~🖤~
Apa aku hanyalah sebuah barang yang sudah laku dijual ?
***
Sebulan telah berlalu. Tak ada yang berubah dengan hubungan pernikahan Diana dan Darren. Mereka semakin sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Darren yang tiada henti berangkat ke kantor, dan Diana yang terus fokus mengembangkan restoran. Selain itu Diana juga seorang mahasiswi, ia ingin meneruskan gelas magisternya. Darren pun tak ada masalah dengan itu, selagi Diana masih mengantarkan makan siangnya ke kantor.
Kebetulan saat ini Darren memiliki jadwal meeting bersama ayah mertuanya mengenai wilayah yang akan ditambang untuk menghasilkan bahan konstruksi bangunan. Sama seperti bisnis ayahnya, yang merembet ke segala bidang, Darren pun sama, lelaki yang sudah menginjak kepala tiga itu juga mulai mengembangkan perusahaannya.
Darren adalah tipe pekerja keras, kalau sudah berambisi maka lelaki itu akan menghalau segala rintangannya meskipun itu sangat beresiko. Tak pernah gagal ? Bukan sekali dua kali, baginya kegagalan adalah pelajaran yang dapat ia ambil untuk menjadi lebih baik lagi. Darren tidak suka dengan kata 'menyerah' , ia tidak akan berlarut-larut dalam keputusasaan. Bagaimana pun ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan, apapun caranya, ia sendiri yang akan mencari.
Tubuh yang tinggi tegap menambah nilai plus lelaki itu. Sebenarnya ia bisa saja menjadi CEO yang memiliki belasan wanita, menggunakan seluruh uangnya untuk mentraktir mereka tas, sepatu, dress, dan barang branded lainnya. Tapi ia lebih sayang dengan uangnya, daripada diberikan kepada wanita tidak jelas, lebih baik ia berikan untuk istrinya, meskipun ia belum menyukai Diana. Itulah kenapa sebulan yang lalu, ia begitu menggembar-gemborkan pernikahan mewahnya, itu semua tak jauh dari paksaan mama yang terus meminta menantu dan juga wanita-wanita yang selalu mengejarnya seperti seorang jalang. Darren tidak suka dikejar, lelaki itu gampang sekali risih. Saat remaja pun banyak surat cinta yang ia dapatkan, Darren tampan, dan ia sangat menyadarinya. Dan, tak ada satu pun surat yang ia baca, semua tersimpan rapi di laci kamar. Kenapa tidak dibuang saja ? Awalnya sih niatnya begitu, tapi surat itu dapat ia pamerkan ke calon anaknya nanti, bahwa papanya dulu seorang primadona.
Darren berjalan menuju ruang meeting diikuti sekretarisnya dari belakang.
"Ceklek..." Tak lama kemudian pintu terbuka dengan lebar, semua orang sudah menunggunya. Tatapan Darren jatuh kepada ayah mertua dan kakak iparnya, ia sedikit menunduk untuk menyapa, mereka pun membalasnya. Hubungan mereka seperti hanya seorang rekan kerja, sama sekali tidak dekat. Isi chat mereka pun tak jauh membahas tentang proyek kerjasama, tak ada bahasan tentang Diana, gadis yang menyatukan hubungan mereka. Tak ingin berlama-lama, Darren pun mulai memimpin rapatnya hari ini.
*
*
*
Diana terus mengabaikan bunyi notifikasi pada ponselnya, gadis itu lebih memilih memeriksa laporan keuangan kedainya. Ia tidak ingin kecolongan seperti dua bulan lalu, mulai saat ini ia akan lebih tegas kepada karyawan-karyawannya. Sambil duduk di kursi kebesarannya, dengan teliti Diana membaca. Saat dirinya sedang fokus, tak ada satu pun yang berani mengganggu.
Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit, Diana menyelesaikan bacaannya. Bibirnya sedikit tersungging saat melihat hasil yang tidak mencurigakan. Ia pun meletakkan kertas itu tepat atas di meja. Baru saja ia akan berdiri, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dengan raut kesal ia menggeser ikon berwarna merah itu. Tidak apa-apa kan ia menolak panggilan dari ibunya sendiri? Ia sudah tau apa yang wanita itu ingin bicarakan, dan demi menjaga telinganya dari perkataan buruk, lebih baik ia menolak panggilan itu. Tak lama ponselnya kembali berdering.
"Ada apa Bu ? Diana sedang sibuk."
"Bagaimana hubunganmu dengan Darren ?"
"Kami baik-baik saja."
"Apa kamu sudah datang bulan? Apa kalian sudah melakukannya ?"
"Kemarin baru saja aku beres menstruasi Bu."
Diana menghela nafas sebentar, meski sedikit ragu ia kembali membuka mulutnya. "Dan untuk hubungan ranjang, biarlah itu menjadi pilihanku, aku bisa saja menyerahkannya Bu, tapi Darren, aku tidak bisa memaksanya naik ke ranjangku. Apa ibu tahu ? Anakmu ini hanya dijadikan tukang masak dan menantu seorang pengusaha kaya raya. Aku seperti bukan istrinya, tak ada sedikit pun rasa cinta, Darren tak menyukaiku."
"Rasa cinta ? Itu tidak penting Diana."
"Yang diinginkan keluarga kita hanyalah penerus, apalagi jika kamu melahirkan seorang putra, itu akan sangat bagus."
"Bagaimana pun caranya, kamu harus cepat-cepat mengandung sebelum Darren menceraikanmu. Apa kamu tahu ? Suamimu itu, banyak yang menyukainya, apa kamu senang menjadi orang yang tersingkirkan ?"
"Termasuk menghilangkan harga diriku ?"
Ya
***
Menangis ? Untuk apa ? Tak ada yang perduli dengan rasa sedihnya. Lagipula sudah biasa ia diperlakukan seperti ini. Dari sejak kecil hidupnya selalu dikendalikan Ibu dan Ayah. Diana rasa air matanya sudah terkuras habis, terakhir kali ia menangis saat ia menikah. Ia sadar, mulai hari itu kebebasannya semakin direnggut.
Sudah sebulan lalu ibunya mengirimkan pesan puluhan kali. Tak ada pertanyaan bagaimana keadaannya, apa Diana bahagia atau tidak ? Apa Diana sehat atau sebaliknya ? Masih dengan pertanyaan yang sama, apa Diana sudah mengandung atau belum?
Diana meletakkan ponselnya di meja kerja, lebih baik ia tak lagi membalas pesan ibunya. Sebentar lagi jam dua belas siang, sebelum Darren menelponnya, ia harus sudah beres masak. Ia tidak ingin kena omel. Kalau sudah menceramahinya, paling sebentar selama tiga puluh menit, tidak hanya memarahi, Darren selalu mengancamnya melapor kepada ayah. Kalau sudah berurusan dengan ayah, jangan harap ia bisa melawannya.
Diana menuruni tangga, lalu berjalan menuju dapur. Ia hanya mengangguk di saat para pegawai menyapanya. Ia masih belum tahu apa makanan kesukaan Darren, ia sempat berkirim pesan dengan mama Delia, untung saja wanita itu tidak seperti kebanyakan mertua lain yang selalu berlaku kejam kepada menantunya. Wanita itu dengan ramah memberikan list makanan apa saja yang disukai anaknya, malah saat berkunjung akan memberikan satu buku berisi menu makanan.
Bajunya ia lipat agar tidak kena air saat mencuci sayur dan daging. Tak hanya itu Diana juga memotong beberapa buah untuk suaminya. Dengan telaten ia memotong bahan-bahan masakan, ia terlihat begitu mahir.
***
Diana sedikit menggerutu, pasalnya sudah hampir sepuluh menit mobilnya sama sekali tidak bergerak. Jalanan saat ini macet karena ada perbaikan selokan yang mampet. Ponsel yang ia letakkan di dashboard terus berbunyi. Siapa lagi kalau bukan Darren. Ia pun menjawabnya meskipun rada males.
"Kamu di mana ?"
"Aku masih di jalan Darren, ini macet banget."
"Apa kamu lupa punya suami ? Aku sudah sekarat ini. Aku lapar."
"Beli dulu makanan lain ya, sebentar lagi aku sampai."
"Aku cuma mau makan masakanmu!"
"Yaudah sebentar tunggu, sabar dong..."
"Cepet, jangan lama."
"Iya Darren."
***
Sebenarnya Diana ingin membalas ucapan Darren dengan teriakkan, menyumpah serapah lelaki itu karena merengek seperti anak kecil. Apa Darren pikir ia tidak memiliki kesibukan lain ? Apa ia koki khusus di rumahnya, bayangkan ia memasak tiga kali sehari, padahal ada bibi yang bisa memasak kapan pun Darren mau. Tapi semua perkataan itu ia simpan di hatinya, ia ingat dosa, dan sudah menjadi kewajibannya untuk melayani Darren. Setelah beberapa menit, Diana sudah bisa melajukan kendaraannya. Ia sedikit mengebut supaya cepat sampai di gedung tempat suaminya bekerja. Untungnya ia sudah mahir, sehingga ia berhasil menyalip beberapa mobil.
Tepat pukul satu siang Diana sampai di parkiran. Segera ia keluar sambil membawa tas jinjing yang berisi makanan. Beberapa orang menyapa gadis itu, mungkin karena sudah hampir satu bulan ini Diana bolak-balik ke kantor. Mereka juga sudah tahu kalau Diana adalah istri dari atasannya, banyak karyawati yang ingin mendekati Diana agar bisa memiliki pelindung dari atasannya Darren, untuk urusan pekerjaan, lelaki itu memang sangat disiplin. Jika ada karyawan atau karyawati yang melanggar peraturan atau kurang disiplin, ia tak segan untuk memecat mereka. Padahal percuma saja mereka mendekati Diana, tak ada yang tahu kalau Diana dan Darren tidak sedekat itu.
Kini Diana sudah berdiri tepat di depan pintu ruangan suaminya. Baru saja ia akan membuka pintu, sebuah tarikan dari dalam mengagetkannya.
"Dari mana saja kamu ?!" tanya Darren penuh dengan penekanan. Terdengar nada marah di setiap ucapannya. Namun lelaki tak sampai memukul istrinya.
Tangan lelaki itu memegang lengan Diana dan membawanya ke dalam.
"Kan aku tadi udah bilang, aku kejebak macet," bela Diana sedikit ketus. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, kalau tidak ingat Darren suaminya, mulutnya sudah berbusa.
"Ekspresi apa itu ? Cepet siapkan piringnya!" omel Darren, seolah tak suka dengan raut wajah Diana yang seperti menyumpah serapahnya.
Diana meletakkan tasnya di meja, lalu ikut duduk di kursi. Dengan segera ia mengeluarkan semua makanan yang dibawanya. Tanpa berbicara ia menyerahkan piring itu di meja.
Melihat makanan di atas meja Darren pun mulai menyantapnya. Lelaki itu makan dengan lahap, pertanda bahwa makanan buatan Diana cocok di lidahnya. Kalau boleh jujur mulai sebulan yang lalu, ia menyukai masakan istrinya, rasanya ia tidak ingin memakan makanan lain. Tapi ia tidak ingin menunjukkan semua itu di depan Diana, ia tidak mau gadis itu menjadi besar kepala.
Mereka tak berbicara apapun, setelah Darren selesai, Diana langsung membereskan tempat makan itu. Setelah semuanya beres, ia pun berpamitan. Sebenarnya Diana ingin mencium tangan Darren, tapi lelaki itu malah mendiamkannya.
"Emhh aku pulang dulu..."
"Hmmm..." Balas Darren tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.
Tidak ada kecupan selamat tinggal. Tunggu, apa ia menginginkannya ? Diana sedikit melirik pada Darren yang sibuk membaca. "Kamu mengharapkan apa Di ?" gumamnya. Setelah itu ia kembali melanjutkan langkanya menuju pintu berwarna hitam itu.
***
Saat akan pulang, Diana berpapasan dengan ayah dan kakaknya. Kebetulan mereka juga menatap Diana. Tak ada raut antusias seperti keluarga lainnya, mereka malah kembali berjalan diikuti sekretarisnya di belakang.
Diana sadar, ia adalah putri yang tidak diinginkan. Ia merasa bahwa semua keluarganya tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Ayah yang sedikit-sedikit membentaknya karena masalah sepele, ibu yang selalu bersikap dingin dan mengacuhkannya. ibu hanya mau berbicara dengannya mengenai masalah akademik. Semua keperluannya diurus dengan pengasuhnya. Hanya Elina, pengasuh itu begitu dekat dengannya, sedangkan pegawai yang lain, mereka tidak pernah bersikap ramah kepada Diana. Dan Farrel, kakak lelaki satu-satunya selalu menatap sinis ke arahnya. Hanya satu pertanyaan, kenapa mereka begitu membencinya? Apa ia berbuat salah ?
Diana menjadi ingat perkataan ibunya seminggu lalu.
"Ayah ingin kamu segera mengandung anaknya Darren, Ana. Kabar kehamilanmu akan membuat hubungan keluarga kita dan keluarga Darren semakin erat."
"Ta-tapi Bu..."
"Sekarang juga kamu datangi kamarnya Darren, ibu tahu, kalian tinggal di kamar yang berbeda!" Setelah itu panggilan terputus.
Diana tak menyangka Ibu akan mengatakan hal kotor seperti itu. Air matanya mulai mengalir.
Ibu, aku bukanlah seorang jalang, batinnya.
Setelah Darren mengucapkan ijab kabul, ia sudah resmi menjadi milik lelaki itu. Jiwa dan raganya hanya milik Darren. Meskipun pernikahan ini berawal dari paksaan, tapi Diana tetap akan memberikan hak lelaki itu. Diana rela melepas semuanya. Melepas harta yang paling berharga miliknya. Merangkak menuju ranjang suaminya seperti seorang jalang.
Tapi apa ? Malam itu Darren mengusirnya dari kamar
Sejak malam itu, Diana sudah berjanji tidak akan menyerahkan dirinya lagi, ia sudah ditolak. Bahkan barang loak pun, meskipun harganya murah, akan tetap dipakai. Ia merasa begitu rendah.
Dan sekarang apa ? Ibu kandungnya sendiri menyuruh dirinya untuk mendatangi kamar Darren. Haruskah ia merendahkan dirinya untuk kedua kali ? Memungut serpihan harga diri yang berceceran di tempat paling dasar. Harus sampai sejauh mana ia bersikap seperti wanita murahan ?
Sekarang ia tahu kenapa ayah terlihat kesal, mungkin karena ia tak kunjung memberikan cucu, lelaki paruh baya itu takut jika kerja samanya sia-sia kalau hubungannya dengan Darren kandas di tengah jalan.
Niat ingin menyapa sirna, hatinya sakit melihat tatapan itu. Kejam, dingin, tak tersentuh. Sambil setengah berlari Diana melewati ayahnya dan Farel.
***
Malam pun tiba. Diana sudah sampai di rumahnya, ia tidak lagi pulang terlalu larut, akan sangat melelahkan jika kembali mendengar ceramah suaminya. Seperti biasa ia akan mandi dulu, untungnya air hangat sudah disiapkan para pelayan.
Setelah berendam cukup lama, kini ia berjalan menuju meja riasnya. Ia tidak memakai riasan, hanya mengoleskan serum dan essence. Sentuhan terakhir adalah lip tint rasa stroberi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, kemudian ia tersenyum. Setelah semuanya selesai, ia berjalan menuju pintu. Jantungnya berdetak tidak karuan. Tangannya mengepal menahan segala kegugupannya.
Kini ia sudah sampai di depan pintu kamar suaminya.
"Tok...tok...tok..."
"Masuk."
Diana semakin gugup mendengar jawaban dari Darren.
"Ceklek..."
Kini pintu itu terbuka lebar. Tatapan mereka saling beradu. Terlihat laptop di pangkuan lelaki Darren. Sepertinya pekerjaan lelaki itu belum selesai.
"Darren..."
"Ada apa ?" Balas lelaki itu sambil kembali menatap laptop di depannya. Sepertinya sesuatu yang terpampang di laptop lebih menarik.
"Apakah kamu benar-benar tidak ingin menyentuhku Darren ?" tanya Diana dengan gugup, namun ia masih berusaha tersenyum. Tangannya mengelus lengan atas yang terasa dingin karena gaun tipis sialan.
Embun pagi ini tampak menghalangi pandangan seorang wanita yang sedang terduduk di kursi penumpang. musim hujan mulai datang, udara tiap harinya terasa dingin. Sama sepertinya keadaan hatinya, tidak hanya dingin, kini mulai membeku, tak tersentuh dengan apapun. Ya, Hasya masih menggunakan mobil almarhum suaminya, entah kenapa ia merasa malu menggunakan ini. Sekarang perusahaan milik ibu mertuanya dipimpin oleh Kafka, dulu perusahaan itu dipimpin oleh suaminya. Jabatan itu tidak boleh kosong karena ada ribuan karyawan yang harus tetap bekerja dan diberi upah. Ibu mertuanya masih berbaik hati tidak mendepaknya dari rumah Rama, setelah ia dan Alya membuat lelaki itu meninggal. Laju mobil mulai pelan, rupanya ia sudah sampai di alamat tujuan. Lapas, tempat putrinya ditahan atas kejahatan yang dilakukannnya. Entah Alya masih menganggapnya ibu atau tidak, setelah ia tidak memberikan pembelaan apapun, setidaknya ia harus berpamitan terlebih dahulu. Kali ini Hasya berpenampilan biasa, seme
Kini ketiga orang itu sudah siap dengan pakaian renang masing-masing. Tentu Revan tidak akan segila itu meminta Zia membuka seluruh bajunya ketika berendam di bath tub. Ia memang brengsek, tapi tahapan brengseknya belum mencapai tingkat itu. Ia masih bisa menahannya, lagi pula tahun depan Zia beres wisuda. "Rora jangan lama-lama ya berendamnya, takutnya nanti batuk," nasihat Zia sebelum mengangkat kakinya ke bath tub."Rora suka berenang, Mama sering ajak Rora berenang.""Iya tapi sebentar yaa."Rora sibuk mengambil mainan ikan dan bebek-bebek dari meja, tak mendengarkan permintaan Zia. "Om, kayaknya lebih baik Om keluar aja, habis ini aku kan mau mandi—,"Ekspresi Revan langsung berubah murung, ditatapnya Rora yang sedang memegang mainan. "Huhuhu Roraa, Om diusir.""Om gak boleh ikut berenang di sana," tunjuk Revan pada bath tub yang sudah terisi air."Om ihh..." Zia memandang Revan sambil merinding, tak menyangka pacarnya ini melakukan segala cara supaya tetap bergabung. Padahal
Seorang balita masih saja enggan untuk mengistirahatkan matanya. Padahal sudah lebih dari satu jam berada di playground, mencoba semua wahana tanpa terkecuali. Di samping dua orang dewasa juga tampak berbaring, memakai piyama couple pemberian Delia saat mereka melewati toko. Menampilkan ekspresi berbeda, yang satu tampak lelah, yang satu tampak menikmati bermain peran sebagai seorang suami sekaligus ayah. Beginilah pemandangan yang sepupunya lihat tiap ingin tidur, tampaknya begitu menyenangkan, Revan ingin segera mengalaminya."Rora kapan kamu mau tidur ?" tanya seorang wanita yang sejak sepuluh menit yang lalu berdiri di samping pintu, melipat kedua tangannya. Sedikit jengah melihat tatapan keponakannya pada seorang gadis. Ia baru ingat, Revan adalah sepupunya Darren, jelas lelaki itu memiliki sifat seperti putranya yang sangat mesum tak tahu tempat, ia sering menangkap basah putranya memojokkan Diana seperti tawanan perang.Bukannya segera menutup mata, tangan kecil Rora malah merab
"Darren t-tunggu," pinta Diana saat mereka sudah tiba di depan mobil, kakinya sedikit kram karena cukup lama menggunakan heels."Kita mau ke mana ? Acaranya belu selesai. Terus Rora gimana ?" Diana terus memberondongi Darren dengan pertanyaan."Ke mana kira-kira, kita belum pernah honeymoon kan selama ini ? Ke negara di Asia atau Eropa ? Jepang, Prancis?""Darren jangan bercanda, ini terlalu dadakan, aku gak bisa ya kalau gini," jelas Diana. Ia tahu alasan Darren bersikap seperti ini. Sifat cemburu berlebihan suaminya tak pernah sembuh. Diana hendak berbalik, tapi tangannya ditarik. "Masuk""Cepet masuk!""Masuk Di, kamu masih bisa mendengarku kan ?""Aku nggak mau ke luar negeri, Rora gimana ? Kamu tahu sendiri kan Rora belum bisa aku tinggal lama-lama ?""Yaudah, kamu masuk dulu tapi," ucap Darren sambil menghela nafas,Akhirnya Diana menurut, meskipun sedikit kesal ia tetap menaiki mobil. Mobil itu pun keluar dari area parkir. "Nanti Rora pulangnya sama Mama, besok kita jemput ke
Rombongan pengantin sudah mulai memasuki parkiran hotel. Acara pernikahan di adalah di hotel baru milik keluarga Siswandi, pembangunan hotel langsung di kelola sendiri oleh Farrel. Semenjak insiden dua tahun lalu yang membuat Irwan tidak bisa menghandle pekerjaan terlalu banyak, pria itu menyerahkan proyek hotel pada putranya. Mobil Mercedes dengan pita pengantin datang lebil awal. Tak lama Farrel, Irwan, dan Vina keluar dari mobil itu. Sementara Darren, Diana dan Rora berada di mobil yang berbeda. Rombongan seserahan tidak terlalu banyak, Irwan hanya mengajak sekitar enam puluh orang. Masing-masing dari mereka membawa hantaran. Di tangannya Diana membawa mas kawin, sementara Vina membawa simbolis untuk diberikan kepada orang tua pengantin wanita. "Mama mau ke mana ?" tanya Rora saat melihat Diana berjalan cepat menuju Vina. Anak itu bersiap mengejar Diana, namun segera Darren meraih lengannya dengan lembut."Rora tunggu dulu di sini ya, Mama lagi sibuk.""Rora mau ikut Mama."Karena
Suara hairdryer terdengar dari kamar bercat cream. Diana baru saja selesai mandi, ia masih mengenakan bath robe. Satu jam yang lalu ia kedatangan tamu yang tak lain ibunya. Wanita itu ingin mengajak Diana fitting gaun untuk pernikahan putra sulungnya, Farrel. Padahal Diana sudah menolak, ia akan memakai baju yang ada saja, tapi Vina tetap kekeuh. Katanya masa adik dari pengantin pria bajunya biasa-biasa saja, sementara kerabat jauh aja pada jahit di designer terkenal. Siapa yang tidak antusias pada pesta putra sulung keluarga Siswandi ? Dengan berbagai rayuan Vina berhasil membujuk Diana. Bahkan wanita itu mau memandikan cucunya sementara Diana merias wajah. Bahkan Vina rela mengasuh Rora seminggu lebih kalau Diana dan Darren mengizinkan. Sebelum membawa Rora ke kamarnya, Vina mampir sebentar ke kamar Diana. "Nggak sudah terburu-buru dandannya Nak, Ibu banyak waktu luang kok," ucap Vina sambil nyengir, terlalu senang karena misinya berhasil."Iya Bu," balas Diana sambil berjalan men