungan keluarga kita dan keluarga Darren semakin erat."

"Ta-tapi Bu..."

"Sekarang juga kamu datangi kamarnya Darren, ibu tahu, kalian tinggal di kamar yang berbeda!" Setelah itu panggilan terputus.

Diana tak menyangka Ibu akan mengatakan hal kotor seperti itu. Air matanya mulai mengalir.

Ibu, aku bukanlah seorang jalang, batinnya.

Setelah Darren mengucapkan ijab kabul, ia sudah resmi menjadi milik lelaki itu. Jiwa dan raganya hanya milik Darren. Meskipun pernikahan ini berawal dari paksaan, tapi Diana tetap akan memberikan hak lelaki itu. Diana rela melepas semuanya. Melepas harta yang paling berharga miliknya. Merangkak menuju ranjang suaminya seperti seorang jalang.

Tapi apa ? Malam itu Darren mengusirnya dari kamar

Sejak malam itu, Diana sudah berjanji tidak akan menyerahkan dirinya lagi, ia sudah ditolak. Bahkan barang loak pun, meskipun harganya murah, akan tetap dipakai. Ia merasa begitu rendah.

Dan sekarang apa ? Ibu kandungnya sendiri menyuruh dirinya untuk mendatangi kamar Darren. Haruskah ia merendahkan dirinya untuk kedua kali ? Memungut serpihan harga diri yang berceceran di tempat paling dasar. Harus sampai sejauh mana ia bersikap seperti wanita murahan ?

Sekarang ia tahu kenapa ayah terlihat kesal, mungkin karena ia tak kunjung memberikan cucu, lelaki paruh baya itu takut jika kerja samanya sia-sia kalau hubungannya dengan Darren kandas di tengah jalan.

Niat ingin menyapa sirna, hatinya sakit melihat tatapan itu. Kejam, dingin, tak tersentuh. Sambil setengah berlari Diana melewati ayahnya dan Farel.

***

Malam pun tiba. Diana sudah sampai di rumahnya, ia tidak lagi pulang terlalu larut, akan sangat melelahkan jika kembali mendengar ceramah suaminya. Seperti biasa ia akan mandi dulu, untungnya air hangat sudah disiapkan para pelayan.

Setelah berendam cukup lama, kini ia berjalan menuju meja riasnya.  Ia tidak memakai riasan, hanya mengoleskan serum dan essence. Sentuhan terakhir adalah lip tint rasa stroberi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, kemudian ia tersenyum. Setelah semuanya selesai, ia berjalan menuju pintu. Jantungnya berdetak tidak karuan. Tangannya mengepal menahan segala kegugupannya.

Kini ia sudah sampai di depan pintu kamar suaminya.

"Tok...tok...tok..."

"Masuk." 

Diana semakin gugup mendengar jawaban dari Darren.

"Ceklek..."

Kini pintu itu terbuka lebar. Tatapan mereka saling beradu. Terlihat laptop di pangkuan lelaki Darren. Sepertinya pekerjaan lelaki itu belum selesai.

"Darren..."

"Ada apa ?" Balas lelaki itu sambil kembali menatap laptop di depannya. Sepertinya sesuatu yang terpampang di laptop lebih menarik.

"Apakah kamu benar-benar tidak ingin menyentuhku Darren ?" tanya Diana dengan gugup, namun ia masih berusaha tersenyum. Tangannya mengelus lengan atas yang terasa dingin karena gaun tipis sialan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Married with a Strange Man   Chapter 19

    Saat ini Diana dan para pelayan sedang membuat makanan. Hari ini Fakhri dan yang lainnya akan berkunjung ke rumah. Berbagai macam camilan ia buat, Diana memang sangat terampil, terutama dalam membuat makanan. Semua makanan dengan rasa asin sudah tersedia di meja.Sedang asyik membuat puding, tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya."Buatkan aku juga, rasa stroberi." Setelah itu Darren kembali ke ruang tengah.Diana menatap suaminya dengan jengkel. Memangnya ia pembantu ?Diana menyusul Darren, gadis itu masih memakai apronnya. "Lho, kamu nggak ke kantor ?""Nggak.""Ini kan bukan hari libur.""Terserah aku mau libur sehari atau seminggu, perusahaan itu milikku," balas Darren sambil membaca buku. Tumben sekali Darren membaca buku di lantai satu, biasanya Darren akan berdiam di lantai tiga, letak perpustakaan di rumah ini.Darren benar, mau libur sebulan pun tidak ada yang akan memecatnya. Diana tak perlu ambil pusing, ia kembali dengan kegiatannya.***"Assalamualaikum," ucap teman-te

  • Married with a Strange Man   Chapter 18

    "Ceklek..."Kini Diana sudah tiba di rumah. Ia diantarkan oleh Sofia. Saat melewati ruang tengah, ia langsung mendapatkan tatapan tajam. "Tuh Ma pelakunya!" tunjuk lelaki yang tak lain adalah suaminya, Darren."Dia nggak nganterin makanan ke kantor," rengeknya lagi. Kepala Darren berada di pangkuan Delia. Meskipun terdengar dibuat-buat tapi ringisan lelaki itu nyata."Sepertinya kamu belum tahu Diana, Darren itu mengidap magh kronis, dua puluh menit saja dia telat makan, maka perutnya akan terasa sakit. Jadi Mama harap kamu bisa ngertiin kondisi Darren."Mendengar itu Diana menjadi merasa bersalah. Tidak seharusnya ia egois. Sebelum ke toko buku dengan sengaja ia men-silent ponsel agar ia tidak mendengar panggilan dari suaminya. Seharusnya ia bisa melayani Darren dengan baik. Ia merasa gagal menjadi seorang istri.Dengan perlahan ia mendekat ke sofa. Ia duduk di karpet, sementara Darren dan Delia masih duduk di sofa. Diana meraih tangan Darren lalu menciumnya. "Maaf," ucapnya setulu

  • Married with a Strange Man   Chapter 17

    Masih dalam keterkejutannya, Diana langsung menutup mulut. Ia menatap horor ke arah suaminya. Ia tak menyangka kalau Darren akan mengatakan hal frontal itu di sini, ia yakin para pelayan dapat mendengarnya. Tanpa merasa bersalah, Darren langsung berjalan menuju kamarnya.Di sisi lain, para pelayan yang mendengar ancaman Darren terhadap Diana langsung menutup mulut, mereka saling menatap satu sama lain. Mereka terkejut sekaligus senang, karena sepertinya hubungan majikannya akan mulai membaik.Mobilnya masih di bengkel, pagi ini Diana berangkat bersama Darren. Tidak, bukan Diana yang meminta untuk diantarkan, tapi Darren yang mengajaknya karena lelaki itu akan meeting di perusahaan yang dekat dengan restoran Diana. Darren sibuk dengan iPad di tangannya. Diana sedikit terkekeh saat melihat ekspresi Darren yang mengernyitkan dahinya."Aku memang tampan, tidak usah berlebihan," ucap Darren sambil meletakkan Ipad-nya."What ?!" balas Diana sambil menatap tak percaya ke arah Darren. Ia baru

  • Married with a Strange Man   Chapter 16

    Sedetik kemudian suara sirine mobil polisi mulai terdengar, para lelaki berkepala plontos dengan tato di masing-masing lengan saling memandang, sedikit terkejut karena ini adalah pertama kalinya mereka tertangkap."Sial!" maki salah satu di antara mereka. Raut kesal nampak begitu jelas, malam ini mereka kehilangan mangsa.Polisi dan perampok itu saling bertarung, terdengar beberapa tembakan dari pihak polisi karena ada seorang perampok yang ingin melarikan diri. Sementara Kafka, lelaki itu langsung berlari menuju Diana. Tak perduli hujan membasahi tubuhnya, baginya saat ini adalah keselamatan Diana.Kafka langsung merengkuh Diana yang sudah terduduk di jalan, punggung gadis itu mulai bergetar."Kak, Ana takut." Diana semakin mempererat pelukannya."Sudah, sekarang kamu aman," balas Kafka sambil mengelus-elus punggung Diana. Sesaat setelah mobilnya dilempar batu, Diana langsung menelpon Kafka dan menyalakan lokasinya. Untung saja ia sempat melakukan itu, kalau tidak nasib tragis akan m

  • Married with a Strange Man   Chapter 15

    Setelah mata kuliah terakhir selesai, segera Diana mengunjungi restorannya."Kayaknya Bu Bos lagi bahagia nih," ucap Gina sambil meletakkan teh hangat di meja kerja Diana. Seperti biasa gadis itu yang selalu melayani Diana."Hehe, tau aja Gin.""Gin boleh nggak aku minta tolong?""Boleh Bos.""Bisa nggak kamu dandanin aku, soalnya aku suka gaya make up kamu.""Oh bisa Bos, boleh banget.""Tapi jangan terlalu mencolok yaa, sore ini kamu ikut aku ke rumah.""Oke siapp Bos."Setelah itu Gina kembali ke dapur lagi.***Diana dan Gina sudah tiba di parkiran. Gina, gadis itu menatap takjub rumah atasannya. Bos-nya ini sudah dari dulu kaya raya, dan sekarang ia menikah dengan pria kaya. Ia sedikit iri dengan Diana, kehidupannya begitu sempurna. Pantas saja Diana mendapatkan semua ini, Diana begitu baik, mungkin ini buah dari kebaikannya selama ini."Woah, rumahnya megah banget Bos," ucap Gina dengan mata berbinarnya."Bisa aja kamu.""Ayo masuk."Mereka pun masuk dengan Gina yang mengekori D

  • Married with a Strange Man   Chapter 14

    ~🖤~Tak ada satu pun omonganmu yang bisa kupegangAku tak pernah berarti dan berharga di hatimu***Setelah urusannya selesai, Darren kembali ke rumah. Hari ini ia tidak ke kantor sama sekali, awalnya ia berniat masuk setelah mengantar Diana ke rumah sakit, namun karena seseorang menelpon, ia membatalkannya. Kebetulan kerjaannya di kantor hanya tinggal sedikit lagi. Dari pagi hingga sore ia membuntuti seseorang. Ia sudah ahli mengerjakan hal seperti ini. Sudah belasan kali ia mematai-matai musuhnya. Kemampuan Darren sudah di atas rata-rata.Setelah menutup pintu mobil, Darren melangkahkan kakinya menuju rumah. Ia akan masuk dari pintu depan, seperti biasa mobil akan dimasukkan ke garasi nanti oleh salah satu supir. Ia berjalan menuju salah satu kamar, lebih tepatnya milik Diana. Ia ingin mengecek keadaan gadis itu. Semoga saja gadis itu sudah sembuh, sehingga besok bisa membuatkannya makan siang lagi. Sudah dua hari ia tidak menyantap makanan buatan Diana, sejak pertama kali, Darren

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status